148 Tabel 50 menunjukkan bahwa di kabupaten pemusatan karet, luas area
perkebunan yang konsisten lebih besar dibandingkan dengan yang inkonsisten. Di beberapa lokasi pemusatan karet ini, ternyata area perkebunan yang menempati
kawasan lindung nonhutan cukup besar. Secara visual hal tersebut dapat dilihat dengan membandingkan atau menumpangkan peta RTRW dengan peta landuse dan
peta arahan pertanian. Peta arahan pertanian dapat membantu pendugaan jenis perkebunan yang dimaksud, dimana pada peta landuse hal tersebut tidak dirinci.
Di kabupaten Bogor, dari peta landuse diketahui bahwa aktivitas perkebunan tersebar di bagian barat, selatan dan timur wilayah Bogor. Dengan
membandingkannya dengan peta RTRW, ditunjukkan bahwa aktivitas perkebunan di Bogor, sebagian menempati kawasan budidaya dan sebagian lainnya menempati
kawasan lindung, terutama di bagian barat kabupaten Bogor. Dengan pengecekan silang dengan mengunakan Peta Arahan Pertanian, diduga bahwa perkebunan yang
menempati kawasan lindung tersebut diantaranya adalah perkebunan karet, disebabkan wilayah tersebut diarahkan untuk perkebunan dataran rendah termasuk
karet. Di kabupaten pemusatan karet lainya, yaitu Cianjur, Sukabumi dan Purwakarta, hal yang sama terjadi, dimana kebanyakan perkebunan menempati
kawasan lindung, terutama kawasan lindung bukan hutan. Area lindung nonhutan yang rendah tingkat tutupan vegetasinya akan baik
jika ditanami dengan tanaman karet. Selain itu karet termasuk jenis tanaman yang dapat beradaptasi dengan pH tanah yang rendah asam yang merupakan lahan
terbanyak di negeri ini. Pada pH tanah 3.5 tanaman karet masih dapat hidup dan masuk ke dalam kelas kesesuaian S3. Dengan kemampuannya tersebut, maka
pergeseran peruntukan lahan lindung nonhutan, terutama dengan sifat kimiawi yang kurang baik, menjadi perkebunan karet akan lebih bermanfaat. Dan
sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pergeseran kawasan lindung atau hutan produksi menjadi area perkebunan bervegetasi lebat masih dapat ditolerir dan
dalam analisis ini tidak dikategorikan sebagai inkonsistensi. Dengan demikian, karet merupakan komoditi ungulan Jawa Barat, terutama di wilayah pemusatannya.
4. Tebu
Basis perkebunan tebu terdapat di kabupaten Cirebon, Majalengka dan Kuningan. Perkebunan tebu di wilayah ini didukung dengan ketersediaan lahan
149 dengan kelas kesesuaian sangat sesuai S1 atau sesuai S2 sebagaimana yang
ditunjukkan Tabel 51 dan Peta Kesesuaian Tebu Gambar 27. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa aktivitas perkebunan masyarakat di kabupaten pemusatan tebu
telah konsisten dengan RTRW provinsi. Dengan demikian, tebu dididentifikasi sebagai sektor pertanian unggulan.
Tabel 51 Pemusatan produksi tebu, kesesuaian lahan dan luas perkebunan yang konsisteninkonsisten dengan RTRW
Konsisten Bdy lain, HP, LNH
Æ Pbun Inkonsisten
Kw.Lind Æ Pbun
KabupatenKota Pemusatan
Produksi LQ
Kesesuaian Lahan
10 000 km2 Cirebon
Pusat S3, N
0.12 0.00
Kuningan Pusat
S1S2 0.15
0.07 Majalengka
Pusat S1S3
0.14 0.07
Keterangan: HP hutan produksi, LNH lindung nonhutan, HK hutan konservasi, HL hutan lindung
Di Kabupaten Sukabumi, pemanfaatan lahan perkebunan juga telah konsisten dengan RTRW kabupaten. Proporsi luas pemanfaatan lahan perkebunan
yang konsisten sebesar 97.7 persen dan yang inkonsisten sebesar 1.66 persen dari total luas pemanfaatan perkebunan aktual.
5. Peternakan Ruminansia
Salah satu faktor yang mempengaruhi kesesuaian ternak ruminansia yang berbasis lahan land based agriculture adalah dari aspek ketersediaan hijauan
makanan ternak HMT, selain faktor suhu, kemiringan permukaan atau faktor ekologis lainnya. Oleh karena itu kesesuaian budidaya ternak dapat dikaitkan
dengan wilayah tempat hidup ternak dan kesesuaian untuk tanaman hijauan makanan ternak. Beberapa jenis tanaman yang dapat dijadikan hijauan makanan
ternak adalah rumput gajah dan setaria, rumput alam, leguminosa, padi sawah jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah. Dengan demikian wilayah peternakan
ruminansia dimungkinkan menempati area padang rumput, semak, sekitar kebun campuran, tegalan dan hutan produksi. Tetapi dengan keterbatasan rincian
peruntukan lahan budidaya pada peta RTRW, maka analisis konsistensi
150 pemanfaatan lahan untuk budidaya ternak menjadi sulit dilakukan. Informasi total
luasan pemanfaatan lahan untuk padang rumput, semak, kebun campuran dan tegalan yang danggap sebagai area HMT pada peta landuse tidak dapat
diperbandingkan dengan total kawasan-budidaya-lainnya pada peta RTRW. Tidak seluruh jenis pemanfaatan lahan pada peta landuse tersebut merupakan area
peternakan ruminansia eksisting. Sebaliknya, tidak dapat dijeneralisasi bahwa seluruh kawasan budidaya-lainnya pada peta RTRWW dianggap sebagai area
peternakan. Generalisasi seluruh luas penggunaan lahan yang dianggap sebagai area HMT lokasi peternakan ruminansia akan menyebabkan interpretasi yang bias.
Begitu pula dengan generalisasi kawasan-budidaya-lainnya yang meliputi banyak jenis penggunaan lahan lain. Dengan alasan yang telah dikemukakan, maka untuk
analisis inkonsistensi ternak, dibatasi hanya pada area padang rumput, yang diasumsikan merupakan area pemusatan ternak ruminansia. Hasil analisis dengan
pendekatan ini masih mengandung kelemahan disebabkan tidak ada rincian jenis peruntukan dari kawasan-budidaya-lain pada peta RTRW.
Pemusatan budidaya ternak dengan jenis ternak yang berbeda sapi potong, sapi perah, kambing, domba dan kuda terdapat di seluruh kabupatenkota di Jawa
Barat. Tetapi hanya beberapa kabupaten yang didukung dengan ketersediaan lahan yang sesuai untuk padang rumput, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 52
dan Gambar 28. Dengan menumpangtindihkan peta RTRW dengan peta landuse diketahui bahwa pada kabupaten pemusatan ternak dengan kesesuaian lahan yang
’sesuai’, aktivitas ternak masyarakat yang inkonsisten terdapat di kabupaten Bandung, Garut, Sukabumi dan Cianjur, yang lebih banyak menempati kawasan
lindung. Sedangkan pada kabupaten Bekasi, Ciamis, Karawang dan Cirebon, luas area padang rumput yang terdapat di kawasan budidaya lebih banyak
dibandingkan dengan yang berada di area kawasan lindung dan hutan produksi. Secara kuantitatif, kondisi tersebut ditunjukkan pada Tabel 52. Dari total
luasannya, diketahui bahwa luas area padang rumput yang konsisten berada di kawasan budidaya 0.47 juta ha berbeda tipis dengan area yang inkonsisten 0.50.
Dari pendekatan analisis ini, ternak masih dapat digolongkan sebagai sektor pertanian unggulan, terutama di kabupaten pemusatan ternak yang tidak
bertentangan dengan RTRW provinsi, seperti Karawang, Bekasi, Ciamis dan Cirebon.
151 Tabel 52 Pemusatan produksi ternak, kesesuaian lahan, luas lahan padang
rumput yang konsisten dan inkonsisten dengan RTRW
Konsisten: Bdy lain Æ
P.Rumput Inkonsisten:
Kw.Lind, HP Æ P.Rumput
KabupatenKota Pemusatan
Produksi LQ Kesesuaian
Lahan P.Rumput
10 000 km
2
Bandung Pusat S1S2
0.02 0.04
Bekasi Pusat S1S2
0.07 0.01
Bogor Pusat S1S2
0.01 0.01
Ciamis Pusat S1S2
0.06 0.02
Cianjur Pusat S1S2
0.04 0.11
Cirebon Pusat S1S2
0.01 0.00
Garut Pusat S1S2
0.00 0.11
Indramayu Pusat S1S2
0.00 0.00
Karawang Pusat S1S2
0.12 0.02
Kota Bandung Pusat
- -
- Kota Banjar
Pusat -
- -
Kota Bekasi Pusat
- -
- Kota Bogor
Pusat -
- -
Kota Cimahi Pusat
- -
- Kota Cirebon
Pusat -
- -
Kota Depok Pusat
- -
- Kota Sukabumi
Pusat -
- -
Kota Tasikmalaya Pusat
- -
- Kuningan Pusat
- -
- Majalengka Pusat
S1S2 -
- Purwakarta Pusat
- -
- Subang Pusat
S1S2 0.01
0.01 Sukabumi Pusat
S1S2 0.13
0.17 Sumedang Pusat
- -
- Tasikmalaya Pusat
- -
- Total
0.47 0.50
Pada kasus Kabupaten Sukabumi, diperoleh hasil yang sangat berbeda, di mana luas pemanfaatan lahan padang rumput eksisting yang konsisten meliputi
76.83 persen dan yang inkonsisten sebesar 23.17 persen. Padahal dari hasil overlay peta tingkat provinsi diperoleh hasil bahwa pemanfaatan lahan yang inkonsisten
lebih besar dibandingkan dengan yang konsisten. Pada kasus Sukabumi ini, dinilai inkonsisten jika pemanfaatan padang rumput eksisting menempati area kawasan
lindung, hutan produksi, pemukiman perkotaan, kawasan pariwisata dan zona industri. Pemanfaatan lahan dinilai konsisten jika padang rumput eksisting
152 menempati area kawasan pertanian RTRW, yaitu ladang, kebun campuran, sawah
dan perkebunan. Keterbatasan peta skala rendah di tingklat provinsi telah menjeneralisasi kawasan budidaya pertanian menjadi kawasan lindung.
6. Unggas dan hasil-hasilnya