PERSIS Sebagai Lembaga Pendidikan
42
kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa yang pada mulanya juga dibatasi hanya untuk para anggota saja.
Muhammad Zamzam dan A. Hassan sangat aktif mengajar pada kursus-kursus ini, dengan menyampaikan berbagai persoalan keagamaan
terutama mengenai soal-soal iman serta ibadah dengan menolak kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik pada waktu itu, seperti
poligami dan nasionalisme juga dibicarakan. Aktivitas penyelenggaraan kelas pendidikan aqidah dan ibadah serta kursus-kursus tersebut telah
dimulai sejak tahun 1924.
29
PERSIS sebagai lembaga pendidikan juga menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana dan wahana bagi tercapainya tujuan PERSIS.
Pada tahun 1930, di Bandung diselenggarakan pertemuan antara PERSIS dengan tokoh umat Islam yang menaruh perhatian terhadap pendidikan
generasi muda Islam. Pertemuan tersebut telah menghasilkan satu keputusan untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan Islam, berusaha
memadukan dan mengembangkan pelajaran dan pengetahuan modern dengan pendidikan dan pengajaran Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
Program yang telah disetujui dalam pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memenuhi kekurangan pelajaran bagi generasi muda
mengingat mereka haus sekali terhadap pengetahuan modern dan sesuai pula dengan penghematan pemerintah dalam
pendidikan.
b. Mengatur pendidikan dan pengajaran generasi muda dengan
berdasarkan kepada jiwa Islam dan mempraktikkannya secara lebih rapi.
c. Mengatur dan menjaga pendidikan generasi muda agar
mereka tidak bergantung kepada gaji dan honor setelah keluar dari sekolah dan dapat bekerja dan percaya kepada
kemampuan sendiri.
30
29
Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan PERSIS 1923-1983, Bandung : Gema Syahida,1995 h. 43
30
Thohir Luth, op.cit., h. 39
43
Untuk mencapai tujuan itu, usaha yang dilakukan ialah mendirikan sekolah-sekolah seperti Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO,
Pertukangan dan perdagangan, kursus-kursus dan ceramah-ceramah. Pada tahun 1930, salah seorang anggota PERSIS yang bernama
A. Banama, mendirikan sekolah Pendidikan Islam, yang digunakan PERSIS sebagai fasilitas pertama bagi sekolah dasar berkelas. Sekolah
pendidikan Islam tersebut kemudian dipimpin oleh M. Natsir. Dua tahun kemudian pada 1932 didirikan sekolah menengah dan sekolah guru di
Bandung. Para pelajar sekolah menengah dan sekolah guru PERSIS itu harus mengikuti disiplin yang ketat. Pada masa penerimaan murid baru,
para pelajar itu harus membaca Syahadat dan mengambil sumpah dengan menyatakan:
31
1 Menjunjung tinggi agama Allah, tunduk dalam hati dan
perkataan, dalam amal dan akhlak, turut kepada perintah Allah dan Rasul-Nya
2 Akan senantiasa memperdalam pengetahuan umumnya dan
dalam ilmu-ilmu keislaman khususnya yang diwajibkan Islam atas setiap muslim dan muslimah
3 Akan senantiasa usaha dengan tiada putusnya memperbaiki dan
mendidik diri sampai menjadi mukmin dalam arti kata yang penuh
4 Wajib sembahyang
5 Tidak akan meninggalkan puasa wajib
6 Akan bersedakah pada jalan Allah berupa harta, tenaga, dan
pikiran sekuatnya 7
Wajib menurut contoh-contoh yang disunatkan rasul dan para sahabatnya
8 Wajib menganggap saudara yang tua sebagai bapak, ibu atau
kakak dan saudara yang muda sebagai anak atau adik, dan yang sesama sebagai saudara kandung sebagaimana yang telah
ditentukan oleh Islam
9 Wajib memakai pakaian menurut Islam
10 Haram menghampiri hal-hal yang melanggar kesopanan Islam
dalam pergaulan lelaki dan perempuan 11
Haram minum arak dan sejenisnya 12
Haram berjudi 13
Haram berdusta 14
Haram berkhianat
31
Dadan Wildan, op.cit, h. 44
44
15 Haram melanggar kesopanan terhadap ibu bapak, wajib
berkhidmat kepada keduanya sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam
Di samping pendidikan formal, PERSIS juga mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama “Pesantren Persatuan Islam” di Bandung pada
tahun 1935 dibawah asuhan Hasan Hamid dan E. Abdurrahman. Pesantren tersebut dibuka pada sore hari. Pesantren ini disebut Pesantren Kecil. Pada
bulan Maret 1936, A. Hassan juga mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren Besar. Kalau pesantren kecil dikhususkan untuk pendidikan
anak-anak, yang ketika itu lebih kurang berjumlah 100 anak, maka pada pesantren besar pendidikan itu ditujukan untuk membentuk kader-kader
mubaligh yang siap mengajar, menyiarkan dan membela Islam. Saat itu santrinya ada 40 orang, di bawah bimbingan E. Abdul Kadir, M. Natsir
dan A. Hassan.
32
Setelah Pesantren Persatuan Islam berjalan kurang lebih tiga tahun, Pesantren besar untuk para pemuda pindah ke Bangil pada bulan
Maret 1940 termasuk A. Hassan dan Muhammad Ali Hamidi putra Ust. Hasan Hamid beserta sekitar 25 orang santri dari 40 orang santri angkatan
pertama, yang ingin meneruskan pelajarannya turut pula pindah ke Bangil. Sedangkan pesantren kecil untuk anak-anak terus berjalan di Bandung di
bawah pimpinan Ust. E. Abdurrahman dan Ust. Qomaruddin. Tempat dan waktu yang biasa dipergunakan oleh pesantren besar dipergunakan oleh
pendidikan Islam, HIS, MULO dan sekolah guru persatuan Islam.
33
Pada tahun 1950, E. Abdullah dan E. Abdurrahman berusaha meningkatkan pendidikan dengan menambah tingkat Tsanawiyah. Pada
tingkat ini diberikan pelajaran umum dengan pembagian pelajaran untuk pelajaran agama Islam diberikan 60 dan untuk pelajaran umum sekitar
40 .
32
Badri Khaeruman, op.cit., h. 52
33
Dadan Wildan, op.cit., h. 45
45
Adapun mata pelajaran keagamaan bersifat pendalaman dan penelaahan mutholaah terhadap mata pelajaran hadits dan Ilmu hadits
Mustholahul Hadits, Rijalul Hadits, dan Riwayat Hadits, Ilmu hukum Ushul Fiqh dan Fiqh, Bahasa Arab Nahwu Sharaf, Balaghah, Bayan,
Badi, Ma’any, pengucapan dan pelafalan. Sedangkan pelajaran umum yang diberikan adalah: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Aritmatika,
Geografi, Psikologi, Ilmu Kesehatan dan Ilmu Pendidikan. Buku pelajaran yang digunakan sebagian besar berbahasa Indonesia, terutama buku-buku
karya A. Hassan, dan sebagian lagi bahasa Arab. Pendirian Pesantren PERSIS tingkat Tsanawiyah ini diikuti
dengan pembangunan
sarana pendidikan.
Pembangunan tempat
pendidikan ini di awali dengan bantuan K.H. Muhammad Zamzam pendiri PERSIS yang mewakafkan bangunan di Jalan Pajagalan No. 77
yang semula berfungsi sebagai gudang. Atas bantuan Ibu Maryam Abdurrahman gudang tersebut diperluas dan diperbaiki selayaknya tempat
pendidikan. Di samping kedua jenjang itu, pada tahun 1955 dibuka pula
bagian Tajhiziyah kelas persiapan dan Mu ’allimin pendidikan guru.
Sejak itulah persatuan Islam bisa menghasilkan tenaga guru yang di- samping menguasai pendidikan pengajaran pesantren juga mempunyai
bekal pengetahuan umum. Mereka yang mampu dan terampil tersebar di daerah- daerah mendirikan pesantren-pesantren PERSIS, sehingga pada
tahun 1963 tercatat sekitar 20 pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan jumlah total siswa sebanyak 6000 orang.
Dalam organisasi, sistem pendidikan pesantren PERSIS dikelola oleh Pusat Pimpinan PERSIS bidang garapan pendidikan sejak tahun
1955. Pada bulan Oktober 1955 di mulai pengiriman para pelajar alumni pesantren PERSIS tingkkat Muallimin untuk belajar di Universitas al-
Azhar Kairo Mesir.
34
34
Dadan Wildan, op.cit., h. 136
46
Guna memperlancar jalannya penyelenggaraan pendidikan pesantren ini, PERSIS menerima dana sumbangan dari uang sumbangan
penyelenggaraan pendidikan dari para siswanya. Dana sumbangan dari para siswa ini tidak cukup untuk semua pengadaan sarana dan prasarana
pendidikan pesantren. Untuk menutupi kebutuhan ini, terutama mengenai bangunan dan fasilitas lainnya, diupayakan dari daan sumbangan anggota
PERSIS, baik berupa infak, shadaqah, dan wakaf. Sistem pendidikan di PERSIS sangat berbeda dengan sistem
pendidikan di Indonesia pada umumnya. PERSIS hanya membuka sekolah-sekolah keagamaan pesantren, sekalipun demikian tidak berarti
bahwa PERSIS anti pendidikan dan pelajaran umum, justru PERSIS memandang tidak ada dikotomi antara pelajaran umum dan agama. Hal ini
terbukti dengan dimasukannya pelajaran-pelajaran umum pada kurikulum pesantren. Sistem pendidikan di PERSIS diarahkan pada pembentukan
para cendekiawan Muslim, para ulama, Muballigh, dan guru-guru agama yang benar-benar berkualitas.
35
Hal ini seperti yang ditulis oleh Latief Muchtar, seorang aktivis Persatuan Islam yang pernah menjabat Ketua Umum periode 1983-1997,
menulis : “sejak tahun 1950 sampai sekarang tampaknya tidak seperti
Muhammadiyah, tidak ada gagasan untuk mendirikan SD, SLTP dan SMU atau model-model sekolah agama yang diselenggarakan
oleh Departemen Agama. Karena, dalam pandangan PERSIS, tujuan pendidikan bukan untuk menjadi Pegawai Negeri. Karena
itu, PERSIS tetap mempertahankan model madrasah dengan jiwa pesantren, sesuai dengan garis kebijakan yang didengungkan pada
tahun 1936. Kebijakan ini tidak hanya untuk tingkat pusat, tetapi juga sampai ke tingkat cabang. Kurikulum pendidikannya sama,
tidak terikat oleh kurikulum sekolah-sekolah Departemen
Agama”.
36
Dalam perkembangan hingga 1980, PERSIS telah mempunyai 78 buah pesantren yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan beberapa kota di
35
Howard M. Fiederspiel,op.cit., h. 125
36
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011, h. 341
47
luar Jawa Barat. Di samping sekolah-sekolah yang didirikan secara resmi dan formal, PERSIS dengan diprakarsai oleh Pemuda PERSIS,
mengadakan pendidikan-pendidikan khusus seperti pesantren kilat. Hal semacam ini merupakan tradisi yang dilakukan A. Hassan dan
Muhammmad Zamzam tahun 1920-an. Adapun maksud diselenggarakan pesantren kilat ini adalah untuk
memenuhi kebutuhan para pemuda terhadap pengetahuan-pengetahuan keagamaan. Pesantren kilat ini dibuka pula bagi kaum muslimin diluar
anggota PERSIS.
Bahkan pada
tahun 1961
PERSIS pernah
menyelenggarakan pesantren kilat di sekolah Tekhnik Penerbangan Indonesia atas permohonan komandannya. Kegiatan ini dipimpin dan
diprakarsai oleh Yunus Anis dari Pimpinan Pusat Pemuda PERSIS.
37
Adapun jenjang pendidikan dalam sistem pendidikan Pesantren Persatuan Islam yang dikembangkan hingga saat ini adalah terdiri dari:
38
a. Tingkat pra sekolah disebut Raudhatul Athfal berisi 80
pelajaran ilmu agama dan 20 pelajaran ilmu pengetahuan umum.
b. Tingkat dasar terdiri dari :
1 Ibtidaiyah berisi 60 pelajaran agama dan 40
pelajaran umum. 2
Diniyah Ula berisi 100 pelajaran agama. c.
Tingkat peralihan disebut Tajhiziyyah berisi 80 pelajaran agama dan 20 pelajaran umum
d. Tingkat menengah pertama terdiri dari :
1 Tsanawiyyah berisi 60 pelajaran agama dan 40
pelajaran umum. 2
Diniyyah Wustha berisi 100 pelajaran agama. e.
Tingkat menengah atas disebut Mu’allimin berisi 55 pelajaran agama dan 45 pelajaran umum.
Demikianlah PERSIS sebagai lembaga pendidikan yang hingga kini masih tetap eksis dan berdiri teguh mempertahankan tujuan dan cita-
cita yang ingin dicapai serta mencetak kader-kader yang ulul albab dan
37
Dadan Wildan, op.cit., h. 137
38
Badri Khaeruman, op.cit., h. 53
48
menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya, baik dari segi aqidah, ibadah, maupun muamalah.