Unggas dan hasil-hasilnya Identifikasi sektor unggulan dan arahan penerapannya untuk peningkatan kinerja pembangunan wilayah di Jawa Barat

152 menempati area kawasan pertanian RTRW, yaitu ladang, kebun campuran, sawah dan perkebunan. Keterbatasan peta skala rendah di tingklat provinsi telah menjeneralisasi kawasan budidaya pertanian menjadi kawasan lindung.

6. Unggas dan hasil-hasilnya

Pemusatan produksi unggas dan hasil-hasilnya, tersebar di seluruh kabupatenkota di Jawa Barat dengan pemusatan jenis unggas ayam burasayam ras ayam peteluritik yang berbeda-beda. Kesesuaian unggas tidak banyak bergantung pada ciri atau kualitas lahan, sehingga setiap kabupaten dapat menjadi lokasi peternakan ini, kecuali wilayah dengan pemukiman penduduk yang sangat padat. Keamanan dan penerimaan masyarakat merupakan faktor utama kesesuaian ternak unggas. Hal tersebut disebabkan polusi dan limbah kotoran unggas yang mengganggu lingkungan masyarakat menjadi faktor pembatas yang sulit diatasi. Faktor pemanfaatan lahan unggas yang dapat menempati berbagai jenis pemanfaatan lahan, menyebabkan analisis konsistensi unggas ini tidak dapat ditunjukkan dan dibutuhkan kajian lapang lebih detil. Dari rangkaian analisis, maka sektor pertanian yang telah dibahas dari kelompok pertanian primer dan agroindustri merupakan sektor unggulan yang memenuhi ketiga kriteria tujuan pembangunan daerah. Industri makanan lainnya, dengan sisi positif keunggulannya, merupakan kelompok industri yang sangat berperan sebagai agroindustri pengolah dari banyak jenis pertanian primer yang telah diidentifikasi sebagai 10 sektor pertanian primer utama yang memiliki keunggulan hasil analisis I-O 86 sektor Tabel 37. Dengan keterbatasan informasi pada peta RTRW, maka untuk sektor agroindustri dibutuhkan kajian lebih detil untuk mengetahui kekonsistenan pemanfaatan lahan yang sesungguhnya. Pada analisis ini, sektor agroindustri diasumsikan menempati kawasan industri yang telah ditetapkan, dengan argumen bahwa kawasan industri yang telah eksis baru menempati setengah dari kawasan yang telah ditetapkan. Lemahnya Koordinasi Antarinstansi dan Keterbatasan Peta Detil Dari dua peta yang digunakan, yaitu Peta Arahan Pertanian dan Peta RTRW, ditemui ketidaksesuaian pemanfaatan lahan. Padahal pedoman tersebut menjadi 153 rujukan bagi para stakeholder dan pengambil keputusan atau kebijakan. Mengacu pada Peta Arahan Pertanian, terdapat sebagian area arahan budidaya yang menempati kawasan lindung pada peta RTRW. Sebagai contoh adalah pada area bagian selatan dari kabupaten Sukabumi, Garut, Tasikmalaya dan Cianjur. Pada Peta Arahan Pertanian, area tersebut diarahkan untuk perkebunan dataran rendah dan peternakan, tetapi pada peta RTRW ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal yang sama terjadi di Kabupaten Bandung bagian selatan. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa pemanfaatan lahan untuk pertanian kondisi aktual dari peta landuse lebih mengacu atau sesuai dengan Peta Arahan Pertanian dibandingkan dengan acuan Peta RTRW. Hal ini diindikasikan dengan banyak aktivitas pertanian pada peta landuse, terutama usaha kebun campuran, yang berada di lokasi kawasan lindung pada peta RTRW. Ketidaksesuaian informasi dapat disebabkan oleh skala peta yang beragam antar instansi dan pada umumnya belum tersedia dalam skala yang detil, sehingga memungkinkan terjadinya generalisasi yang cenderung menghasilkan interpretasi yang bias. Dengan demikian, koordinasi antar instansi yang melegalisasi pedoman tersebut menjadi penting agar tidak terjadi inkonsistensi antara rencana tata ruang yang telah ditetapkan dengan pelaksanaan riil di lapangan. Permasalahan lainnya adalah tidak tersedianya peta skala detil pada instansi-instansi di tingkat provinsi atau tersedia dengan tingkat kedetilan yang berbeda-beda. Peta existing landuse, yang diinterpretasikan dari hasil citra, pada umumnya memiliki skala yang lebih detil. Namun ketersediaan peta ini tidak diimbangi dengan ketersediaan peta RTRW dengan kedetilan yang sama. Keberagaman tingkat kedetilan peta seperti ini menjadi kendala untuk menggali lebih dalam kekonsistenan pemanfaatan lahan di tingkat provinsi. Sehingga untuk mengkaji konsistensi pemanfaatan lahan aktual tingkat provinsi harus merujuk pada peta-peta di tingkat kabupaten. Bahkan kondisi yang sering terjadi bahwa data detil di wilayah administratif yang lebih rendah, tidak dimiliki oleh instansi dengan jenjang administratif yang lebih tinggi. Pada abad serba teknologi ini, keterbatasan yang dulu memang menjadi kendala dalam penyediaan dan kompilasi data, seharusnya saat ini sudah dapat dipecahkan. Peta detil tidak akan menjeneralisasi lahan budidaya yang berada di dekat kawasan lindung menjadi seluruhnya kawasan lindung atau sebaliknya. Dari peta 154 RTRW provinsi, dapat dilihat bahwa lebih dari separuh wilayah Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut Tasikmalaya dan Ciamis, terutama di bagian selatan sampai tengah kabupaten, ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dari informasi ini saja, tanpa mengaitkan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, sudah dapat disimpulkan bahwa kondisi demikian tidak akan memberikan ruang leluasa bagi masyarakat setempat untuk melakukan kegiatan usahanya. Padahal kabupaten ini seluruhnya merupakan kabupaten pertanian yang masyarakatnya sangat bergantung pada lahan pertanian. Aspek kekonsistenan dengan tata ruang, yang menunjukkan bahwa pada umumnya aktivitas sektor pertanian tidak menempati kawasan lindung; penerimaan masyarakat akan aktivitas pertanian unggulan; dan dukungan kesesuaian lahan; hanyalah sebagian dari banyak kriteria keunggulan sektor untuk tujuan pembangunan keberlanjutan. Dengan demikian, keterbatasan aspek analisis ini dan juga penggunaan data tingkat provinsi yang tidak dapat menjangkau informasi detil, tidak dapat menunjukkan secara tepat kelayakan suatu sektor di lokasi yang sebenarnya. Hanya saja hasil analisis ini dapat menjadi informasi awal untuk kajian yang lebih detil dan menjadi bukti akan kebutuhan data yang detil, saling terkaitterkoordinasi antar instansi yang berwenang mengeluarkannya. Gambar 25 Peta kesesuaian tembakau dan lokasi pemusatannya. Gambar 26 Peta kesesuaian karet dan lokasi pemusatannya. Gambar 27 Peta kesesuaian tebu dan lokasi pemusatannya. Gambar 28 Peta kesesuaian ternak dan lokasi pemusatannya. ARAHAN PENGEMBANGAN SEKTOR UNGGULAN Diketahui dari analisis I-O sebelumnya bahwa dampak pengganda pendapatan dan keterkaitan sektoral sektor pertanian primer rendah, walaupun sebenarnya sektor ini memiliki potensi keterkaitan sektoral yang kompleks. Tetapi diketahui bahwa pertanian primer unggulan ini ternyata merupakan sektor hulu dari agroindustri unggulan, yang memiliki keunggulan tersebut termasuk pengganda pendapatan selain unggul dalam aspek keterkaitan sektoralnya. Implikasi hasil analisis ini adalah pentingnya upaya mengaitkan usaha diversifikasi usaha budidaya pertanian primer petani ke arah agroindustri hilir. Hal itu tidak hanya akan memberikan perbaikan nilai tambah produk dan pendapatan petani, tetapi juga akan memperkuat keterkaitan sektoral sektor pertanian primer, terutama dengan industri utama kaitannya. Pada pembahasan analisis kinerja pembangunan, diketahui bahwa sektor pertanian dan wilayah pertanian termasuk masyarakat di dalamnya mengalami ketertinggalan dibandingkan sektor industri jasa dan wilayah basis jasaindustri. Hal tersebut disebabkan program percepatan pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan, yang pada umumnya didukung oleh sektor industri dan jasa. Oleh karena itu arahan pembangunan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan adalah memperkuat sektor pertanian, termasuk wilayah pertanian dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Untuk prioritas pembangunan, hal tersebut dapat dilakukan dengan: 1 pengembangan sektor unggulan dengan menyesuaikan antara karakteristik sektor unggulan dengan permasalahan spesifik wilayah dan 2 penguatan keterkaitan sektoral dan antarwilayah dari masing-masing sektor unggulan dan 3 pembangunan fasilitas urban di wilayah perdesaan pertanian. Untuk percepatan pembangunan, upaya diversifikasi usaha atau pemantapan agroindustri hilir unggulan yang telah ada, dapat diterapkan dengan menyesuaikan karakteristik keunggulan sektor tersebut dengan permasalahan wilayah. Industri unggulan yang memiliki dampak pengganda pendapatan yang tinggi, dapat dikembangkan di pusat-pusat budidaya pertanian primer unggulan yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Khusus untuk industri yang juga berpotensi dalam serapan tenaga kerja, dapat dikaji kemungkinan pengembangannya di kabupaten yang memiliki permasalahan tingkat pengangguran tinggi disamping tingkat kesejahteraan yang rendah. Industri yang telah ada didorong untuk meningkatkan kinerja usahanya. Industri ini juga dapat dikembangkan di wilayah pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja setengah pengangguran di sektor pertanian. Penguatan keterkaitan antarsektor dan antarwilayah di Jawa Barat dapat diupayakan dengan mengoptimalkan produktivitas dan kinerja usaha sektor ungulan di masing-masing lokasi pemusatannya. Pada lokasi pemusatan pertanian primer, upaya itu dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya hingga pemasaran, sehingga dapat berproduksi secara optimal dengan produk berkualitas dan dapat memenuhi permintaan agroindustri hilirnya di lokasi pemusatan. Pada lokasi pemusatan industri kaitan pertanian primer unggulan tersebut, industri unggulan tersebut perlu didorong untuk berproduksi optimal dengan memenuhi kapasitas terpasang industri. Dengan kerja sama seperti ini, maka masing-masing sektor unggulan di wilayahnya dapat memperkuat keterkaitan sektoral dan antarwilayah sehingga mampu menyumbang terwujudnya perekonomian provinsi yang kokoh dan mandiri. Kerja sama antarsektor dan antarwilayah dari masing-masing lokasi pemusatan sektor unggulan haruslah merupakan kerja sama yang berimbang posisi tawarnya. Dari hasil analisis kinerja pembangunan terungkap bahwa kesempatan masyarakat di wilayah pertanian untuk mengakses fasilitas pelayanan pokok masih rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan reorientasi kebijakan dan realokasi anggaran pembangunan ke wilayah pertanian, melalui pembangunan fasilitas urban di wilayah perdesaan pertanian dan perbaikan teknologi pertanian. Dengan terbentuknya replikasi kota di daerah perdesaan pertanian dan aplikasi teknologi pertanian yang kompetitif, diharapkan setiap wilayah dengan kekuatan yang berimbang dan keunggulan basis sumberdaya yang berbeda, dapat saling memperkuat dan menjalin kerja sama tersebut. Dengan kondisi ini maka berbagai permasalahan yang pernah terjadi, seharusnya secara berangsur-angsur akan berkurang dan kinerja pembangunan di Jawa Barat dapat lebih ditingkatkan. Penguatan Keterkaitan Sektoral dan Keterkaitan Antarwilayah Sektor Unggulan Potensi keterkaitan sektoral dan regional kabupaten dari sektor unggulan ditunjukkan pada Peta Pemusatan Komoditi Pertanian Primer, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat Gambar 29 sampai dengan Gambar 34. Peta ini memuat informasi 1 tingkat kesejahteraan, 2 tingkat pengangguran, 3 lokasi pemusatan pertanian primer, 4 industri olahan primer dan 5 industri olahan antara atau olahan lanjutan, yang sudah terkait jauh dengan pertanian primernya. Data pendukung peta ditampilkan pada Tabel 53 sampai Tabel 58. Lokasi pemusatan yang disajikan adalah lokasi kabupatenkota yang diidentifikasi memiliki lahan yang sesuai S2 atau sesuai marjinal S3 untuk komoditi pertanian unggulan tersebut. 1. Komoditi Padi, Industri Beras dan Industri Makanan Lainnya Arahan Pengembangan Padi: Diversifikasi Usaha ke Arah Hilir dan Peningkatan Produktivitas Pengganda pendapatan yang rendah pada sektor padi menunjukkan bahwa petani kurang mendapatkan manfaat langsung dari sektor yang diusahakannya. Perbaikan pendapatan petani dapat diupayakan dengan memperluas usaha petani padi ke arah industri olahan unggulannya industri makanan lainnya atau industri beras, selain program perbaikan teknologi pertanian. Dengan diversifikasi usaha seperti ini, maka nilai tambah yang diperoleh petani dapat ditingkatkan dan akan memperkuat keterkaitan sektoral padi. Selain itu, dengan keunggulan lain dari industri olahan tersebut, maka jalinan sinergisitasnya juga akan mampu memberikan peningkatan PDRB dan PAD provinsi serta memacu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Pada umumnya lahan padi sawah di Jawa Barat termasuk dalam kelas kesesuaian ’sesuai’ S2, sementara padi ladang masuk ke dalam kelas ’sesuai marjinal’ S3. Oleh karena itu, jika masih dimungkinkan untuk mengoptimalkan tingkat produktivitasnya, maka dampak dari upaya tersebut tidak hanya akan mengimbas pada peningkatan kesejahteraan petani, tetapi juga mampu memenuhi kapasitas terpasang industri dan kebutuhan pangan nasional. Peta Pemusatan Padi, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat Gambar 29 memuat informasi lokasi pemusatan budidaya padi, pemusatan industri beras dan industri kaitannya, sedangkan data pendukung disajikan pada Tabel 53. Dari peta tersebut ditunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Jawa Barat terpusat di kabupaten Kuningan, Cirebon, Majalengka, Subang, Indramayu, Bekasi, kota Sukabumi, kota Bandung, Kota Cirebon, Karawang, Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar. Wilayah administrasi kota teridentifikasi sebagai lokasi pemusatan padi sawah disebabkan proporsi produksi padi sawah dengan produksi total tanaman pangan pangan lainnya cukup besar jika dibandingkan dengan proporsi yang sama di tingkat provinsi. Sedangkan pemusatan padi ladang terjadi di kabupaten Sukabumi, Garut, Cianjur, Kuningan, Sumedang, Bandung dan Purwakarta. Industri Beras Industri beras hasil analisis input-output merupakan suatu kelompok industri yang terdiri dari beberapa jenis industri pengolah padi. Untuk itu perlu identifikasi lebih rinci jenis industri yang memenuhi kriteria unggulan, terutama dari aspek ketergantungannya terhadap faktor eksternal dan serapan tenaga kerjanya, untuk arahan pengembangannya di suatu wilayah. Industri-industri yang termasuk dalam kelompok industri beras pada bagan pohon industri adalah kelompok industri olahan primer, yaitu: 1 industri penggilingan padi dan penyosohan beras 15311, 2 industri penggilingan dan industri pembersihan padi-padian lainnya 15312 dan 3 industri berbagai macam tepung dari padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, umbi-umbian dan sejenisnya 15322. Sedangkan industri olahan lanjutan yang merupakan kelompok industri makanan lainnya, mencakup industri makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 15440, industri kue-kue basah 15498 dan industri kerupuk dan sejenisnya 15496 dan 15497. Industri lanjutan lainnyaindustri komplemen, yang kaitannya sangat jauh dengan padi, diantaranya adalah industri pulp, berbagai jenis industri kertas dan lain-lain Gambar 14. Secara umum, pada kelompok industri beras dan industri makanan lainnya, sebagian besar industri ini tidak mengandung bahan input impor. Dan hampir seluruh kepemilikan industri ini 99 dikuasai oleh usahawan domestik, hanya sebesar satu persen yang dimiliki oleh investor asing, yaitu pada industri makaroni, mie dan bihun 15440. Untuk deskripsi masing-masing kelompok industri beras dan arahan pengembangannya diuraikan sebagai berikut:

a. Industri Penggilingan Padi dan Penyosohan Beras 15311

Data statistik industri menginformasikan bahwa realisasi produksi industri beras masih di bawah kapasitas terpasang perusahaan. Pada industri penggilingan padi dan penyosohan beras 15311, misalnya, rata-rata realisasinya baru mencapai 70 persen dari kapasitas terpasang industri. Dilaporkan bahwa terdapat banyak industri yang beroperasi di bawah kapasitas normalnya terlalu kecil sehingga informasi kapasitas real industri-industri tersebut dikosongkan. Suatu industri akan lebih optimal jika beroperasi pada kapasitas produksi yang tidak berbeda jauh dari kapasitas terpasangnya, sehingga biaya yang telah terlanjur dikeluarkan sunk cost dan biaya operasional yang dikeluarkan, dapat diimbangi dengan penerimaan terbesar yang dapat diperoleh dari kegiatan usahanya. Dengan perbaikan teknologi dan memperhatikan aspek kesesuaian lahan serta pengelolaan lahan, produktivitas padi yang selama ini masih di bawah produktivitas optimal dapat ditingkatkan, sehingga dapat memberi pasokan lebih baik untuk konsumsi pangan daerah maupun sebagai input sektor industri penggilingan padi. Selain itu, kekurangan input bahan baku padi industri penggilingan padi di tempat pemusatan dapat dipenuhi dari kabupaten tetangga penghasil padi yang pada wilayahnya tidak terdapat industri tersebut. Dengan demikian, antarwilayah dan antarsektor di Jawa Barat dapat terjalin kerja sama yang saling memperkokoh dan saling menguntungkan. Hubungan antarsektoral dan antarwilayah dari industri beras tersebut dapat dilihat pada Peta Pemusatan Padi, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat Gambar 29. Industri penggilingan padi dan penyosohan beras 15311 tersebar di beberapa kabupaten pusat produksi bahan bakunya padi, yaitu kabupaten Karawang, Subang, Indramayu dan Bekasi, yang juga merupakan pusat padi sawah. Selain itu juga berada di kabupaten Cianjur dan Sumedang, yang merupakan pusat padi ladang. Hanya saja pemusatan industri ini terkonsentrasi di kabupaten Karawang dan Bekasi. Tingkat serapan tenaga kerja industri ini termasuk rendah, yaitu sebesar 6 orang per 1 juta rupiah satuan output yang dihasilkan. Industri lainnya, yaitu industri penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya 15312, hanya terdapat di Sumedang dengan serapan tenaga kerja sebesar 6 orang per 1 juta rupiah satuan output yang dihasilkan. Industri ini murni bergerak di bidang jasa dan tidak menghasilkan output sendiri. Kabupaten pusat padi yang bukan merupakan pusat industri penggilingan padi, dapat menggunakan jasa penggilingan ataupun memberikan pasokan input untuk industri penggilingan dan penyosohan beras tersebut, sehingga industri-industri penggilingan tersebut juga dapat beroperasi optimal sesuai kapasitas terpasangnya. Secara umum, kabupaten di bagian timur Jawa Barat dapat menggunakan jasa penggilingan atau memberikan produk padinya untuk bahan baku industri penggilingan di Sumedang, sedangkan wilayah sentra padi bagian timur mengirimkannya ke industri penggilingan di kabupaten Karawang dan Bekasi.

b. Industri Tepung

Pada kelompok industri berbagai macam tepung dari padi-padian, biji- bijian, kacang-kacangan, dan umbi-umbian 15322, ternyata tidak ditemui industri yang menggunakan bahan baku dari padi atau beras. Di tempat pemusatan industri ini, yaitu di Kabupaten Kuningan, dihasilkan produk frozen sweet potato dan pasta ubi, yang tidak menggunakan bahan baku padiberas. Di kabupaten lainnya, industri tepung berada di Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang, dengan jenis produksi utamanya masing-masing adalah tepung hunkwe dan aci kasar. Dari informasi ini dapat diketahui bahwa di Jawa Barat belum ada industri skala menengah atau besar yang bergerak di bidang tepung beras. Dimungkinkan industri tersebut terdapat pada skala usaha kecil untuk memenuhi kebutuhan konsumen lokal di Jawa Barat. Kemungkinan lainnya bahwa produk tepung beras ini merupakan produk diversifikasi industri lainnya seperti kelompok industri 15440: mie, bihun atau so’un yang bukan merupakan produk utamanya, sehingga tidak masuk ke dalam klasifikasi industri tepung ini. Dapat pula kebutuhan tepung beras tersebut didatangkan dari luar Provinsi Jawa Barat. Tidak tersedianya industri tepung beras sebagai produk utama dalam skala usaha menengah-besar menjadi peluang program pengembangan di Jawa Barat. Jika mengacu pada jumlah produksi beras yang cukup besar di Jawa Barat, dimungkinkan industri ini cukup potensial untuk dikembangkan, terutama jika kepemilikannya dapat dikuasai oleh kelembagaan kelompok petani kecil. Informasi pada bagan pohon industri, yang menunjukkan bahwa pada industri ini terdapat kepemilikan asing dengan persentase rata-rata sebesar 33 persen, sebenarnya menunjuk pada industri frozen sweet potato dan pasta ubi di Kabupaten Kuningan. Begitu pula dengan informasi persentase ekspor yang cukup tinggi 66 . Industri yang memiliki segmentasi pasar yang besar ini hanya menunjuk pada satu industri frozen sweet potato dan pasta ubi tersebut. Sementara industri tepung di kabupaten lainnya, nilai outputnya jauh berada di bawah nilai output industri pasta ubi tersebut dan kepemilikannya dikuasai oleh usahawan lokal. Serapan tenaga kerja rata-rata industri tepung tidak cukup besar, yaitu 29 pekerja untuk setiap satu juta rupiah nilai output. Informasi besarnya kepemilikan asing dan adanya input impor pada bagan pohon industri, yang akan menggugurkan keunggulan industri tepung beras, tidak dapat digunakan pada analisis ini dan perlu kajian lebih lanjut untuk itu. Tetapi diduga bahwa industri ini dapat dikembangkan tanpa menggunakan input impor dan kepemilikannya diupayakan agar dimiliki oleh gabungan kelompok petani yang tersebar di lokasi penghasil padi. Apabila kualitas dan ketersediaan bahan baku industri tepung beras dapat dipenuhi oleh wilayah penghasil padi, seharusnya tidak ada impor bahan baku yang besar untuk itu.

c. Industri Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, Soun dan Sejenisnya 15440

Industri makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 15440 tersebar di banyak kabupaten, tetapi pemusatan kelompok industri ini terkonsentrasi di kabupaten Bekasi, Karawang, Bogor dan Bandung. Dari kelompok industri 15440, industri yang khusus memproduksi bihun, yang bahan bakunya berasal dari beras, terpusat di kabupaten Subang dan Cirebon. Tercatat bahwa realisasi produksi industri sebesar 78 persen dari kapasitas terpasangnya, walaupun masih banyak industri yang memiliki kapasitas yang rendah. Sementara tingkat serapan tenaga kerjanya cukup besar, yaitu 71 pekerja untuk setiap satu juta nilai output. Di Jawa Barat telah berdiri 12 industri bihun. Sebagaimana jenis industri beras lainnya yang disebut sebelumnya, industri ini diidentifikasi sebagai industri unggulan Jawa Barat. Kepemilikan asing sebesar 1 persen dianggap cukup rendah atau kecenderungan industri ini dikuasai oleh pemilik domestik. Kelebihan industri ini dibandingkan dengan industri beras lainnya adalah pada serapan tenaga kerjanya yang cukup besar. Pengembangan industri ini diharapkan juga dapat menampung kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian primer, yang kebanyakan berstatus sebagai setengah pengangguran. Dengan demikian, seluruh jenis industri beras telah teridentifikasi sebagai sektor unggulan dengan kriteria unggulannya masing-masing. Industri Hilir Lanjutan dan Industri Hulu Sektor Padi Industri-industri hilir yang jauh kaitannya dengan sektor padi, terpusat di kabupatenkota industri atau jasa, yaitu di Bandung, Bekasi, Bogor, Karawang, Kota Bekasi. Industri-industri tersebut adalah industri pulp 21011, industri kertas budaya, industri kertas berharga 21014, industri kertas teknikindustri 21015, industri kertas tissue, industri kertas lainnya, industri kemasan dan kotak 21020 dan industri kemasan lain 21090. Seluruh industri hilir tersebut memiliki kandungan input impor dan sebagian dimiliki oleh investor asing. Bahkan industri hulu dari padi memiliki kandungan input impor yang lebih tinggi, seperti kelompok industri pupuk, industri kimia dan industri pemberantas hama. Aplikasi Keunggulan Industri Unggulan Disesuaikan dengan Permasalahan Wilayah Pengembangan industri unggulan, terutama yang terkait dekat dengan padi, disarankan untuk dapat dikembangkan di pusat-pusat budidaya padi yang memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Dengan adanya industri olahan beras yang kepemilikannya berada di pihak para petani, diharapkan dapat memberikan efek peningkatan nilai tambah dan memperbaiki pendapatan yang mereka peroleh. Kemungkinan pengembangan sektor padi dan industri beras di Jawa Barat dapat dilihat pada Peta Pemusatan Padi, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat yang disajikan pada Gambar 29. Kabupaten yang teridentifikasi memiliki tingkat kesejahteraan rendah adalah kabupaten Cianjur, Garut, Cirebon dan Indramayu. Keempat kabupaten tersebut memiliki jumlah penduduk miskin lebih dari 15 persen dari total penduduk di masing-masing kabupaten tersebut. Angka IKM 2003 kabupaten tersebut masuk ke dalam kelas Menengah Atas simbol MA, kecuali Cirebon. Dari angka IPM-nya pada tahun 2005, IPM kabupaten Cirebon dan Indramayu tidak mengalami perubahan kelas kelompok dari kodisi tahun 2003, sebagaimana kabupaten lainnya, yaitu tetap pada kelas Menengah Rendah. Pada kabupaten dengan kesejahteraan rendah tersebut, terpusat produksi padi ladang atau padi sawah dan telah dikenal dengan produksi berasnya. Tetapi ternyata pada kabupaten tersebut tidak ditemui pemusatan industri pengolahan beras primer. Kalaupun terdapat jenis industri tersebut, nilai outputnya berada di bawah rata-rata bukan pemusatan, seperti di kabupaten Cianjur dan Indramayu. Di Indramayu, hanya terdapat satu industri penggilingan padi dan penyosohan beras 15311, dengan skala usaha menengah tetapi nilai outputnya masih berada di bawah rata-rata provinsi. Sementara di kabupaten Cianjur terdapat 6 industri yang sama, namun dengan nilai output yang kecil-kecil. Bahkan pada kedua kabupaten lainnya, yaitu kabupaten Cirebon dan Garut, tidak terdapat satu pun industri olahan primer yang terkait dekat dengan sektor padi. Padahal kedua kabupaten ini memiliki produksi padi sawah di atas rata-rata provinsi. Dimungkinkan hanya terdapat industri kecil yang dapat melayani kebutuhan penanganan padi hingga menjadi beras. Kemungkinan lain bahwa produksi padi dari kedua kabupaten ini apabila dalam jumlah besar, dibersihkan atau diolah di kabupaten tetangganya yang terdekat. Dari Peta Pemusatan padi, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat dan Tabel 53, dapat dilihat potensi keterkaitan wilayah, yaitu antara sumber bahan baku pemusatan padi dengan industri olahan primer, industri olahan pangan antara, industri komplemen dan industri hulunya. Kebutuhan akan jasa pengilingan dan pembersihan jenis padi-padian dalam skala besar di Garut dapat dipenuhi oleh industri penggilingan tersebut 15312 yang berada di Kabupaten Sumedang. Sedangkan produksi padi di Kabupaten Cirebon dalam skala besar dapat dilayani oleh industri di Kabupaten Indramayu, yang merupakan kabupaten tetangga terdekat dan memiliki industri penggilingan tersebut. 166 Gambar 29 Peta pemusatan padi, industri kaitannya dan tingkat kesejahteraan di Jawa Barat. 167 Tabel 53 Pemusatan padi dan industri utama kaitannya di Jawa Barat Kabupatenkota Pusat Padi: Swh 1 Ldg 2 Pusat Ind. Hulu: Pupuk 24121 1, 24123 2; dan Pemberantas hama 24212 3 Pusat Ind Olahan Primer Ind Beras 15311 1, 15312 2, 15322 3 Pusat Ind Olahan Lanjutan 15440 1, 15496 2, 15498 3 Pusat Ind. Lanjutan Lain 21011 1, 21012 2, 21014 3, 21015 4, 21016 5, 21019 6, 21020 7, 21090 8 Tingkat Kesejahtera an Tingkat Pengangguran Indeks Gini BANDUNG 2 2 4.5 MR T 0.61 BEKASI 1 1 1 1,4,7,8 T 0.6 BOGOR 3 1.2 6.8 MR T 0.57 CIAMIS 2 MR 0.76 CIANJUR 2 1 R 0.72 CIREBON 1 1, 2 R 0.64 GARUT 2 2.3 R 0.69 INDRAMAYU 1 2 R 0.73 KARAWANG 1 1 2 2,3,5,6 MR T 0.66 Kt. BANDUNG 1 2 T T - Kt. BANJAR MR T 0.74 Kt. BEKASI 1 2.3 6,7,8 T T - Kt. BOGOR T T 0.28 Kt. CIMAHI 2 MR T - Kt. CIREBON 1 T - Kt. DEPOK 2 T T 0.33 Kt. SUKABUMI 1 T T 0.48 Kt. TASIKMALAYA MR T 0.56 KUNINGAN 12 3 MR 0.74 MAJALENGKA 1 MR 0.73 PURWAKARTA 2 2 7 MR 0.69 SUBANG 1 1 4 MR 0.69 SUKABUMI 2 MR 0.69 SUMEDANG 2 2 MR 0.74 TASIKMALAYA MR 0.68 Keterangan: 15311 =ind. penggilingan penyosohan padi, 15312=penggilingan pbersihan padi lainnya, 15322=ind tepung pasta ubi 15440 = khusus bihun, 15496=kerupuk, 15498= kue basah, 21011 = pulp dan 21012 dst= berbagai ind kertas kemasan R = Rendah, MR = Menengah Rendah, T= Tinggi Walaupun Indramayu bukan tempat pemusatan industri ini dan hanya terdapat satu industri, tetapi industri tersebut memiliki nilai output yang cukup besar dibandingkan kabupaten lain yang tersebar dengan skala usaha yang relatif lebih rendah. Dari Peta Pemusatan Padi, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat Gambar 38 serta dari Tabel 53, dapat dilihat bahwa pada keempat kabupaten dengan kesejahteraan rendah warna coklat, hanya terpusat jenis industri olahan lanjutan, yaitu industri kerupuk 15496 dan industri bihunso’un 15440. Padahal industri ini mencakup banyak jenis kerupuk, yang belum tentu dibuat dari bahan baku padi atau produk olahannya tidak ada informasi detil. Tidak adanya industri olahan padi primer skala menengah atau besar di kabupaten Cirebon dan Garut menjadi peluang bagi petani untuk melakukan diversifikasi usaha ke arah hilir. Begitu pula dengan industri olahan lanjutan, seperti kerupuk rangginang, opak, industri kue basah dodol dan industri terkait lainnya yang berbahan baku beras, disarankan untuk dikembangkan di kabupaten tersebut, karena selain memberikan peningkatan nilai tambah, kepemilikannya juga relatif lebih mudah dikuasai petani. Hal yang sama dengan industri hilir lainnya, yang memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar, diusahakan agar petani dapat turut menguasai industri tersebut, selain upaya besar untuk meperbaiki teknologi di bidang pertanian. Pendirian atau pengembangan industri pertanian yang dikuasai investor besar di wilayah basis bahan baku, tidak akan memberi dampak berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, disebabkan nilai tambah yang tercipta hanya terkumpul pada beberapa pemodal besar saja. Industri padat karya yang dimiliki segelintir pengusaha besar, hanya memberikan sebagian kecil cipratan kesejahteraan berupa upah buruh yang rendah dan tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan keahliannya. Berbeda halnya jika petani diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya, berekspektasi lebih tinggi dan memiliki keahlian di bidang pertanian, maka selain akan meningkatkan kesejahteraan mereka, juga akan meningkatkan keahlian petani dan memberikan kegairahan usaha di sektor pertanian primer yang selama ini dianggap sebagai sektor inferior. Dari serapan tenaga kerjanya, industri olahan primer padi bukan tergolong industri yang dapat menyerap tenaga kerja yang besar. Serapan tenaga kerja industri penggilingan padi dan penyosohan beras 15311 di Cianjur rata-rata sebesar 17 pekerja per 1 juta rupiah nilai output. Sementara di Indramayu, yang memiliki nilai output yang jauh lebih besar, serapan tenaga kerjanya hanya 2 pekerja per 1 juta rupiah nilai output. Atau dapat dikatakan setiap dihasilkan output senilai 1 juta rupiah output hanya dibutuhkan 2 orang. Ini menunjukkan bahwa industri yang tersebar di Cianjur lebih bersifat padat karya dibandingkan dengan jenis industri yang sama di Indramayu. Namun keempat kabupaten yang telah diuraikan, tidak tergolong memiliki tingkat pengangguran terbuka yang tinggi. Masalah pada kabupaten-kabupaten tersebut lebih pada aspek kemiskinan atau pendapatan yang rendah, sehingga penekannya lebih pada industri yang dapat memberikan pelipatgandaan pendapatan yang tinggi. Sehingga sekalipun industri- industri tersebut teridentifikasi memiliki serapan tenaga kerja rendah, apabila mampu memberikan pelipatgandaan pendapatan yang tinggi, pengembangannya masih relevan dalam upaya mengurangi kemiskinan di daerah tersebut. Pada tahap awal perbaikan program pembangunan, industri olahan antara merupakan pilihan yang cukup baik untuk peningkatan nilai tambah petani. Selain tidak membutuhkan biaya modal tetap yang tinggi seperti industri olahan primer padi, sebagian jenis industri olahan antara memiliki daya serap tenaga kerja yang cukup besar. Industri-industri tersebut meliputi industri bihun dan sohun 15440, industri kerupuk 15496 dan industri kue basah 15498 yang terbuat dari beras atau tepung berasketan. Industri kue basah seperti dodol, tersebar cukup banyak 20 industri di Garut dengan serapan tenaga kerja yang cukup tinggi di kabupaten tersebut, yaitu 71 per 1 juta nilai output. Masing-masing tingkat serapan tenaga kerja rata-rata untuk industri kode 15440, 15496 dan 15498 di Jawa Barat secara berturut-turut adalah 71, 48 dan 74 pekerja untuk setiap 1 juta nilai output. Walaupun di kabupaten keempat kabupaten yang tengah dibahas tidak teridentifikasi memiliki tingkat pengangguran yang tinggi, tapi sebagaimana permasalahan di wilayah pertanian pada umumnya, bahwa tingkat pengangguran terbuka yang rendah diikuti dengan tingkat setengah pengangguran yang tinggi. Dengan demikian, pengembangan industri yang memiliki kedua kriteria unggulan ini dampaknya akan jauh lebih besar pada wilayah tersebut. Keberadaan industri yang bersifat padat karya dapat menampung kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian. Berbeda dengan kabupaten pertanian yang dibahas sebelumnya, Kabupaten Karawang kabupaten industri walaupun memiliki permasalahan yang mirip dalam tingkat kesejahteraan menengah rendah dengan kabupaten Cirebon dan Garut, tetapi sangat berbeda dalam ketersediaankeberadaan industri yang terkait dengan sektor padi. Kesejahteraan rata-rata Kabupaten Karawang tidak menunjukkan kenaikan yang berarti. Jumlah penduduk miskinnya sebesar 13.28 persen dari penduduk totalnya, masih berada di atas persentase rata-rata penduduk miskin tingkat provinsi dan dengan tingkat pengangguran tinggi. Nilai IPM-nya tetap pada kelas Menengah Rendah pada tahun 2005. Tetapi pada kabupaten ini, tersebar industri olahan padi, baik yang masih dekat kaitannya dengan sektor padi, maupun industri lanjutannya. Industri yang terkait dekat dengan sektor padi yang berada di Karawang adalah industri penggilingan penyosohan beras 15311 dan industri kerupuk 15496. Hanya saja sebagaimana yang telah disinggung bahwa serapan tenaga kerja industri penggilingan padi tidak cukup besar 12 pekerja, sementara pada industri kerupuk serapan tenaga kerjanya lebih besar, yaitu 33 pekerja, terutama tenaga kerja produksinya, dengan komposisi jumlah pekerja produksi dan pekerja nonproduksi adalah 9 : 1. Pengembangan industri kerupuk yang memiliki serapan tenaga kerja sedang, masih memungkinkan dikembangkan di Kabupaten Karawang yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Industri-industri yang jauh kaitannya dengan sektor padi justru banyak yang terpusat di kabupaten ini, namun dengan serapan tenaga kerja yang rendah dan terdapat muatan input impor. Sehingga dengan sasaran pembangunan yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pengangguran, maka penambahan industri seperti ini tidak disarankan. Industri-industri tersebut adalah industri kertas budaya 21012, industri kertas berharga dan kertas khusus lainnya 21014, industri kertas tissue 21016, industri kertas lainnya 21019. Keempat industri ini tidak terdapat kepemilikan asing, namun memiliki kandungan input impor pada bahan bakunya, yaitu masing-masing 12 , 16 , 12 dan 20 dan dengan serapan tenaga kerja yang rendah, yaitu masing-masing 20, 2, 6 dan 7 pekerja per 1 juta rupiah nilai output. Permasalahan pengangguran yang cukup tinggi di kabupaten ini sulit untuk dipecahkan dengan keberadaan industri lanjutan ini. Ketergantungan akan bahan baku impor tersebut akan menyebabkan perekonomian yang goyah, akibat sangat sulitnya mengontrol atau mengendalikan faktor-faktor eksternal. Dari aspek penguasaan lahannya, kabupaten yang memiliki angka indeks gini yang relatif tinggi akan lebih mudah untuk pengelolaannya. Hal itu disebabkan pada wilayah tersebut Kuningan, Majalengka, kota Banjar dan Indramayu, proporsi jumlah rumah tangga petani yang menguasai lahan dengan skala luasan menengah 1 000 – 4 999 m2 merupakan yang terbesar diantara luasan lahan lainnya. Bahkan pada kabupaten-kabupaten tersebut, kecuali Indramayu, luasan lahan pada skala itu merupakan yang terbesar diantara kabupatenkota lainnya Tabel 47, yaitu mencapai 56 – 61 persen. Sedangkan proporsi jumlah rumah tangga petani yang menguasai lahan dengan skala luasan sempit 100 – 999 m2 hanya sebesar 17 - 23 persen. Dengan informasi ini dapat diduga bahwa di wilayah tersebut sudah banyak usahatani padi yang telah memenuhi skala ekonomis sehingga intervensi pemerintah atau program pembangunan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas hasil panen dapat lebih mudah diterapkan. Sedangkan pada kabupatenkota dengan angka indeks yang relatif lebih rendah, seperti kabupaten Bekasi, Cirebon, Karawang, kota Sukabumi, kota Tasikmalaya, bentuk intervensi pemerintah adalah untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan mereka melalui penyatuan manajemen usaha agar diperoleh skala usaha ekonomis serta mampu memperluas usaha ke arah hilirnya. Pada kabupatenkota dengan indeks yang rendah ini, proporsi jumlah rumah tangga petani yang menguasai lahan dengan skala luasan menengah 1.000 – 4.999 m2 lebih rendah dibandingkan kabupatenkota dengan indeks gini tinggi, yaitu sekitar 33 – 49 persen. Sebaliknya pada wilayah ini proporsi jumlah rumah tangga petani yang menguasai lahan sempit 100 – 999 m2 justru sangat tinggi. Hasil analisis kesenjangan penguasaan lahan ini masih bersifat dugaan dan perlu klarifikasi lebih detil, disebabkan informasi lahan pada data yang tersedia adalah informasi lahan yang tanpa membedakan jenis penggunaannya. Terdapat kemungkinan lahan tersebut tidak seluruhnya merupakan lahan pertanian atau tidak seluruh lahan pertanian merupakan usahatani padi.

2. Unggas