Manfaat Penciptaan Lisan GAMBARAN UMUM TENTANG
Berkata seorang fushaha’ :
16
“Ikatlah lisan-mu kecuali karena kebenaran yang akan kamu jelaskan atau karena kebatilan yang akan kamu patahkan, atau karena hikmah yang akan kamu
sebar-luaskan atau karena kenikmatan yang akan kamu sebut-sebutkan ”.
Abdullah ibnu Mas’ud
17
berkata,
18
“Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia. Tidak ada sesuatu yang lebih membutuhkan penjara dari pada lisan
. Syair dari Sayyidina Ibnu Abi Muthi,
, .
,
“Lisan seseorang ibarat singa dalam kandang, jika dilepas pasti menerkam. Jagalah mulut dari ucapan kotor dan kendalikanlah, niscaya kendali itu akan
menjadi dinding dari segala perkataan”
19
Muhammad bin Wasi’ berkata bahwa menjaga lisan itu lebih berat tanggungannya daripada menjaga dinar dan dirham.
20
Menurut KH. Mawardi Labay El-Sulthani di dalam bukunya yang berjudul “Lidah Tidak Bertulang”, ia mengatakan bahwa lisan ibarat mata pedang tajam
16
Abul Hasan Ali Al Mawardi, Mutiara Akhlak Al Karimah, terj: Adâb an-Nafs Jakarta: Pustaka Amani, 1993, h. 136.
17
Nama l engkapnya adalah Abdullah ibnu Mas’ud ibnu Gafil ibnu Hubaib. Beliau
dila hirkan di Mekkah dan termasuk kelompok pertama yang masuk Islam. Abdullah Ibnu Mas’ud
merupakan seorang sahabat Rasulullah dan juga seorang pelayan Rasulullah yang setia dan dipercaya dalam memegang rahasia dan beliau selalu menemani Rasulullah dalam setiap
perjalanannya. Oleh sebab itu ia banyak sekali mengetahui hal-ihwal Rasulullah SAW. Lihat Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992, 371.
18
Al-Ghazali, Mutiara Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Penerjemah Irwan Kurniawan Bandung:
Mizan, 1997, cet. I, h.235.
19
Imam al-Ghazali, Wasiat Imam al-Ghazali; Minhajul Abidin Jakarta: Darul Ulum press, 1986, h. 140-142
20
Said Hawwa, Induk Pensucian diri. Penerjemah Syed Ahmad Semait, dkk. Singapura: Pustaka Nasional, t.t., h. 1172
yang siap menghujam ke mana saja ia mau. Karena lisan, walaupun kecil tapi ia mampu menjangkau segala sesuatu, baik itu yang haq maupun yang bathil, yang
taat maupun yang maksiat, bahkan lisan-pun bisa mengubah seseorang dari iman ke kufur, dan sebaliknya.
Abu Bakar as-Siddiq r.a
21
pernah meletakkan batu pada mulutnya untuk mencegah dirinya dari berbicara dan kemudian ia menunjuk pada lisan-nya seraya
berkata, “inilah yang menjerumuskanku ke dalam kesulitan dan kebinasaan”.
22
Al-Ghazali
23
mengatakan anggota tubuh yang paling durhaka kepada manusia adalah lisan. Sungguh lisan itu merupakan alat perangkap setan yang
paling jitu untuk menjerumuskan manusia.
24
Demikianlah beberapa pendapat ulama mengenai lisan dan begitu banyak yang harus diberikan perhatian untuk menjaga lisan dari bahayanya. Dengan
berkenalan terhadap semua bahaya lisan, maka seseorang dapat menahan diri dari hal-hal yang dapat menjermuskan seseorang ke dalam neraka hanya karena lisan
yang tak terjaga.
21
Nama aslinya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamimi. Beliau termasuk khalifah pertama dari
khulafâ’ ar-Râsyidîn dan juga sahabat Nabi Muhammad SAW yang terdekat dan termasuk orang-orang yang pertama masuk islam as-Sâbiqûn al-Awwalûn. Gelar Abu Bakar
diberikan Rasulullah SAW karena ia seorang yang paling cepat masuk Islam, sedangkan gelar as- Siddiq
yang berarti “amat membenarkan” adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia sering kali membenarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama pada peristiwa
Isra’ Mi’raj. Lihat Kafrawi Ridwan, dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. I Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, cet. III, h. 37.
22
Said Hawwa, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun-Nafs terpadu. Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. Jakarta: Robbani Press, 1999, cet.II, h. 469
23
Nama aslinya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Imam Abu Hamid al- Ghazali, yang terkenal dengan gelar Hujjatul Islam. Beliau lahir di Thus sebuah tempat di
Khurasan Iran, pada tahun 450 H1058 M. Kitab beliau yang sangat popular dan terbesar ialah kitab Ihya Ulumuddin dan
Minhajul ‘Abidin sebuah kitab tasawuf. Pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H, beliau wafat setelah beliau berwudhu dengan sempurna, kemudian berbaring, dan
meluruskan kakinya, lalu menghadap ke kiblat. Lihat Mahyudin Ibrohim, Nasehat 125 Ulama Besar
Jakarta: Darul Ulum, 1987, cet. I, h. 188-192
24
Imam al-Ghazali, Bahaya Lidah Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet. II, h. 1