Problem Metodologi. METODOLOGI PEMAHAMAN TERHADAP AL-QUR’AN

117 Gambaran aspek struktural teks dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel III Aspek Struktural Teks dalam Rubrik Struktur Komponen Pembuka Ayat-ayat al-Qur’an Hadis Fenomena atau Peristiwa aktual Kalimat pembuka ceramah Isi Penjelasan Dominasi Ayat-ayat al-Qur’an Dominasi Hadis Penutup Ayat al-Qur’an Hadis Kalimat Persuasif Do’a Solusi Pertanyaan retoris

E. Problem Metodologi.

Setelah mengadakan penelusuran terhadap metodologi penulisan rubrik baik yang berkaitan dengan aspek teknis penulisan maupun aspek pemaknaan dan juga aspek struktural teks, pada bagian ini akan diuraikan persoalan-persoalan berkaitan dengan hal-hal tersebut sebagai sebuah analisis metodologis. Pada aspek teknis penulisan berkaitan dengan sistematika penyajian, sebagaimana telah dikategorikan sebelumnya, bahwa rubrik Tausiyah menyajikan teks-teksnya secara tematis. Setiap tema yang ditentukan, di dalamnya terkumpul ayat-ayat al-Qur’an yang dikaitkan dengan tema. Hanya saja, merujuk kepada definisi tematik yang dikenalkan oleh al-Farma , teks- teks dalam rubrik belum menyajikan kajiannya secara tematik komprehensif oleh karena ayat yang dikaji tidak bersifat spesifik dan 118 mengerucut, bahkan dapat dikatakan jauh dari kriteria tematik sebagaimana yang ditetapkan oleh al- . Sistematika penyajian tematik dalam rubrik sangatlah sederhana, hanya menampilkan ayat-ayat sebagai pelengkap tema yang ditentukan sehingga ayat-ayat dari berbagai yang dikutip terkesan hanya sebagai legitimasi terhadap penjelasan tema. Selain itu, ayat-ayat yang dikutip terkadang keluar dari tema yang dibangun di bagian awal tulisan. Satu contoh seperti saat menampilkan tema tentang kesombongan dalam judul Jangan Sombong Nanti Dilaknat Allah. 92 Ayat-ayat yang dikaji mula-mula adalah ayat tentang kesombongan iblis saat diperintahkan bersujud pada Adam. Ayat yang dihadirkan adalah Q.S. al- Baqarah [2]: 34, Q.S. al-A’ra [7]: 11-13, Q.S. S d [38]: 71-78, kemudian beralih pada ayat lain pada Q.S.al-Mu’min [40]: 60. Dari pengutipan ayat tersebut berpindah pada ayat-ayat tentang sombong dengan kosakata yang berbeda seperti dalam Q.S. Luqman [31]: 18 dan Q.S. al-Isra 1? -1. Setelah dihadirkan sejumlah ayat-ayat tanpa diberikan penjelasan yang memadai, lantas dihadirkan sejumlah hadis juga tanpa penjelasan terhadapnya. Pada akhir tulisan, dikutip ayat yang sama sekali tidak berkaitan dengan kesombongan yakni pada Q.S.al- [49]: 13. Problem selanjutnya adalah pada aspek pemaknaan. Dalam metode pemahaman yang dikategorikan pada bagian sebelumnya, rubrik Tausiyah menggunakan ayat-ayat dan hadis-hadis sebagai penjelasan terhadap tema 92 A B 7 7 + 119 yang disampaikan kepada pembaca. Dalam sejarah dan perkembangan tafsir, tafsir secara tradisional dimulai pada masa sahabat. 93 Metode penafsiran sahabat adalah metode tafsir bi ar- artinya para sahabat hanya sekedar meriwayatkan tafsir-tafsir dari Rasul s.a.w. dan sesama para sahabat sendiri. Sumber penafsiran mereka adalah al-Qur’an, qira’ah, hadis Nabi, ijtihad dan keterangan ahli Kitab. 94 Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan Sunnah, al-Qur’an dengan riwayat sahabat Nabi dan tabi’in termasuk kategori tafsir bi al-ma’su + bi al-ma’su ialah keterangan- keterangan dan perincian-perincian yang ada dalam sebagian ayat-ayat al- Qur’an sendiri dan apa yang dinukilkan [dikutip] dari hadis-hadis Rasul dan dari sahabat. 95 Berdasar pada prinsip al- yufassiru ba uhu ba’d 7 mengumpulkan ayat-ayat yang menyangkut sebuah topik dan merujuk-silangkan [cross referensing] satu kepada lainnya untuk memperoleh keterangan mengenai sesuatu yang hanya disebutkan secara ringkas dengan bantuan berbagai ayat atau untuk memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang mujmal, untuk menghubungkan sesuatu yang nampak dengan keterangan yang tidak muqayyad, yang umum dengan yang khusus. 96 Di samping merujukkan ayat pada ayat-ayat lain, dalam metode ini 93 Nur Kholis, Pengantar Studi al-Qur’an dan al-Hadis [Yogyakarta: Teras, 2008], hlm. 138. 94 Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer [Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003], hlm. 38. 95 Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an; Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. Mochtar Zoeni [Bandung: Penerbit Pustaka, 1987], hlm. 24. 96 Ibid., hlm.25. 120 : 6 7 + 7 7 mujmal [penjelasan atas hal-hal yang bersifat global], penjelasan atas hal-hal yang bersifat musykil, dan fungsi lainnya adalah takhsish [pengkhususan]. 97 Rubrik dalam metodenya menganut model penafsiran periode klasik, yakni mencukupkan penjelasan ayat dari ayat lain atau hadis. Persoalannya bukan pada pemakaian model ini, tetapi pada aplikasi dari pemilihan model ini sebagai model yang diingini. Jika memang rubrik ini menginginkan metode tafsir riwayat yang hanya merujuksilangkan satu ayat dengan ayat-ayat lain atau dengan hadis Nabi, setidaknya model ini diterapkan dengan sistematis. Sayangnya, penerapan yang sistematis sesuai dengan “aturan main” metode riwayat ini tidak didapati dalam rubrik + B 7 7 : 7 7 7 + C terkait relevansi metodologi pemahaman terhadap al- Qur’an dengan masa kini. Para sahabat menggunakan metode tersebut di antaranya karena kebutuhan mereka tercukupi dengan metode tersebut. Problem yang mereka hadapi dapat terjawab dengan penggunaan metode tersebut. Problem yang dihadapi umat Islam pada kenyataannya berkembang sejalan dengan perkembangan dan perubahan zaman. Problem ini menuntut 97 Ibid., hlm.32. 121 untuk dicarikan solusinya oleh umat Islam sendiri. Satu sisi rubrik : 7 7 + 7 7 D + C 7 + 7 7 C 7 7 7 7 : 7 7 + 7 E : 7 7 + C 7 32 + Mengandung kesatuan dan keutuhan. Eksistensi tiap satuan unsur dalam sesuatu yang bernilai estetik sangatlah penting. Pasalnya, nilai estetik yang muncul dari sesuatu tersebut bergantung pada hubungan timbal balik unsur-unsur pendukungnya. Sesuatu dikatakan indah bila unsur-unsurnya terlihat saling menopang menjadi satu kesatuan utuh. Prinsip ini sejajar dengan proses berpikir jernih yang menimbang segala sesuatunya secara objektif, matang dan logis. 98 Wahyu Wibowo, 6 Langkah Jitu AgarTulisan Anda Makin Hidup dan Enak Dibaca [Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005], hlm. 5-7. 122 2. Mengandung satu pikiran utama yang jelas. Dalam dunia tulis menulis, tema yang jelas akan tercermin dalam satu pikiran utama. Ibarat pintu gerbang, pikiran utama ini akan membawa pembaca pada keseluruhan tulisan. Dengan menyuguhkan satu pikiran utama yang jelas berarti juga menghargai pembaca. Menghargai pembaca berarti penulis memberdayakan daya empatinya. Daya empati ini disebut einfuhlung, yakni bagaimana seorang penulis memproyeksikan dirinya sendiri dalam subjek tulisannya. 3. Mengandung prinsip perkembangan. Sejumlah unsur yang membangun sesuatu yang bernilai estetik idealnya mencerminkan sebuah mata rantai sebab akibat yang jalin menjalin. Di dalamnya terdapat perbedaan dan pertentangan yang halus. Berdasarkan prinsip keindahan tulisan di atas, jika dicermati, rubrik kurang mengindahkan prinsip tersebut. Misalnya ketika mengetengahkan judul Jika Hati Menjadi Keras. 99 Pada paragraf setelah pengutipan ayat, penjelasan masih singkron dengan paragraf sebelumnya yakni tentang kondisi orang muslim yang menerima ajaran Islam dengan sepenuh hati. Kondisi tersebut digambarkan dengan adanya ketentraman hati, tidak ada kekhawatiran, tidak merasa minder. Dari sini penjelasan beralih pada penjelasan tentang ulah setan yang mengotori hati manusia sehingga penjelasan ini membuat unsur sebelumnya seolah terputus. Setelah 99 Lihat lampiran 2. 123 pembahasan tentang hati yang ternodai, objek pembahasan di bagian-bagian akhir tidak lagi tentang manusia dan hatinya, tetapi beralih pada pembahasan tentang Allah dan hamba-Nya sehingga pembaca direpotkan untuk mencari satu pikiran utama yang jelas dengan alur yang sistematis. 124

BAB IV KONSTRUKSI WACANA DALAM RUBRIK