B K - K B

menunjukkan bahwa kabupaten jasa didukung oleh sumberdaya ekonomi di bidang jasa yang cukup baik dan dengan pertumbuhan yang mampu bersaing dengan sektor jasa wilayah lainnya di Jawa Barat. Tabel 16 Sektor kompetitif dan sektor komparatif kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat Sektor KabupatenKota TANI IND JASA TAMB LIGAS PDAG BNGN ANGK KEU Kabupaten Pertanian Garut B K B K B Cianjur K,B B K B B B K,B Tasikmalaya B B K B B B Sukabumi K,B K B K K K K K,B K,B Majalengka B K B K K B B B Cirebon K,B K,B K K,B B B B B Subang K,B K K,B K K K K Kuningan B K K,B K B B B Ciamis B B K B B K,B K,B Sumedang B B K K,B B K,B KabKota Industri Bekasi K, B K K K,B K K Kota Cimahi K B K B B Bogor K, B K B B Bandung K K, B K K K,B K K B Karawang K, B K B K,B K Kota Bekasi K, B K - K K,B K,B K,B B KabKota Jasa Kota Sukabumi K K B K B B B K,B Kota Tasikmalaya K B K B B B K,B Kota Bandung K B - K,B K,B B K,B K,B Kota Depok K K K,B - B B B K,B B Kota Bogor K K K,B - K,B B B K,B K,B Kota Cirebon K K,B - B B B B Purwakarta K B K K B B K,B K,B Kota Banjar B B K K,B B K,B B Kabupaten Pertambangan Indramayu B K K Sumber: Data PDRB Provinsi Jawa Barat tahun 2000 2004, diolah dengan analisis LQ dan SSA Keterangan: TANI : Pertanian TAMB : Pertambangan Penggalian IND : Industri Pengolahan JASA : Jasa-jasa LIGAS : Listrik, Gas Air Bersih PDAG : Pdag, Hotel Resto BNGN : Bangunan ANGK : Pengangkutan Komunikasi KEU : Keuangan, Persewaan K : Sektor Kompetitif B : Sektor Basis Jasa Tanda asterik menunjukkan sektor-sektor yang dikelompokkan menjadi sektor jasa Huruf B tebal menunjukkan sektor basis dengan nilai LQ terbesar 69 Gambar 5 Peta sektor basis dan kompetitif pertanian dan pertambangan Provinsi Jawa Barat. 70 Gambar 6 Peta sektor basis dan kompetitif industri di Provinsi Jawa Barat. 71 Gambar 7 Peta sektor basis dan kompetitif jasa di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Indramayu merupakan satu-satunya kabupaten yang mewakili kabupaten pertambangan. Nilai LQ sektor pertambangan kabupaten ini cukup mencolok diantara nilai LQ sektor lainnya di wilayah tersebut. Namun sektor ini ternyata tidak memiliki keunggulan kompetitif, yang diindikasikan dengan nilai differential shift yang negatif. Nilai negatif tersebut merupakan cerminan dari pertumbuhan sektor pertambangan Indramayu yang beberapa kali mengalami perlambatan atau pertumbuhan negatif selama periode 2001 - 2004. Kinerja Pembangunan Wilayah di Jawa Barat Kinerja pembangunan ekonomi regional Jawa Barat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya adalah melalui pertumbuhan PDRB, kontribusi pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten, tingkat pemerataan atau kesenjangan wilayah ataupun tingkat pengangguran, yang dianalisis pada masing-masing kelompok kabupatenkota Jawa Barat Pembangunan Ekonomi di Jawa Barat Pertumbuhan PDRB Wilayah Pada periode tahun 2000 – 2005, trend pertumbuhan PDRB Jawa Barat tampak berfluktuasi Gambar 8 dan Tabel 17. Laju pertumbuhan PDRB tertinggi dicapai pada tahun 2004, yaitu mencapai 5.45 persen per tahun, tetapi pada tahun 2005 laju pertumbuhannya turun menjadi 5.07 persen. Industri pengolahan yang mendominasi sektor ekonomi Jawa Barat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan PDRB provinsi ini. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kelompok kabupaten industri pengolahan 5.20 per tahun telah mengangkat angka rata-rata laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat 5.03 tahun. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kabupaten industri adalah yang tertinggi diantara keempat kelompok kabupatenkota. Kabupaten jasa, pada posisi kedua, juga memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan rata-rata laju pertumbuhan PDRB provinsi. Tabel 17 Pertumbuhan PDRB kelompok kabupaten di Provinsi Jawa Barat tahun 2001 – 2005 Tahun Kelompok Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata 2001-2005 Kab. Pertanian 4.82 4.55 4.09 4.69 4.49 4.43 Kab.Kota Industri 7.74 4.49 4.78 5.50 5.57 5.20 Kab.Kota Jasa 4.80 5.02 5.12 5.44 5.44 5.17 Kab.Kota Pertambangan 0.20 6.03 0.24 3.77 0.28 1.82 Jawa Barat 4.74 5.00 4.57 5.45 5.07 4.97 Sumber: BPS, beberapa tahun penerbitan 2001 – 2006 Gambar 8 Perkembangan pertumbuhan PDRB Jawa Barat dan kelompok kabupaten pertanian, industri, jasa dan pertambangan. Angka rata-rata laju pertumbuhannya sebesar 5.17 persen per tahun. Sementara kelompok kabupaten pertanian berada pada posisi ketiga dengan angka rata-rata laju pertumbuhan sebesar 4.43 persen. Walaupun angka tersebut berada di bawah angka rata-rata provinsi, rata-rata laju pertumbuhan PDRB kelompok kabupaten ini masih lebih tinggi dibandingkan kabupatenkota pertambangan 1.82 per tahun. Pertumbuhan yang rendah tersebut dapat 1,00 - 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun P er tum buhan P D R B tah un Jawa Barat Kab. Pertanian Kab.Kota Industri Kab.Kota Jasa Kab.Kota Pertambangan Tahun disebabkan ketersediaan sumberdaya alam yang bersifat nonrenewable dan ketergantungan yang kuat dari sektor pertambangan dengan perusahaan berskala besar tertentu. Dari analisis ini, terlihat adanya kecenderungan percepatan pembangunan di kabupatenkota industri dan jasa. Sebaliknya di kabupaten pertanian, pertumbuhan sektor ekonominya jauh tertinggal dibandingkan dengan kabupaten Tabel 18 Pertumbuhan PDRB kabupaten atas dasar harga konstan 2000 periode 2001 – 2005 per tahun Pertumbuhan PDRB Rata-rata 2001- 2005 No. KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005 Kabupaten Pertanian 1 Garut 3.62 3.96 2.70 4.01 4.16 3.69 2 Cianjur 3.69 3.74 3.68 3.97 3.82 3.78 3 Tasikmalaya 2.74 3.07 3.44 3.52 3.83 3.32 4 Sukabumi 8.15 7.65 6.05 6.77 3.66 6.45 5 Majalengka 4.89 3.31 3.25 4.09 4.47 4.00 6 Cirebon 4.88 4.12 4.04 4.67 5.06 4.56 7 Subang 4.60 7.41 6.22 7.29 6.90 6.48 8 Ciamis 2.90 4.27 4.07 4.36 4.58 4.04 9 Kuningan 4.25 4.07 3.50 3.98 3.94 3.95 10 Sumedang 3.66 3.95 3.93 4.30 4.48 4.06 Rata-rata 4.82 4.55 4.09 4.69 4.49 4.43 KabKota Industri 11 Bekasi 4.80 5.00 5.72 6.10 5.97 5.52 12 Kota Cimahi 4.26 4.03 4.18 4.34 4.56 4.28 13 Bogor 3.94 4.43 4.87 5.51 5.81 4.91 14 Bandung 4.91 4.97 5.02 5.63 5.01 5.11 15 Karawang 10.95 3.40 3.66 6.06 6.46 6.11 16 Kota Bekasi 5.09 5.12 5.25 5.36 5.60 5.29 Rata-rata 7.74 4.49 4.78 5.50 5.57 5.20 KabupatenKota Jasa 17 Kota Sukabumi 5.08 5.34 5.39 5.77 5.93 5.51 18 Kota Tasikmalaya 3.75 4.24 4.43 4.99 4.02 4.29 19 Kota Bandung 7.54 7.13 7.34 7.49 7.53 7.40 20 Kota Depok 5.89 6.10 6.29 6.41 6.93 6.32 21 Kota Bogor 5.68 5.79 6.07 6.10 6.12 5.95 22 Kota Cirebon 3.84 4.22 4.27 4.66 4.89 4.38 23 Purwakarta 3.50 4.00 3.01 3.72 3.51 3.55 24 Kota Banjar 3.14 3.30 4.20 4.40 4.63 3.93 Rata-rata 4.80 5.02 5.12 5.44 5.44 5.17 Kabupaten Pertambangan 25 Indramayu 0.20 6.03 0.24 3.77 0.28 1.82 Jawa Barat 4.74 5.00 4.57 5.45 5.07 4.97 Sumber: BPS, beberapa tahun penerbitan 2001-2006 industri dan jasa. Kondisi ini sangat berkaitan dengan perlakuan pembangunan terhadap wilayah dan sektor ekonomi utama yang menjadi penopang ekonomi masyarakatnya. Apabila dikaitkan dengan dominannya penduduk Jawa Barat yang bergantung pada sektor ini, seharusnya sektor pertanian perlu dipacu dan diberdayakan dengan mengoptimalkan segala sumberdaya lokal yang ada pada daerah tersebut. Kontribusi Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing kabupatenkota dalam membentuk trend PDRB provinsi. Tabel 19 menyajikan kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi kabupatenkota Jawa Barat pada periode 2001-2005. Pada periode tersebut, trend PDRB Jawa Barat cenderung mengalami peningkatan dan bertahan pada angka dua dijit 5 per tahun, kecuali pada tahun 2003 yang mengalami sedikit penurunan 4.57 per tahun. Dilihat dari persentase kontribusi pertumbuhan kabupaten terhadap pertumbuhan PDRB provinsi pada periode 2001-2005, terdapat perbedaan pola pada masing-masing kelompok kabupatenkota. Pada kelompok kabupatenkota jasa, secara umum kontribusi pertumbuhan sektor ekonominya relatif rendah, bahkan lebih rendah dari kelompok kabupaten pertanian. Pada umumnya, kontribusi pertumbuhan kabupatenkota jasa berada di dalam selang yang rendah 0.25 – 2.44 persen, kecuali kota Bandung 8.18 – 8.89 persen. Kota Bandung merupakan satu-satunya kota jasa yang memberikan angka kontribusi pertumbuhan yang tinggi, meninggalkan kabupatenkota jasa lainnya. Kabupaten pertanian menunjukkan kontribusi yang cenderung lebih tinggi dan lebih seragam, yaitu pada interval 1.38 - 4.00 persen. Sedangkan kabupatenkota industri, pada umumnya memberikan kontribusi yang tinggi, yaitu berada pada interval 4.96 - 16.99 persen, kecuali Kota Cimahi sekitar 2.0 persen. Informasi rendahnya kontribusi pertumbuhan dari kabupatenkota jasa terhadap laju pertumbuhan provinsi tidak muncul dalam analisis laju pertumbuhan sebelumnya. Dari analisis ini ditunjukkan bahwa kabupaten 76 Tabel 19 Kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi di Jawa Barat tahun 2001-2005 Kontribusi Sumber Pertumbuhan tahun Persentase No. KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005 2001 2002 2003 2004 2005 Kabupaten Pertanian 1 Garut 0.19 0.20 0.18 0.21 0.19 4.00 3.96 3.92 3.85 3.80 2 Cianjur 0.15 0.15 0.14 0.16 0.15 3.10 3.07 3.03 3.00 2.96 3 Tasikmalaya 0.10 0.10 0.09 0.10 0.10 2.01 1.97 1.93 1.91 1.88 4 Sukabumi 0.15 0.17 0.16 0.19 0.18 3.25 3.36 3.44 3.49 3.54 5 Majalengka 0.07 0.08 0.07 0.08 0.07 1.53 1.53 1.51 1.49 1.47 6 Cirebon 0.13 0.14 0.12 0.15 0.14 2.73 2.73 2.71 2.69 2.67 7 Subang 0.11 0.12 0.11 0.14 0.13 2.42 2.41 2.47 2.51 2.55 8 Kuningan 0.07 0.07 0.06 0.08 0.07 1.43 1.43 1.41 1.40 1.38 9 Ciamis 0.12 0.13 0.12 0.14 0.13 2.59 2.54 2.52 2.51 2.49 10 Sumedang 0.10 0.11 0.10 0.11 0.10 2.13 2.10 2.08 2.07 2.05 Kab.Kota Industri Pengolahan 11 Bekasi 0.79 0.83 0.76 0.92 0.86 16.69 16.70 16.70 16.88 16.99 12 Kota Cimahi 0.11 0.11 0.10 0.12 0.11 2.27 2.26 2.24 2.23 2.21 13 Bogor 0.48 0.50 0.46 0.55 0.51 10.12 10.05 9.99 10.02 10.03 14 Bandung 0.42 0.45 0.41 0.49 0.45 8.90 8.91 8.91 8.95 8.96 15 Karawang 0.26 0.29 0.26 0.31 0.29 5.43 5.75 5.66 5.61 5.64 16 Kota Bekasi 0.24 0.25 0.23 0.27 0.25 4.96 4.98 4.98 5.01 5.01 KabupatenKota Jasa - - - - - - - - - - 17 Kota Sukabumi 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.59 0.59 0.59 0.60 0.60 18 Kota Tasikmalaya 0.06 0.06 0.06 0.07 0.06 1.31 1.29 1.28 1.28 1.28 19 Kota Bandung 0.39 0.42 0.39 0.48 0.45 8.18 8.39 8.57 8.79 8.96 20 Kota Depok 0.09 0.10 0.09 0.11 0.10 1.91 1.93 1.95 1.98 2.00 21 Kota Bogor 0.07 0.07 0.07 0.08 0.08 1.46 1.47 1.49 1.51 1.52 22 Kota Cirebon 0.10 0.11 0.10 0.11 0.11 2.14 2.12 2.11 2.10 2.09 23 Purwakarta 0.12 0.12 0.11 0.13 0.12 2.44 2.41 2.39 2.35 2.31 24 Kota Banjar 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.27 0.26 0.26 0.26 0.25 KabupatenKota Pertambangan 25 Indramayu 0.39 0.39 0.36 0.41 0.37 8.15 7.77 7.85 7.49 7.37 Jawa Barat 4.74 5.00 4.57 5.45 5.07 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 pertanian sebenarnya memiliki kontribusi yang lebih baik terhadap pertumbuhan perekonomian Jawa Barat dibandingkan dengan kabupatenkota jasa pada umumnya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kelompok kabupatenkota industri dan jasa memiliki variasi kontribusi pertumbuhan yang cukup tinggi, sebaliknya kabupaten pertanian memperlihatkan kecenderungan yang lebih seragam. Indikasi ini memberikan sinyal bahwa sekalipun dengan sektor andalan yang sama, terjadi kecenderungan kesenjangan pertumbuhan ekonomi di dalam kelompok kabupaten industri atau jasa. Kesenjangan Wilayah Pendekatan Indeks Williamson Pendekatan popular untuk mengidentifikasi kesenjangan antarwilayah adalah analisis Indeks Williamson, yang menggunakan data dasar PDRB per kapita kabupatenkota di Jawa Barat. Dari hasil analisis, terungkap telah terjadi kesenjangan antarwilayah yang tinggi di Provinsi Jawa Barat, yang diindikasikan dengan angka indeks provinsi 0.6 pada rentang indeks kesenjangan sangat tinggi 0.5 – 1.0. Walaupun selama periode tahun 2000 – 2005, kecenderungan tingkat kesenjangan Provinsi Jawa Barat tidak terlalu fluktuatif Gambar 9, namun perlu diwaspadai bahwa sejak tahun 2003 nilai indeksnya cenderung naik. Ini menunjukkan bahwa selama periode tersebut, pembangunan ekonomi belum berhasil merata di kabupatenkota di provinsi ini, bahkan secara perlahan tingkat kesenjangan wilayah cenderung meningkat. Kabupatenkota industri diidentifikasi memiliki nilai indeks yang tertinggi diantara ketiga kelompok kabupaten tersebut dan termasuk ke dalam kategori kesenjangan tinggi. Nilai indeks kelompok kabupatenkota industri selama periode 2000 – 2005 meningkat dari 0.52 tahun 2000 menjadi 0.58 tahun 2005. Kecenderungan yang sama terjadi pada kabupatenkota jasa, dimana nilai indeks pada tahun 2005 0.52 sudah tergolong ke dalam kesenjangan wilayah yang tinggi. Nilai ini telah bergeser dari nilai tahun-tahun sebelumnya yang berada pada kesenjangan menengah sekitar 0.4. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pembangunan kabupatenkota industri dan jasa di Jawa Barat cenderung mengarah pada ketidakmerataan antarwilayah, sekalipun di dalam kelompoknya sendiri dengan sektor andalan yang sama. Sebaliknya pada kabupaten pertanian, 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun In d e k s W illi a m s o n Total Jawa Barat Kab. Pertanian Kab. Kota Indus tri Kab.Kota Jas a Gambar 9 Perkembangan Indeks Williamson kelompok kabupatenkota dan Provinsi Jawa Barat tahun 2000 - 2005. wilayah basis sektor pertanian tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Nilai indeks kelompok kabupaten pertanian selama periode tersebut berada pada interval 0.13 – 0.18, yang masih tergolong dalam kategori kesenjangan rendah. Dalam analisis ini, kabupaten pertambangan tidak disertakan, disebabkan hanya terdiri dari satu kabupaten Indramayu sehingga dinilai tidak representatif dalam menggambarkan kesenjangan antar kelompok kabupaten tersebut. Tabel 20 Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat, kabupaten pertanian, kabupatenkota industri, kabupatenkota jasa tahun 2000-2005 Total Jawa Barat Kabupaten Pertanian Kabupaten Kota Industri Pengolahan Kabupaten Jasa Tahun Nilai Kriteria Nilai Kriteria Nilai Kriteria Nilai Kriteria 2000 0.65 Tinggi 0.13 Rendah 0.52 Tinggi 0.44 Menengah 2001 0.64 Tinggi 0.13 Rendah 0.57 Tinggi 0.43 Menengah 2002 0.65 Tinggi 0.13 Rendah 0.56 Tinggi 0.44 Menengah 2003 0.63 Tinggi 0.15 Rendah 0.57 Tinggi 0.44 Menengah 2004 0.65 Tinggi 0.15 Rendah 0.57 Tinggi 0.47 Menengah 2005 0.66 Tinggi 0.18 Rendah 0.58 Tinggi 0.52 Tinggi Sumber: BPS Jawa Barat, beberapa tahun penerbitan 2001-2006, diolah Di sisi lain, tingkat kesenjangan kabupaten pertanian yang rendah, diikuti dengan PDRB per kapita yang rendah pula. Nilai rata-ratanya hanya setengah dari rata-rata pendapatan perkapita kelompok kabupaten lainnya Lampiran 6. Nilai tambah yang rendah dari sektor pertanian, sebagai basis andalan daerah, telah membentuk pendapatan masyarakat pertanian yang rendah pula. Oleh karena itu, pada wilayah tersebut perlu dilakukan pembenahan pembangunan pertanian secara mendasar. Kesenjangan Tingkat Pendapatan Pendekatan Gini Ratio Analisis yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kesenjangan pendapatan penduduk adalah gini ratio atau indeks gini. Data dasar disajikan pada Lampiran 7 dan 8. Hasil analisis Tabel 21 menunjukan bahwa pada dua titik waktu 2002 dan 2005, kesenjangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan dan tingkat kesenjangan pendapatan cenderung semakin tajam di tahun 2005. Jika dikaitkan dengan wilayah administratif kota Tabel 21 Indeks Gini pendapatan penduduk perkotaan, perdesaan dan agregat Provinsi Jawa Barat tahun 2002 dan 2005 Tahun Perkotaan Perdesaan Agregat 2002 0.29 0.22 0.29 2005 0.32 0.26 0.34 Sumber: BPS 2002 dan BPS 2006, diolah Jawa Barat yang seluruhnya didukung oleh sektor industri atau jasa, dan dengan data bahwa persentase desa yang diklasifikasikan sebagai desa pertumbuhan jauh lebih banyak pada daerah administratif kota Lampiran 9, maka indikasi ini menunjukkan bahwa kabupaten dengan andalan sektor industri atau sektor jasa di Jawa Barat berpotensi memunculkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Percepatan pembangunan di pusat pertumbuhan yang diikuti dengan bergairahnya berbagai jenis usaha perekonomian, telah memperlebar senjang antara masyarakat yang mampu menangkap peluang bisnis bernilai tambah tinggi dengan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Masyarakat yang tidak memiliki kapasitas tersebut menjadi terpinggirkan dan mengambil bagian dari sektor informal yang bernilai tambah marjinal. Sementara kondisi tingkat kesejahteraan yang rendah dan minimnya fasilitas usaha di perdesaan, yang sangat kontradiktif dengan kondisi perkotaan, juga ikut mendorong masyarakat desa berkompetisi untuk berusaha di perkotaan. Kesenjangan Penguasaan Lahan dan Fragmentasi Lahan Indeks Gini penguasaan lahan hasil analisis disajikan pada Tabel 22 dan Tabel 23, sedangkan data dasar disajikan pada Lampiran 10. Secara agregat, Tabel 22 menunjukkan bahwa angka Indeks Gini beberapa kabupaten pada kelompok kabupatenkota industri atau jasa 0.28 – 0.61 berada pada interval kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan angka indeks kabupaten pertanian dan pertambangan 0.64 – 0.76, kecuali Kota Banjar 0.74, Purwakarta 0.69, Karawang 0.66 dan Kota Bandung 0.65. Tabel 22 Indeks Gini penguasaan lahan kelompok kabupaten Jawa Barat tahun 2004 Rata-rata Proporsi RT Pertanian berdasarkan Golongan Penguasaan Luas Lahan Kelompok KabupatenKota Interval Indeks Gini 999 m 2 1 000 - 4 999 m 2 5 000 - 9 999 m 2 10 000 - 19 999 m 2 20 000 - 29 999 m 2 30 000 m 2 Kab. industri jasa 0.28 - 0.61 0.65 - 0.74 48.0 36.8 9.1 4.0 1.1 1.0 Kab.Pertanian Petambangan 0.64 - 0.76 22.9 53.0 15.6 6.2 1.4 0.9 Keterangan: menunjukkan nilai ekstrim atau di luar nilai rata-rata Indeks Gini kabupatenkota pada umumnya Sebaran nilai Indeks Gini kabupatenkota kurang menunjukkan pola yang signifikan untuk mendeskripsikan tingkat kesenjangan lahan. Selain itu, interpretasi tingkat kesenjangan lahan tidak dapat disamakan dengan interpretasi tingkat kesenjangan pendapatan seperti yang telah dipaparkan. Tingkat penguasaan lahan yang merata tidak berarti menunjukkan kondisi yang diharapkan. Selain itu, kondisi sesungguhnya lahan pertanian di Jawa Barat pada umumnya telah terfragmentasi menjadi luasan lahan yang sempit, sehingga sangat dimungkinkan penguasaan lahan dominan berada pada lahan-lahan yang sempit hingga luasan skala menengah. Dengan alasan tersebut, maka interpretasi akan lebih rasional dan akan lebih ditekankan pada penelusuran data rata-rata proporsi jumlah rumah tangga pertanian berdasarkan golongan penguasaan luas lahan, yang dapat menunjukkan kecenderungan sebaran fragmentasi lahan pada masing-masing kelompok kabupaten. Tabel 23 Indeks Gini penguasaan lahan kabupatenkota di Jawa Barat Gini Ratio KabupatenKota Kelompok Kabupaten Perkotaan Perdesaan Agregat 1. Bogor Industri 0.48 0.81 0,57 2. Sukabumi Pertanian 0.45 0.81 0,69 3. Cianjur Pertanian 0.46 0.80 0,72 4. Bandung Industri 0.47 0.83 0,61 5. Garut Pertanian 0.42 0.81 0,69 6. Tasikmalaya Pertanian 0.40 0.81 0,68 7. Ciamis Pertanian 0.41 0.80 0,76 8. Kuningan Pertanian 0.37 0.83 0,74 9. Cirebon Pertanian 0.51 0.79 0,64 10. Majalengka Pertanian 0.40 0.82 0.73 11. Sumedang Pertanian 0.40 0.81 0.74 12. Indramayu Pertambangan 0.53 0.77 0.73 13. Subang Pertanian 0.57 0.79 0.69 14. Purwakarta Jasa 0.48 0.80 0.69 15. Karawang Industri 0.58 0.76 0.66 16. Bekasi Industri 0.60 0.77 0.60 17. Kota Bogor Jasa 0.52 0.87 0.28 18. Kota Sukabumi Jasa 0.48 0.87 0.48 19. Kota Bandung Jasa 0.65 0.65 20. Kota Cirebon Jasa 0.50 0.50 21. Kota Bekasi Industri 0.42 0.42 22. Kota Depok Jasa 0.46 0.87 0.33 23. Kota Cimahi Industri 0.50 0.50 24. Kota Tasikmalaya Jasa 0.45 0.84 0.56 25. Kota Banjar Jasa 0.39 0.81 0.74 Keterangan: Tanda asterik menunjukkan indeks gini tidak dihasilkan karena pada wilayah tersebut tidak terdapat daerah perdesaan Jika mengacu pada nilai Indeks Gini, ditunjukkan bahwa nilai indeks relatif rendah pada wilayah kabupatenkota industrijasa. Hal tersebut disebabkan proporsi jumlah rumah tangga yang memiliki dua interval luas lahan yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat 999 m 2 dan 10 000 – 4 999 m 2 , nilainya tidak berbeda jauh atau tersebar lebih merata. Jika dilakukan penelusuran data dasarnya, diketahui bahwa pada kabupatenkota industri dan jasa, rata-rata proporsi rumah tangga yang memiliki lahan paling sempit 999 m 2 cukup besar, yaitu mencapai 48.0 persen, sedangkan pada kabupaten pertanianpertambangan hanya sekitar 22.9 persen. Pada kabupaten pertanianpertambangan ini, proporsi jumlah rumah tangga terbanyak 53.0 berada pada golongan penguasaan lahan yang setingkat lebih luas, yaitu 1 000 – 4 999 m 2 . Ini menunjukkan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan di kabupaten kota industri atau jasa lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pertanian pertambangan Tabel 22. Kecenderungan seperti yang telah diuraikan tercermin terutama di daerah perkotaan. Di daerah perkotaan, kecenderungan fragmentasi lahan pada kabupatenkota industri dan jasa terutama di kota administratifnya lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pertanian Lampiran 10. Hal ini mengindikasikan bahwa di daerah perkotaan, proses fragmentasi lahan dipercepat oleh aktivitas sektor ekonomi basis wilayah dan penerapan pembangunan pusat pertumbuhan. Di wilayah perdesaan, kecenderungan fragmentasi lahan hanya terjadi pada kabupaten dengan status administratif kota, kecuali Kota Banjar dan Kota Tasikmalaya. Dapat dikatakan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan tersebut tidak signifikan tidak kentara di daerah perdesaan wilayah administratif kabupaten, baik kabupaten pertanian maupun kabupaten industri atau jasa yang bukan kota administratif. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan di perdesaan lebih dipicu oleh faktor percepatan pembangunan di pusat pertumbuhan di kota administratif, dibandingkan faktor sektor ekonomi yang menjadi basis perekonomian wilayah. Tingkat Pengangguran Analisis tingkat pengangguran, sebagaimana analisis lainnya, didekati dengan membagi kabupatenkota ke dalam empat kelompok sektor utama. Data dasar disajikan pada Lampiran 11, sedangkan hasil analisis tingkat pengangguran per kabupatenkota Jawa Barat disajikan pada Tabel 24. Gambar 10 memperlihatkan bahwa selama periode 2001-2005, trend tingkat pengangguran yang tertinggi terjadi pada kelompok kabupatenkota jasa. Walaupun berdasarkan Tabel 24, kabupaten pertambangan Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten yang memiliki rata-rata tingkat pengangguran tertinggi, namun angka rata-rata yang tinggi ini sebenarnya akibat adanya lonjakan tingkat pengangguran yang tinggi pada tahun 2002, yaitu mencapai 64.52. Tetapi pada tahun berikutnya 2003 sampai tahun 2005 kembali normal, bahkan nilainya lebih rendah dibandingkan kelompok kabupaten lainnya. Tabel 24 Perkembangan tingkat pengangguran kelompok kabupaten di Jawa Barat 2001-2005 Tahun Kelompok Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata Tahun 2001-2005 Kabupaten Pertanian 4.94 12.37 12.82 9.80 9.27 9.84 KabupatenKota Industri 8.69 16.77 17.14 15.38 14.84 14.56 KabupatenKota Jasa 9.60 17.62 19.20 14.26 14.35 15.01 Kabupaten Pertambangan 2.89 64.52 10.10 8.39 8.21 18.82 Jawa Barat 6.61 15.18 15.42 12.25 11.91 12.27 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, beberapa tahun penerbitan 2001-2006, diolah - 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun T ing k at P en gan ggur a n Kab. Pertanian Kab.Kota Industri Kab.Kota Jasa Kab.Kota Pertambangan Jaw a Barat Gambar 10 Tingkat pengangguran kelompok kabupaten di Provinsi Jawa Barat 2001-2005. Apabila nilai ekstrim tingkat pengangguran pada kabupaten pertambangan dikeluarkan, maka dapat ditunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi terjadi pada kelompok kabupatenkota jasa, kemudian diikuti oleh kabupatenkota industri, kabupaten pertanian dan kabupatenkota pertambangan. Rata-rata tingkat pengangguran kabupaten jasa dan industri berada di atas angka rata-rata provinsi Jawa Barat. Ini menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada sektor industri ternyata belum mampu menangani atau justru berpotensi menimbulkan masalah pengangguran di Tabel 25 Perkembangan tingkat pengangguran di Jawa Barat tahun 2001-2005 Tingkat Pengangguran KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005 KabupatenKota Pertanian Garut 5.32 5 12.80 5 17.15 1 9.43 6 7.47 9 Cianjur 6.72 1 10.63 8 11.80 7 10.90 3 9.18 4 Tasikmalaya 5.15 6 13.21 3 13.95 4 10.52 4 8.99 5 Sukabumi 4.83 7 13.49 2 15.77 3 12.48 1 13.77 1 Majalengka 3.85 9 10.46 9 10.88 8 8.26 9 8.41 6 Cirebon 4.33 8 17.63 1 16.16 2 12.47 2 12.51 2 Subang 5.44 4 10.66 7 8.73 10 8.26 8 7.66 8 Kuningan 6.02 2 12.31 6 12.41 5 9.49 5 10.17 3 Ciamis 1.94 10 9.32 10 9.52 9 7.74 10 6.29 10 Sumedang 5.82 3 13.16 4 11.82 6 8.46 7 8.25 7 Rata-rata 4.94 12.37 12.82 9.80 9.27 Kab.Kota Industri Bekasi 4.81 5 15.91 4 12.53 5 10.56 6 9.71 6 Kota Cimahi - - - 6 19.96 1 19.58 1 Bogor 6.24 4 14.91 5 18.15 3 12.70 5 12.77 4 Bandung 9.43 3 16.85 2 19.13 2 16.71 2 17.23 2 Karawang 10.22 2 19.39 1 20.97 1 16.55 3 17.18 3 Kota Bekasi 12.75 1 16.82 3 14.93 4 15.81 4 12.55 5 Rata-rata 8.69 16.77 17.14 15.38 14.84 KabupatenKota Jasa Kota Sukabumi 14.51 24.93 22.89 20.39 18.09 Kota Tasikmalaya - - - 12.67 14.33 Kota Bandung 9.33 16.43 20.41 14.14 14.45 Kota Depok 9.38 17.82 15.80 12.88 12.79 Kota Bogor 8.09 16.49 19.45 16.18 16.35 Kota Cirebon 9.05 16.43 16.79 11.75 12.61 Purwakarta 7.23 13.61 19.87 10.36 9.93 Kota Banjar - - - 15.66 16.25 Rata-rata 9.60 17.62 19.20 14.26 14.35 Kab.Kota Pertambangan Indramayu 2.89 64.52 10.10 8.39 8.21 Ket.: Kolom tanda asterik menunjukkan peringkat tingkat penggangguran dari angka yang tertinggi Sumber: BPS Jawa Barat beberapa tahun penerbitan 2001-2005, diolah Provinsi Jawa Barat. Pengembangan industri padat modal memiliki keterbatasan untuk menampung tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Tingkat pengangguran terendah selama periode tahun 2002 – 2005 terjadi pada kabupaten pertanian. Tabel 25 menunjukkan bahwa pada tahun 2004, kabupaten Ciamis, Subang dan Majalengka merupakan kabupaten dengan tingkat pengangguran terendah di Jawa Barat. Sedangkan pada tahun 2005, tingkat pengangguran terendah provinsi terjadi di kabupaten Ciamis dan Garut. Kabupaten tersebut semuanya dari kelompok kabupaten pertanian. Dari tabel tersebut ditunjukkan bahwa angka tertinggi tingkat pengangguran di kabupaten pertanian terpaut cukup jauh dengan angka tingkat pengangguran tertinggi di kabupatenkota industri dan kabupatenkota jasa. Indikasi ini dapat menunjukkan bahwa sektor pertanian yang menopang perekonomian masyarakat di kabupaten pertanian lebih akomodatif dalam menyerap tenaga kerja. Namun analisis ini hanya terbatas pada tingkat pengangguran terbuka dan tidak mempertimbangkan angka setengah pengangguran, yang umumnya menggejala di kantung-kantung pertanian. Pada daerah pertanian, kondisi yang sering terjadi adalah banyaknya pekerja petani yang bekerja di bawah kapasitas produksi atau jam kerja standar, yang disebut dengan setengah pengangguran. Fakta ini diperkuat dengan laporan BPS berdasarkan data Sakerda 2003 BPS Jawa Barat 2003 yang menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang lebih tinggi berada di wilayah Sukabumi-Cianjur yang merupakan kabupaten pertanian, yaitu sebesar 40.86 persen. Kabupaten Indramayu, yang mewakili kabupaten pertambangan, memiliki angka tingkat pengangguran yang rendah. Tingginya rata-rata tingkat pengangguran dalam periode 2001-2005, disebabkan adanya angka ekstrim tingkat pengangguran pada tahun 2002. Sebagian besar penduduk kabupaten ini bekerja di sektor pertanian. Pembangunan Kesejahteraan Manusia Indeks Kemiskinan Manusia IKM dan Jumlah Penduduk Miskin Indeks Kemiskinan Manusia menggunakan indikator-indikator deprivasi keterbelakangan yang paling mendasar, yaitu berumur pendek, ketidaktersediaan akses terhadap sumberdaya publik dan sumberdaya privat. Indeks ini berlandaskan pada konsep deprivasi di mana kemiskinan dipandang sebagai akibat tidak tersedianya kesempatan dan pilihan. Bagi para pembuat kebijakan, kemiskinan dari sudut pandang tersedianya pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan, seringkali lebih relevan dibandingkan dengan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan karena perhatian lebih terfokus pada penyebab dari kemiskinan dan secara langsung terkait dengan strategi pemberdayaan dan upaya–upaya lainnya untuk meningkatkan kesempatan bagi semua orang BPS, Bappenas, UNDP 2001. Kemiskinan yang diukur dari aspek pendapatan tidak selalu sejalan dengan IKM, disebabkan kedua ukuran tersebut mengukur aspek kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan pendapatan, yang dinyatakan dalam bentuk proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan angka kemiskinan, mengukur keterbelakangan relatif pada standar kehidupan yang sudah dicapai, sedangkan IKM mengukur keterbelakangan yang dapat menghambat kesempatan penduduk untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Namun terdapat kecenderungan pada wilayah dengan IKM yang lebih tinggi IKM menengah atas, memiliki persentase jumlah penduduk miskin yang tinggi pula dan sebaliknya pada wilayah dengan yang IKM rendah. Cianjur, misalnya, yang menduduki posisi IKM tertinggi, persentase jumlah penduduk miskinnya sebesar 19,50 persen dari seluruh penduduk kabupaten ini Tabel 26. Angka tersebut merupakan nilai persentase tertinggi diantara kabupaten lainnya. Begitu pula dengan Indramayu dan Garut, persentase jumlah penduduk miskinnya cukup tinggi, yaitu berturut-turut adalah 17.46 persen dan 15.48 persen. Sebaliknya pada wilayah administratif kota yang memiliki angka IKM rendah, persentase jumlah penduduk miskinnya jauh lebih rendah, yaitu kurang dari 10 persen, kecuali kota Banjar 10.67 . Sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat kaitan antara angka IKM dengan jumlah penduduk miskin. Atau dengan kata lain bahwa keterbatasan ketersediaan fasilitas pelayanan pokok diukur dengan IKM dapat menghambat kesempatan masyarakat untuk mencapai standar hidup yang layak diukur dengan jumlah penduduk miskin. Kondisi IKM Jawa Barat Tahun 2003 Kondisi Indeks Kemiskinan Manusia IKM Jawa Barat pada tahun 2003 ditampilkan pada Tabel 27, dan komponen IKM dan IPM disajikan pada Lampiran 12 dan 13. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan UNDP, maka kabupaten kota di Jawa Barat terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu IKM Menengah Atas 25 ≤ IKM ≤ 40 dan IKM Menengah Bawah IKM 25. Terdapat tiga kabupaten yang tergolong dalam IKM Menengah Atas, sedangkan selebihnya 22 kabupatenkota termasuk ke dalam kelompok IKM Menengah Bawah. Tiga kabupaten yang tergolong ke dalam IKM Menengah Atas tersebut adalah kabupaten Cianjur, Indramayu dan Garut. Tabel 26 Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat tahun 2003-2004 2003 2004 Jumlah Jumlah No. KabupatenKota ribu Jiwa ribu Jiwa 1 Bogor 476.40 12.56 453.40 11.94 2 Sukabumi 353.90 16.32 321.40 14.70 3 Cianjur 388.80 19.05 357.90 17.36 4 Bandung 515.50 12.78 483.60 11.84 5 Garut 338.70 15.48 338.30 15.37 6 Tasikmalaya 285.70 17.99 260.90 16.14 7 Ciamis 228.10 15.18 221.90 14.73 8 Kuningan 201.70 19.50 196.80 18.95 9 Cirebon 352.40 17.29 341.20 16.59 10 Majalengka 203.70 17.66 202.00 17.42 11 Sumedang 130.10 12.82 120.30 11.74 12 Indramayu 288.60 17.46 273.00 16.49 13 Subang 220.40 16.07 202.50 14.67 14 Purwakarta 97.60 13.09 95.50 12.60 15 Karawang 256.00 13.60 252.10 13.28 16 Bekasi 127.50 6.86 121.70 6.35 17 Kota Bogor 65.20 8.23 67.70 7.85 18 Kota Sukabumi 20.50 7.67 16.80 6.16 19 Kota Bandung 88.10 3.95 75.50 3.38 20 Kota Cirebon 21.20 7.76 20.70 7.52 21 Kota Bekasi 58.10 3.15 58.20 3.04 22 Kota Depok 65.00 4.96 64.00 4.84 23 Kota Cimahi 45.50 9.68 43.50 8.85 24 Kota Tasikmalaya 52.70 9.32 48.60 8.48 25 Kota Banjar 17.30 10.67 16.90 10.33 Jawa Barat 4.898.70 12.90 4.654.40 12.10 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2005b Tabel 27 memperlihatkan bahwa secara umum angka IKM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Kabupaten Cianjur, yang termasuk kelompok kabupaten pertanian, merupakan kabupatenkota dengan IKM tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Kemudian diikuti oleh kabupaten lainnya, yaitu Indramayu kabupaten pertambangan, Garut kabupaten pertanian, Karawang kabupaten industri pengolahan dan beberapa kabupaten yang mengandalkan perekonomiannya dari sektor pertanian. Tabel 27 Nilai Indeks Kemiskinan Manusia IKM kabupatenkota di Jawa Barat tahun 2003 menurut peringkat Pering- kat KabupatenKota Kelompok KabKota IKM Kelas IKM 1 Cianjur Pertanian 25.80 Menengah Atas 1 Indramayu Pertambangan 25.80 Menengah Atas 2 Garut Pertanian 25.20 Menengah Atas 3 Karawang Ind. Pengolahan 24.40 Menengah Bawah 4 Tasikmalaya Pertanian 24.30 Menengah Bawah 5 Subang Pertanian 23.00 Menengah Bawah 6 Cirebon Pertanian 22.80 Menengah Bawah 7 Kuningan Pertanian 22.50 Menengah Bawah 8 Kota Tasikmalaya Jasa 22.20 Menengah Bawah 9 Bogor Ind. Pengolahan 21.70 Menengah Bawah 10 Bandung Ind. Pengolahan 21.50 Menengah Bawah 11 Sukabumi Pertanian 21.30 Menengah Bawah 12 Purwakarta Jasa 20.90 Menengah Bawah 13 Ciamis Pertanian 20.70 Menengah Bawah 14 Majalengka Pertanian 20.40 Menengah Bawah 15 Sumedang Pertanian 19.00 Menengah Bawah 16 Kota Sukabumi Jasa 18.60 Menengah Bawah 17 Bekasi Ind. Pengolahan 18.30 Menengah Bawah 18 Kota Bogor Jasa 17.40 Menengah Bawah 19 Kota Banjar Jasa 17.30 Menengah Bawah 20 Kota Depok Jasa 16.20 Menengah Bawah 21 Kota Bekasi Ind. Pengolahan 15.70 Menengah Bawah 22 Kota Cirebon Ind. Pengolahan 14.80 Menengah Bawah 23 Kota Cimahi Ind. Pengolahan 14.10 Menengah Bawah 24 Kota Bandung Jasa 10.20 Menengah Bawah Jawa Barat 21.00 Menengah Bawah Sumber: Bapeda dan BPS Provinsi Jawa Barat, 2004a Kabupaten Pertanian yang memiliki angka IKM tinggi, juga merupakan kabupaten yang memiliki proporsi desa tertinggal terbanyak di Jawa Barat. Berdasarkan data BPS dan Bapeda Provinsi Jawa Barat 2006, tiga kabupaten dengan desa tertinggal terbesar secara berturut-turut adalah kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Cianjur. Sementara pada kabupaten tersebut, jumlah desa pusat pertumbuhannya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya 8 . Sebaliknya dengan daerah perkotaan yang berbasis sektor industri dan jasa, kebanyakan dari kota tersebut tidak memiliki desa tertinggal dan dengan proporsi jumlah desa pusat pertumbuhan yang tinggi Lampiran 9. Kabupaten Indramayu, pada posisi kedua IKM tertinggi, walaupun memiliki sumberdaya tambang yang besar, namun dampak pembangunannya belum terlihat nyata bagi kesejahteraan masyarakatnya. Kabupaten ini dimasukkan ke dalam kelompok kabupaten pertambangan, disebabkan kontribusi sektor pertambangan yang tinggi terhadap PDRB provinsi. Namun perkonomian masyarakat di kabupaten ini sebenarnya lebih bergantung pada sektor pertanian, sementara sektor pertambangan tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data Susenas 2003 sebagian besar masyarakat kabupaten ini 52.58 bekerja di sektor pertanian dan hanya 1.55 persen yang bekerja pada sektor pertambangan dan penggalian yang menjadi sektor andalannya. Luas panen sawahnya pun merupakan yang terbesar diantara kabupaten lainnya di Jawa Barat. Kabupaten Karawang, pada posisi ke-3 IKM tertinggi, memiliki komposisi tenaga kerja yang mirip dengan Kabupaten Indramayu. Sumbangan PDRB-nya didominasi oleh industri pengolahan, tetapi jika ditinjau dari aspek tenaga kerjanya data Susenas 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian. Sebanyak 281 155 jiwa atau 41.94 persen masyarakatnya bekerja di sektor pertanian. Jumlah ini jauh melampaui jumlah pekerja pada sektor unggulan kabupaten sendiri, yaitu industri pengolahan 107 204 jiwa atau 15.99 persen. Daerah yang memiliki nilai IKM relatif rendah terjadi pada kota-kota yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor industri dan sektor jasa. Kota-kota tersebut adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Banjar dan Kota Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Sukabumi. Kota Bandung merupakan kota yang teridentifikasi sebagai kota dengan IKM terendah di Provinsi Jawa Barat. Sektor perekonomian kota ini didominasi oleh sektor jasa dan sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor tersebut, terutama di bidang jasa perdagangan, hotel dan restoran 35.78 . Hanya sebesar 1.29 persen masyarakatnya yang bekerja di sektor pertanian. Perkembangan Kondisi IKM Jawa Barat Tahun 2002-2003 Jika dibandingkan antara kondisi IKM tahun 2003 dengan kondisi IKM tahun 2002, secara umum telah terjadi peningkatan kesejahteraan, yang diindikasikan dengan angka IKM tahun 2003 yang mengalami penurunan pada seluruh kabupaten kota. Tetapi tidak terjadi perubahan pola yang signifikan, Tabel 28 Nilai Indeks Kemiskinan Manusia IKM Kabupatenkota di Jawa Barat Tahun 2002 Menurut Peringkat Peringkat KabupatenKota Kelompok KabKota IKM Kelas 1 Karawang Ind. Pengolahan 29.80 Menengah Atas 2 Indramayu Pertambangan 28.80 Menengah Atas 3 Tasikmalaya Pertanian 27.80 Menengah Atas 3 Kota Tasikmalaya Jasa 27.80 Menengah Atas 4 Garut Pertanian 27.70 Menengah Atas 5 Cianjur Pertanian 27.40 Menengah Atas 6 Cirebon Pertanian 26.70 Menengah Atas 7 Subang Pertanian 25.60 Menengah Atas 8 Bandung Ind. Pengolahan 25.00 Menengah Atas 8 Kota Cimahi Ind. Pengolahan 25.00 Menengah Atas 9 Sukabumi Pertanian 24.70 Menengah Bawah 10 Kuningan Pertanian Jasa 23.00 Menengah Bawah 11 Majalengka Pertanian 22.60 Menengah Bawah 11 Ciamis Jasa 22.60 Menengah Bawah 11 Kota Banjar Jasa 22.60 Menengah Bawah 12 Bogor Ind. Pengolahan 22.20 Menengah Bawah 12 Purwakarta Jasa 22.20 Menengah Bawah 13 Sumedang Jasa 21.10 Menengah Bawah 14 Kota Cirebon Ind. Pengolahan 18.50 Menengah Bawah 15 Kota Bekasi Ind. Pengolahan 18.40 Menengah Bawah 16 Kota Sukabumi Jasa 18.10 Menengah Bawah 17 Bekasi Ind. Pengolahan 17.10 Menengah Bawah 18 Kota Bogor Jasa 15.60 Menengah Bawah 19 Kota Depok Jasa 15.10 Menengah Bawah 20 Kota Bandung Jasa 13.50 Menengah Bawah Jawa Barat 23.00 Menengah Bawah Sumber: BPS, Bappenas dan UNDP, 2004 dimana pada umumnya angka IKM kabupaten pertanianpertambangan masih lebih tinggi terhadap kabupatenkota industri atau jasa. Bahkan dari aspek yang bersifat sangat pokok, seperti akses menuju air bersih, diketahui dari komponen IKM terdapat 8 kabupaten dari 10 kabupaten pertanian, yang lebih dari setengah penduduknya tidak memilki akses ke air bersih. Pada tahun berikutnya 2003, jumlah ini menurun menjadi 6 kabupaten. Sebaliknya, pada kabupatenkota dengan IKM relatif rendah, akses menuju air bersih bukan merupakan persoalan. Perkembangan atau perubahan kelas Indeks Kemiskinan Manusia dapat dilihat pada Peta Perkembangan IKM 2002-2003 pada Gambar 11 atau secara tabulasi ditunjukkan pada Tabel 27 dan Tabel 28. Analisis ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan fasilitas pokok tersebar tidak merata, di beberapa wilayah basis pertanian ketersediaannya sangat terbatas, sementara di wilayah perkotaan dengan basis sektor sekunder dan tersier tersedia dengan kualitas yang memadai. Jika fasilitas yang bersifat sangat pokok saja air bersih tidak tersedia atau dengan kondisi di bawah standar, maka menjadi logis jika ketersediaan fasilitas usaha pun sangat minimal, sehingga tidak memungkinkan masyarakat tani untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi yang tidak segera dibenahi ini akan menyebabkan lebih banyak kantung-kantung kemiskinan yang terkonsentrasi pada wilayah pertanian. Angka Indeks Pembangunan Manusia Tabel 29 dan Tabel 30 menyajikan Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2002 dan 2005, diurut dimulai dari nilai yang tertinggi. Komponen pembentuk IPM disajikan pada Lampiran 13. Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai IPM tertinggi tingkat kesejahteraan baik dimiliki oleh daerah administratif yang berbentuk kota dan mengandalkan perekonomiannya pada sektor jasa dan sektor industri pengolahan. Kota Depok merupakan kota yang memiliki nilai IPM tertinggi 73.69 di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002. Nilai IPM yang tinggi di Kota Depok disumbang dari komponen ’angka harapan hidup’ pada saat lahir dan ’angka rata-rata pengeluaran per kapita riil disesuaikan’. Angka-angka tersebut merupakan angka tertinggi diantara kabupatenkota lainnya. Ini menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, terutama dalam hal persalinan, dan perbaikan nutrisi ibu, sudah melebihi kapasitas standar. Kabupaten pertanian, kecuali Tasikmalaya, tergolong dalam kelompok IPM Menengah Rendah yang tersebar dalam interval 62.0 sampai 64.5. Kabupaten- 92 Gambar 11 Peta perkembangan IKM 2002-2003 dan tingkat pengangguran di Jawa Barat. kabupaten tersebut memiliki komponen angka melek huruf yang tergolong menengah dan dengan angka rata-rata pengeluaran per kapita riil yang relatif rendah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada kabupaten pertanian tersebut masih belum hidup secara layak yang diindikasikan dengan tingkat pengeluaran per kapita yang rendah tersebut. Nilai tambah yang diperoleh dari hasil pertanian tidak dapat memberi penghidupan yang layak bagi kesejahteraan petani. Sementara kesempatan untuk mengenyam pendidikan terbatas sampai tingkat menengah. Sarana pendidikan tinggi terkonsentrasi pada kota-kota dengan sektor tersier sebagai andalannya. Kabupaten Indramayu, merupakan kabupaten yang memiliki IPM terendah pada tahun 2002 Tabel 29. Angka komponen IPM yang rendah terutama pada aspek pendidikan. Angka rata-rata lama sekolah 5,1 tahun dan angka melek huruf 76,2 kabupaten ini adalah yang paling rendah di antara kabupatenkota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Kabupaten Cirebon pada urutan kedua terendah, nilai seluruh komponen IPM-nya tergolong rendah, walaupun bukan merupakan angka yang paling rendah. Dan Kabupaten Garut posisi ketiga terendah memiliki angka komponen terendah pada ’angka harapan hidup’ dan ’angka rata-rata pengeluaran per kapita riil’ yang rendah. Perkembangan IPM tahun 2002 - 2005 Dengan membandingkan Tabel 29 dan Tabel 30, diketahui bahwa pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan nilai IPM pada seluruh kabupatenkota dari tahun dasar 2002. Dalam penyajian kartografis, perkembangan tersebut dapat dilihat pada Peta Perkembangan IPM 2002-2005 Gambar 12. Naiknya nilai IPM ini menyebabkan pergeseran kelas IPM pada beberapa kabupatenkota. Walaupun terjadi peningkatan nilai IPM pada seluruh kabupaten kota, namun pola urutan kabupaten kota tidak mengalami perubahan berarti. Kabupatenkota yang sektor unggulannya adalah sektor industri dan sektor jasa masih menempati posisi teratas tetapi sebaliknya dengan kabupatenkota pertanian. Pola ini mengindikasikan bahwa sekalipun terjadi perbaikan pada setiap kabupaten, namun program pembangunan masih bertahan dengan pola paradigma pembangunan yang lama. Wilayah perkotaan yang dijadikan sebagai pusat pertumbuhan masih Tabel 29 Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2002 menurut kelompok kabupaten Peringkat Nama KabupatenKota IPM Kelompok Kabupaten Kelompok IPM 1 Kota Depok 73.9 Jasa IPM 70 2 Kota Bandung 73.0 Jasa Tinggi 3 Kota Bekasi 72.8 Ind.Pengolahan 4 Kota Bogor 71.9 Jasa 5 Kota Sukabumi 69.2 Jasa 66 ≤ IPM ≤ 70 6 Kota Cirebon 69.2 Jasa Menengah Tinggi 7 Bandung 68.8 Ind.Pengolahan 8 Kota Cimahi 68.8 Ind.Pengolahan 9 Sumedang 67.5 Pertanian 10 Tasikmalaya 67.1 Pertanian 11 Kota Tasikmalaya 67.1 Jasa 12 Bekasi 66.9 Ind.Pengolahan 13 Bogor 65.6 Ind.Pengolahan 60 ≤ IPM 66 14 Purwakarta 65.6 Jasa Menengah Rendah 15 Ciamis 65.3 Pertanian 16 Kota Banjar 65.3 Jasa 17 Kuningan 65.0 Pertanian 18 Cianjur 64.5 Pertanian 19 Majalengka 64.4 Pertanian 20 Sukabumi 63.8 Pertanian 21 Subang 63.0 Pertanian 22 Karawang 62.9 Ind.Pengolahan 23 Garut 62.8 Pertanian 24 Cirebon 62.4 Pertanian 25 Indramayu 61.2 Pertambangan Sumber: BPS, Bappenas dan UNDP, 2004 menjadi curahan konsentrasi pembangunan. Selama tiga tahun tersebut, belum ada restrukturisasi program pembangunan yang dapat membangunkan keterbelakangan kabupaten pertanian diantara kelompok kabupaten lainnya. Dari komponen nilai IPM dan IKM Lampiran 12 dan 13, diketahui bahwa permasalahan ekonomi, yang diindikasikan dari angka pengeluaran per kapita yang rendah, terjadi di kabupaten Cianjur, Cirebon dan Sukabumi. Sementara permasalahan pendidikan di Jawa Barat terdapat di kabupaten Indramayu, Karawang, Subang dan Cirebon. Permasalahan kesehatan terjadi di kabupaten Indramayu, Garut, Cirebon dan Cianjur. Tabel 30 Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2005 menurut kelompok kabupaten Peringkat Nama KabupatenKota IPM Kelompok Kabupaten Kelompok IPM 1 Kota Depok 77.1 Jasa IPM 70 2 Kota Bekasi 74.6 Ind.Pengolahan Tinggi 3 Kota Bogor 74.3 Jasa 4 Kota Bandung 74.3 Jasa 5 Kota Cirebon 73.7 Jasa 6 Kota Cimahi 73.1 Ind.Pengolahan 7 Bandung 72.4 Ind.Pengolahan 8 Kota Sukabumi 72.4 Jasa 9 Kota Tasikmalaya 72.1 Jasa 10 Tasikmalaya 70.4 Pertanian 11 Bekasi 70.4 Ind.Pengolahan 12 Sumedang 70.2 Pertanian 13 Kota Banjar 69.4 Jasa 66 ≤ IPM ≤ 70 14 Ciamis 69.3 Pertanian Menengah Tinggi 15 Bogor 69.2 Ind.Pengolahan 16 Garut 68.7 Pertanian 17 Sukabumi 68.7 Pertanian 18 Purwakarta 68.6 Jasa 19 Kuningan 68.5 Pertanian 20 Subang 68.2 Pertanian 21 Majalengka 66.9 Pertanian 22 Cianjur 66.8 Pertanian 23 Karawang 66.4 Ind.Pengolahan 60 ≤ IPM 66 24 Cirebon 66.0 Pertanian Menengah Rendah 25 Indramayu 63.0 Pertambangan Jawa Barat 69.9 Sumber: BPS, 2006 Indeks Pembangunan Jender IPM mengukur rata-rata pencapaian secara umum sehingga tidak membedakan tingkat pencapaian pembangunan manusia oleh laki-laki dan perempuan. Sementara Indeks Pembangunan Jender membedakannya. Untuk melihat seberapa besar tingkat kesenjangan antara capaian pembangunan yang diperoleh laki-laki dan perempuan, maka dilakukan kombinasi antara nilai IPJ dengan nilai IPM masing-masing kabupatenkota. Data yang digunakan adalah data tahun 2002, disebabkan IPJ publikasi terakhir hanya sampai tahun 2002. 96 Gambar 12 Peta perkembangan IPM 2002-2005 dan tingkat pengangguran di Jawa Barat. 97 Gambar 13 memperlihatkan bahwa pada semua kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang tersedia datanya nilai IPJ lebih rendah daripada nilai IPM. Hal ini menunjukkan ketimpangan jender terjadi pada semua wilayah. Apabila tidak terdapat ketimpangan jender seharusnya nilai IPM akan sama dengan nilai IPJ atau garis IPM akan berimpit dengan garis IPJ. Angka IPJ disajikan pada Lampiran 14. - 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 Ga ru t C ianj ur T a si km a la ya S u k a bum i M aj al e ngk a C ir ebo n S u ban g K uni nga n Ci a m is S um ed ang B e ka si K o ta C im a h i Bo g o r B an dun g Ka ra w a n g K o ta B e ka si Ko ta Su k a b u m i K o ta T a si km a la y a Ko ta Ba n d u n g K o ta D e pok Ko ta Bo g o r K o ta C ir e b o n P u rw ak ar ta K o ta B anj ar In dr am a y u Kabupate n N ila i In d e k s Ind.Pembangunan Manusia IPM Ind.Pembangunan JenderIPJ Gambar 13 Grafik keterkaitan antara IPM dan IPJ Pada beberapa kabupaten, terdapat kecenderungan daerah yang memiliki IPM tinggi 70 memiliki IPJ yang tinggi pula. Ini menunjukkan pada kabupatenkota dengan IPM tinggi, kesempatan mengakses fasilitas pendidikan- kesehatan dan daya beli yang relatif tinggi, juga diperoleh kaum wanita, walaupun tidak sebaik kaum yang dimiliki kaum laki-laki. Tetapi pada beberapa kabupaten petanian yang memiliki IPM rendah, nilai IPJ-nya bervariasi, yaitu ada yang rendah dan ada yang tinggi. Kabupaten pertanian secara umum menunjukkan tingkat IPM yang rendah diikuti dengan nilai IPJ yang rendah pula. Tetapi pada Kabupaten Cianjur, misalnya, yang memiliki IPM menengah rendah 64.5, tenyata nilai IPJ- nya 54.6 cukup tinggi. Pembahasan keterkaitan variabel IPM dan IPJ secara statistik akan diulas pada subbab berikutnya. 98 Keterkaitan antara Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Kesejahteraan Manusia Hasil analisis komponen utama di provinsi Jawa Barat menghasilkan tiga variabel baru komponen utama, yaitu Faktor 1 pembangunan kesejahteraan manusia mewakili variabel asal IPM, IKM, persentase desa tertinggal, persentase desa pertumbuhan dan tingkat pengangguran; Faktor 2 pembangunan ekonomi mewakili variabel PDRB dan kontribusi pertumbuhan sektor; sementara Faktor 3 pembangunan jender mewakili variabel IPJ dan IDJ. Hasil analisis PCA ditampilkan pada Tabel 31, sedangkan data dasar disajikan pada Lampiran 15. Tabel 31 memperlihatkan bahwa variabel IPM, IKM, proporsi desa tertinggal, dan proporsi desa pertumbuhan berada dalam satu faktor komponen utama yang sama Faktor 1. Ini menunjukkan adanya hubungan antara variabel IPM, IKM dengan banyaknya desa terbelakang dan banyaknya desa pertumbuhan. Tanda positif menunjukkan hubungan yang searah, sebaliknya tanda negatif menunjukkan korelasi yang berlawanan arah. Pada wilayah-wilayah dengan IKM tinggi, pada umumnya memiliki IPM yang rendah, cenderung memiliki lebih banyak desa tertinggal dan lebih sedikit desa pertumbuhannya dibandingkan kabupatankota IKM rendah. Desa terbelakang, salah satunya diidentikkan dengan masalah keterbatasan fasilitas pelayanan pokok pendidikan dan kesehatan dan tingkat daya beli yang rendah, sehingga berdampak pada rendahnya kesempatan masyarakat untuk dapat hidup sehat, terbebas dari buta huruf dan menikmati hidup secara layak. Keterbatasan kesempatan masyarakat tersebut dapat disebabkan keberadaan lokasi fasilitas pelayanan yang jauh atau sulit dijangkau, atau akibat kondisi sarana transportasi atau infrastruktur yang belum memadai di wilayah tersebut. Dengan demikian, analisis ini cocok menggambarkan kondisi yang terjadi pada sebagian besar kabupaten yang teridentifikasi memiliki angka IKM tinggi. Kabupaten dengan IKM relatif tinggi terdiri dari sebagian besar kabupaten pertanian, serta kabupaten kelompok lainnya yang jumlah tenaga kerja terbesarnya berada di sektor pertanian, seperti Indramayu kabupaten pertambangan dan Karawang kabupaten industri. Kabupaten tersebut cenderung memiliki desa tertinggal yang 99 Tabel 31 Hasil analisis komponen utama PCA indikator kinerja pembangunan Provinsi Jawa Barat Nama Variabel Kode Variabel F1 F2 F3 Tingkat Pengangguran Tk Pengangguran 0.021889 0.175619 -0.618754 Indeks Pembangunan Manusia IPM -0.893993 -0.034950 0.159600 Indeks Kemiskinan Manusia IKM 0.841666 -0.107351 -0.334788 Persentase Desa Tertinggal Desa Tertinggal 0.774826 0.002090 0.410998 Persentase Desa Pertumbuhan Desa Pertumbuhan -0.922201 -0.097808 -0.114843 PDRB PDRB 0.027559 0.968584 0.094842 Kontribusi Pertumbuhan Sektor Kontrib Pertumb -0.002654 0.969501 -0.006622 Indeks Pembangunan Jender IPJ -0.109411 0.129409 0.845985 Indeks Pemberdayaan Jender IDJ 0.028584 0.348386 0.848881 Pertumbuhan PDRB Pertum PDRB -0.444926 0.368745 0.158374 Ragam yang diterangkan Expl.Var 3.170428 2.205339 2.172932 Total Ragam Prp.Totl 0.317043 0.220534 0.217293 Keterangan: Huruf yang dicetak tebal memiliki taraf nyata marked loadings 0,700000 cukup banyak dan dengan desa pertumbuhan yang lebih sedikit, serta kurang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Tidak terdapat kaitan antara IKM atau IPM dengan IPJ atau IDJ. Hal tersebut tercermin pada beberapa kabupaten petanian yang memiliki IKM tinggi, nilai IPJ dan IDJ-nya bervariasi, yaitu ada yang rendah dan ada yang tinggi. Kabupaten pertanian secara umum menunjukkan tingkat IKM yang tinggi diikuti dengan nilai IPJ atau IDJ yang rendah. Tetapi terdapat pula kabupaten yang tidak menunjukkan pola yang serupa. Kabupaten Cianjur, misalnya, dengan IKM yang cukup tinggi 25.8, tenyata nilai IPJ 54.6 dan IDJ-nya 56.4 juga tinggi, bahkan nilai IDJ-nya lebih tinggi dari Kota Bandung. Begitu pula dengan Kabupaten Sumedang, yang nilai IKM-nya 21.7 masih berada di atas rata-rata IKM provinsi, memiliki IPJ dan IDJ yang tinggi, yaitu masing-masing 62.4 dan 56.4. Faktor 2 menunjukkan keterkaitan antara nilai PDRB dan kontribusi pertumbuhan PDRB provinsi. Kedua variabel ini jelas menunjukkan korelasi yang tinggi, disebabkan variabel PDRB merupakan faktor dari variabel kontribusi pertumbuhan. Sedangkan Faktor 3 menunjukkan bahwa diantara kedua variabel jender IPJ dan IDJ terjadi korelasi yang kuat. Pada kabupaten dengan IPJ yang tinggi biasanya memiliki IDJ yang tinggi pula. Kabupaten Cianjur dan Sumedang dapat menjadi bukti keterkaitan ini. Pada kedua kabupaten tersebut komponen IPJ perempuan yang diantaranya adalah angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kontribusi dalam pendapatan, nilainya lebih tinggi dibandingkan kaum laki-lakinya. 100 Tingginya angka komponen ini mempengaruhi komponen IDJ yang diantaranya adalah persentase perempuan di parlemen, perempuan pekerja profesional teknisi kepemimpinan dan rata-rata upah di sektor pertanian, sehingga membentuk IDJ yang tinggi pula. Variabel tingkat pengangguran tidak teridentifikasi memiliki taraf nyata. Tetapi dengan angka koefisien sebesar -0.618754 dan dinilai penting untuk analisis ini, diinterpretasikan adanya keterkaitan antara pembangunan jender dengan tingkat pengangguran. Pada wilayah dengan tingkat pembangunan jender yang lebih baik, tingkat penganggurannya cenderung lebih sedikit dan sebaliknya. Semakin banyak perempuan yang mendapatkan kesempatan mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan serta berpartisipasinya perempuan di parlemen, pekerja profesional teknisi kepemimpinan menurunkan tingkat pengangguran di suatu wilayah. Interpretasi Saling Terpisahnya Faktor Komponen Utama Analisis PCA memberikan informasi bahwa antara variabel pembangunan ekonomi F2 dengan variabel pembangunan kesejahteraan manusia F1 tidak ada kaitan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya PDRB ataupun persentase kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi tidak cukup berpengaruh terhadap komponen IKM, IPM, desa terbelakang dan tingkat pengangguran. Artinya, besar-kecilnya kontribusi kabupaten terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi, tidak berpengaruh terhadap terjaminnya ketersediaan fasilitas pelayanan primer pendidikan dan kesehatan serta peningkatan daya beli penduduknya. Dengan kata lain kontribusi yang cukup besar yang disumbang suatu kabupaten. tidak selalu diimbangi dengan balas jasa berupa kemudahan penduduknya dalam mengakses fasilitas pelayanan primer. Sebaliknya, sekalipun daerah tersebut tidak terlalu besar kontribusi perekonomiannya, dapat saja berbagai fasilitas pelayanan pokok tersedia secara baik dan masyarakatnya memiliki daya beli yang cukup tinggi. Seperti kota-kota administratif yang didukung oleh sektor jasa, sekalipun kontribusi PDRB-nya tidak sebesar kabupaten pertanian, namun pada wilayah- wilayah tersebut fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikannya justru jauh lebih baik daripada kabupaten pertanian. Kota Depok, salah satu contohnya, sumbangan PDRB dan kontribusi pertumbuhan sektornya berada jauh di bawah Kabupaten 101 Garut, namun dapat dilihat pada kota ini telah menjamur berbagai fasilitas pelayanan tersebut, bahkan dengan kualitas yang melebihi kondisi standarprimer. Begitu pula dengan daya beli penduduk kota ini yang menunjukkan tingkat daya beli yang relatif tinggi. Tidak terlihat adanya indikasi kaitan antara pembangunan kesejahteraan manusia secara agregat tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dan dengan pembangunan kesejahteraan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi kesenjangan antara pembangunan kesejahteraan laki-laki dan perempuan, masih menunjukkan variasi yang beragam pada kabupatenkota di Jawa Barat. Pada kabupaten dengan IPM yang tinggi seperti Kota Cirebon, ternyata nilai IPJ-nya lebih rendah dibandingkan IPJ Kabupaten Sumedang. Begitu pula dengan Kota Bandung dengan IPM yang tinggi, nilai IDJ-nya masih lebih rendah dibandingkan dengan IDJ Kabupaten Cianjur. Secara umum, ketiga faktor komponen utama menunjukan bahwa antara pembangunan ekonomi F2, pembangunan kesejahteraan manusia F1 dan pembangunan kesejahteraan perempuan F3, tidak menunjukkan keterkaitan yang signifikan. Ini berarti bahwa arah pembangunan belum sepenuhnya utuh untuk membangun atau mencapai kesejahteraan manusiamasyarakat, yang justru menjadi tujuan akhir pembangunan. SEKTOR EKONOMI UNGGULAN YANG SEJALAN DENGAN TUJUAN PEMBANGUNAN DI JAWA BARAT Mewujudkan perekonomian yang tangguh berbasis pada agribisnis merupakan salah satu misi pemerintah provinsi Jawa Barat, sebagaimana yang tercantum di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJPD Provinsi Jawa Barat 2005-2025. Pencapaian tersebut dalam deskripsi misinya diupayakan dengan: ”mengembangkan dan memperkuat perekonomian regional yang berdaya saing global dan berorientasi pada keunggulan komparatif, kompetitif dan kooperatif dengan berbasis pada potensi lokal terutama dalam agribisnis”. Misi ini merupakan penjabaran strategi Jawa Barat untuk mendukung visi jangka panjangnya yang diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip stabilitas yang mantap, pertumbuhan yang tinggi, pemerataan yang berkeadilan serta pembangunan yang berkelanjutan. Visi dan misi pembangunan yang ideal tersebut menjadi tumpuan harapan masyarakat Jawa Barat untuk benar-benar terealisasi dalam keberlangsungan hidup masyarakatnya. Salah satu faktor utama pencapaian misi dan tujuan pembangunan tersebut adalah ketepatan dalam menetapkan sektor unggulan yang akan menjadi penggerak perekonomian daerah. Oleh karena itu analisis penentuan sektor unggulan perlu dilakukan dengan cermat dan komprehensif, agar kebijakan dan program pembangunan tidak salah arah dan hasilnya benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebagaimana yang telah disinggung dalam metoda penelitian, bahwa identifikasi sektor unggulan Jawa Barat dilakukan dalam beberapa tahap analisis, yaitu: 1 penentuan sektor unggulan secara makro dari 9 sektor perekonomian di Jawa Barat, 2 penentuan sektor unggulan lebih detil dari 86 sektor ekonomi, yang sesuai dengan karakteristik provinsi, permasalahan yang ingin dipecahkan sekaligus tidak bertentangan dengan tujuan pembangunan. Setiap temuan dari proses analisis yang dinilai dapat mendukung tujuan penelitian turut disertakan dalam analisis ini. Tujuan Pembangunan Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi dan Stabil Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi disumbang dari: 1 besarnya kontribusi output dan nilai tambah suatu sektor terhadap perekonomian provinsi, 2 sektor basis dan sektor kompetitif, 3 keterkaitan sektoralnya atau potensi suatu sektor sebagai lokomotif dan pendorong sektor ekonomi lainnya, dan 4 dampak pengganda yang dapat diberikannya, baik terhadap pendapatan, serapan tenaga kerja, PDRB maupun pajak tak langsung. Komponen-komponen tersebut merupakan kriteria untuk penentuan sektor unggulan secara makro dari aspek tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sektor unggulan secara makro ini diperoleh dari hasil beberapa analisis 9 sektor kelompok ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Sektor yang dapat menempati posisi teratas dalam persyaratan kriteria unggulan tersebut adalah sektor yang akan keluar sebagai sektor unggulan dari aspek tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tabel I-O serta nilai koefisien keterkaitan dan dampak pengganda disajikan pada Lampiran 16 sampai 18. Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap Perekonomian Provinsi Tabel 32 menyajikan peringkat dan nilai masing-masing kriteria unggulan dari 9 sektor ekonomi di Jawa Barat. Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari aspek kontribusi suatu sektor terhadap perekonomian provinsi, sektor industri merupakan sektor yang paling banyak memenuhi persyaratan kriteria ersebut. Dari total output sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat, diketahui bahwa lebih dari separuh output tersebut 57.20 berasal dari sektor industri pengolahan. Sektor ini juga merupakan penyumbang terbesar nilai tambah bruto, yaitu sebesar 42.55 persen dari total PDRB provinsi. Sementara dalam serapan tenaga kerjanya, sektor industri menempati posisi ketiga setelah sektor pertanian dan kelompok sektor jasa, yaitu sebesar 18.3 persen dari total tenaga kerja yang tertampung sektor ekonomi di Jawa Barat. Sektor Basis dan Sektor Kompetitif Dari analisis LQ diketahui bahwa hanya terdapat tiga sektor basis di Jawa Barat, yaitu: 1 sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai LQ tertinggi, 2 sektor industri pengolahan dan 3 sektor perdagangan, hotel dan restoran. Ini menunjukkan bahwa ketiga sektor tersebut memusat di Provinsi Jawa Barat dan aktivitasnya berkembang di atas rata-rata nasional. Data dasar PDRB dan PDB disajikan pada Lampiran 19 dan Lampiran 20. Sektor Pertanian, yang memberikan kontribusi ketiga terbesar terhadap PDRB provinsi, ternyata tidak teridentifikasi sebagai sektor basis. Walaupun begitu, nilai LQ-nya hampir mencapai nilai 1 atau nilai rata-rata, sehingga dalam kondisi yang dinamis terjadi perubahan teknologi sektor ini masih berpeluang untuk menjadi sektor basis. Kemungkinan perubahan seperti ini tidak dapat ditangkap dalam analisis LQ. Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa analisis LQ bersifat statis, sehingga tidak dapat menangkap kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan. Sementara hasil analisis SSA menunjukkan terdapat 5 sektor kompetitif di Jawa Barat, yaitu: 1 sektor pertambangan dan penggalian, 2 sektor bangunan, 3 sektor perdagangan, hotel dan restoran, 4 sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta 5 sektor jasa-jasa. Pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jawa Barat, dari tahun 2000 ke tahun 2004, lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor yang sama pada skala nasional. Dari kelima sektor kompetitif di Jawa Barat tersebut, hanya sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga merupakan sektor basis. Hal yang menarik dari hasil analisis, bahwa sektor industri pengolahan tidak teridentifikasi sebagai sektor kompetitif atau hanya sebagai sektor basis. Walaupun PDRB sektor ini di Provinsi Jawa Barat adalah yang terbesar dan dengan jumlah industri yang cukup banyak, tetapi ternyata jika dibandingkan pada skala nasional masih kalah bersaing dengan wilayah lainnya. Laju pertumbuhan PDRB sektor industri pengolahan Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 ke tahun 2004 lebih lambat dibandingkan sektor industri pengolahan secara umum di Indonesia. Sektor tersebut dimungkinkan tergeser oleh kompetisi yang cukup tinggi dari pertumbuhan sektor industri pengolahan di provinsi lainnya yang demikian pesat, terutama dari kota-kota kawasan industri besar lainnya. Dampak terpisahnya kota Cilegon sekarang masuk provinsi Banten, yang dulu merupakan pusat kawasan industri Jawa Barat, cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan kegiatan industri di Jawa Barat. 105 Tabel 32 Sektor ekonomi Jawa Barat berdasarkan peringkat kriteria unggulan Aspek Kriteria Keunggulan Pertanian Pertam- bangan Industri LiGas Bangunan Perdagangan Pengang- kutan Keuangan Jasa jasa Rata- rata P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai 1. Kontrinbusi PDRB - Kontb. PDRB provinsi 3 13.47 7 3.07 1 43.33 6 3.22 9 2.82 2 17.56 5 5.29 8 3.02 4 8.23 - Kontb. Output 3 7.48 7 3.57 1 57.20 8 3.10 6 3.83 2 12.50 5 4.10 9 2.56 4 5.69 - Kontb. NTB 3 12.13 5 5.22 1 45.22 8 2.77 9 2.52 2 17.23 6 4.34 7 3.80 4 6.77 - Serapan Tenaga Kerja 1 29.7 8 0.4 3 18.3 9 0.3 6 6.0 2 22.4 5 8.7 7 1.8 4 12.5 2. Sektor Basis S.Kompetitif - Sektor Basis Nilai LQ - 0.97 - - 2 1.40 1 2.07 - - 3 1.22 - - - - - - - Sektor Kompetitif SSA - - 1 0.029 - - - - 4 0.013 3 0.018 - - 2 0.027 5 0.007 3. Keterkaitan Sektoral: - ke belakang langsung DBL 9 0.12 6 0.23 1 0.53 3 0.46 2 0.53 7 0.22 4 0.32 8 0.15 5 0.30 - ke belakang total DIBL 9 1.196 7 1.296 2 1.888 3 1.691 1 1.932 6 1.339 4 1.527 8 1.22 5 1.496 - ke depan langsung DFL 8 0.095 2 0.489 1 1.288 5 0.181 9 0.02 3 0.304 6 0.136 4 0.227 7 0.113 - ke depan total DIBL 6 1.21 2 1.81 1 3.14 5 1.27 9 1.03 3 1.47 7 1.20 4 1.31 8 1.15 4. Dampak Pengganda: - Pendapatan 9 1.15 6 1.31 1 1.95 3 1.70 2 1.87 7 1.29 4 1.50 5 1.39 8 1.17 1.48 - Tenaga Kerja 9 1.05 5 1.36 1 3.79 2 3.46 3 1.52 8 1.17 6 1.25 4 1.42 7 1.23 1.81 - Pajak tak langsung PAD 6 1.59 7 1.29 4 1.87 1 6.43 3 2.49 9 1.18 5 1.6 8 1.19 2 2.86 2.28 - PDRB 9 1.13 6 1.29 2 2.15 3 1.93 1 2.36 7 1.28 4 1.51 8 1.18 5 1.44 1.58 Keterangan: P menunjukkan peringkat Sumber: hasil olahan beberapa analisis 9 sektor ekonomi Sektor pertanian ternyata juga tidak muncul sebagai sektor kompetitif, pertumbuhan sektor pertanian Jawa Barat ini masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan sektor pertanian nasional. Ini menjadi catatan penting bahwa ternyata sektor yang dekat dengan masyarakat Jawa Barat sendiri tidak memiliki basis yang kuat dan laju pertumbuhannya sangat lambat. Dampak Pengganda Sektor Ekonomi Analisis dampak pengganda multiplier effect mencakup dampak pengganda pendapatan, dampak pengganda serapan tenaga kerja, dampak pengganda pajak tak langsung netto PAD dan dampak total nilai tambah bruto PDRB. Dari aspek dampak penggandanya, sektor industri juga merupakan sektor yang paling banyak memenuhi kriteria ini dibandingkan 8 sektor ekonomi lainnya. Angka pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerjanya adalah yang tertinggi. Sementara angka pengganda PDRB dan pengganda pajak tak langsung sektor industri masing-masing menempati posisi kedua dan keempat. Dua sektor lainnya yang menempati posisi 3 besar adalah sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor bangunan. Sektor pertanian ternyata menempati posisi terbawah dan angka penggandanya berada di bawah rata-rata pengganda keseluruhan sektor, kecuali pengganda PAD posisi 6. Dapat dikatakan bahwa sektor ini memiliki elastisitas peningkatan pendapatan, PDRB dan serapan tenaga kerja yang rendah, bahkan nilainya paling kecil diantara sembilan sektor perekonomian di Jawa Barat. Padahal pada sektor ini bergantung sebagian besar pekerja di Jawa Barat. Tanpa adanya perubahan besar pada teknologi dan program pembangunan pertanian, upaya peningkatan permintaan pada sektor pertanian akan kurang direspon dengan peningkatan pendapatan total rumah tangga yang signifikan. Rendahnya dampak pengganda tenaga kerja pada sektor pertanian akibat kemampuan lahan pertanian, yang menjadi faktor produksi sektor ini, sudah berada di ambang batas kejenuhan. Artinya penambahan tenaga kerja pada petakan lahan pertanian yang sempit sudah sulit untuk memberikan tambahan unit output. Dengan output yang tidak bertambah akan menghasilkan return yang tetap, namun harus dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang terus bertambah. Akibat dari kondisi ini maka penerimaan petani menjadi semakin rendah. Temuan analisis dampak pengganda ini bahwa sektor pertanian agregat sudah tidak elastis untuk serapan tenaga kerja dan memiliki elastisitas yang rendah terhadap peningkatan pendapatan. Elastisitas yang cukup tinggi dari sektor pertanian justru dari aspek pengganda pajak tak langsung PAD, yang belum tentu dapat dinikmati oleh masyarakat tani. Implikasi dari analisis ini adalah bahwa dengan kondisi pertanian sekarang, sudah tidak layak lagi bagi pembuat kebijakan untuk menjadikan sektor pertanian sebagai katup pengaman masalah pengangguran, yang selama ini masih didengungkan. Sifat akomodatif sektor pertanian dalam menerima limpahan tenaga kerja yang tidak tertampung sektor lainnya, justru makin menambah beban petani yang berada di dalamnya. Implikasi lainnya adalah perlu dilakukan pembenahan orientasi pembangunan pertanian, agar sektor pertanian mampu memberikan dampak pengganda pendapatan yang layak bagi masyarakatnya. Aplikasi teknologi yang timpang antara sektor industri dan sektor pertanian merupakan salah satu faktor yang memperlebar kesenjangan produktivitas dan nilai tambah kedua sektor tersebut. Apabila permasalahan ini tidak segera disadari, maka sektor pertanian akan terus tertinggal dan kantung- kantung kemiskinan akan terus bertambah di wilayah pertanian. Keterkaitan Sektoral Keunggulan suatu sektor dilihat juga dari tingkat kekuatan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas perekonomian. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di belakangnya hulu. Sebaliknya sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat mendorong aktivitas sektor-sektor di depannya hilir. Dengan keterkaitan demikian, maka roda perekonomian dapat bersinergi dengan baik. Antara sektor perekonomian dapat saling melengkapi dan memanfaatkan seoptimal mungkin input sumberdaya alam domestik atau output sektor perekonomian di dalam wilayahnya sendiri. Dengan demikian, nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah itu sendiri. Makin kuat keterkaitan antarsektor, maka makin kecil ketergantungan suatu sektor pada barang impor sekaligus memperkecil kebocoran modal wilayah yang mengalir ke negeri lain. Dan makin bersinergi keterkaitan antarsektor, maka makin kecil jumlah produk yang diekspor dalam bentuk mentah segar yang bernilai tambah rendah. Dari aspek keterkaitan sektoralnya, ternyata sektor industri juga merupakan sektor yang memiliki keterkaitan terkuat, kecuali keterkaitan ke belakang totalnya yang menempati posisi kedua setelah sektor bangunan. Sektor yang memiliki keterkaitan terkuat ke depan lainnya selain sektor industri adalah sektor pertambangan dan penggalian. Dari keterkaitan sektoral ke belakangnya, dua sektor yang termasuk ke dalam 3 sektor dengan keterkaitan ke belakang terkuat adalah sektor bangunankonstruksi dan sektor listrik, gas, air bersih. Tetapi ditemukan indikasi negatif dari sektor-sektor yang memiliki keterkaitan sektoral terkuat tersebut. Keterkaitan dari sektor-sektor tersebut ternyata hanya dengan sektor tertentu saja. Pada sektor industri, keterkaitan langsung terkuatnya cenderung dengan kelompok sektornya sendiri. Hal tersebut terungkap dari tabel transaksi domestik input-output. Dengan menurunkannya menjadi ’tabel persentase nilai input sektor pengguna yang berasal dari output sektor pemasok’ Tabel 33, diketahui bahwa sekitar 63.7 persen pasokan input sektor industri pengolahan berasal dari kelompok sektornya sendiri. Serupa dengan keterkaitan langsung ke belakangnya, keterkaitan langsung ke depan terkuat dari sektor industri pengolahan adalah dengan kelompok sektornya sendiri. Tabel 35 yang diturunkan dari tabel transaksi domestik menjelaskan hal tersebut. Sekitar 80.6 persen output sektor industri pengolahan menjadi input bagi sektor industri pengolahan lainnya. Hanya 2.2 persen dari outputnya yang dimanfaatkan oleh sektor pertanian. Sektor bangunan, yang merupakan sektor dengan keterkaitan terkuat kedua, keterkaitan eratnya cenderung hanya dengan sektor industri pengolahan. Sebesar 79.3 persen input sektor bangunan diperoleh dari sektor industri. Sementara sektor listrik, gas dan air bersih, kaitan terkuatnya hanya dengan sektor pertambangan dan sektornya sendiri. Sektor pertambangan memasok 50.9 persen dan dari sektornya sendiri sebesar 23.5 persen. Kedua sektor ini bahkan sangat kecil keterkaitanya dengan sektor pertanian. Padahal kedua sektor ini dan sektor industri, dalam analisis sebelumnya merupakan sektor yang memiliki dampak pengganda terbesar. Dengan nilai koefisien keterkaitan totalnya yang tinggi dan pendapatan rumah tangga sektor ini yang juga relatif lebih tinggi, maka dampak pendapatan upah dan gaji akan lebih banyak dinikmati oleh sektor-sektor tersebut. Sementara dari keterkaitan totalnya, ditemui kondisi yang tidak berbeda. Sektor industri merupakan sektor yang memiliki keterkaitan total ke depan terkuat dan keterkaitan ke belakang terkuat kedua setelah sektor bangunan, dengan koefisien keterkaitannya masing-masing sebesar 3.14 dan 1.89. Ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan akhir sektor industri mampu memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terbesar terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian. Dapat pula dikatakan bahwa sektor ini adalah sektor yang paling kuat dalam mendorong atau menarik sesudah sektor bangunan peningkatan output seluruh sektor perekonomian. Dengan hanya mengacu dari informasi nilai koefisien ini, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang dipacu melalui peningkatan permintaan akhir output sektor industri, akan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan output sektor perekonomian lainnya. Tanpa melakukan penelusuran data dan proses olahan antara, sektor industri nampak sebagai sektor unggulan yang dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Mirip dengan keterkaitan langsungnya, ditemui indikasi negatif dari keterkaitan kuat sektor industri ini. Adanya petunjuk negatif di balik keunggulan tersebut, terungkap dari hasil penelusuran proses olahan antara analisis input output koefisien inputnya. Secara matematis, jika mengacu kembali notasi matriks dari tabel I-O dalam persamaan 4 pada bab Metoda Penelitian halaman 41, dapat diturunkan persamaan matriks sebagai berikut: I – A -1 . Y = X atau B . Y = X 1 atau 2 Jika matriks tersebut diuraikan dalam bentuk persamaan matematis, diperoleh:                   =                                     n i n i nn n n ij n n X X X X Y Y Y Y b b b b b b b b b b 2 1 2 1 2 1 2 22 21 1 12 11 : M b 11 Y 1 + b 12 Y 2 + … b 1j Y j …+ b 1n Y n = X 1 b 21 Y 1 + b 22 Y 2 + … b 2j Y j …+ b 2n Y n = X 2 : : : 3 b 31 Y 1 + b 32 Y 2 + … b 3j Y j …+ b 3n Y n = X 3 : : : b n1 Y 1 + b n2 Y 2 + … b nj Y j …+ b nn Y n = X n + ∑Xn Subskrip 2 ditentukan sebagai sektor industri. Persamaan 2 dan 3 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan permintaan akhir satu unit output sektor industri Y 2 pada persamaan 2, maka akan mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian ∑Xn pada persamaan 3. Semua output sektor ekonomi X 1 sampai X n akan mengalami peningkatan, akibat tarikan permintaan akhir output sektor industri tersebut, tetapi dengan proporsi yang berbeda-beda, tergantung pada koefisien keterkaitannya nilai b ij . Nilai b ij terbesar dimiliki oleh sektor industri, yaitu elemen b 22 pada persamaan 2 dan 3 dengan nilai sebesar 1.53 Lampiran 17. Persamaan 3 memperlihatkan bahwa nilai b 22 yang cukup besar, hanya akan berpengaruh terhadap total output sektor industri saja X 2 , sehingga menghasilkan proporsi total output sektor industri X2 terhadap total output seluruh sektor ekonomi ∑Xn yang terbesar. Proporsinya sebesar 23.1 persen untuk dampak keterkaitan total ke depan dan sebesar 13.9 persen untuk dampak keterkaitan total ke belakangnya Lampiran 17. Nilai ini masih cukup besar dibandingkan dengan proporsi sektor lain yang terkena dampak peningkatan permintaan tersebut. Proporsi yang cukup mencolok terlihat pada keterkaitan langsung sektor industri, di mana proporsi peningkatan outputnya sebesar 45.13 persen untuk keterkaitan ke depan dan 18.41 persen untuk keterkaitan ke belakang. Nilai tersebut cukup signifikan perbedaannya, jika dibandingkan dengan dampak yang terimbas kepada sektor pertanian primer, yaitu sebesar 13.5 kalinya pada keterkaitan total ke depan dan 4.4 kalinya pada keterkaitan total ke belakang dari proporsi kenaikan sektor pertanian primer. Diketahui bahwa pada sektor pertanian primer, proporsinya hanya sebesar 3.34 persen untuk dampak keterkaitan langsung ke depan dan 4.16 persen untuk dampak keterkaitan langsung ke belakangnya. Hasil penelusuran data transaksi domestik input-output telah menunjukkan bahwa keterkaitan terkuat sektor industri cenderung terjadi di antara kelompok sektornya sendiri dan sangat lemah kaitannya dengan sektor pertanian. Kondisi ini menunjukkan fakta transaksi riil yang sebenarnya. Sedangkan penelusuran terhadap koefisien keterkaitannya elemen matrik A dan matriks B, lebih menunjukkan pada tingkat elastisitas dan besarnya dampak akibat upaya peningkatan 1 unit output sektor ekonomi tertentu. Ditunjukkan bahwa dampak akibat upaya pengembangan sektor industri akan lebih besar mengimbas kepada sektor itu sendiri dan tidak cukup besar bagi sektor pertanian primer. Dengan demikian, sekalipun nilai gradien elastisitas ini tidak cukup mencolok, tetapi fakta nilai transaksi domestik menunjukkan keterkaitan asimetris yang cukup signifikan antara sektor industri dan sektor pertanian primer. Keterkaitan asimetris yang dimaksud adalah di satu sisi keterkaitan sektor industri dengan kelompoknya sendiri sangat kuat, sementara keterkaitannya dengan sektor pertanian sangat lemah. Tidak ada satu sektor ekonomi pun yang benar-benar memanfaatkan produk pertanian domestik. Dari Tabel 33 terungkap bahwa tidak ada satu sektor pun yang memiliki kaitan langsung yang kuat dengan sektor pertanian. Produk sektor pertanian yang menjadi input sektor industri hanya sebesar 9.0 persen dari total input yang digunakannya, porsinya masih lebih kecil dibandingkan dengan input yang berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran 11.2 . Rendahnya persentase nilai transaksi dari sektor pertanian menunjukkan bahwa industri pengolahan di provinsi ini tidak banyak menggunakan output dari sektor pertanian primer. Hal tersebut karena jumlah industri yang banyak terdapat di provinsi ini adalah industri nonpertanian yang tidak memiliki keterkaitan erat dengan sektor pertanian primer. Data publikasi BPS Provinsi Jawa Barat 2006 menunjukkan bahwa sekitar 72.02 persen dari total industri di Jawa Barat merupakan industri nonpertanian. Lemahnya keterkaitan tersebut juga memberikan isyarat telah terjadinya kesenjangan teknologi yang diterapkan antara sektor pertanian dengan sektor industri. Kondisi ini menyebabkan kuantitas dan kualitas output sektor pertanian yang dihasilkan tidak dapat memenuhi persyaratan standar input sektor industri. Di sisi lain, sebenarnya sektor pertanian memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan sektor industri. Dari Tabel 34 terungkap bahwa produk antara yang 112 Tabel 33 Persentase nilai input sektor pengguna yang diperoleh dari output sektor pemasok Keterkaitan ke belakang Sektor Pengguna Sektor Pemasok Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertam- bangan dan Penggalian Industri Pengola han Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan konstruksi Perdagang an, Hotel dan Restoran Pengangkuta n dan Komuni-kasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa- jasa Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 21.7 0.0 9.0 - 0.6 3.7 0.0 - 3.7 Pertambangan dan Penggalian 0.0 95.6 7.2 50.9 0.2 0.0 - - 0.0 Industri Pengolahan 59.6 2.0 63.7 17.5 79.3 25.3 50.6 13.2 47.3 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.3 0.2 3.4 23.5 0.1 13.3 2.3 2.7 4.2 Bangunankonstruksi 1.5 0.6 0.1 0.1 0.1 0.1 1.4 3.1 1.9 Perdagangan, Hotel dan Restoran 11.6 0.6 11.2 4.0 14.9 12.5 13.3 4.8 18.3 Pengangkutan dan Komunikasi 1.5 0.3 2.8 1.0 2.4 12.5 13.9 8.8 5.1 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.6 0.4 1.8 1.0 1.9 28.4 12.7 44.3 9.0 Jasa jasa 1.1 0.2 0.8 2.2 0.4 4.2 5.7 23.1 10.5 Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah 113 Tabel 34 Persentase Output Sektor Pemasok untuk memenuhi Permintaan Keterkaitan ke Depan Komponen Permintaan Sektor Pemasok Jumlah Permintaan Antara Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Jumlah Permintaan Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 41.0 51.2 - 0.4 0.3 7.1 100.0 Pertambangan dan Penggalian 102.4 0.0 - - 3.1 0.7 100.0 Industri Pengolahan 41.5 19.9 - 4.4 2.2 31.9 100.0 Listrik, Gas dan Air Bersih 59.4 33.7 - - - 6.9 100.0 Bangunankonstruksi 3.3 0.1 - 96.6 - - 100.0 Perdagangan, Hotel dan Restoran 37.6 34.3 - 3.0 1.5 23.6 100.0 Pengangkutan dan Komunikasi 38.7 32.2 - 1.0 0.5 27.7 100.0 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 74.6 23.6 - - - 1.9 100.0 Jasa jasa 13.2 20.6 51.6 1.8 - 12.9 100.0 Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah 114 Tabel 35 Persentase nilai output sektor pemasok yang menjadi input sektor pengguna Keterkaitan ke Depan Sektor Pengguna Sektor Pemasok Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangun ankonst ruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkut an dan Komunikas i Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa jasa Total Output Antara Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 6.3 0.0 87.9 0.0 0.4 3.4 0.0 0.0 2.1 100.0 Pertambangan dan Penggalian 0.0 21.1 58.9 19.9 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 100.0 Industri Pengolahan 2.2 0.1 80.6 1.1 6.7 3.0 2.8 0.2 3.4 100.0 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.1 0.1 55.2 18.2 0.1 20.1 1.6 0.6 3.9 100.0 Bangunankonstruksi 10.5 4.0 29.5 0.8 2.3 2.6 15.0 9.5 25.9 100.0 Perdagangan, Hotel dan Restoran 2.2 0.1 71.8 1.2 6.4 7.5 3.7 0.4 6.7 100.0 Pengangkutan dan Komunikasi 0.9 0.1 53.9 0.9 3.1 22.0 11.5 2.2 5.5 100.0 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.2 0.2 28.6 0.7 2.0 41.5 8.6 9.1 8.1 100.0 Jasa jasa 1.3 0.2 31.1 4.1 1.1 15.8 9.9 12.1 24.3 100.0 Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah digunakan dalam kegiatan proses produksi sebesar 41.0 persen. Dan dari jumlah yang digunakan untuk kegiatan proses produksi tersebut, sebagian besar 87.9 untuk memenuhi kebutuhan input sektor industri pengolahan Tabel 35. Ini menunjukkan sektor ini sebenarnya berpotensi untuk mendorong pertumbuhan sektor industri, terutama industri pertanian. Hanya saja dimungkinkan akibat rendahnya kualitas produk sektor pertanian dan sedikitnya jumlah industri pertanian yang berpeluang memanfaatkan sektor pertanian tersebut, menyebabkan sektor ini tenggelam diantara eksistensi sektor ekonomi lainnya. Indikasi Negatif Industri Nonpertanian: Keterkaitan internal yang tinggi Dari rangkaian hasil analisis 9 sektor ekonomi, diketahui bahwa kriteria unggulan terbanyak dipenuhi oleh sektor industri. Tetapi di antara hasil analisis yang menunjuk pada keunggulan sektor industri, telah ditemukan indikasi negatif bahwa keterkaitan yang kuat pada sektor industri hanya terjadi di dalam kelompok sektornya sendiri dan sangat lemah keterkaitannya dengan sektor pertanian primer. Berdasarkan informasi ini, maka dampak dan nilai tambah terbesar dari prioritas pengembangan sektor industri akan terkonsentrasi pada kelompok sektor industri sendiri serta sejumlah kecil sektor kaitannya. Pengembangan sektor ini juga kurang signifikan dalam menarik pertumbuhan aktivitas sektor pertanian primer. Dengan analisis yang lebih detil input-output 86 sektor, diketahui bahwa sektor yang memiliki indikasi negatif tersebut pada umumnya adalah sektor industri nonpertanian. Untuk tujuan identifikasi ini, maka dipilih 10 sektor ekonomi utama hasil analisis I-O 86 sektor menurut peringkat keunggulan yang dimilikinya Tabel 36. Diantara 10 sektor tersebut, sektor industri mesin dan peralatannya diidentifikasi sebagai sektor yang memiliki keterkaitan sektoral ke belakang yang kuat. Dengan penelurusan melalui tabel transaksi domestik I-O, diketahui bahwa keterkaitan terkuat sektor ini ternyata lebih tertuju pada sektornya sendiri dan industri nonpertanian lainnya. Sekitar 70 persen inputnya dipenuhi dari kelompok sektor industri ini sendiri 69.90 , sedangkan dalam proporsi yang kecil dipenuhi oleh sektor perdagangan 12.22 , sektor industri mesin lainnya 9.67 , sektor industri logam dasar 2.16 dan sektor jasa angkutan jalan 1.69 . Kaitan sektor ini terhadap sektor pertanian primer bahkan tidak ada sama sekali. Hal yang sama terjadi pada industri nonpertanian lainnya yang termasuk di dalam kelompok 10 sektor ekonomi utama hasil analisis I-O 86 sektor tersebut. Sektor-sektor tersebut adalah industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya; industri pengilangan minyak bumi; industri kimia dasar, kecuali pupuk; dan industri logam dasar dari besi dan baja. Indikasi Positif Agroindustri dan Dukungan Sektor Pertanian Primer Dengan menggunakan analisis yang sama I-O 86 sektor, terungkap bahwa tidak semua industri memiliki indikasi negatif yang telah dipaparkan. Industri pertanian agroindustri ternyata tidak hanya memiliki keterkaitan sektoral yang kuat, tetapi juga lebih kompleks dan berkaitan dekat dengan sektor pertanian primer. Mengacu pada data transaksi input-output dan bagan pohon industri, diketahui bahwa sektor agroindustri unggulan hasil analisis I-O memiliki keterkaitan sektoral yang cukup kompleks, termasuk kaitannya dengan sektor pertanian primer. Diketahui pula dari hasil analisis I-O dan bagan pohon industri bahwa sektor pertanian primer kaitan agroindustri unggulan itu, ternyata juga merupakan sektor unggulan. Dengan demikian, sektor pertanian primer unggulan ini berperan untuk mendorong pertumbuhan agroindustri unggulan di Jawa Barat. Sektor pertanian unggulan pertanian primer dan agroindustri yang termasuk ke dalam 10 sektor utama berdasarkan peringkat kriteria keunggulannya adalah: 1 dari aspek pengganda pendapatan tertinggi adalah industri beras, industri karet dan industri tembakau; 2 dari aspek pengganda PAD adalah sektor unggas posisi teratas, tembakau dan tebu; 3 dari pengganda PDRB adalah industri beras posisi teratas; 4 dari keterkaitan sektoral ke depan adalah industri makanan lainnya dan sektor padi; serta 5 dari keterkaitan sektoral ke belakang adalah industri beras. Informasi ini secara tabular ditunjukkan pada Tabel 36. Nilai koefisien keterkaitan sektor-sektor tersebut di atas rata-rata koefisien keterkaitan seluruh sektor ekonomi. Koefisien keterkaitan dan angka pengganda 86 sektor ekonomi disajikan pada Lampiran 21 sampai Lampiran 22. Disebabkan kapasitas ruang yang cukup besar, data transaksi domestik, koefisien input dan matriks kebalikan tabel I-O 86 sektor, dikompilasi dalam file CD. Keterkaitan Pertanian Primer Unggulan dan Agroindustri Unggulan Sektor pertanian primer unggulan hasil analisis merupakan sektor hulu pemasok dari sektor agroindustri unggulan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari informasi Tabel 36 dan dengan mengaitkan informasi dua tabel lainnya, yaitu Tabel 37 sektor pertanian primer unggulan dengan Tabel 38 agroindustri ungulan. Tabel 37 menunjukkan bahwa di antara kelompok sektor pertanian primer, komoditi unggulannya adalah unggas, ternak, padi, karet, tembakau dan tebu. Tabel 38 memperlihatkan bahwa di antara agroindustri hilir unggulan adalah industri beras, industri makanan lainnya, industri pengolahan tembakau, industri karet dan barang-barang dari karet, industri kulit dan industri gula. Kelebihan agroindustri unggulan, terutama dari aspek pengganda pendapatannya, akan dapat melengkapi kelemahan sektor pertanian primer. Diketahui dari hasil analisis bahwa tidak ada satupun komoditi pertanian yang memiliki angka pengganda yang tinggi, kecuali pengganda pajak tak langsung yang merupakan komponen PAD Penerimaan Anggaran Daerah. Kecuali pengganda PAD, angka indeks pengganda seluruh sektor pertanian primer nilainya kurang dari satu atau di bawah rata-rata angka pengganda seluruh sektor ekonomi di Jawa Barat Lampiran 22. Ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan permintaan output sektor pertanian tidak akan berdampak besar bagi peningkatan pendapatan rumah tangga dan PDRB provinsi. Dengan keunggulan agroindustri dalam aspek keterkaitan sektoral dan dampak penggandanya serta keterkaitan yang kompleks dari sektor pertanian primer, maka penguatan keterkaitan kedua sektor ini, melalui program diversifikasi usaha petani, tidak hanya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tetapi juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan demikian, sektor pertanian pertanian primer dan agroindustri dapat memenuhi tujuan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sedangkan pada sektor industri nonpertanian, adanya indikasi negatif tersebut merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, sebelum menjadikannya sebagai sektor unggulan. Sektor Pertanian Primer Unggulan Diantara 86 sektor perekonomian, sektor pertanian primer komoditi pertanian kurang menunjukan keterkaitan yang kuat dengan sektor ekonomi 118 Tabel 36 Sepuluh sektor ekonomi utama menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat Tingkat Keterkaitan Sektoral Angka Pengganda Perin gkat Keterkaitan ke Depan Langsung Keterkaitan ke Depan Langsung Tak Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Tak Langsung Pendapatan Pajak Tak langsung PAD Nilai Tambah Total PDRB 1 Perdagangan Minyak bumi Jasa Kesehatan Pemerintah Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Industri Beras Unggas dan hasil- hasilnya Industri Beras 2 Industri makanan lainnya Industri makanan lainnya Jasa Pendidikan Swasta Jasa Angkutan Udara Jasa Angkutan Udara Tembakau Jasa Angkutan Udara 3 Minyak bumi Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk Industri Beras Industri alat angkutan lainnya dan jasa perbaikannya Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Gas Kota Industri logam dasar bukan besi dan baja 4 Gas bumi dan panas bumi Industri pengilangan minyak bumi Jasa Pemerintahan Umum Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya Industri karet dan barang-barang dari karet Industri alat angkutan lainnya jasa perbaikan Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya 5 Industri Kimia dan barang- barang dari bahan kimia lainnya Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Jasa Pendidikan Pemerintah Jasa Angkutan Laut Industri furniture termasuk berbahan plastik, besi dan baja Tebu Industri furniture termasuk berbahan plastik, besi dan baja 6 Industri pengilangan minyak bumi Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya Jasa kemasyarakatan Lainnya Industri mesin lainnya dan perlengkapannya Real estate dan usaha persewaan bangunan Jasa kemasyarakatan Lainnya Industri logam dasar dari besi dan baja kecuali furniture 7 Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya Barang tambang dan hasil galian lainnya Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki Industri logam dasar bukan besi dan baja Industri Pupuk Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki 8 Listrik Gas bumi dan panas bumi Industri Pupuk Jasa Angkutan Rel Industri alas kaki Jasa Angkutan Sungai dan Danau Industri barang- barang dari plastik kecuali furniture 9 Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya Industri pengilangan minyak bumi Industri logam dasar dari besi dan baja kecuali furniture Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri furniture termasuk berbahan plastik, besi dan baja Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya 10 Padi Bank dan Lembaga Keuangan lainnya Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki Industri barang- barang dari plastik kecuali furniture Industri mesin lainnya dan perlengkapannya Jasa Kesehatan Swasta Bangunan 119 Tabel 37 Sepuluh sektor pertanian primer menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat Tingkat Keterkaitan Sektoral Angka Pengganda Peringkat Keterkaitan ke Depan Langsung Keterkaitan ke Depan Langsung Tak Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Tak Langsung Pendapatan Pajak Tak langsung PAD Nilai Tambah Total PDRB

1 Padi

Padi Karet Unggas dan hasil- hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil- hasilnya 2 Tebu Tebu Unggas dan hasil-hasilnya Tembakau Ternak dan hasil- hasilnya Tembakau Tembakau 3 Buah-buahan Karet Tembakau Susu segar Susu segar Tebu Susu segar 4 Unggas dan hasil-hasilnya Kayu dan hasil- hasilnya Tebu Ternak dan hasil- hasilnya Tembakau Kelapa Ternak dan hasil- hasilnya 5 Sayur-sayuran Pertanian Tanaman Perkebunan Susu segar Pertanian Tanaman Perkebunan Pertanian Tanaman Perkebunan Ternak dan hasil-hasilnya Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang 6 T e h Unggas dan hasil- hasilnya T e h Kelapa Sawit Kayu dan hasil- hasilnya Susu segar Karet 7 Karet Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Kelapa Sawit Tebu Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Kelapa Sawit Pertanian Tanaman Perkebunan 8 Tembakau Ternak dan hasil- hasilnya Sayur-sayuran Karet Ikan darat dan hasil perairan darat lainnya Karet Kelapa Sawit 9 Ternak dan hasil-hasilnya Bahan Makanan Lainnya Ternak dan hasil- hasilnya Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Kelapa Sawit Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Tebu 10 Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Jagung Cengkeh Kayu dan hasil- hasilnya Kelapa Cengkeh Ikan darat dan hasil perairan darat lainnya 120 Tabel 38 Sepuluh sektor agroindustri menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat Tingkat Keterkaitan Sektoral Dampak Pengganda Pering- kat Keterkaitan ke Depan Langsung Keterkaitan ke Depan Langsung Tak Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Tak Langsung Pendapatan Pajak Tak langsung PAD Nilai Tambah Total PDRB 1 Industri makanan lainnya Industri makanan lainnya Industri Beras Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri Beras Industri Pupuk Industri Beras 2 Industri karet dan barang-barang dari karet Industri Pupuk Industri Pupuk Industri karet dan barang-barang dari karet Industri karet dan barang-barang dari karet Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Pupuk 3 Industri Pupuk Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri makanan lainnya Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri karet dan barang-barang dari karet 4 Industri Beras Industri karet dan barang-barang dari karet Teh olahan Gula Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Beras Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman 5 Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Beras Gula Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Gula Industri karet dan barang-barang dari karet Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki 6 Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri karet dan barang-barang dari karet Industri Beras Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Teh olahan Industri makanan lainnya 7 Teh olahan Gula Industri makanan lainnya Industri Pupuk Industri makanan lainnya Industri makanan lainnya Gula 8 Gula Teh olahan Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Teh olahan Teh olahan Gula Teh olahan 9 Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri pengolahan lainnya Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Pupuk Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok lainnya, sehingga berada pada peringkat bawah dari kelompok sektor yang memiliki keterkaitan terkuat. Walaupun demikian, sektor ini memiliki keterkaitan yang kompleks dengan sektor ekonomi lainnya, termasuk dengan sektor industri. Pada kelompok sektor pertanian primer hasil I-O 86 sektor, lima sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang terkuat secara berturut-turut adalah sektor karet, unggas, tembakau, tebu dan susu segar Tabel 37. Karet merupakan salah satu kasus yang akan diuraikan untuk menunjukkan keterkaitan yang kompleks dari sektor pertanian primer unggulan. Keterkaitan sektoral ke depan sektor karet adalah dengan industri alas kaki, industri kendaraan bermotor, industri karet dan barang dari karet, industri mesin lainnya dan perlengkapannya, industri jasa perorangan dan rumah tangga serta 37 sektor hilir lainnya, dengan proporsi pasokan output karet ke sektor hilirnya tersebut masing-masing sebesar 26.31 , 19.20 , 17.59 , 15.85 , 7.77 dan 13.28 . Keterkaitan ke belakang karet dapat dilihat pada Tabel 39. Keterkaitan sektoral dari komoditi pertanian unggulan lainnya, yaitu unggas dan hasil-hasilnya, tembakau, padi dan tebu ditunjukkan pada Tabel 40 sampai Tabel 43. Tabel 39 Keterkaitan ke belakang sektor karet dengan sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Karet 59 905 40.93 2 Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk 36 428 24.89 3 Perdagangan 12 901 8.82 4 Bangunan 8 613 5.89 5 Jasa Angkutan Jalan 3 886 2.66 Sektor Ekonomi Lain 29 sektor 12 307 16.82 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 40 Keterkaitan ke belakang sektor unggas dan hasil-hasilnya dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Input Rp Juta Pangsa 1 Industri makanan lainnya 1 823 728 79.90 2 Perdagangan 285 779 12.52 3 Unggas dan hasil-hasilnya 65 997 2.89 4 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 51 996 2.28 5 Jasa Angkutan Jalan 26 151 1.15 Sektor Ekonomi Lain 38 sektor 1.26 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 41 Keterkaitan ke belakang sektor tembakau dan hasil-hasilnya dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri Pupuk 20 046 42.20 2 Perdagangan 5 231 11.01 3 Unggas dan hasil-hasilnya 4 924 10.37 4 Industri barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya dan furniture 3 560 7.49 5 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 2 876 6.06 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 42 Keterkaitan ke depan sektor padi dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri Beras 11 496 492 94.23 2 Padi 619 357 5.08 3 Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya 47 058 0.39 4 Ternak dan hasil-hasilnya 25 000 0.20 5 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 6 139 0.05 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 43 Keterkaitan ke depan sektor tebu dengan sektor lainnya Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri Gula 172 333 92.25 2 Tebu 12 791 6.85 3 Susu segar 511 0.27 4 Ternak dan hasil-hasilnya 363 0.19 5 Hotel 336 0.18 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Telah disinggung bahwa angka indeks pengganda seluruh sektor pertanian primer nilainya kurang dari satu atau di bawah rata-rata angka pengganda seluruh sektor ekonomi di Jawa Barat, kecuali pengganda PAD-nya. Bahkan dari aspek pengganda ini, sektor pertanian primer jauh lebih unggul diantara sektor ekonomi lainnya. Sektor unggas dan hasil-hasilnya diidentifikasi sebagai sektor yang memiliki dampak pengganda PAD tertinggi. Angka penggandanya mencapai 40,78 Lampiran 22 dan jauh melampaui angka rata-rata pengganda PAD seluruh sektor 2,94. Ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan permintaan 1 rupiah pada sektor perekonomian akan menyebabkan lonjakan kenaikan PAD sebesar Rp 40,78. Tidak hanya sektor unggas, terdapat dua sektor pertanian primer lain yang termasuk ke dalam 5 kelompok besar sektor ekonomi yang memiliki angka pengganda PAD tertinggi, yaitu tembakau pada posisi ke-2 dan tebu pada posisi ke-5. Agroindustri Unggulan Pada bagian ini hanya akan diulas tiga sektor agroindustri unggulan, untuk menunjukkan keunggulannya dari aspek keterkaitan sektoral yang lebih kompleks ataupun memiliki kaitan erat dengan sektor pertanian primer. Agroindustri tersebut adalah industri makanan lainnya, industri beras serta industri kulit dan barang-barang dari kulit. Sektor industri makanan lainnya menempati posisi kedua setelah sektor perdagangan dari 86 sektor perekonomian di Jawa Barat yang memiliki keterkaitan langsung ke depan terkuat. Dalam keterkaitan langsung ke depan, sektor pertanian yang diwakili oleh agroindustri ini, ternyata lebih superior dibandingkan industri nonpertanian. Keterkaitan terkuat industri-makanan-lainnya ini adalah dengan sektor unggas dan hasil-hasilnya, yang merupakan sektor pertanian primer. Tabel 44 Keterkaitan ke depan sektor industri makanan lainnya dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Sebesar 29.35 persen dari total output yang dihasilkan sektor industri makanan lainnya diserap oleh sektor unggas dan hasil-hasilnya, sisanya diserap oleh sektornya sendiri 23.19 , kemudian oleh sektor restoran 13.07 , industri kulit 5.20 dan 42 sektor ekonomi lainnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 44. Dalam aktivitas perekonomiannya, sektor industri makanan lainnya ini melibatkan cukup banyak sektor ekonomi lainnya 46 sektor, baik sektor pertanian maupun sektor nonpertanian. Industri beras merupakan sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang terkuat pada posisi ketiga dari 86 sektor ekonomi. Keterkaitan terkuatnya adalah dengan sektor padi. Sektor padi ini memasok hampir seluruh pasokan input sektor industri beras, yaitu sebesar 88.32 Tabel 45, sementara sisanya dipenuhi oleh sektor perdagangan 8.33, sektor industri beras sendiri 2.84, sektor jasa angkutan jalan 0.14, sektor Bank dan Lembaga Keuangan lainnya 0.11. Pering- kat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Unggas dan hasil-hasilnya 1 823 728 29.35 2 Industri makanan lainnya 1 440 943 23.19 3 Restoran 812 446 13.07 4 Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki 323 349 5.20 5 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 319 337 5.14 Sektor Ekonomi Lainnya 42 sektor Tabel 45 Keterkaitan ke belakang sektor industri Beras dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Pering- kat No. Sektor Sektor Ekonomi Nilai Output Juta Rp Pangsa 1 1 Padi 11 496 492 88.32 2 65 Perdagangan 1 084 752 8.33 3 29 Industri Beras 369 314 2.84 4 69 Jasa Angkutan Jalan 17 597 0.14 5 75 Bank dan Lembaga Keuangan lainnya 14 161 0.11 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 46 Keterkaitan ke belakang sektor industri kulit dan barang dari kulit sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Pering- kat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri makanan lainnya 323 349 44.9 2 Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki 224 727 31.2 3 Perdagangan 90 206 12.5 4 Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk 18 509 2.6 5 Industri tekstil 14 514 2.0 6 Jasa Angkutan Jalan 6 771 0.9 7 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 6 624 0.9 8 Industri alas kaki 5 370 0.7 9 Industri barang-barang dari plastik kecuali furniture 4 105 0.6 10 Listrik 3 525 0.5 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Sektor ini juga memiliki keterkaitan dengan 31 sektor ekonomi lainnya di Jawa Barat. Ini memberikan implikasi bahwa pengembangan sektor industri beras berpotensi besar untuk menarik sektor pertanian primer padi. Tetapi keterkaitannya yang besar hanya terbatas pada komoditi pertanian tertentu saja padi. Namun apabila dikaitkan dengan masih banyaknya petani Jawa Barat penghasil padi lengkap dengan status kemiskinannya, pengembangan sektor ini sangat relevan untuk menarik pertumbuhan aktivitas sektor padi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Selain keterkaitan sektoralnya yang kuat, sektor industri beras juga merupakan sektor yang dapat memberikan peningkatan total pendapatan rumah tangga yang tertinggi diantara seluruh sektor perekonomian di Jawa Barat Lampiran 22. Angka pengganda pendapatannya sebesar 3.87 menunjukkan bahwa setiap kenaikan permintaan akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri beras akan meningkatkan pendapatan total rumah tangga sebesar Rp 3.87. Implikasi dari hasil analisis ini adalah bahwa sektor industri beras, sebagai diversifikasi usaha petani padi, dapat dilihat kemungkinan pengembangannya di wilayah basis padi dengan tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang rendah. Keterkaitan sektoral agroindustri unggulan lainnya, yaitu industri kulit ditunjukkan pada Tabel 46. Secara lebih rinci keterkaitan interindustrial sektor industri unggulan dan keterkaitannya dengan sektor pertanian primer ditampilkan dengan bagan pohon industri yang disajikan pada Gambar 14 sampai Gambar 19. Ulasan lebih detil tentang industri unggulan ini akan dibahas pada bab Arahan Pengembangan Sektor Unggulan. Tujuan Pembangunan: Pertumbuhan Ekonomi yang Stabil Kemampuan suatu sektor bertahan dari gejolak eksternal ditunjukkan dari rendahnya ketergantungan pada penggunaan input impor dan modal asing. Untuk itu, selain memiliki keterkaitan yang luas dengan sektor lainnya, sektor unggulan haruslah juga tidak bergantung pada faktor eksternal. Sektor pertanian primer pada umumnya lebih banyak memanfaatkan sumberdaya domestik dan dimiliki oleh usahawan lokal, sehingga memenuhi kriteria ini. Pada sektor industri, penggunaan input impornya mencapai 41.1 dan dengan kepemilikan modal asing sebesar 11.5 . Tetapi dengan analisis pohon industri, terungkap bahwa agroindustri hilir unggulan hasil I-O 86 sektor tidak memiliki ketergantungan eksternal yang tinggi seperti industri nonpertanian. Dengan menggunakan bagan pohon industri dari sektor unggulan hasil analsis I-O dapat dilihat tingkat ketergantungan suatu industri terhadap input impor dan modal asing, selain kompleksitas keterkaitan interindustrialnya. Pohon industri ini dilengkapi dengan persentase jumlah output yang diekspor disimbolkan dengan huruf ‘X’, pasokan input impor M dan kepemilikan investasi yang berasal dari investor asing A atau kepemilikan investor domestik D, sebagaimana yang dideskripsikan pada Gambar 14 sampai Gambar 19. Berdasarkan informasi pohon industri komoditi tersebut, terungkap bahwa kebanyakan sektor agroindustri hilir kaitan komoditi pertanian unggulan tersebut hanya menggunakan input lokal. Industri-industri tersebut diantaranya adalah industri penggilingan padi dan penyosohan beras 15311, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya 15312, industri makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 15440, industri kerupuk dan sejenisnya 15496, industri kue- kue basah 15498, industri pengolahan teh dan kopi 15491, industri gula pasir 15421, industri pengeringan pengolahan tembakau 16001, industri pengasapan karet 25121, industri jamu 24234, industri es krim 15213 dan industri sirop 15424. Pengembangan industri yang berbasis sumberdaya domestik seperti ini akan memperkuat sistem perekonomian Jawa Barat dan mencegah berlangsungnya aliran kapital ke luar negeri. Terdapat juga agroindustri yang memanfaatkan input impor namun dengan persentase rendah 10 , seperti industri tepung 15322, industri kecap 15493, industri roti 15410, industri makanan lain 15499, industri minuman ringan 15540, industri bumbu masak penyedap masakan 15497, dengan kandungan input impornya secara berturut-turut sebesar 4 , 1 , 2 , 4 , 7 dan 7 . Sedangkan agroindustri yang menggunakan input impor dengan tingkatan menengah tingkat menengah diasumsikan sebesar 15 M ≤ 30 adalah industri ransum pakan ternakikan 15331, industri susu 15211, industri pupuk buatan majemuk hara makro primer 24123, industri konsentrat pakan ternak 15332 dengan proporsi input impornya secara berturut-turut adalah 17 , 19 , 24 , 30. Selain itu, pada sektor yang masih berkaitan dengan sektor pertanian tersebut, kepemilikan lokal ternyata lebih dominan dibandingkan dengan kepemilikan asing. Hanya terdapat beberapa agroindustri yang memiliki sharing dengan investor asing, yaitu industri makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 15440, es krim 15213, industri minuman ringan 15540, industri roti dan sejenisnya 15410, industri bumbu masak penyedap masakan 15497, industri ransum pakan ternakikan 15331, industri konsentrat pakan ternak 15332 dan industri berbagai macam tepung dari padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, dan umbi-umbian 15322, dengan proporsi kepemilikan asing secara berturut-turut adalah 1 , 6 , 12 , 3 , 7, 12, 33 dan 33. Dari industri-industri tersebut, hanya industri konsentrat pakan ternak 15332 dan industri tepung 15322 yang memiliki input impor dan kepemilikan asing yang cukup tinggi 30. Secara umum dapat ditunjukkan bahwa sebagian besar agroindustri utama, yang terkait dengan sektor pertanian primer unggulan, memiliki keunggulan pada aspek tidak ada atau rendahnya penggunaan input impor dan kepemilikan asingnya, kecuali agroindustri hulu yang banyak menggunakan bahan kimia yang dipasok dari luar. Sebaliknya dengan industri yang memiliki kaitan jauh dengan sektor pertanian primer, cenderung memiliki muatan impor dan terdapat proporsi kepemilikan asing yang relatif tinggi. Tujuan Pembangunan: Pemerataan Pada pembahasan analisis kinerja pembangunan diketahui bahwa percepatan pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan, termasuk kabupaten industri dan jasa, cenderung menimbulkan permasalahan kesenjangan, fragmentasi lahan dan tingkat pengangguran yang tinggi. Sebaliknya, aktivitas pembangunan di kabupaten pertanian tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Permasalahan kesenjangan justru akan berkurang jika sektor ini beserta masyarakatnya diperkuat dan diberdayakan. Oleh karena itu, untuk program ke depan, realokasi pembangunan ke wilayah pertanian termasuk sektor ekonominya merupakan suatu prioritas untuk pencapaian tujuan pemerataan. 129 Gambar 14 Keterkaitan sektoral padi, industri beras dan industri kaitannya. 130 Gambar 15 Keterkaitan sektoral unggas dan industri kaitannya. 131 Gambar 16 Keterkaitan sektoral karet dan industri kaitannya. 132 Gambar 17 Keterkaitan sektoral tembakau, industri olahan tembakau dan industri kaitannya. 133 Gambar 18 Keterkaitan sektoral ternak dan industri kaitannya. 134 Gambar 19 Keterkaitan sektoral tebu, industri gula pasir dan industri kaitannya. Tujuan Pembangunan: Keberlanjutan Keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, merupakan salah satu tujuan pembangunan yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan sektor unggulan wilayah. Suatu sektor dinilai belum cukup memenuhi kriteria unggulan, jika baru meniliknya dari aspek keterkaitan sektoral dan interregional kabupatenkota di Jawa Barat, ataupun dari aspek ketergantungannya pada faktor eksternal, tanpa mengaitkannya dengan kesesuaian tata ruang wilayah. Sektor unggulan wilayah yang terbukti handal dari banyak kriteria ekonomi dan sosial, jika aktivitasnya berdampak pada kerusakan lingkungan dan menimbulkan berbagai bencana, tidak disarankan sebagai sektor unggulan di suatu wilayah. Oleh karena itu secara spasial, sektor unggulan haruslah merupakan sektor yang pemanfaatan lahannya konsisten dengan rencana tata ruang, selain juga diterima oleh masyarakat lokal dan didukung dengan ketersediaan lahan yang sesuai. Analisis konsistensi untuk pemanfaatan lahan aktivitas komoditi pertanian tidak dapat memberikan informasi dengan tepat. Analisis ini merupakan pendekatan global untuk memberi gambaran secara umum. Untuk identifikasi konsistensi pemanfaatan komoditi secara tepat dapat dilakukan kajian yang lebih detil didukung dengan ground check di lapangan. Pada Peta RTRW Jawa Barat, jenis peruntukan lahan dibedakan menjadi hutan lindung, hutan konservasi, lindung nonhutan, perairandanausitu, hutan produksi, sawah dan budidaya lain. Sedangkan peta existing landuse membedakan penutupan lahan menjadi badan air, hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, sawah, tambak, kebun campuran, ladang, semak belukar, padang rumput, pemukiman, kawasan industri dan kawasan pertambangan. Untuk memudahkan analisis, dilakukan pengelompokan jenis penutupan lahan peta landuse berdasarkan lebatnya tutupan vegetasi lahan dan fungsi hidrologisnya, yaitu: 1 kawasan lindung, 2 hutan dan vegetasi lebat, 3 tanaman pertanian lahan basah TPLB, 4 tanaman pertanian lahan kering TPLK dan 5 ruang terbangun. Kawasan lindung meliputi badan air dan hutan primer; hutan dan vegetasi lebat meliputi hutan sekunder dan perkebunan tahunan; TPLB meliputi sawah dan tambak; TPLK terdiri dari kebun campuran, ladang, semak belukar dan padang rumput; ruang terbangun mencakup pemukiman, kawasan industri dan kawasan pertambangan. Pada peta RTRW, dilakukan pengelompokan menjadi: 1 kawasan lindung dan vegetasi lebat, 2 sawah dan 3 budidaya lain. Kawasan lindung dan vegetasi lebat meliputi hutan konservasi, hutan lindung, lindung nonhutan dan perairandanausitu. Untuk Peta RTRW Kabupaten Sukabumi, sebagai studi kasus analisis ini, jenis peruntukan lahan dibedakan menjadi hutan lindung, hutan suaka margasatwa, hutan konservasi, tubuh air, hutan produksi, perkebunan, sawah, kebun campuran, ladang, permukiman perkotaan, kawasan pariwisata dan zona industri. Sedangkan peta existing landuse membedakan penutupan lahan menjadi hutan primer, tubuh air, hutan sekunder, perkebunan, sawah, kebun campuran, ladang, semak belukar, padang rumput, pemukiman, kawasan pertambangan dan tanah kosong. Pemanfaatan lahan dinilai tidak konsisten inkonsisten jika terjadi pergeseran pemanfaatan dari peruntukan kawasan lindung menjadi aktivitas budidaya, terutama TPLK atau ruang terbangun. Disebabkan keterbatasan informasi kawasan budidaya pada peta RTRW provinsi, maka analisis inkonsistensi pun bersifat terbatas dan mengandung kelemahan. Kawasan budidaya pada peta RTRW hanya dibagi menjadi sawah dan budidaya lainnya. Peruntukan lahan budidaya-lainnya yang menjeneralkan seluruh jenis peruntukan lahan seperti perkebunan, tegalan, TPLK dan ruang terbangun, praktis menihilkan peluang untuk melihat ketidakkonsistenan pemanfaatan lahan di kelompok kawasan budidaya ini. Namun informasi yang bersifat global ini dapat menjadi informasi awal untuk mengkaji konsistensi aktivitas komoditi unggulan di tingkat kabupatenkota, yang pada umumnya telah tersedia data spasial RTRW yang lebih detil. Oleh karena itu untuk mendukung penelitian ini, dalam analisis konsistensi diangkat satu studi kasus, yaitu Kabupaten Sukabumi. Rekap data LQ komoditi pertanian, ketersediaan lahan yang sesuai S1 - S3, luas lahan yang konsisten dan inkonsisten dengan RTRW disajikan pada Tabel 47 sampai Tabel 53. Sedangkan Tabel Produksi dan nilai LQ sektor pertanian ditampilkan pada Lampiran 23 sampai Lampiran 28. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat, Peta penggunaan lahan aktual dan Peta Arahan Pertanian disajikan pada Gambar 20 sampai Gambar 22. Data atribut hasil tumpang tindih Peta RTRW dan peta landuse per kabupaten disajikan dalam file CD. Sementara Peta RTRW dan Peta Landuse Sukabumi disajikan pada Gambar 23 dan 24. 137 Gambar 20 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah dan pemusatan komoditi pertanian unggulan Jawa Barat. 138 Gambar 21 Peta penggunaan lahan di Jawa Barat. 139 Gambar 22 Peta arahan pertanian dan pemusatan komoditi pertanian unggulan Jawa Barat. Gambar 23 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi. Gambar 24 Peta penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi.

1. Padi