Pernikahan Beda Agama dalam Islam

11 pendapat ini, siapapun yang bukan muslim atau ahlu kitab beragama KristenYahudi haram dinikahi. 18 Menurut Yusuf Qardlawi, konteks ayat di atas, secara keseluruhan beserta asbabun nuzulnya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-kawafir perempuan-perempuan kafir, yakni al-watsaniyat perempuan-perempuan penyembah berhala. 19 b. Pernikahan Antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlu Kitab. Mayoritas ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh menikah dengan wanita Ahlu Kitab YahudiKristen. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5:                                                Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang- orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. 20 Nahdlatul Ulama dengan menukil berbagai kitab tafsir menegaskan bahwa 18 Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Jakarta: Haji Mas Agung, 1991, hlm. 5. 19 Yusuf Qardlawi, Fa t wa - F a t wa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 580. 20 Depag RI, Op . C i t . , hlm. 158. 12 yang dimaksud dengan al-Kitab adalah Taurat dan Injil, dan bukan kitab-kitab lain sebelumnya, seperti kitab Nabi Syist, Idris dan Ibrahim a.s., karena kitab-kitab tersebut tidak diturunkan secara teratur sistematik, dan bisa dipelajari ataupun dibaca. Para nabi tersebut hanya diberi wahyu tentang pengertian-pengertiannya saja, atau karena kitab-kitab tersebut hanya memuat hikmah dan nasehat-nasehat, dan tidak memuat hukum-hukum syari’at. Pernikahan sah jika nenek moyang wanita-wanita kafir ahli kitab tersebut belum pernah memeluk agama ahli kitab sesudah adanya penyalinan, sama saja apakah telah mengetahui keadaan sebelumnya ataupun meragukannya, mengingat keteguhan mereka dengan agama tersebut. Demikian halnya sah menikahi wanita bukan Israel, jika nenek moyang mereka diketahui tekah menganut agama tersebut sebelum perkawinannya, walaupun setelah adanya perubahan. Jika tidak diketahui, maka pernikahannya tidak sah berdasarkan pendapat yang lebih tegas dalam hal jika diragukan dalam kepemelukan agama tersebut. Sah menikahi wanita Yahudi dan Nashrani dengan syarat yang telah disebutkan perihal wanita Israel dan lainnya di atas, demikian pula dengan wanita Samiri dan Sha ’ibah jika keduanya bersepakat dengan Yahudi dan Nashrani dalam ajaran pokok agama mereka, walaupun keduanya tidak sepakat dalam hal- hal yang tidak bersifat prinsip. Jika keduanya berbeda dalam ajaran pokok agama Yahudi dan Nashrani, maka keduanya haram untuk dinikahi. Semua perincian ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i sebagaimana tertera dalam Mu h ta sha r a l - Mu zan i . 21 21 Lihat: Imam Ghazali Dan A. Ma.ruf Asrori eds, Op.Cit., hlm. 433-437. 13 Bagi orang yang pindah agama, seperti orang Yahudi atau penyembah berhala menjadi Nashrani atau sebaliknya, maka tidak akan diterima kecuali Islam. Hal ini karena dia telah mengakui ketidakbenaran agama yang ditinggalkannya itu dan mengakui pula ketidakbenaran agama baru yang dipeluknya. Berdasarkan ayat 5 surat Al-Maidah di atas, dan dengan didukung oleh sunnah Nabi dan praktik para sahabat, maka Ma’had Aly Situbondo dengan menukil pendapat para ulama memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini Nabi menikah dengan Maria Qibtiyah Muallaf. Demikian pula sahabat Nabi seperti Usman bin Affan dan Hudzaifah menikah dengan wanita ahlu kitab. 22 c. Pernikahan antara seorang wanita muslim dengan pria non muslim Ulama telah sepakat bahwa pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki non muslim baik musyrik maupun ahli kitab adalah dilarang. Disepakati, tidak sah wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, baik merdeka maupun budak. Tidak sah pula wanita murtad menikah dengan siapapun, tidak dengan laki-laki muslim karena wanita tersebut telah kafir dan tidak mengakui apapun, dan tidak sah pula menikah dengan laki-laki kafir karena masih adanya ikatan Islam pada dirinya. Hal ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut: .......       ....... Artimya : Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu min lebih baik dari 22 Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqih Rakyat Pertantuan Fiqih dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 281. 14 orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. 23 QS. al-Baqarah : 221 Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan pria muslim. Kenapa wanita muslim dilarang menikah dengan pria musyrik atau ahlu kitab, sementara pria muslim diperbolehkan oleh sebagian ulama untuk menikah dengan wanita ahlu kitab? Dalam hal ini bisa diberikan sebuah alasan hukum, bahwa surat al-Baqarah ayat 221 memang samasama melarang wanita dan pria muslim untuk menikah dengan musyrik atau musyrikah. Akan tetapi pada sisi lain Allah juga berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 5 di atas yang menyatakan bahwa terdapat wanita muhshanat yang terpelihara dari muminat dan ahlu kitab serta adanya sunnah Nabi dan praktik sahabat. Dengan landasan ini maka kebolehan menikah dengan ahli kitab hanya diperuntukkan bagi pria muslim bukan sebaliknya. Dalam hal ini AL-Jurjawi, Muhammad Ali Ash-Shabuni dan Yusuf Qardlawi memberikan penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli kitab semata-mata untuk menjaga iman. Sebab, ada stigma yang berkembang, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain. 24

B. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF KATOLIK I. Paham Gereja mengenai Pernikahan

“Perjanjian perkawinan, dengan mana pria dan perempuan membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada 23 Depag RI, Op. Cit., hlm. 53. 24 Lihat Al-Jurjawi, Juz II hlm. 33, Yusuf Qardlawi, hlm. 179, As-Shabauni, hlm. 289. semua referensi pendapat ini dikutip melalui, Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqih Rakyat Pertantuan Fiqih dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000, hlm. 283. 15 kesejanjadi sumi atau suami-istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat kemartabat sakramen.” 25 “Karena itu antara orang-orang yang dibaptis; tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen.” 26 Beberapa gagasan pokok mengenai perkawinan berdasarkan keterangan diatas adalah: 1. Perkawinan pada hakekatnya merupaka sebuah perjanjian kasih setia antara seseorang pria dan wanita. Perjanjian kasih antara suami-istri merupakan pokok perkawinan katolik. Kalau kita hadir dalam pemberkatan perkawinan di Gereja, salah satu bagian penting dalam acara tersebut adalah masing-masing pengantin mengucapkan janji perkawinan di hadapan Tuhan, imam, 2 orang saksi, dan hadirin lainya. Dengan kemungkinan berbagai variasi yang berbeda, intinya tetap sama. Masing-masing pihak menyatakan bahwa sejak saat itu mereka memilih pasagan yang menjadi suami istri. Ia berjanji untuk mencintai pasaganya dalam suka dan duka. Ia berjanji pula untuk menjadi bapak atau ibu yang baik bagi anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. itulah yang disebut janji perkawinan. Janji inilah yang membuat mereka melangsungkan perkawinan. Tanpa janji itu mereka tidak mungkin melangsungkan Perkawinan. Janji kasih itu sendiri bukan merupakan sesuatu yang baru sama sekali. Selama merka berpacaran dan secara 25 Lihat Kitab Hukum Kanonik KHK, Kanon 1055:1. http:www.imankatolik.or.idkhk.php?q=1055 diakses pada tanggal 19112010. 26 Lihat Kitab Hukum Kanonik KHK, Kanon 1055:2. http:www.imankatolik.or.idkhk.php?q=1055 diakses pada tanggal 19112010. 16 khusus mempersiapkan perkawinan, Perlahan-lahan mereka mulai membangun dan mewujudkan kasih itu sendiri. Dalam kesempatan perkawinan kasih yang mereka hayati di nyatakan secara resmi dan menjadikan ikatan kasih mereka berdua resmi pula. Mereka diakui sudah Menikah secar sah. Berbada dengan paham konrak, perkawinan sebagai suatu perjanjian kasih membut pengakuan spiritual dan dua pribadi dan kesamaan dalam kemampuan mereka untuk saling memberi dan menerima secara utuh satu sama lain. Maka perjanjian mengandaikan pilihan bebas, artinya orang tak bisa menikah secar terpaksa. Perjanjian melibatkan pribadi yang utuh, melibatkan kesatuan spiritual, emosi, dan fisik. Paham inilah yang diajarkan gereja seperti yang direfleisikan dalam konsili Vatikan II. Perjanjian kasih juga mempunyai warna biblis yang mengacu pada perjanjian kasih antar Allah dengan bangsa Israel dan memuncak dalam hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya. 27 Selanjutnya pada taraf yuridis dengan perjanjian ini kedua mempelai memaski bersama-sama tekad mereka untuk membangun persekutan yang paling dalam dan seluruh hidup. Itulah sebabnya Gereja mengajarkan bahwa hubungan seksual suami-istri tidak dibenarkan kalau dilakukan sebelum menikah resmi Menikah. Karena baru setelah menikah masing-masing pasangan saling memberi dan menerima dan dengan demikian ‘berhak’ atas pasanganya. 2. Perjanjian perkawinan tersebut membentuk kebersamaan seluruh hidup. Hakekat perkawinan adalah kebersamaan hidup suami-istri dalam semua aspeknya. Atau senasib sepenanggungan dalam semua aspek hidup. Istilah latin 27 Lihat Efesus 5: 25-26.