29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
1. Riwayat Hidup M. Natsir
M. Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang, terlahir di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat pada hari Jum’at
tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 dari seorang wanita yang bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad
Idris Sutan Saripodo, seorang pegawai rendah sebagai juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau dan sipir penjara Sulawesi Selatan.
1
M. Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung, yaitu Yukinan, Rubiyah, dan
Yohanusun. Layaknya anak-anak Minang, M. Natsir kecil juga menghabiskan waktu di surau untuk mengaji dan bersenda gurau. Pendidikan di surau
tidaklah cukup. M. Natsir kecil sangat ingin belajar di sekolah modern.
2
Pada tahun 1916, M. Natsir berumur delapan tahun telah mempunyai angan-angan ingin masuk sekolah rendah berbahasa Belanda, yaitu Holands
Inlandse School HIS. Pada tahun 1912 pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah kelas 1 berbahasa Belanda, dan kemudian pada tahun
1915 sekolah itu diberi nama HIS. Murid-murid yang bisa memasuki sekolah tersebut adalah anak demang, yaitu kepala distrik seperti wedena atau anak
pegawai pemerintah lainnya. Anak-anak dari golongan kaum petani atau kaum buruh dan pegawai kecil tidak memasukinya.
Ayahnya Idris Sutan Saripado bekerja sebagai juru tulis kontroler di Minanjau, Kabupaten Agam. M. Natsir di sekolahkan di sekolah Gubernemen
kelas II dengan berbahasa melayu. Dengan ayahnya pegawai kecil pada pemerintah, keinginan M. Natsir untuk sekolah HIS tidak terpenuhi.
Kegembiraan M. Natsir muncul, ketika makciknya Rahim membawa tinggal
1
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, h. 73
2
Artawijaya, “M. Natsir Maestro Dakwah Yang Tak Kenal Lelah”, Al-Mujtama’, h. 2
30
bersama di Padang, karena kota Padang ada sekolah HIS. Dengan harapan ia mendapat kesempatan sekolah yang diinginkannya.
3
Namun kenyataannya bahwa ia tidak bisa masuk sekolah HIS tersebut. M. Natsir bukanlah anak
pegawai tinggi, ia hanyalah anak juru tulis. Meski impiannya kandas untuk bersekolah di HIS Padang, M. Natsir
tak patah arang. Ia kemudian bersekolah di HIS Adabiyah Padang, sebuah sekolah yan diperuntukkan bagi anak-anak pribumi dari keluarga
berpenghasilan rendah. Selama bersekolah disini, M. Natsir dititipkan kepada mamaknya yang biasa ia sapa Makcik Ibrahim.
4
Selama lima bulan di Padang, ia melewati kehidupan dengan perjuangan berat. Ia memasak nasi, mencuci pakaian sendiri, dan mecari kayu
bakar di pantai. Kehidupan yang berat tersebut dilalui dengan senang hati. Kesulitan-kesulitan yang dirasakannya itu menimbulkan kesadaran padanya.
Kesadaran, bahwa rasa bahagia itu tidaklah terletak pada kemewahan dan keadaan segala cukup. Rasa bahagia itu lebih banyak timbul dari kepuasan
serta dari hati yang tidak tertekan dan bebas.
5
Selepas dari Makcik Ibrahim, ia kemudian dipindahkan ke HIS pemerintahan di Solok. Oleh ayahnya, M.
Natsir dititipkan ke Haji Musa, seorang saudagar kaya di daerah tersebut. Di daerah Solok inilah M. Natsir pertama kali belajar bahasa Arab
dan Fiqih kepada tunaku Mudo Amin di samping bersekolah di HIS di pagi hari. Sore hari, ia belajar di madrasah diniyah dan di malam hari belajar
mengaji. Pendapat di atas sejalan dengan pernyataan M. Natsir sendiri seperti
yang disarikan oleh Yaswirman, di mana M. Natsir menuturkan sebagai berikut:
6
3
Yusuf Abdullah Puar, M. Natsir 70 tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan,
Jakarta:Pustaka Antara: 1978, h. 4
4
Artawijaya, op.cit, h. 2
5
Yusuf Abdullah Puar, op.cit., h. 5
6
Saidan, Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan al Bana dan M. Natsir, Jakarta:Kementrian Agama RI, 2011, h. 142
31
“Sejak kecil makanan saya sehari-hari adalah mengaji. Sejak di Hollands Islands School HIS saya sudah ngaji di surau. Menginjak
kelas II, saya tinggal di rumah seorang saudagar, Haji Musa namanya di Solok. Selepas maghrib, malam hari saya mengaji. Kebetulan waktu
itu ada guru ngaji tamatan sekolah Thawalib Padang Panjang” Di samping belajar, ia juga mengajar dan menjadi guru bantu kelas 1
pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia pindah ke Padang atas ajakan kakaknya Rubiah. Di HIS Padang itulah M. Natsir masuk kelas lima dan
bersekolah di situ selama tiga tahun hingga selesai pada tahun 1923. Setelah lulus dari HIS, M. Natsir mengajukan permohonan untuk mendapat beasiswa
dari MULO Meer Uitgebreid Lager Orderwijs dan ternyata lamarannya itu diterima. M. Natsir aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat
ekstrakurikuler, tetapi kegiatan kurikuler di MULO tetap menjadi perhatiannya. Di MULO Padang inilah M. Natsir mulai aktif dalam
organisasi. Ia masuk menjadi anggota Pandu Nationale Islamietische Pavinderij Natipij, sejenis Pramuka sekarang, dari perkumpulan Jong
Islamieten Bond Serikat Pemuda Islam yang diketuai oleh Sanusi Pane. Menurut M. Natsir organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkan
di sekolah, dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai
pemimpin bangsa pada M. Natsir.
7
2. Kiprah dan Perjuangan M. Natsir
Kiprah dan perjuangan M. Natsir terlihat saat dia belajar MULO Meer Uitgebreid Lager Orderwijs. Ia aktif di berbagai kegiatan seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya. Aktivitas M. Natsir semakin berkembang ketika ia menjadi siswa di Algememe Midelbare School AMS di Bandung.
Di kota Bandung inilah bermula sejarah panjang perjuangannya. Beliau belajar agama Islam secara mendalam dan berkecimpung dalam gerakan
politik, dakwah, dan pendidikan. Di kota ini M. Natsir bertemu dengan tokoh
7
Thohir Luth, Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta:Gema Insani Press, 1999, h. 23