Respon Pemuka Agama Katolik Terhadap Fatwa MUI Tentang Nikah Beda Agama

50

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pernikahan adalah sebuah upacara yang sangat sakral bagi semua agama. Pernikahan itu terjadi melalui sebuah proses yaitu kedua belah pihak saling menyukai dan merasa akan mampu hidup bersama dalam menempuh bahtera rumah tangga. Sejatinya pernikahan yang akan dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan bisa berjalan dengan tanpa ada permasalahan jika pernikahan yang akan dilaksanakan oleh sepasang calon tersebut sama memiliki latar belakang keyakinan yang sama, contohnya Islam dengan Islam, Kristen dengan Kristen, dan lain sebagainya. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan terjadi pernikahan dengan latar belakang keyakinan yang berbeda. Pernikahan seperti inilah yang disebut dengan pernikahan beda agama. Bisa saja, orang Islam menikah dengan orang-orang non- Islam baik itu Katolik, Protestan, Hindu Buddha, Konghucu dan lain sebagainya, baik itu pria maupun wanita. Pernikahan semacam inilah yang sering menimbulkan perdebatan panjang. Karena ada semacam stigma negatif yang berkembang yang menyatakan bahwa pernikahan beda agama sering dianggap sebagai cara halus untuk membawa pemeluk salah satu agama menjadi pemeluk agama lain. Pangkal perdebatan tersebut sekarang telah merambat hingga pada 51 permasalahan penafsiran teks-teks suci, baik itu al-Qur’an dalam Islam sampai al- Kitab dalam katolik. Ada banyak pro dan kontra bila kita membicarakan masalah penafsiran teks-teks suci ini. Pihak-pihak yang menolak pernikahan beda agama biasanya hanya menggunakan penafsiran dengan metode tekstual saja dalam memahami teks-teks suci tanpa memandang realitas sosial yang terjadi. Berdasarkan latar belakang perdebatan penafsiran teks-teks suci itulah, akhirnya Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah. Fatwa tersebut diambil MUI guna menyikapi makin maraknya pernikahan beda agama yang terjadi di Indonesia. Banyak sekali dalil-dalil yang digunakan MUI dalam menetapkan fatwa tersebut. Tetapi apakah MUI mengetahui bahwa agama-agama di Indonesia baik itu Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha sekalipun memperbolehkan pernikahan beda agama. Walaupun awal mulanya agama-agama tersebut melarang pernikahan beda agama, tetapi tetap saja pada akhirnya mereka memperbolehkannya juga walaupun dengan adanya embel-embel syarat yang harus dipenuhi. Katolik misalnya memperbolehkan nikah beda agama asalkan dengan sarat pihak yang beragama Katolik tetap pada keyakinannya setelah ia menikah dan pihak non-Katolik tidak memaksakan untuk berpindah keyakinan. Dari uraian tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia tentang pernikahan beda agama adalah kurang relevan. Karena sepertinya MUI hanya mengambil keputusan berdasarkan teks-teks suci tanpa melihat realita dan pendapat dari agama-agama lain. Karena