47 ahlu kitab dan dia bisa dinikahi.
c. Pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan pria non-Muslim Pernikahan antara seorang wanita Muslim dengan pria non-Muslim baik
musyrik maupun ahlu kitab para ulama telah bersepakat bahwa pernikahan semacam ini adalah dilarang. Alasan pelarangan ini didasarkan pada:
…….
......... Artinya: “…..sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang Musyrik,
walaupun dia menarik hatimu…..” Ada juga alasan lain yang melarang pernikahan semacam ini yaitu tentang
stigma yang berkembang dimasyarakat jika pernikahan semacam ini diperbolehkan dikhawatirkan sang istri akan terpengaruh dan terperdaya sehingga
berpindah keyakinan.
B. Respon Pemuka Agama Protestan Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah Beda Agama
Bagi Protestan pernikahan adalah suatu persekutuan hidup yang meliputi keseluruhan hidup yang menghendaki laki-laki dan perempuan yang telah kawin
yang berbeda menjadi satu dalam kasih Tuhan. Walau dikatakan agama Protestan tidak melarang umatnya menikah
dengan orang yang bukan Protestan, akan tetapi tetap saja pada prinsipnya Protestan menghendaki perkawinan yang seagama. Hal ini dapat diakui dari
pandangan al-Kitab bahwa tujuan utama dari perkawinan adalah kebahagiaan.
48
C. Respon Pemuka Agama Katolik Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah Beda Agama
Pernikahan bagi Katolik adalah sesuatu yang sangat sakral. Jika seseorang telah menikah maka ia tidak boleh diceraikan oleh manusia. Hal ini terdapat
dalam Matius
51
sebagimana yang dijelaskan oleh Pdt. Adolf Ostieli Nazara. Didalam pasal 2 ayat 24 Matius dikatakan “Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”.
Lebih jauh Pdt. Adolf pun mengatakan bahwa Katolik tidak menginginkan kawin campur karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam
katolik dan juga perkawinan beda itu bukan merupakan sebuah sakramen sedangkan Katolik sangat menjunjung tinggi nilai sakramen.
Kalaupun harus terjadi pernikahan beda agama dalam Katolik, maka harus mendapatkan ijin dari keuskupan dan melakukan beberapa perjanjian diantaranya:
1. Pihak Katolik harus berjanji bahwa ia akan setia pada Iman Katolik. 2. Dia harus bersedia untuk mendidik dan membaptis anak-anaknya secara
katolik. 3. Pihak non-Katolik jangan menghalangi pihak yang Katolik untuk
beribadah. 4. Pihak non-Katolik juga harus bersedia agar anak-anaknya dididik dan
dibaptis secara Katolik.
51
Lihat Matius 19: 6 “ Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
49
D. Respon Pemuka Agama Hindu Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah Beda Agama
Perkawinan dalam Hindu adalah suatu ikatan suci antara seorang pria dengan wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama. Hindu
secara jelas sangat menentang pernikahan beda agama dilihat dari salah satu syarat pernikahan dalam Hindu, yaitu “ kedua mempelai telah menganut agama
Hindu, jika calon mempelai itu tidak menganut agama Hindu maka perkawinan tersebut tidak dapat disahkan.”
52
Kalaupun terjadi pernikahan beda agama, maka orang yang tidak menganut agama Hindu harus bersedia untuk di suddhikan disahkan sebagai
pemeluk agama Hindu dan menandatangani Sudi Vadhani surat pernyataan masuk agama Hindu.
E. Respon Pemuka Agama Buddha Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah Beda Agama
Agama Buddha sebenarnya tidak nyarankan pemeluknya untuk melakukan nikah beda agama karena dikhawatirkan adanya konflik pada kehidupan dalam
perkawinan itu sendiri. Jadi, kalaupun harus terjadi pernikahan beda agama dalam Buddha maka harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Ada persetujuan dari keluarga kedua belah pihak. b. Tidak ada pemaksaan untuk memeluk satu agama tertentu jika pernikahan
telah berlangsung.
52
Lihat, Ketutn N. Natih, DKK, Pembinaan Perkawinan Agama Hindu, Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990, hlm. 25.