Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
yang cukup untuk dijaga, maka sudah barang tentu akibatnya akan merusak ibadah
4
yang lainnya. Sebagaimana Nabi Saw. bersabda di dalam hadisnya:
5
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih
jauh antara Timur dan B arat”. HR. Mutafaq ‘alaih.
Di sisi lain, Nabi memberikan alternatif kepada ummatnya untuk tidak terjerumus dalam bahayanya lisan, yaitu dengan diam. Karna diam merupakan
usaha yang paling minimal dari manusia tanpa menguras tenaga dan mengorbankan materi, bahkan tanpa pemikiran mendalam.
6
Nabi bersabda:
7
“Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah. Bercerita kepada kami Abu al-Ahwas dari Abi Hasin dari Abi Salih dari Abi Hurairah
berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya dan barang siapa beriman
4
Ibadah adalah penghambaan diri kepada Allah Swt. dengan mentaati segala perintah- Nya dan menjauhi segala perintah-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw.
“dan inilah hakekat Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah Swt. semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan
cinta”. Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun bathin yang dicintai dan diridhoi Allah. Dan suatu ibadah hanya diterima Allah Swt. apabila diniati dengan ikhlash dan
semata-mata karena Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Lihat: Syekh Muhammad At- Tamimi, Kitab Tauhid Jakarta: QALAM, 1995, cet. I, h. 15.
5
Mahyuddin Abî Zakariâ Yahya ibn Syarf al-Nawawi, Riyâdhus Shalihin, bâb Tarjim al- Ghibah wa al-
‘Amru Bihafidz. Juz II Beirut: Dâr al-Fikr, 1994 h. 176.
6
Eneng Maria Ulfah, Etika Menjaga Lisan Dalam al-Quran; Kajian Terhadap QS. An- Nisâ ayat 114 dan QS. Al-Hujurat ayat 12
Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, no. 429, h. 15.
7
Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabûri, Sahîh Muslim, jilid I Beirut: dâr al-Fikri, t.t., h. 68
kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memulyakan tamunya dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau
diam” HR. Muslim Salah satu bahaya lisan yang telah menyebar di kalangan masyarakat Islam
dan telah menjadi kebiasaan adalah menggunjing. Dalam setiap pertemuan, perkumpulan atau yang lainnya, tanpa disadari selalu saja ada orang yang
membicarakan keburukan orang lain. Bahkan, orang yang menggunjing pada umumnya memiliki hubungan kerabat dengan orang yang digunjingnya.
Mereka tampak menikmati membicarakan orang lain, mereka tampak asyik menggunjing
orang lain ketika ada perkumpulan arisan, pengajian, atau kegiatan yang lainnya. Padahal tanpa disadari siksa pedih telah mengancam mereka di depan mata akibat
menggunjing orang lain. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka kecurigaan, Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-
cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha p
enyayang”. QS. Al- Hujurât49: 12
Kebiasaan menggunjing sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat Islam saat ini, menggunjing
tidak hanya merajalela pada setiap perkumpulan- perkumpulan atau pengajian-pengajian saja. Bahkan, dengan kecanggihan
teknologi dewasa ini seolah-olah memaksa manusia untuk berbuat ghibah dalam wujud apapun, baik itu melalui chatting lewat Yahoo Massenger, Facebook,
Twitter , atau lewat SMS sekalipun, semua tak lepas dari menggunjing, dan juga
tak ketinggalan tayangan televisi seperti Insert, Sensasi Artis, Kiss, dan berita- berita gosip lainnya yang menjadi tontonan sehari-hari juga memberikan
informasi plus bumbu-bumbu penyedap agar berita menjadi sedap di dengar dengan menggunjing ini.
Menurut KH. Said Agil Siradj pengurus besar NU, beliau mengatakan bahwa 70 acara infotainment adalah menggunjing, dan beliau juga mengatakan
hal tersebut berdasarkan musyawarah ulama NU Juli 2006 yang menyimpulkan bahwa berita infotainment mengarah kepada menggunjing dan fitnah. Hal yang
sama juga dinyatakan oleh guru besar Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Din Syamsuddin Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, mengatakan bahwa berita yang tujuannya merusak orang lain atau keluarga adalah bentuk dari menggunjing dan hukumnya haram.
8
Sebagai manusia yang beriman dan meyakini ajaran Islam sebagai pedoman hidup, maka setiap manusia harus pandai-pandai menjaga lisan dari
bahayanya. Baik itu bahaya yang berhubungan dengan kehidupan sosial seperti berakhlak dengan manusia ataupun bahaya yang berhubungan dengan persoalan
ukhrowi seperti melafazkan sesuatu yang bukan untuk Allah seperti misalnya
bersumpah bukan atas nama Allah, sumpah palsu maupun sebutan-sebutan kesyirikan lainnya.
9
Dari permasalahan di atas akan berdampak pada akhlak seseorang. karena akhlak merupakan pondasi terhadap sikap baik-buruknya seseorang. akhlak
8
http:firmanazka.blogspot.com201007bahaya-lisan-terhadap-ghibah-hukum.html. Diakses pada tanggal 27 Januari 2011
9
http:endahngawi.blogspot.com201008urgensi-akhlak-lisan.html. Diakses pada tangggal 27 Januari 2011
merupakan bentuk plural dari al-khuluq yang artinya budi pekerti dan kata ini biasa digunakan untuk mengistilahkan sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan
manusia.
10
Dilihat dari segi bentuk dan macamnya, akhlak tersebut dapat dibagi kepada dua bagian. Pertama, akhlak yang terpuji atau akhlak mahmudah seperti
berlaku jujur, pemaaf, sabar dan sebagainya. Kedua, akhlak yang tercela atau akhlak madzmumah seperti pemarah, pembohong, mencuri, dan sebagainya.
11
Dari contoh permasalahan di atas mengenai bahaya lisan, maka sudah dipastikan semua sifat atau perbuatan yang berkaitan dengan bahaya lisan ini
termasuk kategori akhlak madzmumah. Menurut Ibnu Taimiyah, akhlak berkaitan erat dengan iman karena iman
terdiri atas beberapa unsur berikut:
12
1. Berkeyakinan bahwa Allah Swt. adalah sang pencipta satu-satunya,
pemberi rizki dan penguasa seluruh kerajaan. 2.
Mengenal Allah dan meyakini bahwa hanya Allah Swt. yang patut di sembah.
3. Cinta kepada Allah Swt. melebihi segala cinta terhadap semua
makhluk-Nya. Tidak ada cinta yang dirasakan seorang hamba, kecuali didasarkan atas cintanya kepada Allah Swt..
10
Mahmud al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul Amin, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009, cet. 1, h. 4
11
Siti Hidayah, Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran Studi Analisis QS. Al- A’râf7: 199-
202 , Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009, h. 5
12
Mahmud al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul Amin, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009, cet. 1, h. 6
4. Cinta hamba terhadap Tuhannya akan mengantarkannya pada tujuan
yang satu, yaitu demi mencapai ridha Allah Swt., baik terhadap hal-hal kecil maupun hal-hal besar dalam kehidupan sehari-hari.
5. Arahan ini mengalahkan egoisme pribadi, nafsu keji dalam diri, dan
segala tujuan semu dunia. Kekuatan dasar ini yang memudahkan seseorang untuk melahirkan perspektif objektif dan langsung atas
pandangan terhadap esensi segala sesuatu. Ini merupakan pondasi yang utama dalam tataran akhlak.
6. Ketika telah berhasil tercipta suatu pandangan objektif dan langsung
akan esensi sesuatu maka perilaku dan perbuatan seseorang telah menjadi bagian dari akhlak.
7. Jika perbuatan seseorang telah menjadi bagian dari akhlak, hal itu
merupakan pertanda bahwa seseorang telah melalui jalan-jalan yang harus di tempuh menuju kesempurnaan manusia.
Dalam realita kehidupan sekarang ini, ternyata masih banyak sekali orang yang tidak tahu tentang bahaya lisan dan tidak memperhatikan terhadap masalah
kecil ini. Bahkan masih banyak orang-orang yang tidak menyadari bahwa ia sesungguhnya telah menggunakan lisannya dengan tidak baik di dalam setiap
pembicaraan sehingga tanpa disadari akan mengakibatkan bahaya bagi dirinya sendiri.
Al-Quran sebagai hudâ al-linnâs sudah selayaknya menjadi referensi utama dalam hal apapun. Ketika al-Quran dihubungkan dengan permasalahan-
permasalahan yang ada dalam segala aspek kehidupan manusia di dunia ini, maka pada saat itulah al-Quran berada pada posisi sebagai bayyinât min al-Hudâ yang
menjelaskan tentang petunjuk tersebut. Namun, penampilan al-Quran yang bersifat global membuat setiap permasalahantema yang dikandungnya tidak dapat
dipahami secara menyeluruh tetapi diperlukan penafsiran berdasarkan metode- metode yang disepakati oleh para ulama tafsir,
13
mengingat al-Quran sebagai pedoman hidup, jalan keselamatan, maka segala sesuatu yang terkandung dalam
al-Quran haruslah dipahami agar manusia tidak tersesat pada akhirnya nanti. Para ulama tafsir dalam memahami kandungan al-Quran berdasarkan suatu
masalahtema menggunakan metode tematik, yaitu menafsirkan al-Quran berdasarkan masalahtema yang dibicarakan dengan cara menghimpun seluruh
atau sebagian ayat dari berbagai surat yang berbicara tentang tema yang sama untuk kemudian dikaitkan dengan ayat yang lainnya, sehingga pada akhirnya
dapat diambil suatu kesimpulan tentang masalahtema tersebut menurut al-Quran. Banyak tema yang diteliti dalam kerangka metode tafsir tematik,
diantaranya adalah mengenai bahaya lisan. Penulis beralasan, karena bahaya lisan termasuk dalam suatu bentuk kerusakan dalam akhlak sehingga Rasulullah saw di
13
Dari segi metode, penafsiran al-Quran dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Abdul Hayyi al-Farmawi membagi metode penafsiran al-Quran menjadi empat macam, yakni
tahlili, ijmali, muqarran dan maud
u’î. Metode tahlili ialah metode penafsiran yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat al-Quran sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Metode ijmali ialah cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menyajikan makna-maknanya secara global, yakni dengan
menyajikan ayat demi ayat sesuai urutan mushaf dan bacaan serta menjelaskan maksud lafal-lafal yang dikandungnya sehingga maksud dari setiap ayat menjadi lebih jelas. Metode Muqarran atau
perbandingan ialah metode penafsiran dengan membandingkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, atau
berbicara dengan redaksi yang berbeda tentang masalah yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadis Nabi
saw yang tampaknya bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsîr yang berkaitan dengan ayat al-Quran. Metode maud
u’î atau tematik ialah cara menafsirkan al-Quran melalui penetapan topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari
berbagai surat yang berbicara tentang topik tersebut untuk dikaitkan dengan ayat yang lainnya, lalu diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Quran.
Lihat : Muhammad Chirzin, Permata Al-Quran Yogyakarta: QIRTAS, 2003, h. 81- 82
utus bertujuan untuk menyempurnakan akhlak kepada ummatnya. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw. bersabda:
14
Maka dari penjelasan singkat di atas, itulah sebabnya penulis ingin membahas tentang bahaya lisan dengan judul skripsi
“BAHAYA LISAN DAN PENCEGAHANNYA DALAM AL-
QURAN” Sebuah Kajian Tematik.