Media Massa [Televisi] : Ancaman Bagi Moralitas.

154 pendakwah yang mengajak masyarakat untuk membina moralitas yang dikenalkan melalui konsep-konsep akhlak seperti kesabaran, ketundukan, ketabahan dan sebagainya dalam penjelasan dari ayat-ayat yang mewarnai teks-teks tersebut. 4. Media Massa [Televisi] : Ancaman Bagi Moralitas. Satu judul yang menyinggung tentang efek negatif media massa adalah Tontonan Penghancur Moral Bangsa. Tontonan yang dimaksud adalah seperti kutipan di bawah ini ; Merebaknya video mesum porno yang kini banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan generasi muda, sungguh sangat memprihatinkan. Jika hal ini terus berlangsung tanpa kendali, maka moral bangsa akan semakin hancur dan terpuruk. Dan ini akan berakibat pada kehidupan lain secara lebih luas. Ekonomi akan terganggu, pendidikan terguncang, politik jadi tidak bermoral, budaya dan tradisi bangsa tercampakkan, serta nilai-nilai agama akan terpinggirkan. Prolog teks ini kemudian diarahkan pada pembahasan tentang zina dengan mengutip ayat dan hadis. Solusi yang ditawarkan adalah berbentuk komitmen seluruh komponen bangsa untuk menjauhinya. Selanjutnya adalah internalisasi nilai-nilai agama secara konsisten dalam pikiran, jiwa dan perilaku masyarakat dan bangsa. Adapun pelaku dikenakan hukuman yang menimbulkan efek jera yakni seperti dalam ayat yang dikutip. Tawaran solusi dari teks tersebut tidak jauh berbeda dengan teks-teks yang dibahas sebelumnya, yakni tidak keluar dari pembinaan akhlak individu dan bersifat normatif. 155 Jika teks di atas melihat media sebagai penyebab banyaknya perzinahan, maka dalam teks Menumbuhkan Perilaku Sopan Santun dan Lembut Hati melihat segala macam tayangan televisi yang ada sekarang bersifat destruktif. Seperti terlihat dalam cuplikan di bawah ini ; Dalam suatu masyarakat yang masih memegang teguh al-Qur’an dan as-Sunnah dan benar-benar membersihkan dari segenap godaan dan rayuan kemaksiyatan, akan banyak ditemukan manusia-manusia yang berperangai lembut, penuh sopan santun dan kasih sayang. Namun suasana zaman dihari ini, di negeri ini, dimana setiap orang dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi telah bisa melihat tayangan-tayangan kejahatan, kekerasan, kebrutalan, kebengisan, kegarangan, kemarahan, kekejaman, kekejian, yang ditampilkan dari berbagai jenis multi media. Walaupun diamana-mana merebak pengajian-pengajian yang mengajak orang keluar dari kebodohan, mengajak orang untuk menjadi orang shalih, namun masih saja umat manusia terkontaminasi dengan rangsangan-rangsangat kekejian dan kejahatan tersebut. Sehingga walaupun rajin mengaji, namun belum pula tumbuh iman dan kasih sayang, sopan santun dan kelembutan hati. Tidak dijelaskan maksud dari tayangan kejahatan dan sebagainya, apakah kejahatan yang dikemas dalam bentuk berita yang sifatnya informatif atau seperti apa. Terlepas dari itu, tayangan media televisi pada dasarnya memiliki dua sisi, baik dan buruk. Dua sisi berbeda ini menyatu dalam perdebatan pro dan kontra berbagai pihak. Konsekuensi dari perbedaan pandangan ini adalah “kebingungan publik”. Dalam kebingungan itu kemungkinan yang dapat dilakukan masyarakat hanya meraba di antara wajah humanis dan bengis televisi. Teknologi tidak pernah netral atau bebas nilai dari kungkungan kaum kapitalis. Pendekatan kritis [critical approach] memang diperlukan 156 dalam menghadapi derasnya arus era digital saat ini. 143 Hanya saja konsumen televisi sangat bervariatif, yang dimungkinkan tidak semuanya menggunakan logika kritisnya pada saat menonton televisi yang seolah “menghipnotis” pemirsanya. Lumpuhnya logika kritis ini terbukti dengan lebih diminatinya isu-isu “individual privacy” dalam televisi seperti berita seputar perselingkuhan, perzinahan, cerai rujuk dan peristiwa privasi yang dikemas secara vulgar. Tayangan seperti ini dapat menimbulkan voyeurisme, sebuah bentuk keingintahuan yang berlebihan sehingga menjadi gosip visual. Tayangan seperti ini yang tampaknya meresahkan lembaga MTA yang notabene lembaga dakwah, berkepentingan mengubah sikap yang dianggap tidak Qur’ani di masyarakat sehingga memunculkan “tandingan” berupa tontonan yang menjadi tuntunan dengan memilih strategi dakwah melalui televisi “MTA TV”. Strategi dakwah melalui teknologi seperti ini menjadi strategi yang progresif karena beranjak dari metode konvensional [bil dan bil ]. Sejalan dengan kemajuan teknologi, bersikap apriori terhadapnya tidak akan menyelesaikan persoalan-persoalan ummat. Pilihan untuk berdakwah dengan strategi seperti ini terlebih di bawah naungan sebuah lembaga berbasis manajemen lembaga yang rapi menjadi pilihan 143 Andi Andrianto, “Dua Wajah Televisi Kita”, dalam Reformulasi Komunikasi; Mengusung Nilai Dakwah Dalam Media Massa [Yogyakarta: CV. Arta Wahyu Sejahtera, 2008], hlm. 73. 157 yang tepat dan efektif, tentu saja dengan metode, muatan, modus operandi yang tepat pula. 144 Kembali kepada teks Menumbuhkan Perilaku Sopan Santun dan Lembut Hati, dijelaskan bahwa mengkonsumsi tayangan-tayangan yang tidak mencerminkan kesantunan akan menghapus ilmu dan iman. Kutipan berikut sebagai penjelas pernyataan tersebut; Allah telah melarang umat beragama untuk mengkonsumsi tayangan-tayangan hiburan kejahatan yang ditawarkan oleh orang- orang yang tidak beriman. Karena tayangan kejahatan yang dilihatnya itu akan menghapus ilmu dan iman yang sudah dikajinya dengan susah payah. Manusia harus sadar bahwa hidup yang singkat ini tidak boleh lengah dan bermanja-manja dengan hiburan yang merusak iman dan akhlaknya. Ayat yang dijadikan landasan adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 42, َن ُ َْ.َ0 ُْX,َأَو `َ3ْا ا ُ ُXَْ0َو ِ ِq َْ ِ `َ3ْا ا َُِْ0 َmَو “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” Juga Q.S. ‘ [3]: 71. َن ُ َْ.َ0 ُْX,َأَو `َ3ْا َن ُ ُXَْ0َو ِ ِq َْ ِ `َ3ْا َن َُِْ0 َِ ِب َXِْا َ ْهَأ َ5 “ Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan antara yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui.” Allah melarang untuk mencampurkan antara yang dengan il adalah benar dalam ayat tersebut, tetapi dengan menjadikan ayat ini 144 Masdar Hilmy, Islam Profetik; Substansi Nilai-nilai Agama Dalam Ruang Publik, [Yogyakarta; Penerbit Kanisius, 2008], hlm.98 158 sebagai dasar larangan Allah untuk mengkonsumsi tayangan-tayangan “kejahatan” seperti dalam kutipan di atas tampaknya terkesan dipaksakan. Q.S.al-Baqarah ayat 42 berkenaan dengan pemberitahuan akan datangnya seorang Rasul dalam kitab Taurat. Tanda-tanda kedatangan Rasul tersebut telah jelas, tetapi pada waktu itu para pemuka agama melarang pengikut mereka untuk percaya kepada Rasul s.a.w. dengan dalih bahwa dalam kitab mereka pun terdapat pemberitahuan akan adanya nabi palsu. Karena itu mereka lantas mempengaruhi pengikut mereka bahwa Rasul s.a.w adalah nabi palsu. Untuk kepentingan itu, mereka memutarbalikkan fakta, menyembunyikan kebenaran bahkan menafsirkan kitab mereka sesuai kehendak sendiri. Di sinilah mereka dikatakan mencampuradukkan yang benar dengan yang salah. 145 Adapun Q.S. [3]: 71 juga berkenaan dengan berita kedatangan Rasul. Dalam tafsir al-Azhar, Hamka menambahkan penjelasan bahwa tidaklah selalu mata manusia yang mencari hakikat kebenaran dapat disesatkan. Kian lama manusia merasa bebas menyelidiki kebenaran sehingga datang suatu zaman tidak dipedulikan orang bagi kekuasaan golongan agama menentukan kebenaran menurut kemauan mereka saja. Maka jika orang telah bebas mencari kebenaran, usaha menyesatkan orang dan mencampuradukkan kebenaran dengan kepalsuan tidak akan laku lagi. 146 145 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 1 [Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, t.th], hlm. 189. 146 Ibid., juz 3, hlm. 205. 159

B. Teks dan Kepentingan Berdakwah