Karet dan Industri Kaitannya

Kabupaten Garut. Dengan konsep pemikiran yang sama dengan pembahasan sebelumnya, bahwa tidak adanya industri pengolahan primer skala menengah-besar merupakan peluang bagi peternak kabupaten dengan tingkat kesejahteraan rendah tersebut, untuk mengembangkan usahanya ke arah industri hilir ini. Peluang ini terutama bagi peternak di bagian selatan dan timur Jawa Barat yang masih belum ada industri tersebut. Adanya industri tersebut di kabupaten Cianjur dan Garut akan dapat memanfaatkan produk unggas di wilayah selatan dan timur Jawa Barat menjadi produk olahan yang bernilai tambah lebih, seperti nugget, sosis ayam, baso dan produk olahan lainnya.

3. Karet dan Industri Kaitannya

Pemusatan karet diurut berdasarkan nilai LQ yang terbesar adalah kabupaten Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Purwakarta. Pada kabupaten-kabupaten tersebut juga teridentifikasi lokasi yang sesuai untuk perkebunan karet. Kelas kesesuaian lahan pada kabupaten tersebut adalah kelas sesuai, sesuai marjinal dan tidak sesuai dengan proporsi luasan yang tidak berbeda jauh, kecuali kabupaten Cianjur. Pada kabupaten Cianjur lahan dengan kelas kesuaian sesuai marjinal S3 jauh lebih luas dibandingkan dengan lahan dengan kelas kesesuaian ’sesuai’ S1 dan atau S2. Sehingga berdasarkan lokasi pemusatan dan lahan yang sesuai untuk perkebunan karet, maka program pembangunan perkebunan ini akan baik dikembangkan di kabupaten Sukabumi, Bogor, Cianjur dan Purwakarta. Komoditi karet tidak keluar sebagai komoditi yang memiliki angka pengganda yang besar. Angka pengganda karet yang masih menunjukkan posisi yang relatif baik adalah dari angka pengganda PDRB-nya, yaitu pada posisi ke-6 diantara sektor pertanian primer, tetapi ternyata diantara 86 sektor ekonomi hanya menempati posisi ke-60. Angka indeksnya pun berada di bawah rata-rata seluruh sektor. Namun jika dikaitkan dengan industri olahannya, yaitu industri karet serta industri karet dan barang dari karet, memiliki dampak pengganda yang cukup tinggi 3.11, yang menempatkannya pada posisi ke-4 dari 86 sektor perekonomian di Jawa Barat atau posisi kedua dari sektor agroindustri setelah industri beras. Ini menunjukkan bahwa jika pekebun karet hanya berusaha pada aktivitas on farm saja, maka dampak pengganda pendapatan yang dapat dinikmati tidak cukup besar. Namun apabila mereka diberikan kesempatan untuk dapat memperluas usahanya ke hilir, akan memberikan dampak pengganda pendapatan cukup tinggi, yang sangat berarti bagi mereka. Walaupun efek ini bersifat keseluruhan rumah tangga di Jawa Barat, namun pihak pertama yang terkena dampak ini adalah yang paling dekat dengan sektor tersebut. Oleh karena itu perluasan usaha sektor karet ke arah hilir, terutama industri yang paling dekat kaitannya dengan sektor karet, akan membantu pekebun karet untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Dampak positif lain dari industri barang dari karet adalah keterkaitannya yang kuat, yaitu keterkaitan ke depan langsung dan keterkaitan ke belakang langsung dan tak langsung, yang diindikasikan dengan nilai indeksnya yang berada di atas rata-rata seluruh sektor. Ini artinya industri barang dari karet ini dapat mendorong pertumbuhan industri hilir yang langsung berhubungan dengannya, sekaligus dapat menarik industri-industri hulu di belakangnya. Dilihat dari data neraca perdagangan, ekspor karet dan barang dari karet Jawa Barat pada tahun 2003 sebesar 499 439 594 US dolar atau 3.5 persen dari total nilai ekspor Jawa Barat. Adanya ekspor karet dan barang dari karet menginformasikan bahwa sektor ini telah memiliki segmen pasar yang cukup luas. Walaupun begitu, ternyata Jawa Barat juga mengimpor karet dari negara lain. Impor Jawa Barat untuk komoditi karet pada tahun 2002 sebesar 47 541 kg dan sebesar 1 263 kg pada tahun 2003 BPS provinsi Jawa Barat 2004b. Adanya impor ini dapat menjadi indikasi bahwa Jawa Barat masih belum dapat memenuhi permintaan karet, yang bisa jadi untuk memenuhi permintaan bahan baku industri pengolahan karet di Jawa Barat atau untuk memenuhi permintaan dari luar provinsi. Dengan informasi ini, produktivitas karet yang belum optimal, sebagaimana yang telah disinggung pada bahasan kesesuaian lahan, dapat ditingkatkan sampai kondisi optimal, sehingga lebih akan banyak ketersediaan suplai untuk industri karet. Industri karet di Jawa Barat kebanyakan beroperasi pada kapasitas yang jauh di bawah kapasitas terpasangnya. Pada industri pengasapan karet, industri remilling karet dan industri karet remah, realisasinya tidak sampai setengah dari kapasitas terpasangnya, yaitu berturut-turut adalah 43 , 49 dan 32 . Industri olahan karet yang paling dekat keterkaitannya dengan perkebunan karet pada umumnya tidak memiliki kandungan input impor yang tinggi dan dimiliki oleh penduduk lokal. Industri-industri tersebut adalah industri pengasapan 25121, industri remilling karet 25122 dan industri karet remah 25123. Industri pengasapan dan industri remilling karet sama sekali tidak memiliki input impor dan seluruh industri dimiliki oleh penduduk lokal, sedangkan industri karet remah memiliki kandungan impor sebanyak 23 persen dan sharing kepemilikan asingnya sebesar 11 persen. Gambar 31 menyajikan Peta Pemusatan Karet, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat, sedangkan data atribut peta disajikan pada Tabel 55. Industri pengasapan karet pada umumnya dalam skala usaha yang relatif kecil dan tersebar pada beberapa kabupaten pertanian dan kabupaten industri. Namun pemusatan industri ini terkonsentrasi di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Ciamis, Purwakarta dan Subang. Sedangkan industri remilling karet, pemusatannya berada di Kabupaten Cianjur. Industri-industri remilling yang berada di Kabupaten Cianjur, pasokan inputnya dimungkinkan diperoleh dari wilayahnya sendiri, sementara yang berlokasi di Kota Bandung, karena tidak terdapat perkebunan karet di sana, sehingga pasokan inputnya diduga diperoleh dari Kabupaten Cianjur atau Kabupaten Purwakarta, yang posisinya relatif bersebelahan dengan kota Bandung. Sebenarnya industri remilling di kota Bandung nilai outputnya hampir menyamai Kabupaten Cianjur, namun masih berada sedikit di bawah rata-rata, sehingga tidak teridetifikasi sebagai pemusatan industri ini. Serapan tenaga kerja industri pengasapan karet cukup besar, yaitu 95 pekerja per 1 juta rupiah nilai output, dengan perbandingan antara pekerja produksi dan nonproduksi sebesar 4 : 1; pada industri remilling karet serapan tenaga kerjanya 20 pekerja, dengan perbandingan 46 : 3, dan industri karet remah sebesar 9 pekerja per 1 juta rupiah nilai output dengan perbandingan 1 : 1. Dengan demikian, pengembangan industri pengasapan karet disarankan untuk mengurangi masalah pengangguran di kabupaten yang memiliki jumlah setengah pengangguran tinggi dan kesejahteraan rendah. Produk ketiga industri ini hanya memenuhi kebutuhan pasarindustri domestik atau tidak ada produk yang masuk ke pasar internasional. Hal ini justru menunjukkan bahwa keterkaitannya dengan industri olahan karet lanjutan cukup baik, disebabkan tidak ada produk antara setengah jadi yang diekspor ke luar negeri. 180 Gambar 31 Peta pemusatan karet, industri kaitannya dan tingkat kesejahteraan di Jawa Barat. 181 Tabel 55 Pemusatan karet dan industri utama kaitannya di Jawa Barat Kabupatenkota Pusat Ind. Hulu: Pupuk 24121 1, 24123 2; dan Pemberantas hama 24212 3 Pusat Karet Pusat Ind.Olahan Primer 25121 1, 25122 2, 25123 3 Pusat Ind.Olahan Lanjutan 25112 1, 25191 2, 25192 3, 25912 4, 19201 5 Tingkat Pengangguran Tingkat Kesejahteraan BANDUNG 3 T MR BEKASI 3, 4 T BOGOR 3 Pusat 3 5 T MR CIAMIS 1 MR CIANJUR 1 Pusat 2 R CIREBON 3 R GARUT R INDRAMAYU R KARAWANG 4 T MR KOTA BANDUNG 1, 2 T T KOTA BANJAR T MR KOTA BEKASI 4, 5 T T KOTA BOGOR T T KOTA CIMAHI T MR KOTA CIREBON T KOTA DEPOK 2 T T KOTA SUKABUMI T T KOTA TASIKMALAYA T MR KUNINGAN MR MAJALENGKA MR PURWAKARTA 2 Pusat 1 MR SUBANG 1 MR SUKABUMI Pusat MR SUMEDANG MR TASIKMALAYA MR Keterangan: 25121 = Pengasapan karet, 25122 = Remilling karet, 25123 = Karet remah 25112 = Ban luar, 25191 = Barang dr karet untuk RT, 25192 = Barang dr karet untuk industri, 19201 = Alas kaki untuk shari-hari R = Rendah, MR = Menengah Rendah, T= Tinggi Industri karet remah, yang berada di Bogor, memiliki nilai output yang cukup besar. Kebutuhan industri yang cukup besar di Bogor ini dapat dipasok dari kabupatennya sendiri dan dari kabupaten tetangganya, yaitu Sukabumi, yang memiliki produksi karet terbesar di Jawa Barat. Industri-industri olahan yang kaitannya cukup jauh dengan sektor karet, merupakan industri yang memiliki input impor yang tidak sedikit dan terdapat kepemilikan asingnya Gambar 16. Lokasi pemusatan industri-industri tersebut berada jauh dari pusat perkebunan karet dan pada umumnya terdapat di kabupatenkota industri atau jasa. Contohnya adalah industri vulkanisir ban di Kota Bandung 25112, industri barang dari karet untuk keperluan rumah tangga 25191 di Kota Bandung dan Kota Depok atau untuk keperluan industri 25192 di Bandung, Bekasi, Cirebon, industri komponen perelengkapan kendaraan roda dua dan tiga 35912 di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Karawang dan seterusnya. Perbedaan lokasi dari beberapa jenis industri karet olahan merupakan potensi hubungan interindustrial dan hubungan antarwilayah yang dapat dikembangkan. Sebagian besar industri olahan karet lanjutan telah masuk ke pasaran dunia, seperti produk industri barang dari karet untuk keperluan rumah tangga 25191, industri barang dari karet untuk keperluan industri 25192, industri ban luar dan dalam 25111 dan lain-lain. Walaupun industri ini memiliki segmen pasar yang lebih luas dibandingkan dengan industri olahan karet primer, namun tidak disarankan untuk dilakukan pendirian industri tipe ini lagi, apabila kelemahan yang telah disebutkan tetap melekat pada industri yang akan dibangun tersebut. Perbaikan diarahkan untuk meningkatkan kinerja industri yang telah ada sehingga mampu bersaing dengan produk impor dari luar negeri.

4. Tembakau dan Industri Kaitannya