B K - K B
menunjukkan bahwa kabupaten jasa didukung oleh sumberdaya ekonomi di bidang jasa yang cukup baik dan dengan pertumbuhan yang mampu bersaing dengan
sektor jasa wilayah lainnya di Jawa Barat. Tabel 16 Sektor kompetitif dan sektor komparatif kabupatenkota di Provinsi Jawa
Barat
Sektor KabupatenKota
TANI IND JASA TAMB LIGAS PDAG BNGN ANGK KEU
Kabupaten Pertanian
Garut B
K B K B
Cianjur K,B B K B B B K,B
Tasikmalaya B
B K B B B
Sukabumi K,B K
B K K K K K,B K,B
Majalengka B
K B K K B B B
Cirebon K,B K,B K K,B B
B B
B
Subang K,B K K,B
K K K K Kuningan
B K
K,B K B B B
Ciamis
B B K B B K,B
K,B Sumedang
B B K K,B
B K,B
KabKota Industri
Bekasi K,
B K K K,B
K K Kota Cimahi
K B
K B
B Bogor
K, B
K B
B Bandung K
K, B
K K K,B K K B
Karawang K,
B K
B K,B
K Kota Bekasi
K, B K - K K,B
K,B K,B
B KabKota
Jasa Kota
Sukabumi K K B K B B B K,B
Kota Tasikmalaya
K B K B B B K,B
Kota Bandung K
B - K,B K,B
B K,B K,B
Kota Depok K
K K,B
- B B B K,B B
Kota Bogor
K K K,B -
K,B B B
K,B K,B
Kota Cirebon K
K,B -
B B
B B
Purwakarta K B
K K B B K,B K,B
Kota Banjar
B B K
K,B B K,B
B
Kabupaten Pertambangan
Indramayu B
K K
Sumber: Data PDRB Provinsi Jawa Barat tahun 2000 2004, diolah dengan analisis LQ dan SSA Keterangan:
TANI : Pertanian
TAMB : Pertambangan Penggalian
IND : Industri Pengolahan
JASA : Jasa-jasa
LIGAS : Listrik, Gas Air Bersih
PDAG : Pdag, Hotel Resto
BNGN : Bangunan ANGK : Pengangkutan Komunikasi
KEU : Keuangan, Persewaan
K : Sektor Kompetitif B : Sektor Basis Jasa
Tanda asterik menunjukkan sektor-sektor yang dikelompokkan menjadi sektor jasa Huruf B tebal menunjukkan sektor basis dengan nilai LQ terbesar
69
Gambar 5 Peta sektor basis dan kompetitif pertanian dan pertambangan Provinsi Jawa Barat.
70 Gambar 6 Peta sektor basis dan kompetitif industri di Provinsi Jawa Barat.
71 Gambar 7 Peta sektor basis dan kompetitif jasa di Provinsi Jawa Barat.
Kabupaten Indramayu merupakan satu-satunya kabupaten yang mewakili kabupaten pertambangan. Nilai LQ sektor pertambangan kabupaten ini cukup
mencolok diantara nilai LQ sektor lainnya di wilayah tersebut. Namun sektor ini ternyata tidak memiliki keunggulan kompetitif, yang diindikasikan dengan nilai
differential shift yang negatif. Nilai negatif tersebut merupakan cerminan dari pertumbuhan sektor pertambangan Indramayu yang beberapa kali mengalami
perlambatan atau pertumbuhan negatif selama periode 2001 - 2004. Kinerja Pembangunan Wilayah di Jawa Barat
Kinerja pembangunan ekonomi regional Jawa Barat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya adalah melalui pertumbuhan PDRB, kontribusi
pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten, tingkat pemerataan atau kesenjangan wilayah ataupun tingkat pengangguran, yang dianalisis pada masing-masing
kelompok kabupatenkota Jawa Barat
Pembangunan Ekonomi di Jawa Barat Pertumbuhan PDRB Wilayah
Pada periode tahun 2000 – 2005, trend pertumbuhan PDRB Jawa Barat tampak berfluktuasi Gambar 8 dan Tabel 17. Laju pertumbuhan PDRB tertinggi
dicapai pada tahun 2004, yaitu mencapai 5.45 persen per tahun, tetapi pada tahun 2005 laju pertumbuhannya turun menjadi 5.07 persen. Industri pengolahan yang
mendominasi sektor ekonomi Jawa Barat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan PDRB provinsi ini. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB
kelompok kabupaten industri pengolahan 5.20 per tahun telah mengangkat angka rata-rata laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat 5.03 tahun. Rata-rata
laju pertumbuhan PDRB kabupaten industri adalah yang tertinggi diantara keempat kelompok kabupatenkota. Kabupaten jasa, pada posisi kedua, juga memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan rata-rata laju pertumbuhan PDRB provinsi.
Tabel 17 Pertumbuhan PDRB kelompok kabupaten di Provinsi Jawa Barat tahun 2001 – 2005
Tahun Kelompok Kabupaten
2001 2002 2003 2004 2005
Rata-rata 2001-2005
Kab. Pertanian 4.82
4.55 4.09
4.69 4.49
4.43
Kab.Kota Industri 7.74
4.49 4.78
5.50 5.57
5.20 Kab.Kota Jasa
4.80 5.02
5.12 5.44
5.44 5.17
Kab.Kota Pertambangan 0.20
6.03 0.24
3.77 0.28
1.82 Jawa Barat
4.74 5.00
4.57 5.45
5.07 4.97
Sumber: BPS, beberapa tahun penerbitan 2001 – 2006
Gambar 8 Perkembangan pertumbuhan PDRB Jawa Barat dan kelompok kabupaten pertanian, industri, jasa dan pertambangan.
Angka rata-rata laju pertumbuhannya sebesar 5.17 persen per tahun. Sementara kelompok kabupaten pertanian berada pada posisi ketiga dengan
angka rata-rata laju pertumbuhan sebesar 4.43 persen. Walaupun angka tersebut berada di bawah angka rata-rata provinsi, rata-rata laju pertumbuhan PDRB
kelompok kabupaten ini masih lebih tinggi dibandingkan kabupatenkota pertambangan 1.82 per tahun. Pertumbuhan yang rendah tersebut dapat
1,00 -
1,00 2,00
3,00 4,00
5,00 6,00
7,00 8,00
9,00
2001 2002
2003 2004
2005 Tahun
P er
tum buhan P
D R
B tah
un
Jawa Barat Kab. Pertanian
Kab.Kota Industri Kab.Kota Jasa
Kab.Kota Pertambangan
Tahun
disebabkan ketersediaan sumberdaya alam yang bersifat nonrenewable dan ketergantungan yang kuat dari sektor pertambangan dengan perusahaan berskala
besar tertentu. Dari analisis ini, terlihat adanya kecenderungan percepatan pembangunan
di kabupatenkota industri dan jasa. Sebaliknya di kabupaten pertanian, pertumbuhan sektor ekonominya jauh tertinggal dibandingkan dengan kabupaten
Tabel 18 Pertumbuhan PDRB kabupaten atas dasar harga konstan 2000 periode 2001 – 2005 per tahun
Pertumbuhan PDRB Rata-rata
2001- 2005
No. KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005
Kabupaten Pertanian 1 Garut
3.62 3.96 2.70 4.01 4.16 3.69
2 Cianjur 3.69 3.74 3.68 3.97 3.82
3.78 3 Tasikmalaya
2.74 3.07 3.44 3.52 3.83 3.32
4 Sukabumi 8.15 7.65 6.05 6.77 3.66
6.45 5 Majalengka
4.89 3.31 3.25 4.09 4.47 4.00
6 Cirebon 4.88 4.12 4.04 4.67 5.06
4.56 7 Subang
4.60 7.41 6.22 7.29 6.90 6.48
8 Ciamis 2.90 4.27 4.07 4.36 4.58
4.04 9 Kuningan
4.25 4.07 3.50 3.98 3.94 3.95
10 Sumedang 3.66 3.95 3.93 4.30 4.48
4.06 Rata-rata
4.82 4.55 4.09 4.69 4.49 4.43
KabKota Industri 11 Bekasi
4.80 5.00 5.72 6.10 5.97 5.52
12 Kota Cimahi
4.26 4.03 4.18 4.34 4.56 4.28
13 Bogor 3.94 4.43 4.87 5.51 5.81
4.91 14 Bandung
4.91 4.97 5.02 5.63 5.01 5.11
15 Karawang 10.95 3.40 3.66 6.06 6.46
6.11 16 Kota
Bekasi 5.09 5.12 5.25 5.36 5.60
5.29 Rata-rata
7.74 4.49 4.78 5.50 5.57 5.20
KabupatenKota Jasa 17 Kota
Sukabumi 5.08 5.34 5.39 5.77 5.93
5.51 18 Kota
Tasikmalaya 3.75 4.24 4.43 4.99 4.02
4.29 19 Kota
Bandung 7.54 7.13 7.34 7.49 7.53
7.40 20 Kota
Depok 5.89 6.10 6.29 6.41 6.93
6.32 21 Kota
Bogor 5.68 5.79 6.07 6.10 6.12
5.95 22 Kota
Cirebon 3.84 4.22 4.27 4.66 4.89
4.38 23 Purwakarta
3.50 4.00 3.01 3.72 3.51 3.55
24 Kota Banjar
3.14 3.30 4.20 4.40 4.63 3.93
Rata-rata 4.80 5.02 5.12 5.44 5.44
5.17 Kabupaten Pertambangan
25 Indramayu 0.20 6.03 0.24 3.77
0.28 1.82
Jawa Barat 4.74
5.00 4.57
5.45 5.07
4.97
Sumber: BPS, beberapa tahun penerbitan 2001-2006
industri dan jasa. Kondisi ini sangat berkaitan dengan perlakuan pembangunan terhadap wilayah dan sektor ekonomi utama yang menjadi penopang ekonomi
masyarakatnya. Apabila dikaitkan dengan dominannya penduduk Jawa Barat yang bergantung pada sektor ini, seharusnya sektor pertanian perlu dipacu dan
diberdayakan dengan mengoptimalkan segala sumberdaya lokal yang ada pada daerah tersebut.
Kontribusi Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Jawa Barat
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing kabupatenkota dalam membentuk trend PDRB provinsi. Tabel
19 menyajikan kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi kabupatenkota Jawa Barat pada periode 2001-2005. Pada periode tersebut, trend PDRB Jawa Barat
cenderung mengalami peningkatan dan bertahan pada angka dua dijit 5 per tahun, kecuali pada tahun 2003 yang mengalami sedikit penurunan 4.57 per
tahun. Dilihat dari persentase kontribusi pertumbuhan kabupaten terhadap
pertumbuhan PDRB provinsi pada periode 2001-2005, terdapat perbedaan pola pada masing-masing kelompok kabupatenkota. Pada kelompok kabupatenkota
jasa, secara umum kontribusi pertumbuhan sektor ekonominya relatif rendah, bahkan lebih rendah dari kelompok kabupaten pertanian. Pada umumnya,
kontribusi pertumbuhan kabupatenkota jasa berada di dalam selang yang rendah 0.25 – 2.44 persen, kecuali kota Bandung 8.18 – 8.89 persen. Kota Bandung
merupakan satu-satunya kota jasa yang memberikan angka kontribusi pertumbuhan yang tinggi, meninggalkan kabupatenkota jasa lainnya. Kabupaten
pertanian menunjukkan kontribusi yang cenderung lebih tinggi dan lebih seragam, yaitu pada interval 1.38 - 4.00 persen. Sedangkan kabupatenkota
industri, pada umumnya memberikan kontribusi yang tinggi, yaitu berada pada interval 4.96 - 16.99 persen, kecuali Kota Cimahi sekitar 2.0 persen.
Informasi rendahnya kontribusi pertumbuhan dari kabupatenkota jasa terhadap laju pertumbuhan provinsi tidak muncul dalam analisis laju
pertumbuhan sebelumnya. Dari analisis ini ditunjukkan bahwa kabupaten
76 Tabel 19 Kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi di Jawa Barat tahun 2001-2005
Kontribusi Sumber Pertumbuhan tahun Persentase
No. KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005
2001 2002
2003 2004
2005 Kabupaten Pertanian
1 Garut
0.19 0.20 0.18 0.21 0.19
4.00 3.96
3.92 3.85
3.80
2 Cianjur
0.15 0.15 0.14 0.16 0.15
3.10 3.07
3.03 3.00
2.96
3 Tasikmalaya
0.10 0.10 0.09 0.10 0.10
2.01 1.97
1.93 1.91
1.88
4 Sukabumi
0.15 0.17 0.16 0.19 0.18
3.25 3.36
3.44 3.49
3.54
5 Majalengka
0.07 0.08 0.07 0.08 0.07
1.53 1.53
1.51 1.49
1.47
6 Cirebon
0.13 0.14 0.12 0.15 0.14
2.73 2.73
2.71 2.69
2.67
7 Subang
0.11 0.12 0.11 0.14 0.13
2.42 2.41
2.47 2.51
2.55
8 Kuningan
0.07 0.07 0.06 0.08 0.07
1.43 1.43
1.41 1.40
1.38
9 Ciamis
0.12 0.13 0.12 0.14 0.13
2.59 2.54
2.52 2.51
2.49
10 Sumedang
0.10 0.11 0.10 0.11 0.10
2.13 2.10
2.08 2.07
2.05
Kab.Kota Industri Pengolahan 11 Bekasi
0.79 0.83 0.76 0.92 0.86
16.69 16.70
16.70 16.88
16.99
12 Kota Cimahi
0.11 0.11 0.10 0.12 0.11
2.27 2.26
2.24 2.23
2.21
13 Bogor
0.48 0.50 0.46 0.55 0.51
10.12 10.05
9.99 10.02
10.03
14 Bandung
0.42 0.45 0.41 0.49 0.45
8.90 8.91
8.91 8.95
8.96
15 Karawang
0.26 0.29 0.26 0.31 0.29
5.43 5.75
5.66 5.61
5.64
16 Kota Bekasi
0.24 0.25 0.23 0.27 0.25
4.96 4.98
4.98 5.01
5.01
KabupatenKota Jasa
- - - - -
- -
- -
-
17 Kota Sukabumi
0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
0.59 0.59
0.59 0.60
0.60
18 Kota Tasikmalaya
0.06 0.06 0.06 0.07 0.06
1.31 1.29
1.28 1.28
1.28
19 Kota Bandung
0.39 0.42 0.39 0.48 0.45
8.18 8.39
8.57 8.79
8.96
20 Kota Depok
0.09 0.10 0.09 0.11 0.10
1.91 1.93
1.95 1.98
2.00
21 Kota Bogor
0.07 0.07 0.07 0.08 0.08
1.46 1.47
1.49 1.51
1.52
22 Kota Cirebon
0.10 0.11 0.10 0.11 0.11
2.14 2.12
2.11 2.10
2.09
23 Purwakarta
0.12 0.12 0.11 0.13 0.12
2.44 2.41
2.39 2.35
2.31
24 Kota Banjar
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
0.27 0.26
0.26 0.26
0.25
KabupatenKota Pertambangan 25 Indramayu
0.39 0.39 0.36 0.41 0.37
8.15 7.77
7.85 7.49
7.37 Jawa Barat
4.74 5.00
4.57 5.45
5.07 100.00 100.00
100.00 100.00 100.00
pertanian sebenarnya memiliki kontribusi yang lebih baik terhadap pertumbuhan perekonomian Jawa Barat dibandingkan dengan kabupatenkota jasa pada
umumnya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kelompok kabupatenkota industri dan jasa memiliki variasi kontribusi pertumbuhan yang cukup tinggi,
sebaliknya kabupaten pertanian memperlihatkan kecenderungan yang lebih seragam. Indikasi ini memberikan sinyal bahwa sekalipun dengan sektor andalan
yang sama, terjadi kecenderungan kesenjangan pertumbuhan ekonomi di dalam kelompok kabupaten industri atau jasa.
Kesenjangan Wilayah Pendekatan Indeks Williamson
Pendekatan popular untuk mengidentifikasi kesenjangan antarwilayah adalah analisis Indeks Williamson, yang menggunakan data dasar PDRB per kapita
kabupatenkota di Jawa Barat. Dari hasil analisis, terungkap telah terjadi kesenjangan antarwilayah yang tinggi di Provinsi Jawa Barat, yang diindikasikan
dengan angka indeks provinsi 0.6 pada rentang indeks kesenjangan sangat tinggi 0.5 – 1.0. Walaupun selama periode tahun 2000 – 2005, kecenderungan tingkat
kesenjangan Provinsi Jawa Barat tidak terlalu fluktuatif Gambar 9, namun perlu diwaspadai bahwa sejak tahun 2003 nilai indeksnya cenderung naik. Ini
menunjukkan bahwa selama periode tersebut, pembangunan ekonomi belum berhasil merata di kabupatenkota di provinsi ini, bahkan secara perlahan tingkat
kesenjangan wilayah cenderung meningkat. Kabupatenkota industri diidentifikasi memiliki nilai indeks yang tertinggi
diantara ketiga kelompok kabupaten tersebut dan termasuk ke dalam kategori kesenjangan tinggi. Nilai indeks kelompok kabupatenkota industri selama periode
2000 – 2005 meningkat dari 0.52 tahun 2000 menjadi 0.58 tahun 2005. Kecenderungan yang sama terjadi pada kabupatenkota jasa, dimana nilai
indeks pada tahun 2005 0.52 sudah tergolong ke dalam kesenjangan wilayah yang tinggi. Nilai ini telah bergeser dari nilai tahun-tahun sebelumnya yang berada
pada kesenjangan menengah sekitar 0.4. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pembangunan kabupatenkota industri dan jasa di Jawa Barat cenderung mengarah
pada ketidakmerataan antarwilayah, sekalipun di dalam kelompoknya sendiri dengan sektor andalan yang sama. Sebaliknya pada kabupaten pertanian,
0,1 0,2
0,3 0,4
0,5 0,6
0,7
2000 2001
2002 2003
2004 2005
Tahun In
d e
k s
W illi
a m
s o
n
Total Jawa Barat Kab. Pertanian
Kab. Kota Indus tri Kab.Kota Jas a
Gambar 9 Perkembangan Indeks Williamson kelompok kabupatenkota dan Provinsi Jawa Barat tahun
2000 - 2005.
wilayah basis sektor pertanian tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Nilai indeks kelompok kabupaten pertanian selama periode tersebut berada pada interval
0.13 – 0.18, yang masih tergolong dalam kategori kesenjangan rendah. Dalam analisis ini, kabupaten pertambangan tidak disertakan, disebabkan hanya terdiri
dari satu kabupaten Indramayu sehingga dinilai tidak representatif dalam menggambarkan kesenjangan antar kelompok kabupaten tersebut.
Tabel 20 Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat, kabupaten pertanian, kabupatenkota industri, kabupatenkota jasa tahun 2000-2005
Total Jawa Barat
Kabupaten Pertanian
Kabupaten Kota Industri
Pengolahan Kabupaten Jasa
Tahun Nilai Kriteria Nilai Kriteria Nilai Kriteria
Nilai Kriteria 2000 0.65 Tinggi 0.13 Rendah 0.52 Tinggi 0.44 Menengah
2001 0.64 Tinggi 0.13 Rendah 0.57 Tinggi 0.43 Menengah 2002 0.65 Tinggi 0.13 Rendah 0.56 Tinggi 0.44 Menengah
2003 0.63 Tinggi 0.15 Rendah 0.57 Tinggi 0.44 Menengah 2004 0.65 Tinggi 0.15 Rendah 0.57 Tinggi 0.47 Menengah
2005 0.66 Tinggi 0.18 Rendah 0.58 Tinggi 0.52 Tinggi
Sumber: BPS Jawa Barat, beberapa tahun penerbitan 2001-2006, diolah
Di sisi lain, tingkat kesenjangan kabupaten pertanian yang rendah, diikuti dengan PDRB per kapita yang rendah pula. Nilai rata-ratanya hanya setengah dari
rata-rata pendapatan perkapita kelompok kabupaten lainnya Lampiran 6. Nilai tambah yang rendah dari sektor pertanian, sebagai basis andalan daerah, telah
membentuk pendapatan masyarakat pertanian yang rendah pula. Oleh karena itu, pada wilayah tersebut perlu dilakukan pembenahan pembangunan pertanian secara
mendasar.
Kesenjangan Tingkat Pendapatan Pendekatan Gini Ratio
Analisis yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kesenjangan pendapatan penduduk adalah gini ratio atau indeks gini. Data dasar disajikan pada
Lampiran 7 dan 8. Hasil analisis Tabel 21 menunjukan bahwa pada dua titik waktu 2002 dan 2005, kesenjangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan di perdesaan dan tingkat kesenjangan pendapatan cenderung semakin tajam di tahun 2005. Jika dikaitkan dengan wilayah administratif kota
Tabel 21 Indeks Gini pendapatan penduduk perkotaan, perdesaan dan agregat Provinsi Jawa Barat tahun 2002 dan 2005
Tahun Perkotaan Perdesaan Agregat 2002 0.29
0.22 0.29
2005 0.32 0.26
0.34
Sumber: BPS 2002 dan BPS 2006, diolah
Jawa Barat yang seluruhnya didukung oleh sektor industri atau jasa, dan dengan data bahwa persentase desa yang diklasifikasikan sebagai desa pertumbuhan jauh
lebih banyak pada daerah administratif kota Lampiran 9, maka indikasi ini menunjukkan bahwa kabupaten dengan andalan sektor industri atau sektor jasa di
Jawa Barat berpotensi memunculkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Percepatan pembangunan di pusat pertumbuhan yang diikuti dengan bergairahnya
berbagai jenis usaha perekonomian, telah memperlebar senjang antara masyarakat yang mampu menangkap peluang bisnis bernilai tambah tinggi dengan masyarakat
yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Masyarakat yang tidak memiliki kapasitas tersebut menjadi terpinggirkan dan mengambil bagian dari sektor
informal yang bernilai tambah marjinal. Sementara kondisi tingkat kesejahteraan yang rendah dan minimnya fasilitas usaha di perdesaan, yang sangat kontradiktif
dengan kondisi perkotaan, juga ikut mendorong masyarakat desa berkompetisi untuk berusaha di perkotaan.
Kesenjangan Penguasaan Lahan dan Fragmentasi Lahan
Indeks Gini penguasaan lahan hasil analisis disajikan pada Tabel 22 dan Tabel 23, sedangkan data dasar disajikan pada Lampiran 10. Secara agregat, Tabel
22 menunjukkan bahwa angka Indeks Gini beberapa kabupaten pada kelompok kabupatenkota industri atau jasa 0.28 – 0.61 berada pada interval kesenjangan
yang lebih rendah dibandingkan dengan angka indeks kabupaten pertanian dan pertambangan 0.64 – 0.76, kecuali Kota Banjar 0.74, Purwakarta 0.69,
Karawang 0.66 dan Kota Bandung 0.65. Tabel 22 Indeks Gini penguasaan lahan kelompok kabupaten Jawa Barat tahun
2004
Rata-rata Proporsi RT Pertanian berdasarkan Golongan Penguasaan Luas Lahan
Kelompok KabupatenKota Interval
Indeks Gini
999 m
2
1 000 - 4 999
m
2
5 000 - 9 999 m
2
10 000 - 19 999 m
2
20 000 - 29 999 m
2
30 000 m
2
Kab. industri jasa 0.28 - 0.61
0.65 -
0.74 48.0
36.8 9.1 4.0 1.1 1.0
Kab.Pertanian Petambangan 0.64 - 0.76
22.9 53.0
15.6 6.2
1.4 0.9
Keterangan: menunjukkan nilai ekstrim atau di luar nilai rata-rata Indeks Gini kabupatenkota pada umumnya
Sebaran nilai Indeks Gini kabupatenkota kurang menunjukkan pola yang signifikan untuk mendeskripsikan tingkat kesenjangan lahan. Selain itu,
interpretasi tingkat kesenjangan lahan tidak dapat disamakan dengan interpretasi tingkat kesenjangan pendapatan seperti yang telah dipaparkan. Tingkat penguasaan
lahan yang merata tidak berarti menunjukkan kondisi yang diharapkan. Selain itu, kondisi sesungguhnya lahan pertanian di Jawa Barat pada umumnya telah
terfragmentasi menjadi luasan lahan yang sempit, sehingga sangat dimungkinkan penguasaan lahan dominan berada pada lahan-lahan yang sempit hingga luasan
skala menengah. Dengan alasan tersebut, maka interpretasi akan lebih rasional dan akan lebih ditekankan pada penelusuran data rata-rata proporsi jumlah rumah
tangga pertanian berdasarkan golongan penguasaan luas lahan, yang dapat menunjukkan kecenderungan sebaran fragmentasi lahan pada masing-masing
kelompok kabupaten.
Tabel 23 Indeks Gini penguasaan lahan kabupatenkota di Jawa Barat
Gini Ratio KabupatenKota
Kelompok Kabupaten
Perkotaan Perdesaan Agregat
1. Bogor Industri
0.48 0.81
0,57 2. Sukabumi
Pertanian 0.45
0.81 0,69
3. Cianjur Pertanian
0.46 0.80
0,72 4. Bandung
Industri 0.47
0.83 0,61
5. Garut Pertanian
0.42 0.81
0,69 6. Tasikmalaya
Pertanian 0.40
0.81 0,68
7. Ciamis Pertanian
0.41 0.80
0,76 8. Kuningan
Pertanian 0.37
0.83 0,74
9. Cirebon Pertanian
0.51 0.79
0,64 10. Majalengka
Pertanian 0.40
0.82 0.73
11. Sumedang Pertanian
0.40 0.81
0.74 12. Indramayu
Pertambangan 0.53
0.77 0.73
13. Subang Pertanian
0.57 0.79
0.69 14. Purwakarta
Jasa 0.48
0.80 0.69
15. Karawang Industri
0.58 0.76
0.66 16. Bekasi
Industri 0.60
0.77 0.60
17. Kota Bogor Jasa
0.52 0.87
0.28 18. Kota Sukabumi
Jasa 0.48
0.87 0.48
19. Kota Bandung Jasa
0.65 0.65
20. Kota Cirebon Jasa
0.50 0.50
21. Kota Bekasi Industri
0.42 0.42
22. Kota Depok Jasa
0.46 0.87
0.33 23. Kota Cimahi
Industri 0.50
0.50 24. Kota Tasikmalaya
Jasa 0.45
0.84 0.56
25. Kota Banjar Jasa
0.39 0.81
0.74 Keterangan: Tanda asterik menunjukkan indeks gini tidak dihasilkan
karena pada wilayah tersebut tidak terdapat daerah perdesaan
Jika mengacu pada nilai Indeks Gini, ditunjukkan bahwa nilai indeks relatif rendah pada wilayah kabupatenkota industrijasa. Hal tersebut disebabkan proporsi
jumlah rumah tangga yang memiliki dua interval luas lahan yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat 999 m
2
dan 10 000 – 4 999 m
2
, nilainya tidak berbeda jauh atau tersebar lebih merata. Jika dilakukan penelusuran data dasarnya,
diketahui bahwa pada kabupatenkota industri dan jasa, rata-rata proporsi rumah tangga yang memiliki lahan paling sempit 999 m
2
cukup besar, yaitu mencapai 48.0 persen, sedangkan pada kabupaten pertanianpertambangan hanya sekitar 22.9
persen. Pada kabupaten pertanianpertambangan ini, proporsi jumlah rumah tangga
terbanyak 53.0 berada pada golongan penguasaan lahan yang setingkat lebih luas, yaitu 1 000 – 4 999 m
2
. Ini menunjukkan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan di kabupaten kota industri atau jasa lebih tinggi dibandingkan dengan
kabupaten pertanian pertambangan Tabel 22. Kecenderungan seperti yang telah diuraikan tercermin terutama di daerah
perkotaan. Di daerah perkotaan, kecenderungan fragmentasi lahan pada kabupatenkota industri dan jasa terutama di kota administratifnya lebih tinggi
dibandingkan dengan kabupaten pertanian Lampiran 10. Hal ini mengindikasikan bahwa di daerah perkotaan, proses fragmentasi lahan dipercepat oleh aktivitas
sektor ekonomi basis wilayah dan penerapan pembangunan pusat pertumbuhan. Di wilayah perdesaan, kecenderungan fragmentasi lahan hanya terjadi pada
kabupaten dengan status administratif kota, kecuali Kota Banjar dan Kota Tasikmalaya. Dapat dikatakan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan tersebut
tidak signifikan tidak kentara di daerah perdesaan wilayah administratif kabupaten, baik kabupaten pertanian maupun kabupaten industri atau jasa yang bukan kota
administratif. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan di perdesaan lebih dipicu oleh faktor percepatan pembangunan di pusat pertumbuhan
di kota administratif, dibandingkan faktor sektor ekonomi yang menjadi basis perekonomian wilayah.
Tingkat Pengangguran
Analisis tingkat pengangguran, sebagaimana analisis lainnya, didekati dengan membagi kabupatenkota ke dalam empat kelompok sektor utama. Data
dasar disajikan pada Lampiran 11, sedangkan hasil analisis tingkat pengangguran per kabupatenkota Jawa Barat disajikan pada Tabel 24. Gambar 10
memperlihatkan bahwa selama periode 2001-2005, trend tingkat pengangguran yang tertinggi terjadi pada kelompok kabupatenkota jasa. Walaupun berdasarkan
Tabel 24, kabupaten pertambangan Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten yang memiliki rata-rata tingkat pengangguran tertinggi, namun angka rata-rata
yang tinggi ini sebenarnya akibat adanya lonjakan tingkat pengangguran yang tinggi pada tahun 2002, yaitu mencapai 64.52. Tetapi pada tahun berikutnya
2003 sampai tahun 2005 kembali normal, bahkan nilainya lebih rendah dibandingkan kelompok kabupaten lainnya.
Tabel 24 Perkembangan tingkat pengangguran kelompok kabupaten di Jawa Barat 2001-2005
Tahun Kelompok Kabupaten
2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata
Tahun 2001-2005
Kabupaten Pertanian 4.94
12.37 12.82
9.80 9.27
9.84 KabupatenKota Industri
8.69 16.77
17.14 15.38
14.84 14.56
KabupatenKota Jasa 9.60
17.62 19.20
14.26 14.35
15.01 Kabupaten Pertambangan
2.89 64.52
10.10 8.39
8.21 18.82
Jawa Barat 6.61
15.18 15.42
12.25 11.91
12.27 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, beberapa tahun penerbitan 2001-2006, diolah
- 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00 70.00
2001 2002
2003 2004
2005 Tahun
T ing
k at
P en
gan ggur
a n
Kab. Pertanian Kab.Kota Industri
Kab.Kota Jasa Kab.Kota Pertambangan
Jaw a Barat
Gambar 10 Tingkat pengangguran kelompok kabupaten di Provinsi Jawa Barat 2001-2005.
Apabila nilai ekstrim tingkat pengangguran pada kabupaten pertambangan dikeluarkan, maka dapat ditunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi terjadi
pada kelompok kabupatenkota jasa, kemudian diikuti oleh kabupatenkota industri, kabupaten pertanian dan kabupatenkota pertambangan.
Rata-rata tingkat pengangguran kabupaten jasa dan industri berada di atas angka rata-rata provinsi Jawa Barat. Ini menunjukkan bahwa kebijakan
pembangunan yang lebih menitikberatkan pada sektor industri ternyata belum mampu menangani atau justru berpotensi menimbulkan masalah pengangguran di
Tabel 25 Perkembangan tingkat pengangguran di Jawa Barat tahun 2001-2005
Tingkat Pengangguran KabupatenKota
2001 2002
2003 2004
2005 KabupatenKota
Pertanian Garut 5.32
5
12.80
5
17.15
1
9.43
6
7.47
9
Cianjur 6.72
1
10.63
8
11.80
7
10.90
3
9.18
4
Tasikmalaya 5.15
6
13.21
3
13.95
4
10.52
4
8.99
5
Sukabumi 4.83
7
13.49
2
15.77
3
12.48
1
13.77
1
Majalengka 3.85
9
10.46
9
10.88
8
8.26
9
8.41
6
Cirebon 4.33
8
17.63
1
16.16
2
12.47
2
12.51
2
Subang 5.44
4
10.66
7
8.73
10
8.26
8
7.66
8
Kuningan 6.02
2
12.31
6
12.41
5
9.49
5
10.17
3
Ciamis 1.94
10
9.32
10
9.52
9
7.74
10
6.29
10
Sumedang 5.82
3
13.16
4
11.82
6
8.46
7
8.25
7
Rata-rata 4.94 12.37 12.82 9.80 9.27
Kab.Kota Industri Bekasi 4.81
5
15.91
4
12.53
5
10.56
6
9.71
6
Kota Cimahi -
- -
6
19.96
1
19.58
1
Bogor 6.24
4
14.91
5
18.15
3
12.70
5
12.77
4
Bandung 9.43
3
16.85
2
19.13
2
16.71
2
17.23
2
Karawang 10.22
2
19.39
1
20.97
1
16.55
3
17.18
3
Kota Bekasi 12.75
1
16.82
3
14.93
4
15.81
4
12.55
5
Rata-rata 8.69 16.77
17.14 15.38
14.84 KabupatenKota Jasa
Kota Sukabumi 14.51
24.93 22.89
20.39 18.09
Kota Tasikmalaya -
- -
12.67 14.33
Kota Bandung 9.33
16.43 20.41
14.14 14.45
Kota Depok 9.38
17.82 15.80
12.88 12.79
Kota Bogor 8.09
16.49 19.45
16.18 16.35
Kota Cirebon 9.05
16.43 16.79
11.75 12.61
Purwakarta 7.23 13.61
19.87 10.36
9.93 Kota Banjar
- -
- 15.66
16.25 Rata-rata
9.60 17.62
19.20 14.26
14.35 Kab.Kota
Pertambangan Indramayu 2.89
64.52 10.10
8.39 8.21
Ket.: Kolom tanda asterik menunjukkan peringkat tingkat penggangguran dari angka yang tertinggi Sumber: BPS Jawa Barat beberapa tahun penerbitan 2001-2005, diolah
Provinsi Jawa Barat. Pengembangan industri padat modal memiliki keterbatasan untuk menampung tenaga kerja dalam jumlah yang besar.
Tingkat pengangguran terendah selama periode tahun 2002 – 2005 terjadi pada kabupaten pertanian. Tabel 25 menunjukkan bahwa pada tahun 2004,
kabupaten Ciamis, Subang dan Majalengka merupakan kabupaten dengan tingkat pengangguran terendah di Jawa Barat. Sedangkan pada tahun 2005, tingkat
pengangguran terendah provinsi terjadi di kabupaten Ciamis dan Garut. Kabupaten tersebut semuanya dari kelompok kabupaten pertanian. Dari tabel tersebut
ditunjukkan bahwa angka tertinggi tingkat pengangguran di kabupaten pertanian terpaut cukup jauh dengan angka tingkat pengangguran tertinggi di kabupatenkota
industri dan kabupatenkota jasa. Indikasi ini dapat menunjukkan bahwa sektor pertanian yang menopang perekonomian masyarakat di kabupaten pertanian lebih
akomodatif dalam menyerap tenaga kerja. Namun analisis ini hanya terbatas pada tingkat pengangguran terbuka dan
tidak mempertimbangkan angka setengah pengangguran, yang umumnya menggejala di kantung-kantung pertanian. Pada daerah pertanian, kondisi yang
sering terjadi adalah banyaknya pekerja petani yang bekerja di bawah kapasitas produksi atau jam kerja standar, yang disebut dengan setengah pengangguran.
Fakta ini diperkuat dengan laporan BPS berdasarkan data Sakerda 2003 BPS Jawa Barat 2003 yang menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang lebih tinggi
berada di wilayah Sukabumi-Cianjur yang merupakan kabupaten pertanian, yaitu sebesar 40.86 persen.
Kabupaten Indramayu, yang mewakili kabupaten pertambangan, memiliki angka tingkat pengangguran yang rendah. Tingginya rata-rata tingkat
pengangguran dalam periode 2001-2005, disebabkan adanya angka ekstrim tingkat pengangguran pada tahun 2002. Sebagian besar penduduk kabupaten ini bekerja di
sektor pertanian.
Pembangunan Kesejahteraan Manusia Indeks Kemiskinan Manusia IKM dan Jumlah Penduduk Miskin
Indeks Kemiskinan Manusia menggunakan indikator-indikator deprivasi keterbelakangan yang paling mendasar, yaitu berumur pendek, ketidaktersediaan
akses terhadap sumberdaya publik dan sumberdaya privat. Indeks ini berlandaskan pada konsep deprivasi di mana kemiskinan dipandang sebagai akibat tidak
tersedianya kesempatan dan pilihan. Bagi para pembuat kebijakan, kemiskinan dari sudut pandang tersedianya pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan,
seringkali lebih relevan dibandingkan dengan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan karena perhatian lebih terfokus pada penyebab dari kemiskinan dan
secara langsung terkait dengan strategi pemberdayaan dan upaya–upaya lainnya untuk meningkatkan kesempatan bagi semua orang BPS, Bappenas, UNDP 2001.
Kemiskinan yang diukur dari aspek pendapatan tidak selalu sejalan dengan IKM, disebabkan kedua ukuran tersebut mengukur aspek kemiskinan yang
berbeda. Kemiskinan pendapatan, yang dinyatakan dalam bentuk proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan angka kemiskinan, mengukur
keterbelakangan relatif pada standar kehidupan yang sudah dicapai, sedangkan IKM mengukur keterbelakangan yang dapat menghambat kesempatan penduduk
untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Namun terdapat kecenderungan pada wilayah dengan IKM yang lebih tinggi IKM menengah atas,
memiliki persentase jumlah penduduk miskin yang tinggi pula dan sebaliknya pada wilayah dengan yang IKM rendah. Cianjur, misalnya, yang menduduki posisi IKM
tertinggi, persentase jumlah penduduk miskinnya sebesar 19,50 persen dari seluruh penduduk kabupaten ini Tabel 26. Angka tersebut merupakan nilai persentase
tertinggi diantara kabupaten lainnya. Begitu pula dengan Indramayu dan Garut, persentase jumlah penduduk miskinnya cukup tinggi, yaitu berturut-turut adalah
17.46 persen dan 15.48 persen. Sebaliknya pada wilayah administratif kota yang memiliki angka IKM rendah, persentase jumlah penduduk miskinnya jauh lebih
rendah, yaitu kurang dari 10 persen, kecuali kota Banjar 10.67 . Sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat kaitan antara angka IKM dengan jumlah
penduduk miskin. Atau dengan kata lain bahwa keterbatasan ketersediaan fasilitas pelayanan pokok diukur dengan IKM dapat menghambat kesempatan
masyarakat untuk mencapai standar hidup yang layak diukur dengan jumlah penduduk miskin.
Kondisi IKM Jawa Barat Tahun 2003
Kondisi Indeks Kemiskinan Manusia IKM Jawa Barat pada tahun 2003 ditampilkan pada Tabel 27, dan komponen IKM dan IPM disajikan pada
Lampiran 12 dan 13. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan UNDP, maka kabupaten kota di Jawa Barat terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu IKM
Menengah Atas 25 ≤ IKM ≤ 40 dan IKM Menengah Bawah IKM 25.
Terdapat tiga kabupaten yang tergolong dalam IKM Menengah Atas, sedangkan selebihnya 22 kabupatenkota termasuk ke dalam kelompok IKM Menengah
Bawah. Tiga kabupaten yang tergolong ke dalam IKM Menengah Atas tersebut adalah kabupaten Cianjur, Indramayu dan Garut.
Tabel 26 Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat tahun 2003-2004
2003 2004 Jumlah Jumlah
No. KabupatenKota ribu Jiwa
ribu Jiwa 1 Bogor
476.40 12.56
453.40 11.94 2 Sukabumi
353.90 16.32
321.40 14.70 3 Cianjur
388.80 19.05
357.90 17.36 4 Bandung
515.50 12.78
483.60 11.84 5 Garut
338.70 15.48
338.30 15.37 6 Tasikmalaya
285.70 17.99
260.90 16.14 7 Ciamis
228.10 15.18
221.90 14.73 8 Kuningan
201.70 19.50
196.80 18.95 9 Cirebon
352.40 17.29
341.20 16.59 10 Majalengka
203.70 17.66
202.00 17.42 11 Sumedang
130.10 12.82
120.30 11.74 12 Indramayu
288.60 17.46
273.00 16.49 13 Subang
220.40 16.07
202.50 14.67 14 Purwakarta
97.60 13.09
95.50 12.60 15 Karawang
256.00 13.60
252.10 13.28 16 Bekasi
127.50 6.86
121.70 6.35 17 Kota
Bogor 65.20
8.23 67.70 7.85
18 Kota Sukabumi
20.50 7.67
16.80 6.16 19 Kota
Bandung 88.10
3.95 75.50 3.38
20 Kota Cirebon
21.20 7.76
20.70 7.52 21 Kota
Bekasi 58.10
3.15 58.20 3.04
22 Kota Depok
65.00 4.96
64.00 4.84 23 Kota
Cimahi 45.50
9.68 43.50 8.85
24 Kota Tasikmalaya
52.70 9.32
48.60 8.48 25 Kota
Banjar 17.30
10.67 16.90 10.33
Jawa Barat 4.898.70
12.90 4.654.40 12.10
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2005b
Tabel 27 memperlihatkan bahwa secara umum angka IKM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor
pertanian. Kabupaten Cianjur, yang termasuk kelompok kabupaten pertanian,
merupakan kabupatenkota dengan IKM tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Kemudian diikuti oleh kabupaten lainnya, yaitu Indramayu kabupaten
pertambangan, Garut kabupaten pertanian, Karawang kabupaten industri pengolahan dan beberapa kabupaten yang mengandalkan perekonomiannya dari
sektor pertanian. Tabel 27 Nilai Indeks Kemiskinan Manusia IKM kabupatenkota di Jawa Barat
tahun 2003 menurut peringkat
Pering- kat
KabupatenKota Kelompok KabKota IKM
Kelas IKM
1 Cianjur Pertanian
25.80 Menengah Atas
1 Indramayu Pertambangan
25.80 Menengah Atas
2 Garut Pertanian
25.20 Menengah Atas
3 Karawang Ind. Pengolahan
24.40 Menengah Bawah 4 Tasikmalaya
Pertanian 24.30 Menengah
Bawah 5 Subang
Pertanian 23.00 Menengah
Bawah 6 Cirebon
Pertanian 22.80 Menengah
Bawah 7 Kuningan
Pertanian 22.50 Menengah
Bawah 8 Kota
Tasikmalaya Jasa 22.20 Menengah
Bawah 9 Bogor
Ind. Pengolahan 21.70 Menengah Bawah
10 Bandung Ind. Pengolahan
21.50 Menengah Bawah 11 Sukabumi
Pertanian 21.30 Menengah
Bawah 12 Purwakarta
Jasa 20.90 Menengah
Bawah 13 Ciamis
Pertanian 20.70 Menengah
Bawah 14 Majalengka
Pertanian 20.40 Menengah
Bawah 15 Sumedang
Pertanian 19.00 Menengah
Bawah 16 Kota
Sukabumi Jasa
18.60 Menengah Bawah
17 Bekasi Ind. Pengolahan
18.30 Menengah Bawah 18 Kota
Bogor Jasa
17.40 Menengah Bawah
19 Kota Banjar
Jasa 17.30 Menengah
Bawah 20 Kota
Depok Jasa
16.20 Menengah Bawah
21 Kota Bekasi Ind. Pengolahan
15.70 Menengah Bawah 22 Kota Cirebon
Ind. Pengolahan 14.80 Menengah Bawah
23 Kota Cimahi Ind. Pengolahan
14.10 Menengah Bawah 24 Kota
Bandung Jasa
10.20 Menengah Bawah
Jawa Barat
21.00 Menengah Bawah
Sumber: Bapeda dan BPS Provinsi Jawa Barat, 2004a
Kabupaten Pertanian yang memiliki angka IKM tinggi, juga merupakan kabupaten yang memiliki proporsi desa tertinggal terbanyak di Jawa Barat.
Berdasarkan data BPS dan Bapeda Provinsi Jawa Barat 2006, tiga kabupaten
dengan desa tertinggal terbesar secara berturut-turut adalah kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Cianjur. Sementara pada kabupaten tersebut, jumlah desa pusat
pertumbuhannya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya 8 . Sebaliknya dengan daerah perkotaan yang berbasis sektor industri dan jasa,
kebanyakan dari kota tersebut tidak memiliki desa tertinggal dan dengan proporsi jumlah desa pusat pertumbuhan yang tinggi Lampiran 9.
Kabupaten Indramayu, pada posisi kedua IKM tertinggi, walaupun memiliki sumberdaya tambang yang besar, namun dampak pembangunannya
belum terlihat nyata bagi kesejahteraan masyarakatnya. Kabupaten ini dimasukkan ke dalam kelompok kabupaten pertambangan, disebabkan kontribusi
sektor pertambangan yang tinggi terhadap PDRB provinsi. Namun perkonomian masyarakat di kabupaten ini sebenarnya lebih bergantung pada sektor pertanian,
sementara sektor pertambangan tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data Susenas 2003 sebagian besar masyarakat kabupaten
ini 52.58 bekerja di sektor pertanian dan hanya 1.55 persen yang bekerja pada sektor pertambangan dan penggalian yang menjadi sektor andalannya. Luas panen
sawahnya pun merupakan yang terbesar diantara kabupaten lainnya di Jawa Barat. Kabupaten Karawang, pada posisi ke-3 IKM tertinggi, memiliki komposisi
tenaga kerja yang mirip dengan Kabupaten Indramayu. Sumbangan PDRB-nya didominasi oleh industri pengolahan, tetapi jika ditinjau dari aspek tenaga kerjanya
data Susenas 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian. Sebanyak 281 155 jiwa atau 41.94 persen masyarakatnya
bekerja di sektor pertanian. Jumlah ini jauh melampaui jumlah pekerja pada sektor unggulan kabupaten sendiri, yaitu industri pengolahan 107 204 jiwa atau 15.99
persen. Daerah yang memiliki nilai IKM relatif rendah terjadi pada kota-kota yang
mengandalkan perekonomiannya pada sektor industri dan sektor jasa. Kota-kota tersebut adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota
Depok, Kota Banjar dan Kota Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Sukabumi. Kota Bandung merupakan kota yang teridentifikasi sebagai kota dengan IKM terendah di
Provinsi Jawa Barat. Sektor perekonomian kota ini didominasi oleh sektor jasa dan sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor tersebut, terutama di bidang jasa
perdagangan, hotel dan restoran 35.78 . Hanya sebesar 1.29 persen masyarakatnya yang bekerja di sektor pertanian.
Perkembangan Kondisi IKM Jawa Barat Tahun 2002-2003
Jika dibandingkan antara kondisi IKM tahun 2003 dengan kondisi IKM tahun 2002, secara umum telah terjadi peningkatan kesejahteraan, yang
diindikasikan dengan angka IKM tahun 2003 yang mengalami penurunan pada seluruh kabupaten kota. Tetapi tidak terjadi perubahan pola yang signifikan,
Tabel 28 Nilai Indeks Kemiskinan Manusia IKM Kabupatenkota di Jawa Barat Tahun 2002 Menurut Peringkat
Peringkat KabupatenKota Kelompok KabKota
IKM Kelas
1 Karawang Ind.
Pengolahan 29.80 Menengah
Atas 2 Indramayu
Pertambangan 28.80 Menengah
Atas 3 Tasikmalaya
Pertanian 27.80 Menengah
Atas 3 Kota
Tasikmalaya Jasa
27.80 Menengah Atas
4 Garut Pertanian
27.70 Menengah Atas
5 Cianjur Pertanian
27.40 Menengah Atas
6 Cirebon Pertanian
26.70 Menengah Atas
7 Subang Pertanian
25.60 Menengah Atas 8 Bandung
Ind. Pengolahan
25.00 Menengah Atas
8 Kota Cimahi
Ind. Pengolahan
25.00 Menengah Atas
9 Sukabumi Pertanian
24.70 Menengah Bawah
10 Kuningan Pertanian
Jasa 23.00 Menengah
Bawah 11 Majalengka
Pertanian 22.60 Menengah
Bawah 11 Ciamis
Jasa 22.60 Menengah
Bawah 11 Kota
Banjar Jasa
22.60 Menengah Bawah
12 Bogor Ind.
Pengolahan 22.20 Menengah
Bawah 12 Purwakarta
Jasa 22.20 Menengah
Bawah 13 Sumedang
Jasa 21.10 Menengah
Bawah 14 Kota
Cirebon Ind.
Pengolahan 18.50 Menengah
Bawah 15 Kota
Bekasi Ind.
Pengolahan 18.40 Menengah
Bawah 16 Kota
Sukabumi Jasa
18.10 Menengah Bawah
17 Bekasi Ind.
Pengolahan 17.10 Menengah
Bawah 18 Kota
Bogor Jasa
15.60 Menengah Bawah
19 Kota Depok
Jasa 15.10 Menengah
Bawah 20 Kota
Bandung Jasa
13.50 Menengah Bawah
Jawa Barat 23.00 Menengah Bawah
Sumber: BPS, Bappenas dan UNDP, 2004
dimana pada umumnya angka IKM kabupaten pertanianpertambangan masih lebih tinggi terhadap kabupatenkota industri atau jasa. Bahkan dari aspek yang bersifat
sangat pokok, seperti akses menuju air bersih, diketahui dari komponen IKM terdapat 8 kabupaten dari 10 kabupaten pertanian, yang lebih dari setengah
penduduknya tidak memilki akses ke air bersih. Pada tahun berikutnya 2003, jumlah ini menurun menjadi 6 kabupaten. Sebaliknya, pada kabupatenkota dengan
IKM relatif rendah, akses menuju air bersih bukan merupakan persoalan. Perkembangan atau perubahan kelas Indeks Kemiskinan Manusia dapat dilihat
pada Peta Perkembangan IKM 2002-2003 pada Gambar 11 atau secara tabulasi ditunjukkan pada Tabel 27 dan Tabel 28.
Analisis ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan fasilitas pokok tersebar tidak merata, di beberapa wilayah
basis pertanian ketersediaannya sangat terbatas, sementara di wilayah perkotaan dengan basis sektor sekunder dan tersier tersedia dengan kualitas yang memadai.
Jika fasilitas yang bersifat sangat pokok saja air bersih tidak tersedia atau dengan kondisi di bawah standar, maka menjadi logis jika ketersediaan fasilitas usaha pun
sangat minimal, sehingga tidak memungkinkan masyarakat tani untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi yang tidak segera dibenahi ini akan
menyebabkan lebih banyak kantung-kantung kemiskinan yang terkonsentrasi pada wilayah pertanian.
Angka Indeks Pembangunan Manusia
Tabel 29 dan Tabel 30 menyajikan Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2002 dan 2005, diurut dimulai dari nilai yang tertinggi. Komponen
pembentuk IPM disajikan pada Lampiran 13. Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai IPM tertinggi tingkat kesejahteraan baik dimiliki oleh daerah administratif yang
berbentuk kota dan mengandalkan perekonomiannya pada sektor jasa dan sektor industri pengolahan. Kota Depok merupakan kota yang memiliki nilai IPM
tertinggi 73.69 di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002. Nilai IPM yang tinggi di Kota Depok disumbang dari komponen ’angka harapan hidup’ pada saat lahir dan
’angka rata-rata pengeluaran per kapita riil disesuaikan’. Angka-angka tersebut merupakan angka tertinggi diantara kabupatenkota lainnya. Ini menunjukkan
bahwa ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, terutama dalam hal persalinan, dan perbaikan nutrisi ibu, sudah melebihi kapasitas standar.
Kabupaten pertanian, kecuali Tasikmalaya, tergolong dalam kelompok IPM Menengah Rendah yang tersebar dalam interval 62.0 sampai 64.5. Kabupaten-
92 Gambar 11 Peta perkembangan IKM 2002-2003 dan tingkat pengangguran di Jawa Barat.
kabupaten tersebut memiliki komponen angka melek huruf yang tergolong menengah dan dengan angka rata-rata pengeluaran per kapita riil yang relatif
rendah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada kabupaten pertanian tersebut masih belum hidup secara layak yang diindikasikan dengan tingkat pengeluaran
per kapita yang rendah tersebut. Nilai tambah yang diperoleh dari hasil pertanian tidak dapat memberi penghidupan yang layak bagi kesejahteraan petani.
Sementara kesempatan untuk mengenyam pendidikan terbatas sampai tingkat menengah. Sarana pendidikan tinggi terkonsentrasi pada kota-kota dengan sektor
tersier sebagai andalannya. Kabupaten Indramayu, merupakan kabupaten yang memiliki IPM terendah
pada tahun 2002 Tabel 29. Angka komponen IPM yang rendah terutama pada aspek pendidikan. Angka rata-rata lama sekolah 5,1 tahun dan angka melek
huruf 76,2 kabupaten ini adalah yang paling rendah di antara kabupatenkota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Kabupaten Cirebon pada urutan kedua
terendah, nilai seluruh komponen IPM-nya tergolong rendah, walaupun bukan merupakan angka yang paling rendah. Dan Kabupaten Garut posisi ketiga
terendah memiliki angka komponen terendah pada ’angka harapan hidup’ dan ’angka rata-rata pengeluaran per kapita riil’ yang rendah.
Perkembangan IPM tahun 2002 - 2005
Dengan membandingkan Tabel 29 dan Tabel 30, diketahui bahwa pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan nilai IPM pada seluruh kabupatenkota dari
tahun dasar 2002. Dalam penyajian kartografis, perkembangan tersebut dapat dilihat pada Peta Perkembangan IPM 2002-2005 Gambar 12. Naiknya nilai IPM
ini menyebabkan pergeseran kelas IPM pada beberapa kabupatenkota. Walaupun terjadi peningkatan nilai IPM pada seluruh kabupaten kota, namun pola urutan
kabupaten kota tidak mengalami perubahan berarti. Kabupatenkota yang sektor unggulannya adalah sektor industri dan sektor jasa masih menempati
posisi teratas tetapi sebaliknya dengan kabupatenkota pertanian. Pola ini mengindikasikan bahwa sekalipun terjadi perbaikan pada setiap kabupaten, namun
program pembangunan masih bertahan dengan pola paradigma pembangunan yang lama. Wilayah perkotaan yang dijadikan sebagai pusat pertumbuhan masih
Tabel 29 Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2002 menurut kelompok kabupaten
Peringkat Nama
KabupatenKota IPM
Kelompok Kabupaten
Kelompok IPM 1
Kota Depok 73.9
Jasa IPM 70
2 Kota Bandung
73.0 Jasa
Tinggi 3 Kota
Bekasi 72.8 Ind.Pengolahan
4 Kota Bogor
71.9 Jasa
5 Kota Sukabumi
69.2 Jasa
66 ≤ IPM ≤ 70
6 Kota Cirebon
69.2 Jasa
Menengah Tinggi 7 Bandung
68.8 Ind.Pengolahan 8 Kota
Cimahi 68.8 Ind.Pengolahan
9 Sumedang 67.5
Pertanian 10 Tasikmalaya
67.1 Pertanian
11 Kota Tasikmalaya
67.1 Jasa
12 Bekasi 66.9 Ind.Pengolahan
13 Bogor 65.6 Ind.Pengolahan
60 ≤ IPM 66
14 Purwakarta
65.6 Jasa
Menengah Rendah 15 Ciamis
65.3 Pertanian
16 Kota Banjar
65.3 Jasa
17 Kuningan 65.0
Pertanian 18 Cianjur
64.5 Pertanian
19 Majalengka 64.4
Pertanian 20 Sukabumi
63.8 Pertanian
21 Subang 63.0
Pertanian 22 Karawang
62.9 Ind.Pengolahan 23 Garut
62.8 Pertanian
24 Cirebon 62.4
Pertanian 25
Indramayu 61.2
Pertambangan Sumber: BPS, Bappenas dan UNDP, 2004
menjadi curahan konsentrasi pembangunan. Selama tiga tahun tersebut, belum ada restrukturisasi program pembangunan yang dapat membangunkan
keterbelakangan kabupaten pertanian diantara kelompok kabupaten lainnya. Dari komponen nilai IPM dan IKM Lampiran 12 dan 13, diketahui
bahwa permasalahan ekonomi, yang diindikasikan dari angka pengeluaran per kapita yang rendah, terjadi di kabupaten Cianjur, Cirebon dan Sukabumi.
Sementara permasalahan pendidikan di Jawa Barat terdapat di kabupaten Indramayu, Karawang, Subang dan Cirebon. Permasalahan kesehatan terjadi di
kabupaten Indramayu, Garut, Cirebon dan Cianjur.
Tabel 30 Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2005 menurut kelompok kabupaten
Peringkat Nama KabupatenKota
IPM Kelompok
Kabupaten Kelompok IPM
1 Kota Depok
77.1 Jasa
IPM 70 2
Kota Bekasi 74.6
Ind.Pengolahan Tinggi
3 Kota Bogor
74.3 Jasa
4 Kota Bandung
74.3 Jasa
5 Kota Cirebon
73.7 Jasa
6 Kota Cimahi
73.1 Ind.Pengolahan
7 Bandung 72.4
Ind.Pengolahan 8 Kota
Sukabumi 72.4
Jasa 9 Kota
Tasikmalaya 72.1
Jasa 10 Tasikmalaya
70.4 Pertanian
11 Bekasi 70.4
Ind.Pengolahan 12 Sumedang
70.2 Pertanian
13 Kota Banjar
69.4 Jasa
66 ≤ IPM ≤ 70
14 Ciamis 69.3
Pertanian Menengah
Tinggi 15 Bogor
69.2 Ind.Pengolahan
16 Garut 68.7
Pertanian 17 Sukabumi
68.7 Pertanian
18 Purwakarta 68.6
Jasa 19 Kuningan
68.5 Pertanian
20 Subang 68.2
Pertanian 21 Majalengka
66.9 Pertanian
22 Cianjur 66.8
Pertanian 23
Karawang 66.4 Ind.Pengolahan
60 ≤ IPM 66
24 Cirebon 66.0
Pertanian Menengah
Rendah 25 Indramayu
63.0 Pertambangan
Jawa Barat 69.9
Sumber: BPS, 2006
Indeks Pembangunan Jender
IPM mengukur rata-rata pencapaian secara umum sehingga tidak membedakan tingkat pencapaian pembangunan manusia oleh laki-laki dan
perempuan. Sementara Indeks Pembangunan Jender membedakannya. Untuk melihat seberapa besar tingkat kesenjangan antara capaian pembangunan yang
diperoleh laki-laki dan perempuan, maka dilakukan kombinasi antara nilai IPJ dengan nilai IPM masing-masing kabupatenkota. Data yang digunakan adalah
data tahun 2002, disebabkan IPJ publikasi terakhir hanya sampai tahun 2002.
96 Gambar 12 Peta perkembangan IPM 2002-2005 dan tingkat pengangguran di Jawa Barat.
97 Gambar 13 memperlihatkan bahwa pada semua kabupaten di Provinsi Jawa
Barat yang tersedia datanya nilai IPJ lebih rendah daripada nilai IPM. Hal ini menunjukkan ketimpangan jender terjadi pada semua wilayah. Apabila tidak
terdapat ketimpangan jender seharusnya nilai IPM akan sama dengan nilai IPJ atau garis IPM akan berimpit dengan garis IPJ. Angka IPJ disajikan pada Lampiran 14.
- 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
60,0 70,0
80,0
Ga ru
t C
ianj ur
T a
si km
a la
ya S
u k
a bum
i M
aj al
e ngk
a C
ir ebo
n S
u ban
g K
uni nga
n Ci
a m
is S
um ed
ang B
e ka
si K
o ta C
im a
h i
Bo g
o r
B an
dun g
Ka ra
w a
n g
K o
ta B
e ka
si Ko
ta Su
k a
b u
m i
K o
ta T
a si
km a
la y
a Ko
ta Ba
n d
u n
g K
o ta D
e pok
Ko ta
Bo g
o r
K o
ta C ir
e b
o n
P u
rw ak
ar ta
K o
ta B anj
ar In
dr am
a y
u
Kabupate n N
ila i In
d e
k s
Ind.Pembangunan Manusia IPM Ind.Pembangunan JenderIPJ
Gambar 13 Grafik keterkaitan antara IPM dan IPJ Pada beberapa kabupaten, terdapat kecenderungan daerah yang memiliki
IPM tinggi 70 memiliki IPJ yang tinggi pula. Ini menunjukkan pada kabupatenkota dengan IPM tinggi, kesempatan mengakses fasilitas pendidikan-
kesehatan dan daya beli yang relatif tinggi, juga diperoleh kaum wanita, walaupun tidak sebaik kaum yang dimiliki kaum laki-laki. Tetapi pada beberapa kabupaten
petanian yang memiliki IPM rendah, nilai IPJ-nya bervariasi, yaitu ada yang rendah dan ada yang tinggi. Kabupaten pertanian secara umum menunjukkan tingkat IPM
yang rendah diikuti dengan nilai IPJ yang rendah pula. Tetapi pada Kabupaten Cianjur, misalnya, yang memiliki IPM menengah rendah 64.5, tenyata nilai IPJ-
nya 54.6 cukup tinggi. Pembahasan keterkaitan variabel IPM dan IPJ secara statistik akan diulas pada subbab berikutnya.
98
Keterkaitan antara Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Kesejahteraan Manusia
Hasil analisis komponen utama di provinsi Jawa Barat menghasilkan tiga variabel baru komponen utama, yaitu Faktor 1 pembangunan kesejahteraan
manusia mewakili variabel asal IPM, IKM, persentase desa tertinggal, persentase desa pertumbuhan dan tingkat pengangguran; Faktor 2 pembangunan ekonomi
mewakili variabel PDRB dan kontribusi pertumbuhan sektor; sementara Faktor 3 pembangunan jender mewakili variabel IPJ dan IDJ. Hasil analisis PCA
ditampilkan pada Tabel 31, sedangkan data dasar disajikan pada Lampiran 15. Tabel 31 memperlihatkan bahwa variabel IPM, IKM, proporsi desa
tertinggal, dan proporsi desa pertumbuhan berada dalam satu faktor komponen utama yang sama Faktor 1. Ini menunjukkan adanya hubungan antara variabel
IPM, IKM dengan banyaknya desa terbelakang dan banyaknya desa pertumbuhan. Tanda positif menunjukkan hubungan yang searah, sebaliknya tanda negatif
menunjukkan korelasi yang berlawanan arah. Pada wilayah-wilayah dengan IKM tinggi, pada umumnya memiliki IPM yang rendah, cenderung memiliki lebih
banyak desa tertinggal dan lebih sedikit desa pertumbuhannya dibandingkan kabupatankota IKM rendah.
Desa terbelakang, salah satunya diidentikkan dengan masalah keterbatasan fasilitas pelayanan pokok pendidikan dan kesehatan dan tingkat daya beli yang
rendah, sehingga berdampak pada rendahnya kesempatan masyarakat untuk dapat hidup sehat, terbebas dari buta huruf dan menikmati hidup secara layak.
Keterbatasan kesempatan masyarakat tersebut dapat disebabkan keberadaan lokasi fasilitas pelayanan yang jauh atau sulit dijangkau, atau akibat kondisi sarana
transportasi atau infrastruktur yang belum memadai di wilayah tersebut. Dengan demikian, analisis ini cocok menggambarkan kondisi yang terjadi pada sebagian
besar kabupaten yang teridentifikasi memiliki angka IKM tinggi. Kabupaten dengan IKM relatif tinggi terdiri dari sebagian besar kabupaten pertanian, serta
kabupaten kelompok lainnya yang jumlah tenaga kerja terbesarnya berada di sektor pertanian, seperti Indramayu kabupaten pertambangan dan Karawang kabupaten
industri. Kabupaten tersebut cenderung memiliki desa tertinggal yang
99 Tabel 31 Hasil analisis komponen utama PCA indikator kinerja pembangunan
Provinsi Jawa Barat
Nama Variabel Kode Variabel
F1 F2 F3 Tingkat Pengangguran
Tk Pengangguran 0.021889
0.175619 -0.618754
Indeks Pembangunan Manusia IPM
-0.893993 -0.034950 0.159600
Indeks Kemiskinan Manusia IKM
0.841666 -0.107351 -0.334788
Persentase Desa Tertinggal Desa Tertinggal
0.774826 0.002090 0.410998
Persentase Desa Pertumbuhan Desa Pertumbuhan
-0.922201 -0.097808 -0.114843
PDRB PDRB 0.027559
0.968584 0.094842
Kontribusi Pertumbuhan Sektor Kontrib Pertumb
-0.002654 0.969501
-0.006622 Indeks Pembangunan Jender
IPJ -0.109411 0.129409
0.845985
Indeks Pemberdayaan Jender IDJ 0.028584
0.348386 0.848881
Pertumbuhan PDRB Pertum PDRB
-0.444926 0.368745
0.158374 Ragam yang diterangkan
Expl.Var 3.170428 2.205339
2.172932 Total Ragam
Prp.Totl 0.317043 0.220534
0.217293 Keterangan: Huruf yang dicetak tebal memiliki taraf nyata marked loadings 0,700000
cukup banyak dan dengan desa pertumbuhan yang lebih sedikit, serta kurang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Tidak terdapat kaitan antara IKM atau IPM dengan IPJ atau IDJ. Hal tersebut tercermin pada beberapa kabupaten petanian yang memiliki IKM tinggi,
nilai IPJ dan IDJ-nya bervariasi, yaitu ada yang rendah dan ada yang tinggi. Kabupaten pertanian secara umum menunjukkan tingkat IKM yang tinggi diikuti
dengan nilai IPJ atau IDJ yang rendah. Tetapi terdapat pula kabupaten yang tidak menunjukkan pola yang serupa. Kabupaten Cianjur, misalnya, dengan IKM yang
cukup tinggi 25.8, tenyata nilai IPJ 54.6 dan IDJ-nya 56.4 juga tinggi, bahkan nilai IDJ-nya lebih tinggi dari Kota Bandung. Begitu pula dengan Kabupaten
Sumedang, yang nilai IKM-nya 21.7 masih berada di atas rata-rata IKM provinsi, memiliki IPJ dan IDJ yang tinggi, yaitu masing-masing 62.4 dan 56.4.
Faktor 2 menunjukkan keterkaitan antara nilai PDRB dan kontribusi pertumbuhan PDRB provinsi. Kedua variabel ini jelas menunjukkan korelasi yang
tinggi, disebabkan variabel PDRB merupakan faktor dari variabel kontribusi pertumbuhan. Sedangkan Faktor 3 menunjukkan bahwa diantara kedua variabel
jender IPJ dan IDJ terjadi korelasi yang kuat. Pada kabupaten dengan IPJ yang tinggi biasanya memiliki IDJ yang tinggi pula. Kabupaten Cianjur dan Sumedang
dapat menjadi bukti keterkaitan ini. Pada kedua kabupaten tersebut komponen IPJ perempuan yang diantaranya adalah angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan
kontribusi dalam pendapatan, nilainya lebih tinggi dibandingkan kaum laki-lakinya.
100 Tingginya angka komponen ini mempengaruhi komponen IDJ yang diantaranya
adalah persentase perempuan di parlemen, perempuan pekerja profesional teknisi kepemimpinan dan rata-rata upah di sektor pertanian, sehingga membentuk IDJ
yang tinggi pula. Variabel tingkat pengangguran tidak teridentifikasi memiliki taraf nyata.
Tetapi dengan angka koefisien sebesar -0.618754 dan dinilai penting untuk analisis ini, diinterpretasikan adanya keterkaitan antara pembangunan jender dengan tingkat
pengangguran. Pada wilayah dengan tingkat pembangunan jender yang lebih baik, tingkat penganggurannya cenderung lebih sedikit dan sebaliknya. Semakin banyak
perempuan yang mendapatkan kesempatan mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan serta berpartisipasinya perempuan di parlemen, pekerja profesional
teknisi kepemimpinan menurunkan tingkat pengangguran di suatu wilayah.
Interpretasi Saling Terpisahnya Faktor Komponen Utama
Analisis PCA memberikan informasi bahwa antara variabel pembangunan ekonomi F2 dengan variabel pembangunan kesejahteraan manusia F1 tidak ada
kaitan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya PDRB ataupun persentase kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi tidak cukup berpengaruh
terhadap komponen IKM, IPM, desa terbelakang dan tingkat pengangguran. Artinya, besar-kecilnya kontribusi kabupaten terhadap pertumbuhan ekonomi
provinsi, tidak berpengaruh terhadap terjaminnya ketersediaan fasilitas pelayanan primer pendidikan dan kesehatan serta peningkatan daya beli penduduknya.
Dengan kata lain kontribusi yang cukup besar yang disumbang suatu kabupaten. tidak selalu diimbangi dengan balas jasa berupa kemudahan penduduknya dalam
mengakses fasilitas pelayanan primer. Sebaliknya, sekalipun daerah tersebut tidak terlalu besar kontribusi perekonomiannya, dapat saja berbagai fasilitas pelayanan
pokok tersedia secara baik dan masyarakatnya memiliki daya beli yang cukup tinggi. Seperti kota-kota administratif yang didukung oleh sektor jasa, sekalipun
kontribusi PDRB-nya tidak sebesar kabupaten pertanian, namun pada wilayah- wilayah tersebut fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikannya justru jauh lebih
baik daripada kabupaten pertanian. Kota Depok, salah satu contohnya, sumbangan PDRB dan kontribusi pertumbuhan sektornya berada jauh di bawah Kabupaten
101 Garut, namun dapat dilihat pada kota ini telah menjamur berbagai fasilitas
pelayanan tersebut, bahkan dengan kualitas yang melebihi kondisi standarprimer. Begitu pula dengan daya beli penduduk kota ini yang menunjukkan tingkat daya
beli yang relatif tinggi. Tidak terlihat adanya indikasi kaitan antara pembangunan kesejahteraan
manusia secara agregat tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dan dengan pembangunan kesejahteraan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa
walaupun terjadi kesenjangan antara pembangunan kesejahteraan laki-laki dan perempuan, masih menunjukkan variasi yang beragam pada kabupatenkota di
Jawa Barat. Pada kabupaten dengan IPM yang tinggi seperti Kota Cirebon, ternyata nilai IPJ-nya lebih rendah dibandingkan IPJ Kabupaten Sumedang. Begitu
pula dengan Kota Bandung dengan IPM yang tinggi, nilai IDJ-nya masih lebih rendah dibandingkan dengan IDJ Kabupaten Cianjur.
Secara umum, ketiga faktor komponen utama menunjukan bahwa antara pembangunan ekonomi F2, pembangunan kesejahteraan manusia F1 dan
pembangunan kesejahteraan perempuan F3, tidak menunjukkan keterkaitan yang signifikan. Ini berarti bahwa arah pembangunan belum sepenuhnya utuh untuk
membangun atau mencapai kesejahteraan manusiamasyarakat, yang justru menjadi tujuan akhir pembangunan.
SEKTOR EKONOMI UNGGULAN YANG SEJALAN DENGAN TUJUAN PEMBANGUNAN DI JAWA BARAT
Mewujudkan perekonomian yang tangguh berbasis pada agribisnis merupakan salah satu misi pemerintah provinsi Jawa Barat, sebagaimana yang
tercantum di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJPD Provinsi Jawa Barat 2005-2025. Pencapaian tersebut dalam deskripsi
misinya diupayakan dengan: ”mengembangkan dan memperkuat perekonomian regional yang berdaya saing global dan berorientasi pada keunggulan komparatif,
kompetitif dan kooperatif dengan berbasis pada potensi lokal terutama dalam agribisnis”. Misi ini merupakan penjabaran strategi Jawa Barat untuk mendukung
visi jangka panjangnya yang diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip stabilitas yang mantap, pertumbuhan yang tinggi, pemerataan yang berkeadilan
serta pembangunan yang berkelanjutan. Visi dan misi pembangunan yang ideal tersebut menjadi tumpuan harapan
masyarakat Jawa Barat untuk benar-benar terealisasi dalam keberlangsungan hidup masyarakatnya. Salah satu faktor utama pencapaian misi dan tujuan pembangunan
tersebut adalah ketepatan dalam menetapkan sektor unggulan yang akan menjadi penggerak perekonomian daerah. Oleh karena itu analisis penentuan sektor
unggulan perlu dilakukan dengan cermat dan komprehensif, agar kebijakan dan program pembangunan tidak salah arah dan hasilnya benar-benar dapat dirasakan
oleh masyarakat. Sebagaimana yang telah disinggung dalam metoda penelitian, bahwa
identifikasi sektor unggulan Jawa Barat dilakukan dalam beberapa tahap analisis, yaitu: 1 penentuan sektor unggulan secara makro dari 9 sektor perekonomian di
Jawa Barat, 2 penentuan sektor unggulan lebih detil dari 86 sektor ekonomi, yang sesuai dengan karakteristik provinsi, permasalahan yang ingin dipecahkan
sekaligus tidak bertentangan dengan tujuan pembangunan. Setiap temuan dari proses analisis yang dinilai dapat mendukung tujuan penelitian turut disertakan
dalam analisis ini.
Tujuan Pembangunan Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi dan Stabil
Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi disumbang dari: 1 besarnya kontribusi output dan nilai tambah suatu sektor terhadap perekonomian
provinsi, 2 sektor basis dan sektor kompetitif, 3 keterkaitan sektoralnya atau potensi suatu sektor sebagai lokomotif dan pendorong sektor ekonomi lainnya, dan
4 dampak pengganda yang dapat diberikannya, baik terhadap pendapatan, serapan tenaga kerja, PDRB maupun pajak tak langsung. Komponen-komponen
tersebut merupakan kriteria untuk penentuan sektor unggulan secara makro dari aspek tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sektor unggulan secara makro ini
diperoleh dari hasil beberapa analisis 9 sektor kelompok ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Sektor yang dapat menempati posisi teratas dalam persyaratan kriteria
unggulan tersebut adalah sektor yang akan keluar sebagai sektor unggulan dari aspek tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tabel I-O serta nilai koefisien
keterkaitan dan dampak pengganda disajikan pada Lampiran 16 sampai 18.
Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap Perekonomian Provinsi
Tabel 32 menyajikan peringkat dan nilai masing-masing kriteria unggulan dari 9 sektor ekonomi di Jawa Barat. Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari
aspek kontribusi suatu sektor terhadap perekonomian provinsi, sektor industri merupakan sektor yang paling banyak memenuhi persyaratan kriteria ersebut.
Dari total output sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat, diketahui bahwa lebih dari separuh output tersebut 57.20 berasal dari sektor industri
pengolahan. Sektor ini juga merupakan penyumbang terbesar nilai tambah bruto, yaitu sebesar 42.55 persen dari total PDRB provinsi. Sementara dalam serapan
tenaga kerjanya, sektor industri menempati posisi ketiga setelah sektor pertanian dan kelompok sektor jasa, yaitu sebesar 18.3 persen dari total tenaga kerja yang
tertampung sektor ekonomi di Jawa Barat.
Sektor Basis dan Sektor Kompetitif
Dari analisis LQ diketahui bahwa hanya terdapat tiga sektor basis di Jawa Barat, yaitu: 1 sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai LQ tertinggi, 2
sektor industri pengolahan dan 3 sektor perdagangan, hotel dan restoran. Ini menunjukkan bahwa ketiga sektor tersebut memusat di Provinsi Jawa Barat dan
aktivitasnya berkembang di atas rata-rata nasional. Data dasar PDRB dan PDB disajikan pada Lampiran 19 dan Lampiran 20.
Sektor Pertanian, yang memberikan kontribusi ketiga terbesar terhadap PDRB provinsi, ternyata tidak teridentifikasi sebagai sektor basis. Walaupun
begitu, nilai LQ-nya hampir mencapai nilai 1 atau nilai rata-rata, sehingga dalam kondisi yang dinamis terjadi perubahan teknologi sektor ini masih berpeluang
untuk menjadi sektor basis. Kemungkinan perubahan seperti ini tidak dapat ditangkap dalam analisis LQ. Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa
analisis LQ bersifat statis, sehingga tidak dapat menangkap kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan.
Sementara hasil analisis SSA menunjukkan terdapat 5 sektor kompetitif di Jawa Barat, yaitu: 1 sektor pertambangan dan penggalian, 2 sektor bangunan,
3 sektor perdagangan, hotel dan restoran, 4 sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta 5 sektor jasa-jasa. Pertumbuhan sektor-sektor tersebut di
Jawa Barat, dari tahun 2000 ke tahun 2004, lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor yang sama pada skala nasional. Dari kelima sektor kompetitif
di Jawa Barat tersebut, hanya sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga merupakan sektor basis.
Hal yang menarik dari hasil analisis, bahwa sektor industri pengolahan tidak teridentifikasi sebagai sektor kompetitif atau hanya sebagai sektor basis.
Walaupun PDRB sektor ini di Provinsi Jawa Barat adalah yang terbesar dan dengan jumlah industri yang cukup banyak, tetapi ternyata jika dibandingkan pada
skala nasional masih kalah bersaing dengan wilayah lainnya. Laju pertumbuhan PDRB sektor industri pengolahan Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 ke tahun
2004 lebih lambat dibandingkan sektor industri pengolahan secara umum di Indonesia. Sektor tersebut dimungkinkan tergeser oleh kompetisi yang cukup
tinggi dari pertumbuhan sektor industri pengolahan di provinsi lainnya yang demikian pesat, terutama dari kota-kota kawasan industri besar lainnya. Dampak
terpisahnya kota Cilegon sekarang masuk provinsi Banten, yang dulu merupakan pusat kawasan industri Jawa Barat, cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan
kegiatan industri di Jawa Barat.
105 Tabel 32 Sektor ekonomi Jawa Barat berdasarkan peringkat kriteria unggulan
Aspek Kriteria Keunggulan Pertanian
Pertam- bangan
Industri LiGas Bangunan
Perdagangan Pengang-
kutan Keuangan Jasa
jasa Rata-
rata
P Nilai
P Nilai
P Nilai
P Nilai
P Nilai P
Nilai P
Nilai P
Nilai P
Nilai 1. Kontrinbusi PDRB
- Kontb. PDRB provinsi
3
13.47
7
3.07
1
43.33
6
3.22
9
2.82
2
17.56
5
5.29
8
3.02
4
8.23 - Kontb. Output
3
7.48
7
3.57
1
57.20
8
3.10
6
3.83
2
12.50
5
4.10
9
2.56
4
5.69 - Kontb. NTB
3
12.13
5
5.22
1
45.22
8
2.77
9
2.52
2
17.23
6
4.34
7
3.80
4
6.77 - Serapan Tenaga Kerja
1
29.7
8
0.4
3
18.3
9
0.3
6
6.0
2
22.4
5
8.7
7
1.8
4
12.5 2. Sektor Basis S.Kompetitif
- Sektor Basis Nilai LQ
-
0.97
- - 2
1.40
1
2.07
- - 3
1.22
- - - -
- -
- Sektor Kompetitif SSA
- - 1
0.029
- - - - 4
0.013
3
0.018
- - 2
0.027
5
0.007 3. Keterkaitan Sektoral:
- ke belakang langsung DBL
9
0.12
6
0.23
1
0.53
3
0.46
2
0.53
7
0.22
4
0.32
8
0.15
5
0.30 - ke belakang total DIBL
9
1.196
7
1.296
2
1.888
3
1.691
1
1.932
6
1.339
4
1.527
8
1.22
5
1.496 - ke depan langsung DFL
8
0.095
2
0.489
1
1.288
5
0.181
9
0.02
3
0.304
6
0.136
4
0.227
7
0.113 - ke depan total DIBL
6
1.21
2
1.81
1
3.14
5
1.27
9
1.03
3
1.47
7
1.20
4
1.31
8
1.15 4. Dampak Pengganda:
- Pendapatan
9
1.15
6
1.31
1
1.95
3
1.70
2
1.87
7
1.29
4
1.50
5
1.39
8
1.17 1.48 -
Tenaga Kerja
9
1.05
5
1.36
1
3.79
2
3.46
3
1.52
8
1.17
6
1.25
4
1.42
7
1.23 1.81 - Pajak tak langsung PAD
6
1.59
7
1.29
4
1.87
1
6.43
3
2.49
9
1.18
5
1.6
8
1.19
2
2.86 2.28 -
PDRB
9
1.13
6
1.29
2
2.15
3
1.93
1
2.36
7
1.28
4
1.51
8
1.18
5
1.44 1.58 Keterangan: P menunjukkan peringkat
Sumber: hasil olahan beberapa analisis 9 sektor ekonomi
Sektor pertanian ternyata juga tidak muncul sebagai sektor kompetitif, pertumbuhan sektor pertanian Jawa Barat ini masih berada di bawah rata-rata
pertumbuhan sektor pertanian nasional. Ini menjadi catatan penting bahwa ternyata sektor yang dekat dengan masyarakat Jawa Barat sendiri tidak memiliki basis yang
kuat dan laju pertumbuhannya sangat lambat.
Dampak Pengganda Sektor Ekonomi
Analisis dampak pengganda multiplier effect mencakup dampak pengganda pendapatan, dampak pengganda serapan tenaga kerja, dampak
pengganda pajak tak langsung netto PAD dan dampak total nilai tambah bruto PDRB. Dari aspek dampak penggandanya, sektor industri juga merupakan
sektor yang paling banyak memenuhi kriteria ini dibandingkan 8 sektor ekonomi lainnya. Angka pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerjanya adalah
yang tertinggi. Sementara angka pengganda PDRB dan pengganda pajak tak langsung sektor industri masing-masing menempati posisi kedua dan keempat.
Dua sektor lainnya yang menempati posisi 3 besar adalah sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor bangunan.
Sektor pertanian ternyata menempati posisi terbawah dan angka penggandanya berada di bawah rata-rata pengganda keseluruhan sektor, kecuali
pengganda PAD posisi 6. Dapat dikatakan bahwa sektor ini memiliki elastisitas peningkatan pendapatan, PDRB dan serapan tenaga kerja yang rendah, bahkan
nilainya paling kecil diantara sembilan sektor perekonomian di Jawa Barat. Padahal pada sektor ini bergantung sebagian besar pekerja di Jawa Barat. Tanpa
adanya perubahan besar pada teknologi dan program pembangunan pertanian, upaya peningkatan permintaan pada sektor pertanian akan kurang direspon dengan
peningkatan pendapatan total rumah tangga yang signifikan. Rendahnya dampak pengganda tenaga kerja pada sektor pertanian akibat
kemampuan lahan pertanian, yang menjadi faktor produksi sektor ini, sudah berada di ambang batas kejenuhan. Artinya penambahan tenaga kerja pada petakan
lahan pertanian yang sempit sudah sulit untuk memberikan tambahan unit output. Dengan output yang tidak bertambah akan menghasilkan return yang tetap, namun
harus dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang terus bertambah. Akibat dari kondisi ini maka penerimaan petani menjadi semakin rendah.
Temuan analisis dampak pengganda ini bahwa sektor pertanian agregat sudah tidak elastis untuk serapan tenaga kerja dan memiliki elastisitas yang rendah
terhadap peningkatan pendapatan. Elastisitas yang cukup tinggi dari sektor pertanian justru dari aspek pengganda pajak tak langsung PAD, yang belum tentu
dapat dinikmati oleh masyarakat tani. Implikasi dari analisis ini adalah bahwa dengan kondisi pertanian sekarang, sudah tidak layak lagi bagi pembuat kebijakan
untuk menjadikan sektor pertanian sebagai katup pengaman masalah pengangguran, yang selama ini masih didengungkan. Sifat akomodatif sektor
pertanian dalam menerima limpahan tenaga kerja yang tidak tertampung sektor lainnya, justru makin menambah beban petani yang berada di dalamnya. Implikasi
lainnya adalah perlu dilakukan pembenahan orientasi pembangunan pertanian, agar sektor pertanian mampu memberikan dampak pengganda pendapatan yang layak
bagi masyarakatnya. Aplikasi teknologi yang timpang antara sektor industri dan sektor pertanian merupakan salah satu faktor yang memperlebar kesenjangan
produktivitas dan nilai tambah kedua sektor tersebut. Apabila permasalahan ini tidak segera disadari, maka sektor pertanian akan terus tertinggal dan kantung-
kantung kemiskinan akan terus bertambah di wilayah pertanian.
Keterkaitan Sektoral
Keunggulan suatu sektor dilihat juga dari tingkat kekuatan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas perekonomian. Sektor yang
memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di belakangnya hulu. Sebaliknya
sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat mendorong aktivitas sektor-sektor di depannya hilir.
Dengan keterkaitan demikian, maka roda perekonomian dapat bersinergi dengan baik. Antara sektor perekonomian dapat saling melengkapi dan memanfaatkan
seoptimal mungkin input sumberdaya alam domestik atau output sektor perekonomian di dalam wilayahnya sendiri. Dengan demikian, nilai tambah yang
dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah itu sendiri. Makin kuat
keterkaitan antarsektor, maka makin kecil ketergantungan suatu sektor pada barang impor sekaligus memperkecil kebocoran modal wilayah yang mengalir ke negeri
lain. Dan makin bersinergi keterkaitan antarsektor, maka makin kecil jumlah produk yang diekspor dalam bentuk mentah segar yang bernilai tambah rendah.
Dari aspek keterkaitan sektoralnya, ternyata sektor industri juga merupakan sektor yang memiliki keterkaitan terkuat, kecuali keterkaitan ke belakang totalnya
yang menempati posisi kedua setelah sektor bangunan. Sektor yang memiliki keterkaitan terkuat ke depan lainnya selain sektor industri adalah sektor
pertambangan dan penggalian. Dari keterkaitan sektoral ke belakangnya, dua sektor yang termasuk ke dalam 3 sektor dengan keterkaitan ke belakang terkuat
adalah sektor bangunankonstruksi dan sektor listrik, gas, air bersih. Tetapi ditemukan indikasi negatif dari sektor-sektor yang memiliki
keterkaitan sektoral terkuat tersebut. Keterkaitan dari sektor-sektor tersebut ternyata hanya dengan sektor tertentu saja. Pada sektor industri, keterkaitan
langsung terkuatnya cenderung dengan kelompok sektornya sendiri. Hal tersebut terungkap dari tabel transaksi domestik input-output. Dengan menurunkannya
menjadi ’tabel persentase nilai input sektor pengguna yang berasal dari output sektor pemasok’ Tabel 33, diketahui bahwa sekitar 63.7 persen pasokan input
sektor industri pengolahan berasal dari kelompok sektornya sendiri. Serupa dengan keterkaitan langsung ke belakangnya, keterkaitan langsung
ke depan terkuat dari sektor industri pengolahan adalah dengan kelompok sektornya sendiri. Tabel 35 yang diturunkan dari tabel transaksi domestik
menjelaskan hal tersebut. Sekitar 80.6 persen output sektor industri pengolahan menjadi input bagi sektor industri pengolahan lainnya. Hanya 2.2 persen dari
outputnya yang dimanfaatkan oleh sektor pertanian. Sektor bangunan, yang merupakan sektor dengan keterkaitan terkuat kedua,
keterkaitan eratnya cenderung hanya dengan sektor industri pengolahan. Sebesar 79.3 persen input sektor bangunan diperoleh dari sektor industri. Sementara sektor
listrik, gas dan air bersih, kaitan terkuatnya hanya dengan sektor pertambangan dan sektornya sendiri. Sektor pertambangan memasok 50.9 persen dan dari sektornya
sendiri sebesar 23.5 persen. Kedua sektor ini bahkan sangat kecil keterkaitanya dengan sektor pertanian. Padahal kedua sektor ini dan sektor industri, dalam
analisis sebelumnya merupakan sektor yang memiliki dampak pengganda terbesar.
Dengan nilai koefisien keterkaitan totalnya yang tinggi dan pendapatan rumah tangga sektor ini yang juga relatif lebih tinggi, maka dampak pendapatan upah dan
gaji akan lebih banyak dinikmati oleh sektor-sektor tersebut. Sementara dari keterkaitan totalnya, ditemui kondisi yang tidak berbeda.
Sektor industri merupakan sektor yang memiliki keterkaitan total ke depan terkuat dan keterkaitan ke belakang terkuat kedua setelah sektor bangunan, dengan
koefisien keterkaitannya masing-masing sebesar 3.14 dan 1.89. Ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan akhir sektor industri mampu memberikan pengaruh
langsung dan tidak langsung terbesar terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian. Dapat pula dikatakan bahwa sektor ini adalah sektor yang
paling kuat dalam mendorong atau menarik sesudah sektor bangunan peningkatan output seluruh sektor perekonomian. Dengan hanya mengacu dari informasi nilai
koefisien ini, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang dipacu melalui peningkatan permintaan akhir output sektor industri, akan berpengaruh signifikan terhadap
peningkatan output sektor perekonomian lainnya. Tanpa melakukan penelusuran data dan proses olahan antara, sektor industri
nampak sebagai sektor unggulan yang dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Mirip dengan keterkaitan langsungnya,
ditemui indikasi negatif dari keterkaitan kuat sektor industri ini. Adanya petunjuk negatif di balik keunggulan tersebut, terungkap dari hasil penelusuran proses
olahan antara analisis input output koefisien inputnya. Secara matematis, jika mengacu kembali notasi matriks dari tabel I-O dalam persamaan 4 pada bab
Metoda Penelitian halaman 41, dapat diturunkan persamaan matriks sebagai berikut:
I – A
-1
. Y = X atau B . Y = X 1 atau
2
Jika matriks tersebut diuraikan dalam bentuk persamaan matematis, diperoleh:
=
n i
n i
nn n
n ij
n n
X X
X X
Y Y
Y Y
b b
b b
b b
b b
b b
2 1
2 1
2 1
2 22
21 1
12 11
: M
b
11
Y
1
+ b
12
Y
2
+ … b
1j
Y
j
…+ b
1n
Y
n
= X
1
b
21
Y
1
+ b
22
Y
2
+ … b
2j
Y
j
…+ b
2n
Y
n
= X
2
: :
: 3 b
31
Y
1
+ b
32
Y
2
+ … b
3j
Y
j
…+ b
3n
Y
n
= X
3
: : :
b
n1
Y
1
+ b
n2
Y
2
+ … b
nj
Y
j
…+ b
nn
Y
n
= X
n +
∑Xn Subskrip 2 ditentukan sebagai sektor industri. Persamaan 2 dan 3
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan permintaan akhir satu unit output sektor industri Y
2
pada persamaan 2, maka akan mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian
∑Xn pada persamaan 3. Semua output sektor ekonomi X
1
sampai X
n
akan mengalami peningkatan, akibat tarikan permintaan akhir output sektor industri
tersebut, tetapi dengan proporsi yang berbeda-beda, tergantung pada koefisien keterkaitannya nilai b
ij
. Nilai
b
ij
terbesar dimiliki oleh sektor industri, yaitu elemen b
22
pada persamaan 2 dan 3 dengan nilai sebesar 1.53 Lampiran 17. Persamaan 3
memperlihatkan bahwa nilai b
22
yang cukup besar, hanya akan berpengaruh terhadap total output sektor industri saja X
2
, sehingga menghasilkan proporsi total output sektor industri X2 terhadap total output seluruh sektor ekonomi
∑Xn yang terbesar. Proporsinya sebesar 23.1 persen untuk dampak keterkaitan total ke
depan dan sebesar 13.9 persen untuk dampak keterkaitan total ke belakangnya Lampiran 17. Nilai ini masih cukup besar dibandingkan dengan proporsi sektor
lain yang terkena dampak peningkatan permintaan tersebut. Proporsi yang cukup mencolok terlihat pada keterkaitan langsung sektor
industri, di mana proporsi peningkatan outputnya sebesar 45.13 persen untuk keterkaitan ke depan dan 18.41 persen untuk keterkaitan ke belakang. Nilai
tersebut cukup signifikan perbedaannya, jika dibandingkan dengan dampak yang terimbas kepada sektor pertanian primer, yaitu sebesar 13.5 kalinya pada
keterkaitan total ke depan dan 4.4 kalinya pada keterkaitan total ke belakang dari proporsi kenaikan sektor pertanian primer. Diketahui bahwa pada sektor pertanian
primer, proporsinya hanya sebesar 3.34 persen untuk dampak keterkaitan langsung ke depan dan 4.16 persen untuk dampak keterkaitan langsung ke belakangnya.
Hasil penelusuran data transaksi domestik input-output telah menunjukkan bahwa keterkaitan terkuat sektor industri cenderung terjadi di antara kelompok
sektornya sendiri dan sangat lemah kaitannya dengan sektor pertanian. Kondisi ini menunjukkan fakta transaksi riil yang sebenarnya. Sedangkan penelusuran terhadap
koefisien keterkaitannya elemen matrik A dan matriks B, lebih menunjukkan pada tingkat elastisitas dan besarnya dampak akibat upaya peningkatan 1 unit
output sektor ekonomi tertentu. Ditunjukkan bahwa dampak akibat upaya pengembangan sektor industri akan lebih besar mengimbas kepada sektor itu
sendiri dan tidak cukup besar bagi sektor pertanian primer. Dengan demikian, sekalipun nilai gradien elastisitas ini tidak cukup mencolok, tetapi fakta nilai
transaksi domestik menunjukkan keterkaitan asimetris yang cukup signifikan antara sektor industri dan sektor pertanian primer. Keterkaitan asimetris yang dimaksud
adalah di satu sisi keterkaitan sektor industri dengan kelompoknya sendiri sangat kuat, sementara keterkaitannya dengan sektor pertanian sangat lemah.
Tidak ada satu sektor ekonomi pun yang benar-benar memanfaatkan produk pertanian domestik. Dari Tabel 33 terungkap bahwa tidak ada satu sektor pun yang
memiliki kaitan langsung yang kuat dengan sektor pertanian. Produk sektor pertanian yang menjadi input sektor industri hanya sebesar 9.0 persen dari total
input yang digunakannya, porsinya masih lebih kecil dibandingkan dengan input yang berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran 11.2 . Rendahnya
persentase nilai transaksi dari sektor pertanian menunjukkan bahwa industri pengolahan di provinsi ini tidak banyak menggunakan output dari sektor pertanian
primer. Hal tersebut karena jumlah industri yang banyak terdapat di provinsi ini adalah industri nonpertanian yang tidak memiliki keterkaitan erat dengan sektor
pertanian primer. Data publikasi BPS Provinsi Jawa Barat 2006 menunjukkan bahwa sekitar 72.02 persen dari total industri di Jawa Barat merupakan industri
nonpertanian. Lemahnya keterkaitan tersebut juga memberikan isyarat telah terjadinya kesenjangan teknologi yang diterapkan antara sektor pertanian dengan
sektor industri. Kondisi ini menyebabkan kuantitas dan kualitas output sektor pertanian yang dihasilkan tidak dapat memenuhi persyaratan standar input sektor
industri. Di sisi lain, sebenarnya sektor pertanian memiliki potensi untuk mendorong
pertumbuhan sektor industri. Dari Tabel 34 terungkap bahwa produk antara yang
112 Tabel 33 Persentase nilai input sektor pengguna yang diperoleh dari output sektor pemasok
Keterkaitan ke belakang
Sektor Pengguna
Sektor Pemasok
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan
Perikanan Pertam-
bangan dan Penggalian
Industri Pengola
han Listrik, Gas
dan Air Bersih
Bangunan konstruksi
Perdagang an,
Hotel dan Restoran
Pengangkuta n dan
Komuni-kasi Keuangan,
Persewaan dan Jasa
Perusahaan Jasa-
jasa Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
21.7 0.0
9.0 -
0.6 3.7
0.0 - 3.7
Pertambangan dan Penggalian 0.0
95.6 7.2
50.9 0.2
0.0 -
- 0.0 Industri Pengolahan
59.6 2.0
63.7 17.5
79.3 25.3
50.6 13.2
47.3 Listrik, Gas dan Air Bersih
0.3 0.2
3.4 23.5
0.1 13.3
2.3 2.7
4.2 Bangunankonstruksi
1.5 0.6
0.1 0.1
0.1 0.1
1.4 3.1
1.9 Perdagangan, Hotel dan Restoran
11.6 0.6
11.2 4.0
14.9 12.5
13.3 4.8
18.3 Pengangkutan dan Komunikasi
1.5 0.3
2.8 1.0
2.4 12.5
13.9 8.8
5.1 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
2.6 0.4
1.8 1.0
1.9 28.4
12.7 44.3
9.0 Jasa jasa
1.1 0.2
0.8 2.2
0.4 4.2
5.7 23.1
10.5 Total
100.0 100.0
100.0 100.0
100.0 100.0
100.0 100.0
100.0
Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah
113 Tabel 34 Persentase Output Sektor Pemasok untuk memenuhi Permintaan
Keterkaitan ke Depan
Komponen Permintaan
Sektor Pemasok
Jumlah Permintaan
Antara Pengeluaran
Konsumsi Rumah
Tangga Pengeluaran
Pemerintah Pembentukan
Modal Tetap Bruto
Perubahan Stok
Ekspor Jumlah
Permintaan
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
41.0 51.2
- 0.4
0.3 7.1
100.0 Pertambangan dan Penggalian
102.4 0.0
- -
3.1 0.7
100.0 Industri Pengolahan
41.5 19.9
- 4.4
2.2 31.9
100.0 Listrik, Gas dan Air Bersih
59.4 33.7
- -
- 6.9
100.0 Bangunankonstruksi
3.3 0.1
- 96.6
- -
100.0 Perdagangan, Hotel dan Restoran
37.6 34.3
- 3.0
1.5 23.6
100.0 Pengangkutan dan Komunikasi
38.7 32.2
- 1.0
0.5 27.7
100.0 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 74.6
23.6 -
- -
1.9 100.0
Jasa jasa 13.2
20.6 51.6
1.8 -
12.9 100.0
Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah
114 Tabel 35 Persentase nilai output sektor pemasok yang menjadi input sektor pengguna
Keterkaitan ke Depan
Sektor Pengguna Sektor Pemasok
Pertanian, Peternakan,
Kehutanan dan
Perikanan Pertambangan
dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan
Air Bersih
Bangun ankonst
ruksi Perdagangan,
Hotel dan Restoran
Pengangkut an dan
Komunikas i
Keuangan, Persewaan
dan Jasa Perusahaan
Jasa jasa Total
Output Antara
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
6.3 0.0 87.9 0.0
0.4 3.4 0.0 0.0 2.1 100.0
Pertambangan dan
Penggalian 0.0 21.1 58.9
19.9 0.1 0.0
0.0 0.0 0.0 100.0 Industri
Pengolahan 2.2 0.1 80.6
1.1 6.7 3.0
2.8 0.2 3.4 100.0 Listrik, Gas dan Air Bersih
0.1 0.1
55.2 18.2
0.1 20.1
1.6 0.6
3.9 100.0
Bangunankonstruksi 10.5 4.0 29.5 0.8 2.3 2.6 15.0 9.5 25.9 100.0
Perdagangan, Hotel
dan Restoran
2.2 0.1 71.8 1.2
6.4 7.5 3.7 0.4 6.7 100.0
Pengangkutan dan Komunikasi 0.9
0.1 53.9
0.9 3.1
22.0 11.5
2.2 5.5
100.0 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 1.2 0.2 28.6
0.7 2.0 41.5
8.6 9.1 8.1 100.0 Jasa
jasa 1.3 0.2 31.1 4.1 1.1 15.8
9.9 12.1 24.3 100.0
Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah
digunakan dalam kegiatan proses produksi sebesar 41.0 persen. Dan dari jumlah yang digunakan untuk kegiatan proses produksi tersebut, sebagian besar 87.9
untuk memenuhi kebutuhan input sektor industri pengolahan Tabel 35. Ini menunjukkan sektor ini sebenarnya berpotensi untuk mendorong pertumbuhan
sektor industri, terutama industri pertanian. Hanya saja dimungkinkan akibat rendahnya kualitas produk sektor pertanian dan sedikitnya jumlah industri
pertanian yang berpeluang memanfaatkan sektor pertanian tersebut, menyebabkan
sektor ini tenggelam diantara eksistensi sektor ekonomi lainnya. Indikasi Negatif Industri Nonpertanian: Keterkaitan internal yang tinggi
Dari rangkaian hasil analisis 9 sektor ekonomi, diketahui bahwa kriteria unggulan terbanyak dipenuhi oleh sektor industri. Tetapi di antara hasil analisis
yang menunjuk pada keunggulan sektor industri, telah ditemukan indikasi negatif bahwa keterkaitan yang kuat pada sektor industri hanya terjadi di dalam kelompok
sektornya sendiri dan sangat lemah keterkaitannya dengan sektor pertanian primer. Berdasarkan informasi ini, maka dampak dan nilai tambah terbesar dari prioritas
pengembangan sektor industri akan terkonsentrasi pada kelompok sektor industri sendiri serta sejumlah kecil sektor kaitannya. Pengembangan sektor ini juga kurang
signifikan dalam menarik pertumbuhan aktivitas sektor pertanian primer. Dengan analisis yang lebih detil input-output 86 sektor, diketahui bahwa
sektor yang memiliki indikasi negatif tersebut pada umumnya adalah sektor industri nonpertanian. Untuk tujuan identifikasi ini, maka dipilih 10 sektor
ekonomi utama hasil analisis I-O 86 sektor menurut peringkat keunggulan yang dimilikinya Tabel 36. Diantara 10 sektor tersebut, sektor industri mesin dan
peralatannya diidentifikasi sebagai sektor yang memiliki keterkaitan sektoral ke belakang yang kuat. Dengan penelurusan melalui tabel transaksi domestik I-O,
diketahui bahwa keterkaitan terkuat sektor ini ternyata lebih tertuju pada sektornya sendiri dan industri nonpertanian lainnya. Sekitar 70 persen inputnya dipenuhi dari
kelompok sektor industri ini sendiri 69.90 , sedangkan dalam proporsi yang kecil dipenuhi oleh sektor perdagangan 12.22 , sektor industri mesin lainnya
9.67 , sektor industri logam dasar 2.16 dan sektor jasa angkutan jalan 1.69 . Kaitan sektor ini terhadap sektor pertanian primer bahkan tidak ada sama
sekali.
Hal yang sama terjadi pada industri nonpertanian lainnya yang termasuk di dalam kelompok 10 sektor ekonomi utama hasil analisis I-O 86 sektor tersebut.
Sektor-sektor tersebut adalah industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya; industri pengilangan minyak bumi; industri kimia dasar, kecuali pupuk;
dan industri logam dasar dari besi dan baja.
Indikasi Positif Agroindustri dan Dukungan Sektor Pertanian Primer
Dengan menggunakan analisis yang sama I-O 86 sektor, terungkap bahwa tidak semua industri memiliki indikasi negatif yang telah dipaparkan. Industri
pertanian agroindustri ternyata tidak hanya memiliki keterkaitan sektoral yang kuat, tetapi juga lebih kompleks dan berkaitan dekat dengan sektor pertanian
primer. Mengacu pada data transaksi input-output dan bagan pohon industri, diketahui bahwa sektor agroindustri unggulan hasil analisis I-O memiliki
keterkaitan sektoral yang cukup kompleks, termasuk kaitannya dengan sektor pertanian primer. Diketahui pula dari hasil analisis I-O dan bagan pohon industri
bahwa sektor pertanian primer kaitan agroindustri unggulan itu, ternyata juga merupakan sektor unggulan. Dengan demikian, sektor pertanian primer unggulan
ini berperan untuk mendorong pertumbuhan agroindustri unggulan di Jawa Barat. Sektor pertanian unggulan pertanian primer dan agroindustri yang
termasuk ke dalam 10 sektor utama berdasarkan peringkat kriteria keunggulannya adalah: 1 dari aspek pengganda pendapatan tertinggi adalah industri beras,
industri karet dan industri tembakau; 2 dari aspek pengganda PAD adalah sektor unggas posisi teratas, tembakau dan tebu; 3 dari pengganda PDRB adalah
industri beras posisi teratas; 4 dari keterkaitan sektoral ke depan adalah industri makanan lainnya dan sektor padi; serta 5 dari keterkaitan sektoral ke belakang
adalah industri beras. Informasi ini secara tabular ditunjukkan pada Tabel 36. Nilai koefisien keterkaitan sektor-sektor tersebut di atas rata-rata koefisien
keterkaitan seluruh sektor ekonomi. Koefisien keterkaitan dan angka pengganda 86 sektor ekonomi disajikan pada Lampiran 21 sampai Lampiran 22. Disebabkan
kapasitas ruang yang cukup besar, data transaksi domestik, koefisien input dan matriks kebalikan tabel I-O 86 sektor, dikompilasi dalam file CD.
Keterkaitan Pertanian Primer Unggulan dan Agroindustri Unggulan
Sektor pertanian primer unggulan hasil analisis merupakan sektor hulu pemasok dari sektor agroindustri unggulan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari
informasi Tabel 36 dan dengan mengaitkan informasi dua tabel lainnya, yaitu Tabel 37 sektor pertanian primer unggulan dengan Tabel 38 agroindustri ungulan.
Tabel 37 menunjukkan bahwa di antara kelompok sektor pertanian primer, komoditi unggulannya adalah unggas, ternak, padi, karet, tembakau dan tebu.
Tabel 38 memperlihatkan bahwa di antara agroindustri hilir unggulan adalah industri beras, industri makanan lainnya, industri pengolahan tembakau, industri
karet dan barang-barang dari karet, industri kulit dan industri gula. Kelebihan agroindustri unggulan, terutama dari aspek pengganda
pendapatannya, akan dapat melengkapi kelemahan sektor pertanian primer. Diketahui dari hasil analisis bahwa tidak ada satupun komoditi pertanian yang
memiliki angka pengganda yang tinggi, kecuali pengganda pajak tak langsung yang merupakan komponen PAD Penerimaan Anggaran Daerah. Kecuali pengganda
PAD, angka indeks pengganda seluruh sektor pertanian primer nilainya kurang dari satu atau di bawah rata-rata angka pengganda seluruh sektor ekonomi di Jawa Barat
Lampiran 22. Ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan permintaan output sektor pertanian tidak akan berdampak besar bagi peningkatan pendapatan rumah
tangga dan PDRB provinsi. Dengan keunggulan agroindustri dalam aspek keterkaitan sektoral dan dampak penggandanya serta keterkaitan yang kompleks
dari sektor pertanian primer, maka penguatan keterkaitan kedua sektor ini, melalui program diversifikasi usaha petani, tidak hanya akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat tetapi juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan demikian, sektor pertanian pertanian primer dan agroindustri dapat memenuhi
tujuan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sedangkan pada sektor industri nonpertanian, adanya indikasi negatif tersebut merupakan hal yang
perlu dipertimbangkan, sebelum menjadikannya sebagai sektor unggulan.
Sektor Pertanian Primer Unggulan
Diantara 86 sektor perekonomian, sektor pertanian primer komoditi pertanian kurang menunjukan keterkaitan yang kuat dengan sektor ekonomi
118 Tabel 36 Sepuluh sektor ekonomi utama menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat
Tingkat Keterkaitan
Sektoral
Angka Pengganda
Perin gkat
Keterkaitan ke Depan Langsung
Keterkaitan ke Depan Langsung
Tak Langsung Keterkaitan ke
Belakang Langsung
Keterkaitan ke Belakang Langsung
Tak Langsung Pendapatan
Pajak Tak langsung PAD
Nilai Tambah Total PDRB
1
Perdagangan Minyak bumi
Jasa Kesehatan Pemerintah
Industri mesin dan peralatan termasuk
perlengkapannya Industri Beras
Unggas dan hasil- hasilnya
Industri Beras
2
Industri makanan lainnya
Industri makanan lainnya
Jasa Pendidikan Swasta
Jasa Angkutan Udara Jasa Angkutan
Udara Tembakau
Jasa Angkutan Udara
3
Minyak bumi Industri Kimia
Dasar, kecuali pupuk
Industri Beras Industri alat angkutan
lainnya dan jasa perbaikannya
Industri mesin dan peralatan termasuk
perlengkapannya Gas Kota
Industri logam dasar bukan besi
dan baja
4
Gas bumi dan panas bumi
Industri pengilangan
minyak bumi Jasa
Pemerintahan Umum
Industri Kertas, barang dari kertas
dan sejenisnya Industri karet dan
barang-barang dari karet
Industri alat angkutan lainnya
jasa perbaikan Industri mesin dan
peralatan termasuk perlengkapannya
5
Industri Kimia dan barang-
barang dari bahan kimia
lainnya Industri mesin dan
peralatan termasuk perlengkapannya
Jasa Pendidikan Pemerintah
Jasa Angkutan Laut Industri furniture
termasuk berbahan plastik,
besi dan baja Tebu
Industri furniture termasuk
berbahan plastik, besi dan baja
6
Industri pengilangan
minyak bumi Industri Kimia dan
barang-barang dari bahan kimia
lainnya Jasa
kemasyarakatan Lainnya
Industri mesin lainnya dan
perlengkapannya Real estate dan
usaha persewaan bangunan
Jasa kemasyarakatan
Lainnya Industri logam
dasar dari besi dan baja kecuali
furniture
7
Industri Kertas, barang dari
kertas dan sejenisnya
Barang tambang dan hasil galian
lainnya Industri mesin
dan peralatan termasuk
perlengkapannya Industri pakaian jadi,
kecuali untuk alas kaki
Industri logam dasar bukan besi
dan baja Industri Pupuk
Industri pakaian jadi, kecuali untuk
alas kaki
8
Listrik Gas bumi dan
panas bumi Industri Pupuk
Jasa Angkutan Rel Industri alas kaki
Jasa Angkutan Sungai dan Danau
Industri barang- barang dari plastik
kecuali furniture
9
Industri Kimia Dasar, kecuali
pupuk Industri Kertas,
barang dari kertas dan sejenisnya
Industri pengilangan
minyak bumi Industri logam dasar
dari besi dan baja kecuali furniture
Industri pengolahan
tembakau, bumbu rokok dan rokok
Industri furniture termasuk
berbahan plastik, besi dan baja
Industri Kertas, barang dari kertas
dan sejenisnya
10
Padi Bank dan Lembaga
Keuangan lainnya Industri pakaian
jadi, kecuali untuk alas kaki
Industri barang- barang dari plastik
kecuali furniture Industri mesin
lainnya dan perlengkapannya
Jasa Kesehatan Swasta
Bangunan
119 Tabel 37 Sepuluh sektor pertanian primer menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat
Tingkat Keterkaitan Sektoral Angka Pengganda
Peringkat Keterkaitan ke
Depan Langsung
Keterkaitan ke Depan Langsung
Tak Langsung Keterkaitan ke
Belakang Langsung
Keterkaitan ke Belakang Langsung
Tak Langsung Pendapatan
Pajak Tak langsung PAD
Nilai Tambah Total PDRB