Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3 menimbulkan fitnah dan pertumpahan darah.
4
Nampaknya MUI pernah mengalami intervensi negara yang begitu kuat meskipun tidak seluruh fatwanya
adalah ‘pesanan’ negara. Dalam hal ini Prof. Ahmad Rofiq menegaskan bahwa di era 1990-an MUI mengalami revitalisasi terutama di era reformasi. Revitalisasi
peran MUI ini mengingat sejarah masa lalu MUI yang sering dinilai negatif.
5
Dalam rangka revitalisasi ini maka MUI bekerjasama dengan Departemen Agama mengumpulkan fatwa-fatwanya. Ini untuk menunjukkan bahwa MUI
sangat merespons perkembangan hukum terutama dalam konteks keinian. Dalam pandangan KH. Ma’ruf Amin, MUI tidak akan membiarkan persoalan tanpa ada
jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak bisa dibenarkan, baik secara
itiqady
maupun
syar’i.
Karena itu para ulama dituntut segera memberikan jawaban. Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah musyawarah para
ulama,
zu ’ama
dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh umat adalah lembaga yang mempunyaikompetensi untuk menyelesaikan
persoalan hukum yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun pemerintah.
6
MUI sebagai organisasi keagamaan sangat vital dalam upaya memajukan kehidupan keagamaan dan dijadikan rujukan dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Peran yang dimiliki MUI selalu dinantikan realisasinya bukan saja
4
Sebagai contoh ketika al-Ma’mun berkuasa, maka Mu’tazilah resmi menjadi mazhab negara, sementara pada sisi lain Ahl al-Hadits yang dipimpin Imam Hanbali bertentangan dengan
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara sehingga muncullah peristiwa mihnah. Dari sinilah terjadi penyiksaan dan pemenjaraan terhadap para tokoh pemikir Ahl al-Hadits. Belum lagi
pertikaian lain yang tidak terhitung jumlahnya. Baca: Tedi Kholitudin eds, Runtuhnya Negara Tuhan, Semarang: PMII, 2005, hlm. xxii
5
Ahmad Rofiq, fiqih Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 362.
6
KH. Ma’ruf Amin, Pengantar dalam Himpunan Fatwa MUI 2003, Jakarta, MUI Pusat, 2003, hlm. iv.
4 menyangkut bidang keagamaan yang menjadi ciri khasnya, akan tetapi juga dalam
bidang lainnya seperti ekonomi dan pendidikan. Dalam masalah fatwa MUI mempunyai sebuah komisi yang khusus
membidangi masalah ini yakni komisi fatwa. Komisi ini dalam menjalankan tugasnya berdasar pada pedomena penetapan fatwa yang ada dalam MUI. Salah
satu fatwa yang dikeluarkan MUI adalah masalah pernikahan beda agama yang dikeluarkan pada MUNAS MUI Tahun 2005. Fatwa ini merupakan salah satu dari
11 fatwa MUI yang pada saat difatwakannya banyak memicu kontroversi karena adanya fatwa tentang paham Ahmadiyah, pluralisme dan liberalisme. Fatwa MUI
Nomor: 4Munas VIIMUI82005 tentang pernikahan beda agama ini pada prinsipnya mempunyai kesimpulan hukum bahwa wanita muslim diharamkan
menikah dengan laki-laki non mulim atau laki-laki muslim diharamkan menikah dengan wanita ahlul kitab. Dengan fatwa ini maka perlu diadakan kajian lebih
mendalam mengenaiFatwa MUI Nomor: 4Munas VIIMUI82005 tersebut, berikut dasar hukum serta pandangan para pemuka agama.
Penulis memandang perlu mengkaji Fatwa MUI Nomor: 4Munas VIIMUI82005 ini, karena belakangan ini disinyalir banyak terjadi pernikahan
beda agama, dan terjadi kontroversi tentang hukum pernikahan beda agama tersebut di kalangan ulama, dan mengangkatnya menjadi sebuah judul Skripsi
“Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI Tentang Pernikahan Beda Agama dan Respon Para Pemuka Agama Terhadapnya”.
5