129
Apa keterkaitan antara judul teks yang unik tersebut dengan pesan yang disampaikan kepada pembaca?. Ini dapat diamati dari contoh kata
sehari-hari yang ditampilkan dalam teks tersebut berupa sindiran bagi penguasa ummat, pemimpin ummat, atau birokrasi yang tidak melayani
dengan baik. Tidak melayani sama dengan tidak berakhlak baik. Tidak berakhlak baik berarti tidak memiliki keimanan dan ketaqwaan yang baik
pula.
2. Akhlak : dari Individu ke Sosial
Pendorong [stimulant] bagi timbulnya perbuatan berada dalam diri manusia.
112
Akhlak timbul dari dalam jiwa kemudian berbuah ke segenap anggota yang menggerakkan perbuatan atau amal. Karena itu, akhlak
sangat berkaitan dengan psikologi. Objek penelitian dalam psikologi adalah peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia seperti suara hati,
kemauan, daya ingatan, kecenderungan-kecenderungan, sedangkan akhlak mempersoalkan hasil perbuatan yang bersumber dari psikologi atau
kejiwaan manusia. Jika akhlak membahas tentang berbagai perilaku manusia yang ditimbulkan oleh kehendak, maka tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan diluar dirinya, kehidupan kemasyarakatan yang melingkupinya.
112
Pendorong [stimulant] adalah kekuatan yang menjadi sumber perilaku akhlak [moral action]. Setiap tindakan manusia memiliki pendorong tersendiri, hanya saja tindakan bersifat
konkret lahiriah, sementara pendorong bersifat abstrak tersembunyi. Lihat Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an [Jakarta: Amzah, 2007], hlm. 8.
130
Karena itu, selain berkaitan dengan psikologi, akhlak sangat berkaitan dengan sosiologi.
113
Keterkaitan antara akhlak dengan psikologi dan sosiologi dapat lebih dimengerti dengan mengetahui ruang lingkup akhlak sebagai berikut ;
114
a. Akhlak pribadi [al-
al-fardiyyah] yang terdiri atas; a yang diperintahkan [al-
], b yang dilarang [an- ], c yang
diperbolehkan [al- ], d akhlak dalam keadaan darurat [al-
bi al- ].
b. Akhlak berkeluarga [al-
al-usariyyah], yang terdiri atas; a kewajiban timbal balik orang tua dan anak [
al- wa
al-furu’], b kewajiban suami istri [ baina al-
], dan c kewajiban terhadap karib kerabat [
nahwa al- b].
c. Akhlak bermasyarakat [al-
al-ijtima’iyyah], terdiri atas; a yang dilarang [al-
], b yang diperintahkan [al- ], dan c
kaidah-kaidah adab [qawa’id al-adab]. d.
Akhlak bernegara [al- ad-daulah], terdiri atas; a hubungan
antara pemimpin dan rakyat [al-‘ baina ar-
wa as-sya’b], dan b hubungan luar negeri [al-‘
al- ].
e. Akhlak beragama [al-
ad- ] yaitu kewajiban terhadap
Allah swt. [ Allah].
113
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar…, hlm.56-57. Lihat pula Ahmad Amin, Etika [Ilmu Akhlak] [Jakarta: Bulan Bintang, 1975], hlm. 8-9.
114
Ramlan Sasmita, “Dimensi Akhlak Dalam Ajaran Islam”, Ta’dib, vol.2 no.1 [Bandung: Universitas Islam Bandung, 2002], hlm.30.
131
Ruang lingkup akhlak di atas mencakup aspek vertikal manusia dengan Allah swt dan aspek horizontal manusia dengan sesamanya
[ wa
]. Dalam hubungan dengan sesama yang bersumber dari akhlak individu semakin tampak adanya nilai
kesadaran pada perilaku yang dimunculkan. Apa yang diperintahkan adalah berimplikasi baik bagi individu dan lingkungannya, sebaliknya
yang dilarang adalah berimplikasi tidak baik bagi individu dan lingkungannya. Karena itu, pembahasan akhlak tidak bisa dilepaskan dari
nilai baik dan buruk. Akhlak baik dikenal dengan istilah al- al-
, sedangkan akhlak yang tercela adalah al- al-
. Kategori akhlak terpuji [al
: al-
] antara lain ; 1 jujur [as-
], 2 dapat dipercaya [al- ], 3 pema’af [al-‘afw], 4
tekun, menundukkan diri [al-khusyu’], 5 malu [al- ’], 6 menahan
diri dari maksiyat [al- ], 7 menghukum secara adil [al-
bi al- ‘adli], 8 berbuat baik [al-
], 9 sabar [as- ], 10 berani [as-
saja’ah] . Sedangkan akhlak tercela di antaranya ; 1 kikir [al-bukhl], 2
khianat [al- ], 3 aniaya [az-
] 4 kemarahan [al- ], 5
dengki [al- ], 6 berlebihan [al-
] 7 kesombongan [at-takabbur], 8 dendam [al-
], 9 bohong [al- ], 10 pengecut [al-jubn].
132
a. Akhlak pribadi.
Teks-teks dalam rubrik dalam banyak judul tidak keluar
dari koridor ruang lingkup dan bagian akhlak seperti penjelasan di atas. Beberapa judul termasuk dalam ruang lingkup akhlak pribadi, judul lain
termasuk ruang lingkup akhlak berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Teks dalam rubrik
yang termasuk dalam kategori pembinaan akhlak pribadi antara lain; Bunuh Diri Jalan Haram
Mengakhiri Frustasi. Pesan utama dalam teks tersebut adalah menghindari sifat berputus asa dan memilih untuk bersabar.
Menghadapi kebahagiaan dan kesedihan juga merupakan ujian kesabaran sebagaimana inti dari judul Ujian Kesabaran Ibarat Menanti
Hujan Reda. Kalimat tersebut dapat ditemukan dalam kutipan berikut ; Ujian dari Allah tak hanya berupa kesedihan, tapi juga mencakup
kebahagiaan. Sayangnya, ketika orang diuji dengan kebahagiaan, orang lupa jika itu hanyalah sebuah ujian. Ketika mendapat
kebahagiaan,
orang malah
berpikir bahwa
itu adalah
keberuntungan. Padahal, keberuntungan di dunia ini hanyalah merupakan tipuan.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, teks ini menghadirkan satu
ayat dalam Q.S.al- [57]: 23
ٍر ُ=َ1 ٍل َXْ=ُ ُآ 6cِ3ُ5 m ُ اَو ُْآ َ0o َ ِ ا ُ َْQَ0 mَو َُْ0 َ1 َ ََ اْ َ ْ]َ0 Eَِْ “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
Pernyataan bahwa kesedihan merupakan ujian kesabaran tidak
sepenuhnya salah karena al-Qur’an menyinggung tentang hal itu
133
seperti didapati pada Q.S.Luqman [31]: 17 tentang kesabaran menghadapi malapetaka atau dengan kata
dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 177. Hanya saja ketika dinyatakan tentang kesabaran juga
dibutuhkan dalam menghadapi kebahagiaan, pernyataan ini tampaknya tidak berdasar bahkan tidak tepat jika mendasarkannya pada ayat di
atas. Secara semantik, kata berlawanan dengan jaza’ yang artinya
sifat yang dimiliki oleh mereka yang tidak dapat menahan dengan sabar apa yang menimpanya dan cepat menunjukkan agitasi; dengan
demikian itu sendiri mengandung pengertian memiliki kekuatan
jiwa yang cukup agar tetap sabar dalam keadaan sengsara dan tetap gigih di tengah kesulitan memperjuangkan tujuan.
115
Makna seperti ini terlebih didapati pada periode pertama dalam sejarah ummat Islam.
Kondisi awal ummat Islam yang banyak mendapat tantangan dan godaan membutuhkan sikap pertahanan yang tangguh. Dari sini
kesabaran menggambarkan aspek penting dari iman. Sebagai aspek khusus dari iman, kesabaran ditunjukkan ketika sedang menghadapi
keadaan yang tidak menyenangkan.
116
Pada dasarnya kesabaran memang tidak hanya dititahkan dalam menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan saja, tetapi seluruh
keadaan dan situasi yang dihadapi manusia. Di antara sekian keadaan dan situasi tersebut, dalam al-Qur’an ditemukan beberapa konteks
115
Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam Qur’an, terj. Agus Fahri Husein [Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993], hlm. 122.
116
Ibid., hlm. 124.
134
perintah bersabar yakni; bersabar menanti ketetapan Allah [Q.S. [10]: 109], bersabar menanti datangnya janji atau hari kemenangan
[Q.S. ar-5 [30]: 60], bersabar menghadapi ejekan orang-orang yang
tidak percaya [Q.S. [20]: 130], bersabar menghadapi kehendak
nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal [Q.S. an-6 [16]: 127], bersabar dalam melaksanakan ibadah [Q.S. Maryam [19]: 65
dan [20]: 132], bersabar dalam usaha memperoleh apa yang
dibutuhkan, al-Qur’an mengistilahkannya dengan ba’sa’ [Q.S. al- Baqarah [2]: 153 dan 177]. Dari beberapa konteks tersebut dapat
disimpulkan bahwa ada tiga jenis sabar, yaitu: sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam melakukan ibadah dan sabar dalam menahan diri
untuk tidak melakukan maksiat.
117
Dengan demikian, pernyataan bahwa sabar dibutuhkan untuk menghadapi kebahagiaan dengan
mengambil pijakan Q.S. al- [57]: 23 tidak ditemukan korelasinya.
Pada judul yang lain dalam rubrik , kesabaran dilawankan
dengan ketergesaan yang menafikan proses. Point inilah yang ditekankan dalam judul Jangan Tergesa Dalam Berproses Sunnatullah.
Penjelasan yang dapat ditemukan di dalamnya bahwa manusia diciptakan dengan nafsu tergesa-gesa, ingin cepat membuahkan hasil
terutama bagi yang merasa benar dalam menempuh jalannya. Ayat yang disitir adalah satu ayat dalam Q.S.al-Anbiya [21]: 37;
117
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial; Mendialogkan Teks dengan Konteks [Yogyakarta: elSAQ, 2005], hlm.40-41.
135
ُِhْ.َXَْ0 Eَ1 ِ0 َ5o ُْ5ِرُ]َ ٍ َhَ ْ ِ ُن َْ,pا َ`ُِ\ ِن
“Manusia telah dijadikan bertabiat tergesa-gesa. Kelak akan aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu
minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.”
Idealnya, dalam teks ini dijelaskan situasi yang melatari turunnya ayat ini, tetapi tidak ditemukan pada penjelasannya. Konteks ayat ini
berkenaan dengan perolok-olokan kaum kafir atau musyrik Makkah akan berita yang dibawa Nabi bahwa mereka akan ditimpa azab.
Tergesa-gesa mereka berkaitan dengan keinginan mereka untuk segera melihat azab itu. Sudah barang tentu ini hanya olok-olok mereka. Pesan
yang tertangkap dari ayat ini dalam realitas kehidupan adalah mengindari
sikap ketergesaan.
Proses-proses alamiah
yang membutuhkan waktu seringkali dirasakan sebagai hal
yang menghalangi manusia untuk sampai kepada terwujudnya apa yang
diinginkannya. Tidak jarang ketergesaan berakibat ketidaksempurnaan hasil yang dicapai. Karena itu, semestinya ayat ini mendedah kesadaran
untuk mengontrol [self controlling] sifat ketergesaan agar tidak merugi dan menyesal di akhir sebuah perjuangan atau pada saat melihat hasil
perbuatan.
118
118
Machasin, “Al-Qur’an Sebagai Petunjuk Etika Manusia”, dalam Spiritualitas Al-Qur’an dalam Membangun Kearifan Umat, Muhammad Mahfud [ed.], [Yogyakarta: UII Press, 1997],
hlm. 451.
136
Sementara itu, teks Hidup Di Dunia Hanya Sehari Saja juga menyinggung soal kesabaran. Ayat yang menjadi inti pembahasan
adalah Q.S. [20]:104;
“Mereka berbisik-bisik diantara mereka: ”Kami tidak berdiam di dunia melainkan hanyalah sepuluh hari”. [Q.S.
[20]: 103] Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata
orang yang paling lurus jalannya diantara mereka: “Kamu tidak berdiam di dunia, melainkan hanya sehari saja”. [Q.S.
,4? 4.?+
cuplikan penjelasan ayat adalah sebagai berikut:
Ternyata hidup kita di dunia lebih pendek dari satu bulan. Padahal orang-orang beriman sudah biasa hidup berpuasa satu bulan penuh
di bulan Ramadan.Tentu untuk berpuasa sehari akan lebih ringan insyaAllah.
Memang hidup di dunia amat singkat. Dalam waktu yang singkat itu kita dituntut untuk beramal sholih yang membawa
kita bahagia di akhirat yang lebih kekal. Hidup di dunia digambarkan oleh Allah tidak lebih dari sehari saja.
Kesabaran sering diuji dengan waktu. Semakin panjang waktu ujian kadang-kadang orang menjadi tidak sabar dengan ujian yang
berat-berat dan melelahkan.
119
Jika ditelisik melalui ?
sebelumnya, secara ayat ini mengilustrasikan tentang keadaan
orang-orang yang memikul dosa di hari kiamat akibat berpaling dari al- Qur’an [Q.S.
[20]: 100]. Pada hari itu dikumpulkan orang-orang yang berdosa dengan muka yang biru muram [Q.S.
[20]: 102]. Orang-orang yang berdosa di hari itu saling berbisik dengan
mengatakan “اًْ-َ mِإ ُْXْjِ نِإ”, dalam al-Qur’an terjemah diartikan
dengan “Kamu tidak berdiam [di dunia] hanyalah sepuluh [hari]”. Di
119
Redaksi, “Hidup Di Dunia Hanya Sehari Saja”, hlm.3.
137
antara mereka terdapat orang yang lurus jalan pikirannya yang mengatakan kepada mereka “ ً ْ َ5 mِإ ُْXْjِ نِإ”, yang diterjemahkan dengan
“Kamu tidak berdiam melainkan hanya sehari”. Alih-alih memaknai ayat secara mendalam, mengaitkan dengan
ayat sebelumnya pun tidak dilakukan dalam teks berjudul Hidup Di Dunia Hanya Sehari Saja. Tanpa memperhatikan teks apalagi konteks
ayat, serta merta teks rubrik ini memberikan kesimpulan bahwa hidup di dunia lebih pendek dari satu bulan, bahkan kesimpulan ini dijadikan
sebuah judul. Penjelasan semakin tidak singkron ketika dikatakan bahwa orang beriman sudah terbiasa berpuasa Ramadan selama satu
bulan, karena itu tidak merasa berat jika hanya berpuasa satu hari saja. Ini sangat melenceng dari teks maupun konteksnya. Selain itu,
ketidakakuratan penjelasan semakin kentara ketika dikatakan bahwa Allah menggambarkan hidup di dunia ini hanya sehari saja. Bagaimana
bisa didapatkan kesimpulan ini? sementara ayat tersebut secara tekstual juga tidak menyatakan bahwa gambaran hidup di dunia hanya satu hari.
Secara lahiriyah, ayat tersebut menyatakan bahwa perkataan “Kamu tidak berdiam di dunia melainkan hanya sehari” adalah perkataan orang
yang paling lurus di antara orang-orang yang berdosa saat mereka dikumpulkan di hari kiamat.
Jika memang rubrik ini memiliki tujuan memahami al-Qur’an, akan lebih dapat dipertanggungjawabkan penjelasannya apabila mengambil
rujukan kitab tafsir, minimal tafsir klasik seperti tafsir at-
138
tafsir bi al- . Dalam tafsir at-
, ayat ini diberikan penjelasan dari beberapa riwayat.
120
Dari riwayat-riwayat yang dipaparkan, at-
memberikan penafsiran bahwa maksud Allah mengutip perkataan mereka saat itu adalah untuk memberi
pengetahuan tentang orang-orang yang kufur kepada-Nya. Mereka telah lalai mengenai kedahsyatan yang akan mereka alami pada hari kiamat
kelak. Mereka juga lupa akan kenikmatan-kenikmatan yang mereka terima saat di dunia, dengan hidup beberapa waktu lamanya di dunia,
hingga dibayangkan kepada orang yang paling mengerti dan paling pandai diantara mereka bahwa mereka tidak hidup melainkan hanya
satu hari.
121
Kembali kepada pembahasan akhlak pribadi, terdapat satu teks berjudul Menjadi Muslim Anti Dengki. Kedengkian merupakan
kezaliman yang senantiasa diawali dengan rasa iri terhadap nikmat yang diperoleh oleh orang lain. Iri dan dengki dikatakan sebagai kendaraan
setan sehingga diperintahkan untuk menjauhi kedengkian terhadap sesama muslim karena nikmat yang diperoleh merupakan given yang
120
Salah satu riwayat yang dihadirkan oleh at- dalam upaya penafsiran terhadap
ayat ini adalah riwayat berikut; “Ali bin Daud menceritakan kepadaku, ia berkata : Abdullah bin J
menceritakan kepada kami, ia berkata : Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Ali, dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah “ُْ ََْ َن ُXَ1 َ=َXَ5”, ia berkata, maksudnya adalah saling
merahasiakan di antara mereka. Bisyr menceritakan kepada kami, ia berkata : Yazid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa’id menceritakan kepada kami dari
, mengenai firman Allah, اًْ-َ mِإ ُْXْjِ نِإ ُْ ََْ َن ُXَ1 َ=َXَ5, Ia berkata, maksudnya adalah mereka saling merahasiakan di antara
mereka bahwa kalian tidaklah tinggal di dunia kecuali sepuluh hari. Lihat, Abu Ja’far bin 8 at-
, at-
, jld.17, terj. Ahsan Askan dan Khoirul Anam [Jakarta: Pustaka Azzam, 2009], hlm. 958.
121
Ibid., hlm. 959.
139
sudah ditentukan.
122
Pernyataan ini dalam teks tersebut didasarkan pada Q.S. an-Nisa’[4]: 32.
Pembahasan lain tentang dengki terdapat dalam judul Dengki Akhlak Yang Berduri. Dalam teks tersebut dikatakan bahwa kedengkian
sebagai penyakit berbahaya tidak hanya menyangkut hal-hal yang bersifat duniawi tetapi juga capaian-capaian keagamaan yakni dakwah.
Maksud kalimat tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut: Iri dengki itu ternyata dapat menjalar dan menjangkiti kalangan
yang dikategorikan berilmu, pejuang, dan bahkan da’i. Seorang da’i atau muballig, misalnya, tidak suka melihat banyaknya
pengikut da’i atau muballig lain. Tidak suka pengikutnya pergi mengikuti yang lain padahal lebih baik.
Seorang yang mengikuti kelompok atau jama’ah tertentu sangat benci kepada kelompok atau jama’ah lain yang mendapatkan
kemenangan-kemenangan. Dan masih banyak lagi bentuk lainnya dari sikap iri dengki di kalangan para “pejuang”. Tapi bagaimana
ini bisa terjadi? Jadi, dalam konteks perjuangan, dengki dapat merayapi hati orang
yang merasa kalah wibawa, kalah popularitas, kalah pengaruh, kalah pengikut. Yang didengki tentulah pihak yang dianggapnya
lebih dalam hal wibawa, polularitas, pengaruh, dan jumlah pengikut. Merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil”
atau lebih lemah adalah kecil, tapi bisa jadi muncul sebaliknya. Kedengkian luar biasa dalam wujud kebahagiaan karena melihat
yang didengki susah, kalah dan terkena musibah.
123
Sebuah teks tidak terlepas dari konteksnya.
124
Jika demikian, teks ini pun tidak terlepas dari situasi yang melatarinya. Sebagai sebuah
lembaga, MTA memiliki warga yang jumlahnya tidak sedikit dan selalu
122
Redaksi, “Menjadi Muslim Anti Dengki”, hlm.2
123
Redaksi, “Dengki Akhlak Yang Berduri”, hlm.2
124
Konteks adalah semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi
yang dimaksudkan dan sebagainya. Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media [Yogyakarta: LkiS, 2009], hlm.9.
140
berkembang. Dalam upaya perkembangannya, MTA mengakui adanya rintangan. Salah satu rintangan yang dimaksud adalah anggapan dari
luar MTA terhadap warga MTA sebagai pembawa agama baru ketika mengamalkan apa yang didapatkan dari pengajian.
125
Anggapan yang diterima dapat diidentifikasi sebagai sebentuk kebencian pihak lain.
Dengan kata lain, warga MTA menjadi objek ke”sinis”an pihak lain. Teks ini boleh jadi menjadi sindiran terhadap orang-orang atau
kelompok yang menyuburkan kedengkian dan kebencian terhadap orang atau kelompok lain semisal MTA.
Masih terkait dengan anggapan yang cenderung negatif, penilaian terhadap objek secara subjektif, hanya berdasar persepsi pribadi tanpa
melihat dari berbagai sudut pandang juga dapat menjadi sindiran yang dikesankan dari teks dalam rubrik
berjudul Memberikan Nilai Sebagai Cermin. Gegabah menilai baik atau buruk tanpa kroscek
[diistilahkan dengan tabayyun] terlebih dahulu menjadi sebuah akhlak yang sepatutnya dihindari dan menggantinya dengan introspeksi diri
karena belum tentu apa yang dinilainya adalah benar, bisa jadi sebaliknya. Judul berikutnya tentang akhlak pribadi adalah Jangan
Sombong Karena Sombong Dilaknat Allah. Definisi sombong adalah penolakan kebenaran yang datang dari Allah dan merasa dirinya besar
sehingga menghina atau merendahkan sesama manusia.
126
Sombong
125
Tentang tuduhan membawa agama baru berdasarkan pembahasan rintangan dan dorongan dalam Profil MTA di Www. MTA-online.com.
126
Redaksi, “Jangan Sombong Karena Sombong Dilaknat Allah”, hlm. 1.
141
identik dengan sifat iblis yang tidak patuh pada perintah Allah sehingga bentuk apapun dari ketidakpatuhan adalah kesombongan.
Judul lain adalah Jangan Berdusta. Dalam teks ini, banyak dikutip ayat dan hadis tentang kejujuran. Pentingnya kejujuran juga dipesankan
dalam teks berjudul Sekolah Jujur 30 Hari. Teks ini dimunculkan dalam rangka Ramadan. Pesan yang ditegaskan di dalamnya adalah
kejujuran. Kejujuran ini terutama ditekankan sebagai penangkal bagi penyakit korup, suap dan musibah nasional sebagai bentuk akibat
ketidakjujuran. Penyebab ketidakjujuran adalah keserakahan dan ketamakan yang menjadikan manusia zaman ini terhempas ke dalam
kubangan materialisme dan hedonisme. Teks ini juga mengkritisi situasi kondisi bangsa Indonesia seperti dalam kutipan berikut;
Fenomena kebohongan dan tersingkirnya sifat kejujuran, mengantarkan masyarakat dan bangsa Indonesia pada beberapa
musibah nasional yang berlangsung secara beruntun dan silih berganti tiada henti. Terjadinya malapetaka berupa krisis ekonomi
yang melanda bangsa Indonesia adalah cermin paling jelas dari makin hilangnya sukma, kejujuran, dan semakin mekarnya
kepalsuan dalam kehidupan bangsa.
127
Jika teks sebelumnya berkaitan dengan bulan puasa, teks berjudul
Ketika Ketupat Telah Habis dimunculkan pada bulan Syawal. Sebagai bahan penyampai pesan, teks ini menampilkan tradisi khas di
masyarakat selepas bulan puasa seperti disulutnya petasan, kemacetan para pemudik, keramaian pusat belanja. Segala euforia tersebut pada
akhirnya diarahkan untuk melihat dua kecenderungan sikap yakni
127
Redaksi, “Sekolah Jujur 30 Hari”, hlm.3
142
hamba vs hamba semusim. Kategori pertama adalah mereka
yang tetap konsisten dalam menjalani amalan-amalan seperti saat puasa, sebaliknya yang kedua adalah mereka yang inkonsisten.
Satu persoalan yang menjadi problem masyarakat dibahas dalam judul Mengemis, Kok Enak?. Dalam menanggapi persoalan ini, teks
dalam rubrik tidak jauh dari sisi pembinaan mental dan
kejiwaan pribadi. Nasehat yang ditekankan adalah pembinaan sikap mental bekerja keras, memiliki etos dan kemampuan berusaha dengan
cara yang halal bukan menghalalkan segala cara sehingga martabat atau harga diri tetap bisa dipertahankan. Termasuk mengemispun tidak boleh
dilakukan. Demikianlah pembahasan-pembahasan dalam judul-judul rubrik
yang terkait dengan akhlak pribadi. b.
Akhlak berkeluarga.
Berdasarkan penjelasan ruang lingkup akhlak di atas bahwa kewajiban timbal balik orang tua dan anak termasuk kategori akhlak
berkeluarga. Terdapat dua judul dalam teks yang menyangkut
tentang pendidikan dalam keluarga. Islam Sangat Memuliakan Kaum Wanita adalah satu judul yang menyinggung peran wanita dalam
pendidikan anak. Salah satu sifat mulia yang dianugerahi Allah kepada wanita adalah kehalusan budi pekerti dan sifat malu. Kedua sifat ini
dikatakan sangat berpengaruh dalam kualitas mendidik anak. Tidak menjadi persoalan bagi wanita untuk bekerja di luar rumah dengan
syarat sesuai fitrah dan tetap terjaga ketaqwaannya. Maksud menjaga
143
ketaqwaan dalam teks ini lebih menekankan pada batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan sehingga teks ini lebih cenderung
mengarahkan perempuan untuk berperan di wilayah domestik ketimbang di wilayah publik. Peran di wilayah domestik ini juga
dikatakan tidak bebas dari ancaman media berupa televisi yang dikesankan menyesatkan. Ancaman ini tentu saja merupakan ancaman
pula bagi pendidikan anak dalam keluarga. Anak Adam Yang Lucu Dan Selalu Disayang Allah menjadi salah
satu judul yang menyiratkan pesan pendidikan anak dalam keluarga. Anak-anak yang menggemaskan dapat tumbuh menjadi dewasa dengan
tetap berkarakter lucu dan penuh kasih sayang apabila dididik dalam bingkai yang fitrah dan islami, kutipan berikut akan memperjelas
maksud dari pernyataan di atas; Didikan dalam bingkai Islam, yang dijalankan di dalam kehidupan
sebuah keluarga akan menghasilkan manusia-manusia yang lucu dan selalu disayang Allah di sepanjang hidupnya. Sehingga sepak
terjangnya selalu dalam jalan-jalan yang dicintai oleh Allah sesuai dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Muhammad. Dan manusia-manusia yang demikian itu pasti juga disayangi oleh orang-orang ahli kebaikan.
128
c. Akhlak bermasyarakat dan bernegara.
Beberapa teks yang keluar dari kerangka akhlak pribadi dan berkeluarga menuju akhlak bermasyarakat dan bernegara adalah teks
berjudul Perlunya Manusia Berpribadi Adil. Sifat adil dalam diri manusia, dalam teks ini, merupakan sifat yang dibutuhkan untuk
128
Redaksi, “Anak Adam Yang Lucu Dan Selalu Disayang Allah”, hlm.2
144
mencapai masyarakat yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerto raharja atau masyarakat yang penuh berkah dari Allah. Dalam tatanan
masyarakat paternalistik
ataupun juga
masyarakat modern
membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki sifat-sifat adil. Pemimpin adalah manusia, namun memiliki tanggung jawab yang
sangat besar dihadapan Allah. Bila pemimpin melakukan kesalahan yang fatal maka akan berakibat fatal di dunia terlebih di akhirat.
129
Teks ini menyiratkan harapan akan adanya pemimpin yang adil ditengah
masyarakat dewasa ini. Bukan hanya berpribadi adil, tetapi menunaikan amanah juga
diharuskan sebagai tanggungjawab pribadi dan sosial. Sebagai tanggungjawab pribadi disebabkan secara global amanah diembankan
kepada manusia untuk menghambakan diri kepada Allah, menjadi khalifah di muka bumi, berdakwah kepada yang ma’ruf dan menjauhi
yang mungkar. Dari berbagai amanah, terdapat empat amanah yang berat untuk ditunaikan; pertama, memberi ma’af ketika marah, kedua,
berderma ketika miskin, ketiga, meninggalkan yang haram dan zalim ketika sendirian, keempat, berkata jujur kepada siapapun.
130
Pemenuhan amanah adalah sebagai bentuk perjanjian kepada Allah oleh karena bertitik tolak dari pengucapan kalimat syahadat yang
berarti berjanji ta’at pada Allah. Pemenuhan janji tersebut melalui
129
Redaksi, “Perlunya Manusia Yang Berpribadi Adil”, hlm. 2
130
Redaksi, “Empat +,:.+
145
penunaian amanah didasarkan pada Q.S. al-Ma’idah [5]:1, Q.S.al- Baqarah [2]: 40, Q.S. an-6
[16]: 91.
3. Hati Sebagai Komponen Akhlak.