Hati Sebagai Komponen Akhlak.

145 penunaian amanah didasarkan pada Q.S. al-Ma’idah [5]:1, Q.S.al- Baqarah [2]: 40, Q.S. an-6 [16]: 91.

3. Hati Sebagai Komponen Akhlak.

Meski dalam teks Jika Hati Menjadi Keras tidak terdapat penjelasan secara eksplisit bagaimana pengaruh hati terhadap perilaku manusia, namun tampak dalam teks tersebut keterpengaruhan kondisi hati terhadap gaya hidup seseorang atau sebaliknya. Dalam teks ini dijelaskan tentang hawa nafsu yang menjadikan kerasnya hati. Ketika hati kehilangan kelembutan, kejernihan dan kebeningannya, maka kehidupan pemiliknya menjadi terombang-ambing dalam kesesatan, kesenangan yang dirasa hanya fatamorgana, semu dan menipu. Kehidupan glamour dan fantastis hanya untuk menutupi hatinya yang sakit. 131 Berpijak pada Q.S. az-Zumar [39]: 22, teks ini kemudian mengkontraskan antara hati yang suci dengan hati yang sakit namun tidak ditemukan kejelasan istilah al-Qur’an berkaitan dengan kedua kondisi hati tersebut dalam teks ini, padahal al- Qur’an mengintrodusir beberapa istilah sehubungan dengan hati yang bisa digali lebih dalam yakni; qalbun , qalbun mayyit, qalbun , qalbun . 132 131 Redaksi, “Jika Hati Menjadi Keras”, hlm.2 132 Qalbun adalah qalb yang selamat, sejahtera, terhindar dari bahaya dan kecelakaan. Ia menunjukkan keadaan dimana qalb terpelihara dalam munazzalahnya yang suci, bersih, tinggi dan condong kepada kebaikan, kebenaran, keindahan dan kecenderungan terhadap Allah. Konteks penggunaan qalbun dapat dilihat dalam dialog dan do’a nabi Ibrahim [Q.S.as-Syu’araa [26]: 75-89. Keadaan qalb disitu berkaitan dengan peneguhan tauhid kepada Allah dengan keyakinan penuh sekaligus menafikan segala yang dipertuhankan. 146 Pembahasan tentang hati juga dimunculkan dalam judul Cara Jitu Menghindari Bujuk Rayu Setan. Disebutkan bahwa dosa atau kekotoran hati adalah pangkal kedatangan setan ke dalam tubuh manusia. Setan mendatangi orang-orang kafir, menyenangi hati orang-orang yang suka berbuat dosa, mengkufuri nikmat dan rahmat dari Allah. 133 Cara yang ditawarkan untuk menghindarkan hati dari kondisi tersebut adalah meningkatkan daya tahan dalam memegang petunjuk Allah. Cara berikutnya adalah menyehatkan hati dengan meninggalkan dosa, meninggalkan lingkaran setan dan memaksa diri untuk menempuh jalan mendaki, jalan mengendalikan hawa-nafsu. Tidak dijelaskan dalam teks ini bagaimana jalan pendakian tersebut dapat ditempuh seperti yang dikenalkan oleh al-Ghazali misalnya. Jalan- jalan mendaki dalam konsep al-Ghazali adalah; ‘aqabatul ‘ilmi, sebuah jalan pemerolehan keyakinan tentang ketuhanan, kenabian beserta syari’at kehidupan. ‘Aqabah at-taubah, yakni pembersihan diri dari dosa dan menemukan pencerahan. ‘Aqabah al-‘awa’iq adalah jalan pertaubatan dengan empat rintangan yang mengahalangi kepentingan duniawi, pengaruh buruk lingkungan, bisikan dan godaan setan, kecenderungan Qalb ini pun menjadi sumber perilaku baik di tengah masyarakat. Qalbun mayyit menunjukkan qalb yang seolah-olah mati. Kematian qalb terjadi apabila yang berkuasa pada jiwa adalah nafs syahwiyyah dan akal yang sudah terkooptasi. Qalb adalah qalb yang sakit karena terpinggirkan oleh kepentingan-kepentingan nafsu. Keadaan ini menyebabkan jiwa pemiliknya pun sakit dan memunculkan perilaku yang tidak normal dari sudut pandang kebenaran seperti kemunafikan. Tak heran bila al-Qur’an mengaitkan orang-orang munafiq dengan qalb bentuk ini [Q.S. al- [33]: 12, 60]. Sedangkan qalbun adalah qalb yang berproses kembali pada fitrah kesucian dan kebersihannya. Lihat Asep Dudi S,”Membina Akhlak Melalui Qalbu”, Ta’dib, vol.2, no.1 [Bandung; Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Bandung, 2002], hlm. 87-88. 133 Redaksi, “Cara Jitu Menghindari Bujuk Rayu Setan”, hlm.2. 147 hawa nafsu. ‘Aqabah al-‘ yakni jalan yang dipenuhi persoalan yang menguras hati dan pikiran sehingga seseorang harus mengokohkan tawakkal, kesabaran dan keridhoan. ‘Aqabah al-bawa adalah jalan pendakian untuk memerangi pudarnya semangat kebaikan dengan menghayati kembali hakikat khauf dan raja’. ‘Aqabah al- yakni jalan kesungguhan untuk ikhlas akibat terselipnya kecacatan dalam ibadah. Terakhir adalah ‘aqabatul wa as-syukr sebagai jalan yang dipenuhi limpahan anugerah sehingga menuntutnya untuk senantiasa bersyukur. 134 Meski teks dalam rubrik tersebut tidak menjelaskan secara gamblang, namun dalam penjelasannya terdapat kecenderungan mengikuti konsep jalan pendakian al-Ghazali tersebut. Tentang hati ini, teks dalam rubrik juga membahasnya dalam judul Bercahaya Tanpa Skin Care Massage. Mengapa judul ini? teks ini hendak menunjukkan perbedaan antara perawatan lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah dicontohkan seperti dalam kata-kata berikut. Mungkin seseorang berduit berusaha memulas kulit wajahnya dengan teknologi baru berupa “Skin Care Massage”, yang sedang menjamur diberbagai tempat di keramaian kota dan desa, namun kadang tidak semakin menambah tampan atau cantik alamiah, namun kadang malah semakin nampak menonjolkan sifat-sifat imitasinya. Sedangkan secara batiniah digambarkan seperti berikut; Orang-orang yang rajin siang dan malam beribadah ikhlas kepada Allah, selalu berusaha menempuh jalan-jalan yang ditunjuki oleh Allah, maka walaupun tidak pernah mengenal teknologi “skin care massage” namun memiliki wajah yang lebih cerah, lebih bersih, lebih 134 Asep Dude S, “Membina…”, hlm. 95. 148 tampan, lebih cantik, lebih lembut, lebih ramah, lebih tenang dan lebih tenteram, lebih sejuk dipandang, ketenangan jiwa telah muncul dan mengemuka dalam kecemerlangan cahaya wajahnya. Dua keadaan ini dikontraskan untuk menunjukkan kepada pembaca adanya fenomena tersebut di masyarakat yang dinilai baik atau buruk. Penilaian baik atau buruk terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat juga terlihat dalam judul Ketika Jilbab Hanya Sebagai Aksesoris. Jilbab dinilai buruk ketika tidak sesuai dengan teks Q.S.an-6 [24 ]:31 dan al- [33 ]: 59. Berdasar ayat tersebut, jilbab didefinisikan sebagai jilbab yang sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala hingga dada. Tak hanya digunakan untuk menutupi kepala saja dalam artian rambut namun juga digunakan untuk menutupi bagian tubuhnya, termasuk dada. Jika mengenakan jilbab yang mini dimana umumnya jilbab diikatkan ke leher, ini berarti tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan dalam ayat ini. Dari definisi ini kemudian pembaca diarahkan untuk pesan yang tidak sekedar bagaimana model jilbab yang ideal menurut teks ini. Pesan tersebut sebagaimana dalam kutipan di bawah ini ; Jilbab sebagai alat untuk menjaga hati, bukan menjaga hati terlebih dulu, kemudian baru mengenakan jilbab. Karena menutup aurat hukumnya adalah wajib, maka dengan mengenakan jilbab sekaligus menjilbabi hati adalah hal yang harus kita lakukan sebagai seorang muslimah. Esensi dari pembahasan tentang jilbab dalam teks ini justru terdapat pada kalimat di atas yang tidak jauh dari judul sebelumnya yaitu seputar pembinaan hati. 149 Definisi jilbab yang diambil dari penerjemahan teks ayat di atas, yang kemudian dijadikan landasan penilaian benar dan salah, tidak jauh berbeda dengan pembacaan konservatif yang memaknai Q.S. an-6 [24]: 30-31 sebagai pemberian hak kepada laki-laki muslim untuk memaksa perempuan agar mengenakan penutup mulai dari [penutup seluruh kepala kecuali wajah] hingga burqa jubah yang menutupi kepala hingga jari kaki] dengan alasan bahwa tubuh perempuan merupakan aurat [organ sensual] sehingga secara seksual dapat memikat orang yang memandangnya. Pembacaan kaum konservatif terhadap kedua ayat dalam surah an- 6 , dalam pandangan Asma Barlas, telah terjadi pemutarbalikan. Menurut Asma Barlas, fokus utama ayat-ayat tersebut adalah persoalan penyimpangan perilaku seksual laki-laki dan perlunya melindungi perempuan muslim dari gangguan laki-laki bukan persoalan tentang tubuh perempuan muslim dan perlunya melindungi perempuan muslim dari gangguan laki-laki muslim atau perlunya membentengi laki-laki muslim dari memandang tubuh perempuan yang mendatangkan bencana seperti pandangan kaum konservatif+ - Pembacaan terhadap ayat tersebut, masih dalam pandangan Asma Barlas, tak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat sebagai masyarakat yang mengakui sistem perbudakan, di mana pelecehan perempuan oleh 135 Asma Barlas, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin [Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005], hlm. 125 150 laki-laki muslim sudah lumrah terjadi. 136 Dari sini, Asma Barlas hendak menegaskan bahwa gagasan tentang dalam kedua ayat tersebut harus dibedakan dari yang spesifik dan yang umum. Ayat pertama menyiratkan jenis yang spesifik sementara yang kedua menyiratkan jenis yang umum. dalam kedua rangkaian ayat tersebut tidaklah sama. Al-Qur’an menggunakan kata [penutup kepala] dan khumur [kerudung], yang secara umum dipakai untuk menutupi dada [ ] dan leher, bukan wajah, kepala, tangan atau kaki. Tidak ada satu ayat al-Qur’an pun yang memerintahkan penutupan seluruh tubuh. 137 Sampai pada penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa persoalan akhlak menjadi pembahasan dominan dalam teks-teks rubrik . Berdasarkan kerangka ruang lingkup dan pembagian akhlak sebagaimana di atas, teks-teks ini bergerak seputar akhlak, baik pribadi, berkeluarga maupun bermasyarakat dan bernegara dengan pesan moral kejujuran, kesabaran, ketekunan, bersikap adil, amanah, menjauhi kesombongan, kedengkian, keputusasaan, kebohongan. Oleh karena penekanannya pada pembentukan perilaku, maka dalam menyoroti fenomena masyarakat bahkan problem krusial negara seperti korupsi pun tidak keluar dari perspektif moralitas. Ini tidaklah salah, karena ketegasan untuk jujur adalah modal untuk memberantas sikap korup. Hanya saja, pembahasan 136 8 7 7 7 7 + + +,-+ 137 Ibid. 151 dan solusi yang ditawarkan mengenai korupsi tidaklah sesederhana seperti dalam teks berjudul Bahaya Sangat Besar dari Budaya Korupsi. Solusi mengatasi korupsi yang ditawarkan seperti anjuran bersikap jujur, amanah, dermawan, dan taqwa memang baik tetapi belum menyentuh akar persoalan dan tidak realistis. Korupsi adalah persoalan duniawi yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan berfokus pada pembinaan spiritualitas individu sebab korupsi terjadi karena beberapa faktor; politik, ekonomi dan budaya. 138 Akan lebih mendekati kemungkinan aplikasinya apabila tawaran solusi pemberantasan korupsi diberikan melalui tiga pendekatan; yaitu pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi, saat korupsi terjadi dan setelah korupsi terjadi. Dari tiga pendekatan ini bisa diklasifikasikan tiga strategi pencegahan yaitu strategi preventif untuk mencegah terjadinya korupsi, strategi detektif untuk mendeteksi terjadinya dan strategi represif untuk memberikan sanksi hukum bagi pelakunya. 139 Selain solusi yang tidak aplikatif, anggapan bahwa korupsi adalah ketidakjujuran yang mendatangkan dosa tampaknya terlalu menyederhanakan persoalan. Tafsir baru dengan basis teologi baru diperlukan dalam memandang persoalan korupsi. Jika korupsi hanya 138 Politik atau kekuasaan politik merupakan aspek paling dominan bagi tumbuh suburnya perbuatan korupsi. Sementara aspek ekonomi yang carut marut, keadilan yang tidak merata, membuat korupsi bisa tumbuh subur bukan hanya di tingkat elite tapi juga sampai ke daerah. Terjadinya korupsi juga berkolerasi dengan tatanan sosial feodal karena struktur masyarakat yang berbudaya feodal memberi kesempatan bagi timbulnya kevakuman moral sehingga interaksi sosial tidak berproses secara egaliter. Selain itu, lemahnya penerapan hukum terhadap berbagai kasus korupsi membuat korupsi semakin berkembang dan tak terselesaikan. Lihat, Ahmad Baidowi, “Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Islam”, dalam Esensia, vol.10.No.2 [Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN sunan Kalijaga, 2009], hlm. 144. 139 Ibid., hlm.147-148. 152 dipandang sebagai dosa, maka dosa korupsi dapat diputihkan dengan sedekah dan ibadah tertentu. Selama ini korupsi dipandang sebagai dosa kecil yang bisa diampuni apalagi jika sebagian disisihkan untuk ibadah atau sedekah bagi fakir miskin dan anak yatim. Di akhirat nanti timbangan sedekah koruptor akan lebih berat dibanding sanksi dosanya. Karenanya, tafsir baru korupsi sebagai perilaku syirik yang tak bisa diputihkan dengan amal saleh apa pun menjadi lebih logis dan aplikatif dalam pemberantasan korupsi. 140 Kembali kepada pembahasan akhlak, dalam menyoroti kecenderungan aliran dalam berakhlak, terlebih dulu akan dijelaskan kajian akhlak yang dilakukan oleh pemikir Islam. Kajian tersebut dapat disederhanakan menjadi dua mazhab besar, pertama, rasionalis [‘ ], kedua, intuisionalis [ ]. Mazhab rasionalis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh filsafat Yunani. Ada konsistensi pemikiran yang merupakan benang merah di antara mereka dengan filosof Yunani. Tentang kebaikan, misalnya, tokoh seperti Ibnu Miskawaih yang dianggap representatif untuk mazhab ini, mengembangkan konsep kebaikan menurut Plato dengan memberikan gradasi-gradasi dari empat kebaikan menurut Plato; kearifan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan. Dalam padangan para filosof akhlak mazhab ini, akhlak cenderung berada dalam tataran teoritis [sekedar thinkable] atau 140 Abdul Munir Mulkhan, Manusia al-Qur’an [Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007], hlm. 227-228. 153 lebih bersifat intelektual, sehingga sangat abstrak dan sulit dijadikan pedoman praktis bagi kehidupan sehari-hari [tidak aplicable] sesuai dengan karakteristik akhlak itu sendiri. Berbeda dengan mazhab intuisionalis, pandangan tentang akhlak cenderung bersifat praktis, dan tidak teoritis filosofis bahkan kering dari aspek rasional [akal] karena mereka meyakini bahwa yang mengantarkan manusia kepada hakikat adalah intuisi dan kondisi. Metode yang dipakai bukan hanya merenung dan menyimak tetapi juga bersusah payah untuk berperilaku baik. Tokoh yang dianggap representatif adalah al-Ghazali. 141 Di antara dua mazhab tersebut, teks-teks dalm rubrik lebih cenderung pada aliran intuisionalis [ ]. Konsep teoritis akhlak hampir tidak ditemukan, minimal secara definitif tentang kejujuran atau kesabaran secara filosofis, tetapi pesan-pesan dalam teks lebih bersifat persuasif, sebuah ajakan kepada pembaca untuk mengimplementasikan nilai-nilai moralitas tersebut dalam dataran praktis. Jika ditelisik lebih jauh, hal ini tidak dapat dilepaskan dari sifat kelembagaan MTA sebagai lembaga dakwah. Segala upaya, proses dan aktivitas yang sifatnya mengajak, memotivasi, menyeru terhadap individu dan masyarakat untuk beriman disertai dengan totalitas ketundukan sesuai dengan akidah, syari’at dan akhlak adalah termasuk terminologi dakwah. 142 Jadi dalam hal ini, teks-teks dalam rubrik memerankan diri sebagai 141 Aep Saepudin, “Akhlak Dalam Perspektif…”, hlm.41-48. 142 Muhammad Sulton, Desain Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis [Yogykarta: Pustaka Pelajar, 2003], hlm.9. 154 pendakwah yang mengajak masyarakat untuk membina moralitas yang dikenalkan melalui konsep-konsep akhlak seperti kesabaran, ketundukan, ketabahan dan sebagainya dalam penjelasan dari ayat-ayat yang mewarnai teks-teks tersebut. 4. Media Massa [Televisi] : Ancaman Bagi Moralitas.