Upaya Penyelesaian Konflik Aceh

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

2.1. Upaya Penyelesaian Konflik Aceh

Penyelesaian konflik Aceh telah menjadi diskursus yang paling fenomenal dalam sejarah Aceh. Di awal sejarah bangsa ini konflik dalam konteks kenegaraan Islam telah lama muncul dan menjadi diskursus politik antara Aceh dan Jakarta. Negara Islam Aceh telah menjadi diskursus sebagai identitas politik rakyat Aceh. Kedatangan pihak Jawa yang di motori Soekarno dengan janji manisnya telah membuai rakyat Aceh dan bergabung menjadi sebuah negara Indonesia, walaupun pada akhirnya Indonesia berkhianat pada Aceh. Tahun 1945-1945, Aceh masih dalam peperangan yang dikenal dengan Perang Cumbok untuk mengakhiri kekuasaan feodalisme bangsawan Aceh. Perang ini juga menjadi motor pergerakan pemberontakan Aceh terhadap Indonesia. Akar permasalahannya bukan saja ketika perang melawan penjajah Belanda terdahulu. Tetapi lebih disebabkan karena tuntutan rakyat Aceh agar diberi status khusus sebagai wilayah yang berlaku syari’at Islam juga tak diakomodir oleh pemerintah di Jakarta. Hal ini memunculkan gerakan-gerakan perlawanan seperti Darul DITII IslamTentara Islam Indonesia, NBANII Negara Bagian AcehNegara Islam Indonesia, RIA Republik Islam Aceh dan GAM Gerakan Aceh Merdeka. Meskipun disatu sisi ada perbedaan dimana gerakan DITII menginginkan kembali dibentuknya negara Islam. Sedangkan gerakan Hasan Di Tiro mencoba merubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Konflik pun dimulai, di satu sisi pemerintah mengekalkan Universitas Sumatera Utara Aceh adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi disisi lain gerakan Hasan Di Tiro menginginkan kemerdekaan. 59 Akar gejolak politik ini telah ada ketika pasca kemerdekaan Indonesia. Di mana akar permasalahan pada waktu itu adalah karena kesalahan kebijakan pusat tentang perubahan status keresidenan Aceh dari Sumatera Utara pada tahun 1950. untuk menjaga stabilitas politik, keamanan dan persatuan bangsa, maka diutuslah Perdana Menteri Hardi untuk membicarakan penyelesaian konflik gejolak politik atau lebih dikenal dengan MISSI HARDI tahun 1959. Hasil missi tersebut ditanggapi pemerintah dengan memberikan Aceh status “Daerah Istimewa Aceh” serta otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Tetapi stabilitas politik dan keamanan tidak masih terus bergejolak. Ancaman gerakan konflik dari Aceh begitu besar sehingga memunculkan respon dari pemerintah. Selanjutnya Orde Baru berkuasa mengkonstruksi narasi pembangunan yang berpondasikan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. PUSA di Integrasikan ke dalam Majelis Ulama Indonesia MUI dan eksploitasi sumberdaya alam Aceh dimulai sehingga membuat perbedaan sosial ekonomi rakyat serta memangkas otoritas pemerintahan lokal. Fenomena ini melahirkan perlawanan rakyat dan mempertegas perjuangan GAM yang lebih radikal. Puncaknya pada tahun 1989 secara illegal pemerintah memberlakukan status Daerah Operasi Militer DOM di Aceh, di mana sebelumnya dikenal dengan Operasi Jaring Merah. Aceh dipaksa masuk dalam pusara konflik. Ribuan serdadu dikirim ke Aceh untuk menumpas 120 anggota GAM pada waktu itu. 60 59 Hasanuddin Yusup Adan, op. cit., hal. 16. 60 Neta.S.Pane, op. cit., hal. 32. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1992 pemerintah Orde Baru berusaha mengendalikan situasi keamanan dengan menambah aparat militer kembali, tetapi apa yang terjadi adalah pelanggaran HAM besar-besaran di Aceh. Kemudian rezim Orde Baru berakhir, 1998 status Aceh sebagai daerah operasi militer DOM dicabut. Konflik GAM dan TNI memanas, penyelesaian perdamaian terus dilakukan. Kekejaman militer berlanjut sehingga hal ini memaksa mahasiswa Aceh merumuskan ulang posisi Aceh di dalam Indonesia. Melalui Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau KOMPAS Tahun 1999, masyarakat Aceh mengirimkan pesan khusus terhadap Jakarta: Aceh sudah muak terus menerus menjadi bagian dari Indonesia; Aceh ingin merdeka. Sejak itulah lembaga perjuangan masyarakat sipil Aceh, Sentral Informasi Referendum Aceh SIRA dilahirkan sebagai lembaga yang memperjuangkan referendum penentuan nasib sendiri untuk rakyat Aceh di bawah pengawasan internasional. Tak tanggung-tanggung, mereka mengusung dua opsi radikal untuk Aceh: Bergabung dengan Indonesia atau pisah Merdeka. Hal ini memaksa pemerintah untuk mencari alternatif penyelesaian konflik tersebut. Pada bulan Mei tahun 2000 diberlakukan Jeda Kemanusiaan untuk dapat membantu rakyat Aceh meskipun tidak efektif. Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center HDC, sebuah LSM internasional. Universitas Sumatera Utara Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya Confidence Building MeasuresCBM yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog. Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata. Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI. Kekerasan kembali terjadi dan selanjutnya pembicaraam politik kembali terjadi dengan dicapainya Cessation of Hostilities Agreement CoHA, 9 Desember 2002 di Jenewa untuk penghentian permusuhan di Aceh yang ditindaklanjuti pembentukan Komite Keamanan Bersama KKB Joint Security Committee JSC selaku pemantau kesepakatan. CoHA juga tak dapat bertahan lama, karena sulitnya membangun kepercayaan di antara para pihak bertikai. GAM tetap pada pendiriannya menuntut kemerdekaan untuk Aceh, sementara RI memaksakan otonomi sebagai solusi penyelesaian Aceh. CoHA pun gagal dipertahankan. 61 Tepatnya tanggal 19 Mei 2003, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003 tentang maklumat perang dalam bentuk pemberlakuan Darurat Militer di Aceh dan diperpanjang dengan Darurat 61 Persetujuan RI-GAM di Tokyo, loc.cit. Universitas Sumatera Utara Sipil. 62 Kekuatan militer dikerahkan secara besar-besaran ke Aceh. Inilah pengerahan Militer secara besar-besaran setelah invasi ke Timor-Timur pada Tahun 1975. Tak ada orang yang bisa meramalkan kapan perang itu akan berakhir. Kenyataannya kontak senjata belum juga berakhir menjadikan kemudian pihak GAM meminta kembali penjadwalan perundingan Dewan Bersama Joint Council di Geneva. Tetapi pemerintah lebih memilih memfokuskan diri pada rencana empat operasi penanganan Aceh, yaitu operasi kemanusiaan, penegakan hukum, pemantapan pemerintahan, dan operasi pemulihan keamanan ketimbang perundingan dengan GAM lewat Pertemuan Dewan Bersama yang difasilitasi Henry Dunant Center HDC. Dalam perjalanannya HDC ternyata gagal dalam pengawasannya. Pada tahun 2004 dilaksanakan Pemilu di Aceh dalam bayangan darurat militer sebagai pengamanan pelaksana juga memberikan rasa aman bagi rakyat untuk melakukan hak pilihnya pada saat persta demokrasi tersebut berlangsung. Kondisi Aceh semakin diperparah ketika di penghujunga tahun 2004, Aceh di guncang gempa dan gelombang tsunami yang menghancurkan bagian pesisir dan sebagian kota Banda Aceh. Ribuan jiwa meningal dan kehilangan harta dan tempat tinggalnya. Perdamaian menjadi harapan besar bagi rakyat Aceh. Setalah gempa dan tsunami meluluhlantakan Aceh, awal tahun 2005 pemerintah Indonesia intensif berunding dengan wakil GAM. Kali ini Crisis Management Inisiative CMI pimpinan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari sebagai fasilitator. Pejabat Indonesia yang aktif dalam perundingan ini antara lain Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin serta Menteri Komunikasi dan 62 Thamrin Ananda, Darurat Militer Aceh dan Pemilu 2004, Serambi Indonesia, 2004. Universitas Sumatera Utara Informatika Sofyan Djalil dan dipihak GAM adalah Malik Mahmud. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan damai yang tertuang dalam Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding MoU antara pemerintah RI dan GAM di Helsinki, Finlandia, tepatnya tanggal 15 Agustus 2005 sebagai langkah awal mewujudkan perdamaian di Aceh secara permanent dan bermartabat.

2.2. Implementasi MoU Helsinki