PERSIS Sebagai Lembaga Pendidikan

42 kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa yang pada mulanya juga dibatasi hanya untuk para anggota saja. Muhammad Zamzam dan A. Hassan sangat aktif mengajar pada kursus-kursus ini, dengan menyampaikan berbagai persoalan keagamaan terutama mengenai soal-soal iman serta ibadah dengan menolak kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik pada waktu itu, seperti poligami dan nasionalisme juga dibicarakan. Aktivitas penyelenggaraan kelas pendidikan aqidah dan ibadah serta kursus-kursus tersebut telah dimulai sejak tahun 1924. 29 PERSIS sebagai lembaga pendidikan juga menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana dan wahana bagi tercapainya tujuan PERSIS. Pada tahun 1930, di Bandung diselenggarakan pertemuan antara PERSIS dengan tokoh umat Islam yang menaruh perhatian terhadap pendidikan generasi muda Islam. Pertemuan tersebut telah menghasilkan satu keputusan untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan Islam, berusaha memadukan dan mengembangkan pelajaran dan pengetahuan modern dengan pendidikan dan pengajaran Islam dalam arti yang seluas-luasnya. Program yang telah disetujui dalam pertemuan tersebut adalah sebagai berikut: a. Memenuhi kekurangan pelajaran bagi generasi muda mengingat mereka haus sekali terhadap pengetahuan modern dan sesuai pula dengan penghematan pemerintah dalam pendidikan. b. Mengatur pendidikan dan pengajaran generasi muda dengan berdasarkan kepada jiwa Islam dan mempraktikkannya secara lebih rapi. c. Mengatur dan menjaga pendidikan generasi muda agar mereka tidak bergantung kepada gaji dan honor setelah keluar dari sekolah dan dapat bekerja dan percaya kepada kemampuan sendiri. 30 29 Dadan Wildan, Sejarah Perjuangan PERSIS 1923-1983, Bandung : Gema Syahida,1995 h. 43 30 Thohir Luth, op.cit., h. 39 43 Untuk mencapai tujuan itu, usaha yang dilakukan ialah mendirikan sekolah-sekolah seperti Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO, Pertukangan dan perdagangan, kursus-kursus dan ceramah-ceramah. Pada tahun 1930, salah seorang anggota PERSIS yang bernama A. Banama, mendirikan sekolah Pendidikan Islam, yang digunakan PERSIS sebagai fasilitas pertama bagi sekolah dasar berkelas. Sekolah pendidikan Islam tersebut kemudian dipimpin oleh M. Natsir. Dua tahun kemudian pada 1932 didirikan sekolah menengah dan sekolah guru di Bandung. Para pelajar sekolah menengah dan sekolah guru PERSIS itu harus mengikuti disiplin yang ketat. Pada masa penerimaan murid baru, para pelajar itu harus membaca Syahadat dan mengambil sumpah dengan menyatakan: 31 1 Menjunjung tinggi agama Allah, tunduk dalam hati dan perkataan, dalam amal dan akhlak, turut kepada perintah Allah dan Rasul-Nya 2 Akan senantiasa memperdalam pengetahuan umumnya dan dalam ilmu-ilmu keislaman khususnya yang diwajibkan Islam atas setiap muslim dan muslimah 3 Akan senantiasa usaha dengan tiada putusnya memperbaiki dan mendidik diri sampai menjadi mukmin dalam arti kata yang penuh 4 Wajib sembahyang 5 Tidak akan meninggalkan puasa wajib 6 Akan bersedakah pada jalan Allah berupa harta, tenaga, dan pikiran sekuatnya 7 Wajib menurut contoh-contoh yang disunatkan rasul dan para sahabatnya 8 Wajib menganggap saudara yang tua sebagai bapak, ibu atau kakak dan saudara yang muda sebagai anak atau adik, dan yang sesama sebagai saudara kandung sebagaimana yang telah ditentukan oleh Islam 9 Wajib memakai pakaian menurut Islam 10 Haram menghampiri hal-hal yang melanggar kesopanan Islam dalam pergaulan lelaki dan perempuan 11 Haram minum arak dan sejenisnya 12 Haram berjudi 13 Haram berdusta 14 Haram berkhianat 31 Dadan Wildan, op.cit, h. 44 44 15 Haram melanggar kesopanan terhadap ibu bapak, wajib berkhidmat kepada keduanya sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam Di samping pendidikan formal, PERSIS juga mendirikan sebuah pesantren yang diberi nama “Pesantren Persatuan Islam” di Bandung pada tahun 1935 dibawah asuhan Hasan Hamid dan E. Abdurrahman. Pesantren tersebut dibuka pada sore hari. Pesantren ini disebut Pesantren Kecil. Pada bulan Maret 1936, A. Hassan juga mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren Besar. Kalau pesantren kecil dikhususkan untuk pendidikan anak-anak, yang ketika itu lebih kurang berjumlah 100 anak, maka pada pesantren besar pendidikan itu ditujukan untuk membentuk kader-kader mubaligh yang siap mengajar, menyiarkan dan membela Islam. Saat itu santrinya ada 40 orang, di bawah bimbingan E. Abdul Kadir, M. Natsir dan A. Hassan. 32 Setelah Pesantren Persatuan Islam berjalan kurang lebih tiga tahun, Pesantren besar untuk para pemuda pindah ke Bangil pada bulan Maret 1940 termasuk A. Hassan dan Muhammad Ali Hamidi putra Ust. Hasan Hamid beserta sekitar 25 orang santri dari 40 orang santri angkatan pertama, yang ingin meneruskan pelajarannya turut pula pindah ke Bangil. Sedangkan pesantren kecil untuk anak-anak terus berjalan di Bandung di bawah pimpinan Ust. E. Abdurrahman dan Ust. Qomaruddin. Tempat dan waktu yang biasa dipergunakan oleh pesantren besar dipergunakan oleh pendidikan Islam, HIS, MULO dan sekolah guru persatuan Islam. 33 Pada tahun 1950, E. Abdullah dan E. Abdurrahman berusaha meningkatkan pendidikan dengan menambah tingkat Tsanawiyah. Pada tingkat ini diberikan pelajaran umum dengan pembagian pelajaran untuk pelajaran agama Islam diberikan 60 dan untuk pelajaran umum sekitar 40 . 32 Badri Khaeruman, op.cit., h. 52 33 Dadan Wildan, op.cit., h. 45 45 Adapun mata pelajaran keagamaan bersifat pendalaman dan penelaahan mutholaah terhadap mata pelajaran hadits dan Ilmu hadits Mustholahul Hadits, Rijalul Hadits, dan Riwayat Hadits, Ilmu hukum Ushul Fiqh dan Fiqh, Bahasa Arab Nahwu Sharaf, Balaghah, Bayan, Badi, Ma’any, pengucapan dan pelafalan. Sedangkan pelajaran umum yang diberikan adalah: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Aritmatika, Geografi, Psikologi, Ilmu Kesehatan dan Ilmu Pendidikan. Buku pelajaran yang digunakan sebagian besar berbahasa Indonesia, terutama buku-buku karya A. Hassan, dan sebagian lagi bahasa Arab. Pendirian Pesantren PERSIS tingkat Tsanawiyah ini diikuti dengan pembangunan sarana pendidikan. Pembangunan tempat pendidikan ini di awali dengan bantuan K.H. Muhammad Zamzam pendiri PERSIS yang mewakafkan bangunan di Jalan Pajagalan No. 77 yang semula berfungsi sebagai gudang. Atas bantuan Ibu Maryam Abdurrahman gudang tersebut diperluas dan diperbaiki selayaknya tempat pendidikan. Di samping kedua jenjang itu, pada tahun 1955 dibuka pula bagian Tajhiziyah kelas persiapan dan Mu ’allimin pendidikan guru. Sejak itulah persatuan Islam bisa menghasilkan tenaga guru yang di- samping menguasai pendidikan pengajaran pesantren juga mempunyai bekal pengetahuan umum. Mereka yang mampu dan terampil tersebar di daerah- daerah mendirikan pesantren-pesantren PERSIS, sehingga pada tahun 1963 tercatat sekitar 20 pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan jumlah total siswa sebanyak 6000 orang. Dalam organisasi, sistem pendidikan pesantren PERSIS dikelola oleh Pusat Pimpinan PERSIS bidang garapan pendidikan sejak tahun 1955. Pada bulan Oktober 1955 di mulai pengiriman para pelajar alumni pesantren PERSIS tingkkat Muallimin untuk belajar di Universitas al- Azhar Kairo Mesir. 34 34 Dadan Wildan, op.cit., h. 136 46 Guna memperlancar jalannya penyelenggaraan pendidikan pesantren ini, PERSIS menerima dana sumbangan dari uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan dari para siswanya. Dana sumbangan dari para siswa ini tidak cukup untuk semua pengadaan sarana dan prasarana pendidikan pesantren. Untuk menutupi kebutuhan ini, terutama mengenai bangunan dan fasilitas lainnya, diupayakan dari daan sumbangan anggota PERSIS, baik berupa infak, shadaqah, dan wakaf. Sistem pendidikan di PERSIS sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia pada umumnya. PERSIS hanya membuka sekolah-sekolah keagamaan pesantren, sekalipun demikian tidak berarti bahwa PERSIS anti pendidikan dan pelajaran umum, justru PERSIS memandang tidak ada dikotomi antara pelajaran umum dan agama. Hal ini terbukti dengan dimasukannya pelajaran-pelajaran umum pada kurikulum pesantren. Sistem pendidikan di PERSIS diarahkan pada pembentukan para cendekiawan Muslim, para ulama, Muballigh, dan guru-guru agama yang benar-benar berkualitas. 35 Hal ini seperti yang ditulis oleh Latief Muchtar, seorang aktivis Persatuan Islam yang pernah menjabat Ketua Umum periode 1983-1997, menulis : “sejak tahun 1950 sampai sekarang tampaknya tidak seperti Muhammadiyah, tidak ada gagasan untuk mendirikan SD, SLTP dan SMU atau model-model sekolah agama yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Karena, dalam pandangan PERSIS, tujuan pendidikan bukan untuk menjadi Pegawai Negeri. Karena itu, PERSIS tetap mempertahankan model madrasah dengan jiwa pesantren, sesuai dengan garis kebijakan yang didengungkan pada tahun 1936. Kebijakan ini tidak hanya untuk tingkat pusat, tetapi juga sampai ke tingkat cabang. Kurikulum pendidikannya sama, tidak terikat oleh kurikulum sekolah-sekolah Departemen Agama”. 36 Dalam perkembangan hingga 1980, PERSIS telah mempunyai 78 buah pesantren yang tersebar di seluruh Jawa Barat dan beberapa kota di 35 Howard M. Fiederspiel,op.cit., h. 125 36 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011, h. 341 47 luar Jawa Barat. Di samping sekolah-sekolah yang didirikan secara resmi dan formal, PERSIS dengan diprakarsai oleh Pemuda PERSIS, mengadakan pendidikan-pendidikan khusus seperti pesantren kilat. Hal semacam ini merupakan tradisi yang dilakukan A. Hassan dan Muhammmad Zamzam tahun 1920-an. Adapun maksud diselenggarakan pesantren kilat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan para pemuda terhadap pengetahuan-pengetahuan keagamaan. Pesantren kilat ini dibuka pula bagi kaum muslimin diluar anggota PERSIS. Bahkan pada tahun 1961 PERSIS pernah menyelenggarakan pesantren kilat di sekolah Tekhnik Penerbangan Indonesia atas permohonan komandannya. Kegiatan ini dipimpin dan diprakarsai oleh Yunus Anis dari Pimpinan Pusat Pemuda PERSIS. 37 Adapun jenjang pendidikan dalam sistem pendidikan Pesantren Persatuan Islam yang dikembangkan hingga saat ini adalah terdiri dari: 38 a. Tingkat pra sekolah disebut Raudhatul Athfal berisi 80 pelajaran ilmu agama dan 20 pelajaran ilmu pengetahuan umum. b. Tingkat dasar terdiri dari : 1 Ibtidaiyah berisi 60 pelajaran agama dan 40 pelajaran umum. 2 Diniyah Ula berisi 100 pelajaran agama. c. Tingkat peralihan disebut Tajhiziyyah berisi 80 pelajaran agama dan 20 pelajaran umum d. Tingkat menengah pertama terdiri dari : 1 Tsanawiyyah berisi 60 pelajaran agama dan 40 pelajaran umum. 2 Diniyyah Wustha berisi 100 pelajaran agama. e. Tingkat menengah atas disebut Mu’allimin berisi 55 pelajaran agama dan 45 pelajaran umum. Demikianlah PERSIS sebagai lembaga pendidikan yang hingga kini masih tetap eksis dan berdiri teguh mempertahankan tujuan dan cita- cita yang ingin dicapai serta mencetak kader-kader yang ulul albab dan 37 Dadan Wildan, op.cit., h. 137 38 Badri Khaeruman, op.cit., h. 53 48 menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya, baik dari segi aqidah, ibadah, maupun muamalah.

2. Kontribusi Pendidikan M. Natsir di PERSIS

a. Pemikiran

Sosok M. Natsir memang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dari PERSIS. Dikemukakan dalam riwayat hidupnya bahwa M. Natsir benar-benar mempunyai hubungan secara organisatoris dengan Persatuan Islam. Bahkan melalui PERSIS ini M. Natsir dapat bergaul dan mendapat didikan dari tokoh utama PERSIS, yaitu Ahmad Hassan. Disebutkan juga bahwa dari PERSIS Bandung inilah M. Natsir mulai meniti kariernya sebagai seorang pejuang, negarawan dan agamawan. 39 M. Natsir dengan pemikiran-pemikarannya yang luar biasa memiliki kontribusi besar bagi negeri ini, tidak hanya merupakan salah satu tokoh pendiri bangsa, tetapi pemikiran M. Natsir juga berpengaruh besar terhadap pendidikan Islam di Indonesia, bahkan ia dinilai kalangan sebagai pejuang pendidikan Indonesia. Perhatian M. Natsir terhadap generasi muda cukup besar sejak zaman penjajahan. Begitupun dalam masalah pendidikan dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi pada lembaga pesantren dan madrasah- madrasah M. Natsir begitu sangat tanggap. Sikap tanggapnya ini kemudian diantisipasi dengan konsep atau pemikiran-pemikiran sekaligus keterlibatannya di dalam pendidikan sebagai pengelola dan pendidik. Khusus untuk pesantren yang dilaksanakan oleh PERSIS, M. Natsir memang memiliki peranan yang sangat penting baik sebagai pengurus, pengelola, dan bahkan sebagai tenaga pendidik. M. Natsir memang seorang pendidik sehingga tahu apa dan bagaimana pendidikan itu. Beliau menyadari betapa pentingnya pendidikan. Cara pandang M. Natsir mengenai pendidikan sangatlah luas, terlihat ketika beliau menyampaikan pidatonya dalam rapat Persatuan 39 Thohir luth, op.cit., h. 29 49 Islam di Bogor pada tanggal 17 Juni 1934. Judul pidatonya tampak sederhana, tetapi kajiannya cukup mendasar, yaitu “Ideologi Pendidikan Islam”. Dikatakannya : “Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka.Tak ada bangsa yang terbelakang menjadi maju, melainkan sesudah mengadakan dan memperbaiki pendidikan anak-anak dan pemuda mereka. Bangsa Jepang, satu bangsa Timur yang sekarang menjadi buah mulut seluruh orang dunia karena majunya, masih akan terus tinggal dalam kegelapan sekiranya mereka tidak membukakan pintu negerinya yang selama ini tertutup rapat bagi orang-orang pintar dan ahli-ahli ilmu negeri lain yang akan memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan kepada pemuda- pemuda mereka, di samping mengirim pemuda-pemuda mereka ke luar negeri mencari ilmu. Spanyol, satu negeri di Benua Barat, yang selama ini termasuk golongan bangsa kelas satu, jatuh merosot ke kelas bawah sesudah enak dalam kesenangan mereka dan tidak mempedulikan pendidikan pemuda-pemuda yang akan menggantikan pujangga- pujangga bangsa di hari kelak.” 40 Dua negara yang ditampilkan M. Natsir mewakili negara-negara di Timur dan di Barat, adalah contoh konkret betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan bangsa. Maksudnya adalah kemajuan suatu negara sangat bergantung kepada kepedulian negara tersebut terhadap pendidikan. Demikian pula merosot atau keterbelakangan suatu negara terletak pada ketidakpedulian negara tersebut terhadap pendidikan. Kenyataan ini tidak lagi dirasakan kedua negera tersebut saja tetapi juga dirasakan oleh berbagai negara di dunia ini, termasuk negara Republik Indonesia. Dengan demikian, pendidikan merupakan tolak ukur peradaban orang perorangan atau suatu bangsa. M. Natsir memandang yang terpenting dalam kehidupan seseorang adalah terjaminnya suatu hak berpendidikan, karena pendidikan menjadi prasyarat kemajuan sebuah bangsa. Maju atau mundurnya suatu bangsa, salah satu faktor utamanya adalah dilatar belakangi pendidikan. Dalam ijtihadnya terhadap ilmu-ilmu keislaman, M. Natsir menginginkan suatu 40 M. Natsir, Capita Selecta, Jakarta:Bulan Bintang, 1954, h. 77 50 pendidikan yang universal, integral dan harmonis yang terjadi di Indonesia. 41 Ia mengatakan dunia pendidikan adalah bagian dari kekuatan Umat Islam yang harus senantiasa dijaga, dipikirkan dan diberdayakan. Ada tiga kekuatan untuk memberdayakan umat, yaitu masjid, kampus, dan pesantren. Ini adalah basis pendidikan untuk membangun kekuatan Islam, maka perlu diperhatikan dan dikembangkan. Menurut M. Natsir landasan atau dasar dari pendidikan adalah tauhid. 42 Pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk sebelum didahului oleh materi, ideologi dan pemahaman lain. Supaya ia memiliki daya hubungan transedental antara sang Khaliq dengan mahluknya. Sebaliknya, meninggalkan dasar tauhid dalam pendidikan anak merupakan kelalaian yang amat besar. Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan, harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang hendak diberikan kepada generasi yang kita latih, kalau kita sebagai guru ataupun sebagai ibu-bapa, betul-betul cinta kepada anak- anak yang dipertaruhkan Allah kepada kita. 43 M. Natsir begitu mewanti-wanti kepada seluruh umat Islam untuk tidak meremehkan pendidikan Tauhid, bahkan sesulit apapun dan dalam situasi seperti apapun, pendidikan Tauhid itu harus tetap diberikan kepada mereka generasi muslim. Bahkan menurut M. Natsir, pendidikan Tauhid harus diberikan kepada generasi muda yang siap mengembangkan Islam sebelum mereka dikuasai oleh materi yang tidak islami. M. Natsir dengan tegas menyampaikan bahwa sebuah pendidikan yang tidak memusatkan materinya kepada pengetahuan Tauhid, maka dapat dipastikan pendidikan tersebut telah melakukan kesalahan besar berupa penghianatan intelektual. Karena disadari atau tidak, dengan tidak memberikan pendidikan Tauhid yang telah menjadi dasar pendidikan, 41 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2009, h. 119 42 Ibid., h. 123 43 M. Natsir, op.cit., h. 142 51 anak-anak sebenarnya telah di arahkan pada jurang kesesatan. Karena bagi M. Natsir, perjalanan hidup yang telah sempurna secara materi, tetapi tidak dibekali dengan Tauhid maka kehidupannya akan sia-sia. 44 Bagi M. Natsir, interaksi makhluk dengan makhluk dapat diselenggarakan kapan saja, tetapi hubungan makhluk dengan Tuhannya tidak boleh menunggu waktu apalagi ditunda-tunda. Karenanya, pendidikan Tauhid menurut M. Natsir, tidak usah menunggu anak tumbuh menjadi besar atau pula menunggu usia lanjut. Penungguan waktu semacam itu akan berakibat fatal terhadap perkembangan anak muslim. 45 Untuk meyakinkan masyarakat akan pentingnya ilmu ketuhanan tersebut M. Natsir mengemukakan sebuah dalil al- Qur’an surat Luqman ayat 13 dan 14:                                   “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar. Ddan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada- Kulah kembalimu.” Salah satu titik tekan pendidikan yang diinginkan oleh M. Natsir, orang tua harus memberikan pendidikan tentang dasar-dasar ketuhanan Tauhid. Pendidikan semacam itu sangatlah penting bagi anak mengingat 44 Ibid., h. 143 45 Ibid., h. 143 52 pendidikan tersebut merupakan pintu utama dalam meraih keuntungan akhirat nantinya. Disini Abudin Nata melihat, melalui dan dengan adanya dasar ketauhidan akan tercipta pendidikan yang integral yakni antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Bagi Islam modernis tidak akan ada pertentangan antara dunia dan akhirat. Semua pendidikan menurutnya bertumpu pada dasar tujuan tertentu. Dasar dan tujuan tersebut terkandung dalam ajaran tauhid. 46 Sedangkan mengenai masalah tujuan bahwa tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh M. Natsir adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Singkatnya menurut M. Natsir tujuan pendidikan adalah tujuan hidup. 47 Bagi M. Natsir fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri kepada Allah SWT semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini juga yang disimpulkan oleh Abuddin Nata tentang tujuan pendidikan Islam menurut M. Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya adalah pendidikan. Selain itu bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan keduanya. Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam sama dengan 46 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005, h. 87 47 M. Natsir, Capita Selecta, Jakarta:Bulan Bintang, 1954, h. 21 53 tujuan kehidupan manusia, tujuan ini tercermin dalam al Qur’an Surat Al- An’am : 162           “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Ayat itu selalu menjadi rujukan M. Natsir untuk mengembangkan pemikirannya lewat pendidikan Islam. Menurutnya, tujuan hidup pada dasarnya merupakan hakikat untuk tunduk, patuh dan beribadah pada Allah Swt., menjalankan perintah serta menjauhi larangan-larangan-Nya adalah manifestasi dari eksistensi ketundukan tersebut oleh sebab itu nilai- nilai tauhid harus menjadi pondasi utama dalam pendidikan. 48 M. Natsir menginginkan pendidikan yang integral di mana konsep pendidikan yang terjadi dalam pendidikan tersebut adalah memadukan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. 49 Ia menolak antara mempertentangkan barat dan timur. Islam hanya mengenal antagonisme antara hak dan bathil, semua yang hak itu harus diterima biar kendati datangnya dari Barat. Sebaliknya, semua yang bathil perlu disingkirkan, meskipun datangnya dari Timur. Pada intinya, Pendidikan Islam seharusnya tidak perlu memandang dikotomi antara keilmuan agama dan umum. Semestinya pendidikan Islam harus bisa mengintegralkan dan mensejajarkan keilmuan tersebut, karena bagi M. Natsir semua ilmu pengetahuan tidak ada yang berdiri sendiri namun semua dari Tuhan. Kaitannya dengan fungsi dan tujuan Pendidikan Islam, M. Natsir memiliki enam rumusan penting. Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna. Kedua, 48 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Gaya Media Pratama, 1995, h. 78 49 Iskandar Z. dkk, Dinamika Ilmu, Samarinda: STAIN Samarinda, 2004, h. 103