Mengidentifikasi Sektor Unggulan Sesuai Tujuan Pembangunan a. Tujuan I: Arahan Pengembangan Padi

24 Tujuan Metoda Analisis Jenis Data Output Sumber Data 1. Mengukur Kinerja Pembangunan Wilayah a. Pembangunan Ekonomi LQ, SSA, Pertumbuhan PDRB, Kontribusi Pertumbuhan PDRB Laju Pertumbuhan; Kontribusi Pertumbuhan PDRB b. Pembangunan Kesejahteraan Manusia Indeks Williamson, Gini Ratio, Tk.Pengangguran, Jml Penduduk Miskin, IKM, IPM, IPJ, IDJ Peta Sektor Basis Kompetitif; Indikator Kinerja Pembangunan Kesenjangan Wlyh Kesenjangan Pendapatan, Tingkat Pengangguran, Tk. Kemiskinan, dll Peta Perkembangan IKM IPM; c. Keterkaitan antara Pemb. Ekonomi dgn Pemb. Manusia d. Indikator pembangunan lain PCA Gini Ratio Penguasaan Lahan 1. PDRB kabupaten th 2004 2. PDRB per kabupaten 2000- 2005 atas dsr harga konstan th 2000 PDRB kab 2000-2004, jml penduduk kab 2000-2005 Data konsumsi pend kab 2005 Pend menganggurmencari kerjaangktn kerja 2000-2005 Jml penddk miskin 2004 Komponen indikator pembangunan manusia 2002, 2003, 2005 Hasil analisis Pembangunan Ekonomi 1a dan Pembangunan Manusia 1b Jumlah Rumah Tangga Pertanian per Golongan Luas Lahan 2004 Keterkaitan Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Manusia Kesenjangan Penguasaan Lahan Fragmentasi Lahan BPS Jakarta, BPS Bapeda Jabar BPS Jakarta; BPS Bapeda Jabar; BPS, Bappenas, UNDP Jakarta; Bapeda Jabar

2. Mengidentifikasi Sektor Unggulan Sesuai Tujuan Pembangunan a. Tujuan I:

Pemerataan b. Tujuan II: Pertumbuhan Tinggi dan Stabil Anl. I-O, Anl. Spasial, Anl. LQ, SSA, Anl. Pohon Industri Hasil Anl. Kinerja Pembangunan - PDRB provinsi PDB Nas 2001 2004 - Tabel I-O Prov. Jabar Klsfks 9 x 9 dan 86 x 86 sektor dan - Bagan Pohon Industri c. Tujuan III: Keberlanjutan - Anl. LQ, - Indeks Pemusatan industri, - Anl. Spasial: Konsistensi overlay, pemanfaatan data atribut peta Produksi kmdt pertanian; Database Industri Besar Sedang 2004; Peta Landsystem RTRW 2003 -2010 Landuse 2005 Adm Jabar skala 1:250.000; dan Peta RTRW 2001 Landuse 2006 Adm Kab. Sukabumi skala 1:100 000. Sektor unggulan sesuai Tujuan I Sektor unggulan sesuai Tujuan II Sektor unggulan sesuai Tujuan III; Konsistensi Pemanfaatan Lahan Sektor Unggulan; Peta Kesesuaian Sektor Unggulan BPS Bapeda Jabar, Bapeda Sukabumi, Dinas Lingkup Pertanian, LIPI, Departemen Pertanian

3. Arahan Pengembangan

Sektor Unggulan Anl. Deskriptif Sintesis hasil anl. Kinerja Pembangunan, Sektor Unggulan Konsistensi RTRW Hasil output analisis - Karakteristik unggulan disesuaikan permasalahan; - Peta Pemusatan Sektor Pertanian Primer Unggulan Industri Kaitannya BPS Bapeda Jabar, BPS Jakarta

4. Arahan Pembangunan

umum untuk Peningkatan Kinerja Anl. Deskriptif Hasil output analisis Arahan Umum untuk Peningkatan Kinerja Pembangunan Wilayah Tabel 1 Tujuan, metoda analisis, jenis data, output dan sumber data 25 Tabel I-O 9 x 9 sektor Sektor Unggulan dari 9 sektor 1. Tabel I-O Klasfks 86 x 86 sektor Anl.Input-Output Sektor Unggulan dari 86 sektor Variabel Indikator Kinerja Pem- bangunan Anl. Kinerja Pemb. Ekonomi Kontrib Pertumbuhan, dll Anl.Kinerja Pemb. Kesejahteraan Manusia IPM, IKM, dll PCA Anl.Input-Output 1. Hasil Anl I-O 86 sektor 2. Database Statistik Industri 3. Bagan Pohon Industri 5. Statsitik Pertanian 1. Peta RTRW 2. Peta Landuse 3. Peta Landsystem 3. Peta Adm Arahan Pengembangan Sektor Unggulan Analisis Spasial Bagan Pohon Industri Sektor Unggulan sejalan tujuan pembangunan Peta Pemusatan Pertanian Unggulan tingkat Kesejahteraan Kinerja Pemb Hubungan Pemb Eknm Pemb. Manusia Gambar 2 Kerangka pendekatan penelitian. 26 Metoda Analisis Analisis Keunggulan Komparatif Wilayah Location Quotient Analysis dan Indeks Pemusatan Sektor Unggulan Location Quotient merupakan metode analisis yang umum digunakan di bidang ekonomi geografi, walaupun sering juga digunakan di bidang ilmu yang lain. Menurut Riyadi dan Bratakusumah 2004, Location Quotient Analysis merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui gambaran umum mengenai kemampuan sektor-sektor pembangunan di suatu wilayah dalam mendukung proses pembangunan di daerahnya. Metode ini dilakukan dengan membandingkan kemampuan sektor-sektor pembangunan dalam suatu daerah atau wilayah dengan kondisi sektor - sektor pembangunan yang ada di daerah yang lebih luas. Location Quotient Analysis menurut Blakely 1994 didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktivitas pada subwilayah ke-i terhadap persentase aktivitas total wilayah yang diamati. Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatanbasis aktifitas. Disamping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barangjasa dari produksi lokal suatu wilayah. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah: 1 kondisi geografis relatif seragam; 2 pola-pola aktivitas bersifat seragam; 3 setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Rumus matematis dari analisis pembagian lokasi adalah sebagai berikut Saefulhakim 2004: IJ IJ I J LQ X X X X = . . .. dimana: X ij : derajat aktifitas sektor ke-j di wilayah kabupaten ke-i X i. : total aktifitas sektor di wilayah kabupaten ke-i X .j : total aktifitas sektor ke-j di semua wilayah provinsi X .. : derajat aktifitas sektor total wilayah provinsi Interpretasi dari hasil analisis pembagian lokasi tersebut adalah sebagai berikut : ƒ Jika nilai LQij 1, maka kondisi tersebut menunjukkan terjadinya 27 konsentrasi suatu sektor ekonomi di kabupaten ke-i secara relatif dibandingkan dengan tingkat provinsi atau dapat dikatakan terjadi pemusatan aktivitas sektor ekonomi tertentu di kabupaten ke-i. ƒ Jika nilai LQij = 1, maka kabupaten ke-i tersebut mempunyai pangsa aktivitas sektor ekonomi yang setara dengan pangsa totalseluruh sektor ekonomi atau dengan kata lain konsentrasi sektor di kabupaten ke-i sama dengan rata-rata total provinsi. ƒ Jika nilai LQij 1, maka kabupaten ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah provinsi. Dalam penelitian ini, analisis LQ digunakan untuk menentukan: 1 sektor basis di masing-masing kabupatenkota, 2 sektor basis provinsi dari 9 sektor ekonomi utama di Jawa Barat dan 3 lokasi pemusatan sektor unggulan. Tujuan analisis sektor basis di masing-masing kabupatenkota adalah untuk mengelompokan kabupatenkota di Jawa Barat ke dalam 4 kelompok kabupatenkota utama, yaitu kelompok kabupatenkota pertanian, industri, jasa dan pertambangan. Data yang digunakan adalah data PDRB kabupatenkota dan data PDRB provinsi menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2004. Analisis sektor basis dari 9 sektor ekonomi merupakan salah satu kriteria untuk penentuan sektor unggulan secara makro dari 9 sektor ekonomi utama di Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data PDRB 9 sektor ekonomi tingkat provinsi tahun 2004 dan data PDB 9 sektor ekonomi tingkat nasional tahun 2004. Penggunaan data PDRB tahun 2004 dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa data pada tahun tersebut merupakan angka-tetap, dimana peluang terjadinya perubahan relatif kecil. Kalaupun terjadi perubahan, maka nilainya tidak akan jauh berbeda secara signifikan. Data ini dipertimbangkan sebagai data yang memuat angka-tetap terbaru, disebabkan data PDRB tahun 2005 atau tahun 2006 masih merupakan angka sementara dan sangat sementara yang masih akan dikoreksi dan memungkinkan mengalami perubahan. Pertimbangan kedua adalah keterbatasan ketersediaan Tabel Input-Output publikasi terbaru, yang akan dikaitkan dengan analisis lainnya untuk penentuan sektor unggulan. Tabel Input-Output terakhir yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Jawa Barat publikasi tahun 2005 adalah data 28 transaksi I-O tahun 2003. Dengan demikian, Tabel Input-Output provinsi Jawa Barat tahun 2003 dianggap masih relevan jika dikaitkan dengan data PDRB tahun 2004. Hal tersebut diperkuat dengan pola trend PDRB yang tidak mengalami perubahan dari tahun 2003 ke tahun 2004, sementara nilai PDRB kedua tahun tersebut, tidak menunjukkan perubahan yang berbeda jauh Lampiran 1. Sedangkan analisis lokasi pemusatan sektor unggulan dilakukan untuk mendukung analisis keterkaitan antarsektor dan antarwilayah dari masing-masing sektor unggulan di lokasi pemusatannya. Lokasi pemusatan pertanian primer diperoleh dari data dasar produksi pertanian primer unggulan. Sedangkan untuk lokasi pemusatan sektor kaitannya industri unggulan ditetapkan dengan indeks nilai output sektor unggulan tersebut. Nilai indeks lebih dari satu dari suatu sektor unggulan di suatu kabupaten menunjukkan bahwa di kabupaten tersebut terpusat aktivitas sektor unggulan itu. Data yang digunakan untuk menghasilkan lokasi pemusatan pertanian primer adalah jumlah produksi komoditi pertanian unggulan kabupatenkota tahun 2004, yang bersumber dari Bapeda Jawa Barat dan Dinas lingkup pertanian Provinsi Jawa Barat. Sedangkan identifikasi lokasi pemusatan industri unggulan menggunakan database statistik industri sedang dan besar Jawa Barat tahun 2004. Analisis Keunggulan Kompetitif Shift-Share Analysis Shift-share analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi dengan cakupan wilayah lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi competitiveness aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah lebih luas Saefulhakim 2004. Gambaran kinerja aktivitas di suatu wilayah dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu: 1 Komponen Laju Pertumbuhan Total share component. Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. 29 2 Komponen Pergeseran Proporsional proportional shift component. Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor atau aktivitas total dalam wilayah. 3 Komponen Pergeseran Diferensial differential shift component. Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi competitiveness suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan maupun ketakunggulan suatu sektor atau aktivitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di subwilayah lain. Dalam analisis penentuan sektor kopetitif di tingkat kabupaten dan provinsi, komponen pergeseran diferensial inilah yang digunakan. Data yang digunakan untuk analisis SSA tingkat kabupaten adalah data PDRB 9 sektor ekonomi tingkat kabupatenkota dan tingkat provinsi atas dasar harga konstan tahun 2000 pada dua titik waktu, yaitu tahun 2001 dan tahun 2004. Untuk analisis yang sama pada tingkat provinsi, digunakan data PDRB tingkat provinsi Jawa Barat dan PDB tingkat nasional dari 9 sektor ekonomi utama pada dua titik waktu yang sama. Data tersebut bersumber dari BPS Pusat Jakarta. Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut Saefulhakim 2004: SSA =         − +         − +         − X X X X X X X X X X t i t i t ij t ij t t t i t i t t 1 1 1 1 1 .. .. .. .. 1 Keterangan dari komponen analisis SSA tingkat kabupatenkota adalah: a = share component b = proportional shift component c = differential shift component, dan X.. = Nilai total seluruh sektor ekonomi di tingkat provinsi X .i = Nilai total sektor ekonomi ke-i di tingkat provinsi Xij = Nilai sektor ekonomi ke-i di kabupaten ke-j t l = titik tahun akhir t = titik tahun awal 30 Analisis Kinerja Pembangunan Pertumbuhan PDRB Antarwilayah Perkembangan perekonomian yang baik diindikasikan dengan angka pertumbuhan PDRB yang positif dan cenderung naik dari tahun ke tahun. Dalam analisis pertumbuhan PDRB antarwilayah di Provinsi Jawa Barat digunakan data PDRB kabupatenkota atas dasar harga konstan tahun 2000 periode tahun 2000 – 2005 untuk memperoleh laju pertumbuhan PDRB tahun 2001-2005. Analisis Kontribusi Sektor Perekonomian Kontribusi masing-masing sektor perekonomian wilayah dapat dianalisis dengan pendekatan rumus sebagai berikut Dermoredjo 2001: PDRB prov = PDRB kab_1 +.....+ PDRB kab_n ∆ PDRB prov PDRB prov = PDRB kab_1 PDRB prov ∆PDRB prov PDRB prov + ... + PDRB kab_n PDRB prov ∆PDRB prov PDRB prov Sehingga jika : Trend prov = ∆ PDRB prov PDRB prov Share kab_1 = ∆PDRB kab_1 PDRB prov maka Trend prov = Share kab_1 . Trend prov + ... + Share kab_n . Trend prov Perkembangan trend PDRB Provinsi Jawa Barat terbentuk dari kontribusi trend masing-masing kabupaten di dalamnya pada periode tertentu. Oleh karena itu, analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing- masing kabupatenkota dalam membentuk trend PDRB provinsi. Analisis ini dimaksudkan untuk melengkapi analisis laju pertumbuhan PDRB, yang hanya melihat trend masing-masing kabupaten tanpa mengaitkannya dengan sumbangan dari masing-masing kabupaten tersebut. Data yang digunakan adalah PDRB kabupatenkota dan provinsi Jawa Barat menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2000 - 2005. 31 Analisis Tingkat Pengangguran Indikator tingkat pengangguran yang digunakan dalam analisis adalah tingkat pegangguran terbuka. BPS mendefinisikan pengangguran terbuka sebagai bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja, atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran terbuka kabupatenkota di Jawa Barat dihitung dengan metoda perhitungan dari BPS adalah sebagai berikut: 100 , , , ⋅ = t i t i t i AK PdkM TP di mana: TP i,t : Tingkat pengangguran kabupaten i pada tahun berjalan PdkM i,t : Penduduk menganggurmencari kerja kabupaten i pada tahun berjalan jiwa AK i,t : Angkatan kerja kabupaten i pada tahun berjalan jiwa t : Subskrip tahun berjalan Data yang digunakan adalah jumlah penduduk pencari kerjamenganggur dan jumlah angkatan kerja masing-masing kabupatenkota di Jawa Barat tahun 2000 – 2005. Analisis Tingkat Kesenjangan Wilayah Indeks Williamson merupakan indikator yang popular digunakan untuk menganalisis tingkat kesenjangan antarwilayah. Analisis kesenjangan dengan pendekatan Indeks Williamson akan menghasilkan nilai indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika y yi = , maka nilai indeks = 0, yang menunjukkan tidak adanya kesenjangan ekonomi antar daerah. Nilai indeks yang lebih besar dari 0 menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antarwilayah. Semakin besar nilai indeks semakin besar tingkat kesenjangan antar kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Indeks Williamson dihitung dengan rumus sebagai berikut Saefulhakim 2004: 32 V w = [ ] y n fi y yi . 2 ∑ − di mana, Vw = Indeks Wiliamson yi = Pendapatan per kapita kabupaten ke - i y = Pendapatan per kapita provinsi fi = Populasi jumlah penduduk kabupaten ke-i n = total populasi provinsi Khusus dalam penelitian di Provinsi Jawa Barat digunakan kriteria skala tingkat kesenjangan yang diacu dari Syafrizal 1997 sebagai berikut: V w 0.5 -1, termasuk ke dalam kategori kesenjangan sangat tinggi V w = 0.3 – 0,5, termasuk ke dalam kategori kesenjangan sedang V w 0.3, termasuk ke dalam kategori kesenjangan rendah V w = 0: merata sempurna Data yang digunakan untuk analisis kesenjangan antarwilayah ini adalah data PDRB dan jumlah penduduk masing-masing kabupatenkota selama 6 tahun periode 2000 – 2005. Analisis Kesenjangan Pendapatan Pendekatan Indeks Gini Tingkat pemerataan pendapatan di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan gini ratio atau disebut dengan indeks gini. Persamaan indeks gini disusun oleh Lorentz dengan bantuan kurva yang disusun dalam suatu skala absis dan ordinat yang sama. Absis menggambarkan persentase atau persentil populasi dan ordinat menggambarkan persentase atau persentil pendapatan. Selanjutnya ditarik diagonal bersudut 45 derajat sebagai batas. Dan besarnya tingkat kemerataan dan ketidakmerataan ini dihitung dari luasan wilayah yang dibentuk oleh suatu fungsi yang menggambarkan tingkat pendapatan masyarakat dan garis diagonal 45 derajat. Persamaan matematis untuk menghitung indeks gini ini adalah sebagai berikut Saefulhakim 2004: ∫ − ⋅ = 100 5000 1 dx x f x G ………………………………………………….. 1 33 dimana : G = indeks gini fx = fungsi yang menggambarkan persentase pendapatan penduduk berdasarkan persentase jumlah penduduk yang ada Persamaan tersebut diterapkan jika data dinyatakan dalam persen. Jika data dinyatakan dalam persentil, maka nilai n menjadi n = 1 sampai 10. Secara umum penghitungan indeks gini dapat dibagi menjadi 2 dua cara. Cara yang pertama bersifat discrete dan cara yang kedua bersifat kontinu. Cara yang bersifat discrete menggunakan persamaan yang telah dimodifikasi untuk mempermudah pencarian nilai indeks gini, yaitu Saefulhakim 2004: ∑ = − − − = n i i i i p G 1 1 1 φ φ ………………………………………………….. 2 dimana untuk kesenjangan pendapatan: G = indeks gini p i = proporsi penduduk kabupaten kategori pendapatan ke-i φ i = proporsi kumulatif pendapatan sampai dengan kategori pendapatan ke-i p i = k i k n = banyaknya kategori pendapatan k i = banyaknya populasi untuk kategori pendapatan ke-i k = total populasi Data dasar yang digunakan adalah: 1 jumlah penduduk berdasarkan golongan pengeluaran tiap kabupatenkota dan 2 nilai pengeluaran konsumsi makanan dan bukan makanan berdasarkan golongan pengeluaran tiap kabupatenkota, yang dipilah ke dalam wilayah perdesaan, perkotaan dan agregat keduanya. Penggunaan data tersebut walaupun tidak dapat memberikan jumlah yang tepat, namun masih cukup representatif dalam menggambarkan tingkat pendapatan yang diukur dengan nilai konsumsi penduduk. Namun disebabkan keterbatasan data yang tersedia, maka analisis ini hanya dilakukan pada tingkat provinsi dengan menggunakan data dua titik waktu, yaitu tahun 2002 dan 2005. Analisis Kesenjangan Penguasaan Lahan Pendekatan Indeks Gini Analisis kesenjangan penguasaan lahan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesenjangan penguasaan lahan pada setiap kabupatenkota di Jawa Barat, 34 baik keseluruhan wilayah kabupaten, wilayah perdesaannya, maupun wilayah perkotaannya. Data yang digunakan adalah data tahun 2004 yang mencakup: 1 banyaknya rumah tangga pertanian pengguna lahan menurut kabupaten dan golongan luas lahan yang dikuasai 2 rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga pertanian pengguna lahan menurut kabupaten dan golongan luas lahan yang dikuasai m², baik wilayah perkotaan, perdesaan maupun keseluruhan agregat. Data pada point 1 merupakan lanjutan dari tahapan pendaftaran bangunan dan rumah tangga listing yang dilaksanakan oleh BPS dalam kegiatan Sensus Pertanian 2003, sementara data point 2 tidak tesedia dalam literatur yang dipublikasikan. Dikarenakan data rata-rata luas lahan yang dikuasai menurut kabupaten dan golongan luas lahan tidak tersedia, maka luasan lahan dalam analisis ini diasumsikan dengan luasan lahan rata-rata yang nilainya ditetapkan sama untuk setiap kabupatenkota. Disadari bahwa hasil analisis ini mengandung kelemahan karena tidak memperhitungkan variasi luas lahan rata-rata pada masing-masing kabupatenkota. Dengan keterbatasan ini, maka interpretasi akan lebih ditekankan pada realitas jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan pada setiap kabupatenkota, dengan asumsi luasan lahan rata-rata menurut golongan luas lahan yang dikuasai adalah sama. Yang dimaksud dengan lahan yang dikuasai mencakup: 1 lahan milik sendiri, lahan yang berasal dari pihak lain, lahan yang berada di pihak lain disewakan. Penggunaan lahan yang dikuasai terdiri dari: 1 lahan untuk pertanian sawah dan bukan sawah dan 2 lahan bukan untuk pertanian rumah dan perkarangan lahan tidur. Untuk analisis kesenjangan penguasaan lahan, maka formula indeks gini sama dengan indeks gini pendapatan, tetapi dengan variabel yang berbeda, yaitu: ∑ = − − − = n i i i i p G 1 1 1 φ φ diinterpretasikan sebagai berikut: G = indeks gini p i = proporsi jumlah rumah tangga pertanian dengan luas penguasaan lahan kategori ke-i φ i = proporsi kumulatif lahan sampai dengan kategori luas penguasaan lahan ke-i p i = k i k n = banyaknya kategori luas penguasaan lahan 35 k i = banyaknya rumah tangga pertanian untuk kategori luas penguasaan lahan ke-i k = total rumah tangga pertanian Analisis Indeks Kemiskinan Manusia Indeks perkembangan kemiskinan manusia Human Poverty Index atau HPI atau disebut dengan indeks kemiskinan manusia IKM terkait dengan tiga dimensi penting, yaitu lamanya hidup longevity, tingkat pendidikan knowledge dan pengurangan tingkat standar hidup a decent standard of living. Sesuai dengan kriteria yang digunakan oleh UNDP dalam perhitungan HPI bahwa untuk lamanya hidup menggunakan variabel: penduduk yang meninggal sebelum usia 40 tahun P1, sedangkan untuk tingkat pendidikan menggunakan indikator penduduk yang memiliki angka buta huruf P2, dan untuk pengurangan tingkat hidup dijelaskan dengan tiga indikator penduduk yang tidak memiliki akses ke air bersih P3, rumah tangga yang memiliki jarak rumah ke fasilitas kesehatan lebih dari 5 km P32, dan penduduk yang memiliki balita berstatus gizi kurang P33. Rumus IKM adalah sebagai berikut BPS, Bappenas, UNDP 2001: HPI = [13 P1 3 + P2 3 + P3 3 ] 13 dimana, P3 = P31+P32+P333 Analisis Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia IPM atau Human Development Index HDI merupakan ukuran keberhasilan pembangunan aspek manusia dalam suatu wilayah tertentu yang standarnya ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB melalui UNDP United Nation of Development Program. IPM mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, pegetahuan dan suatu standar hidup yang layak. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata dari: 1 Indeks harapan hidup 2 Indeks pendidikan melek huruf dan rata-rata lama sekolah dan 3 Indeks standar hidup layak. Adapun Komponen IPM adalah: 1 Kesehatan usia hidup, yang diukur dengan angka harapan hidup, 2 Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, 3 Standar 36 hidup layak pendapatan yang diukur dengan rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan. Secara matematik Indeks Pembanguan Manusia IPM dirumuskan sebagai berikut BPS, Bappenas, UNDP 2001: HDI = 1- Ij ∑ = = 3 1 i ij I Ij I ij = min max max ij ij ij ij X X X X − − di mana: I = rata-rata indikator X = variabel yang menjadi ukuran dasar kesejahteraan masyarakat, yaitu harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita Analisis Indeks Pembangunan Jender Analisis Indeks Pembangunan Jender IPJ atau Gender-Related Development Index GDI dihitung dengan menggunakan variabel-variabel yang sama dengan penghitungan IPM. IPJ mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dan mengunakan indikator yang juga sama dengan IPM, namun lebih diarahkan untuk mengungkapkan ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Dalam penghitungan IPJ, angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pendapatan disesuaikan dengan mengakomodasikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Variabel pendapatan merupakan persentase sumbangan dari perempuan S f dan laki-laki S m . Walaupun angka S f dan S m sudah diperoleh dari BPS akan tetapi perhitungan menurut UNDP adalah sebagai berikut : m f m f f m f f ea ea w w ea w w S +       ×       × = dimana : w f = rasio upah perempuan w m = rasio upah laki-laki 37 ea r = persentase perempuan yang aktif dalam ekonomi ea m = persentase laki-laki yang aktif dalam ekonomi Untuk mendapatkan Pendapatan Domestik Bruto PDB atau Gross Domectic Bruto GDP yang merupakan sumbangan dari perempuan dan laki-laki, maka PDB perempuan menjadi [S f x PDB], dan PDB laki-laki menjadi [PDB - S f x PDB]. Sehingga PDB per kapita perempuan dan PDB per kapita laki-laki adalah: Y f = S f x GDP N f Y m = [GDP - S f X GDP] N m dimana : Y f = PDB per kapita perempuan Y m = PDB per kapita laki-laki N f = jumlah populasi perempuan N m = jumlah populasi laki-laki Analisis Indeks Pemberdayaan Jender Indeks Pemberdayaan Jender IDJ memperlihatkan apakah perempuan dapat mengambil peran aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik. IDJ memfokuskan pada partisipasi, mengukur ketimpangan jender pada bidang-bidang kunci dalam partisippasi ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan. IDJ dihitung dari persentase perempuan di parlemen, diantara anggota legislatif, pegawai-pegawai senior dan manajer dan diantara pekerja profesional dan teknisi, serta ketimpangan jender dalam perolehan pendapatan yang mencerminkan kemandirian ekonomi. Berbeda dengan IPJ, IDJ mengungkapkan ketimpangan kesempatan dalam bidang-bidang tertentu BPS, Bappenas dan UNDP 2001. Keempat analisis pembangunan manusia ini IPM, IKM, IPJ, IDJ bersumber dari data indikator pembangunan yang merupakan publikasi hasil kerjasama BPS, Bappenas dan UNDP tahun 2004, yaitu data komponen IPM, IKM, IPJ dan IDJ masing-masing tahun 2002. Program pengukuran kinerja tersebut dilanjutkan oleh Bapeda Jawa Barat sehingga diperoleh data komponen IKM tahun 2003. Sedangkan data IPM Jawa Barat tahun 2005 diperoleh dari data program Kegiatan Percepatan Penyediaan Data Statistik yang dilaksanakan oleh BPS Jakarta. 38 Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis Analisis komponen utama dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1 mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru yang saling bebas ortogonal, yang kemudian disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor; 2 menyederhanakan variabel, dimana jumlah variabel baru yang dihasilkan jauh lebih sedikit dibandingkan variabel asalnya tanpa mengurangi total kandungan informasinya atau total ragamnya relatif tidak berubah. Di antara kedua tujuan tersebut, orthogonalisasi variabel merupakan tujuan yang dipentingkan dalam penelitian ini. Terbentuknya variabel baru yang tidak saling berkorelasi dapat menunjukan variabel-variabel asal yang berkorelasi dan variabel asal yang tidak saling berkorelasi. Analisis ini untuk melihat apakah terjadi korelasi antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan kesejahteraan manusia. Data yang digunakan adalah data laju pertumbuhan dan kontribusi pertumbuhan per kabupaten tahun 2004, jumlah desa tertinggal dan desa pertumbuhan per kabupaten tahun 2004 serta variabel indikator kinerja pembangunan manusia per kabupaten IPM, IKM, IPJ dan IDJ. Perangkat lunak yang digunakan adalah Statistica versi 6.0. Analisis Input-Output Input-Output Analysis Teori Input-Output pertama kali dikembangkan oleh Wassily Leontief pada akhir dekade tahun 1930-an Nazara, 1997. Analisis input-output dilakukan untuk menganalisis keterkaitan antarsektor yang membentuk struktur perekonomian di suatu wilayah sebagai dasar untuk menentukan prioritas kegiatan pembangunan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Daryanto 2004 bahwa terdapat beberapa cara atau teknik dalam kuantifikasi untuk mengidentifikasi suatu sektor atau komoditas sehingga disebut sebagai sektor atau komoditas unggulan, yaitu dengan menghitung besarya indeks forward dan backward linkage, yang dikenal pada analisis tabel input-output. Suatu sektor atau komoditas akan menjadi unggulan apabila nilai forward linkage dan backward linkage lebih besar dari satu, dan backward spread effect dari forward spread effect lebih kecil dari satu. Kriteria ini dikenal dengan nama Rasmussens dual criterion, yaitu untuk 39 mengetahui sejauh mana keterkaitan sektor atau komoditas unggulan yang akan dikembangkan terhadap pembangunan sektor atau komoditas lainnya baik ke depan maupun ke belakang. Secara umum model I-O Leontif adalah analisis keseimbangan yang terdiri dari empat kuadran, yaitu intermediate quadrant Kuadran I, final demand quadrant Kuadran II, primary input quadrant Kuadran III, dan primary input to final demand quadrant Kuadran IV sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Transaksi input-output Permintaan Internal Wilayah Permintaan Antara Permintaan Akhir Permintaan Eksternal Wilayah 1 2 … j … n C G I E Total Outpu t 1 X 11 … … X 1j … X 1n C 1 G 1 I 1 E 1 X 1 2 X 21 … … X 2j … X 2n C 2 G 2 I 2 E 2 X 2 : … … … … … … … … … … … i … … … X ij … … C i G i I i E i X i : … … … … … … … … … … … Input A n ta ra n X n1 … … X nj … X nn C n G n I n E n X n W W 1 … … W j … W n C W G W I W E W W T T 1 … … T j … T n C T G T I T E T T Input Internal Wil ayah Ni la i Tambah S S 1 … … S j … S n C S G S I S E S S Input Eksternal Wilayah M M 1 … … M j … M n C M G M I M - M Total Input X 1 … … X j … X n C G I E X Sumber: Saefulhakim, 2004 Keterangan: i,j : sektor ekonomi: i=1,2,..,n; j =1,2,..,n X ij : banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j X i : total output sektor i; X j : total input sektor j; untuk sektor yang sama i=j, total output sama dengan total intput X i =X j C i : permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i G i : permintaan konsumsi pengeluaran belanja rutin pemerintah terhadap output sektor i 40 I i : permintaan pembentukan modal tetap netto investasi dari output sektor i; output sektor i yang menjadi barang modal E i : ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspordijual ke luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i Y i : total permintaan akhir terhadap output sektor i Y i =C i +G i +I i +E i W j : pendapatan upah dan gaji rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j T j : pendapatan pemerintah Pajak Tak Langsung dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j S j : surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha M j : impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperolehdibeli dari luar wilayah Pengetahuan tentang ketergantungan ekonomi economic linkages akan sangat bermanfaat untuk mengetahui pentingnya suatu sektor terhadap kinerja sektor yang lain. Hal tersebut pada tabel I-O dideskripsikan pada nilai-nilai yang berada pada kuadran I. Kuadran I merupakan gambaran transaksi antarsektor dalam proses produksi, yang menunjukkan ketergantungan ekonomi antara sektor- sektor produksi dalam suatu perekonomian. Perubahan tingkat output satu sektor akan menyebabkan adanya reaksi ekonomi pada sektor lain yang ada dalam tabel melalui keterkaitan ekonomi. Kuadran II menunjukkan matriks permintaan akhir terhadap output masing- masing sektor. Dalam hal ini total permintaan akhir terhadap output suatu sektor sama dengan jumlah dari permintaan konsumsi rumah tangga household consumption, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, dan ekspor untuk output sektor yang bersangkutan. Jumlah dari permintaan konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal tetap bruto, merupakan komponen permintaan internal wilayah, sedangkan ekspor barang dan jasa suatu sektor merupakan permintaan eksternal wilayah. Kuadran III menunjukkan matriks nilai tambah added values masing-masing sektor faktor produksi plus impor. Dalam kuadran ini berisi input-input awal setiap sektor dalam sistem produksi, yang meliputi gaji dan upah, surplus usaha 41 penyusutan, pajak tak langsung neto dan subsidi serta impor. Nilai tambah bruto PDRB untuk level regional dari suatu sektor merupakan penjumlahan dari input- input tersebut kecuali impor. Sedangkan kuadran IV merupakan transfer nilai tambah antar institusi yang meliputi: 1 rumah tangga, 2 pemerintah, 3 perusahaan swasta, dan 4 institusi eksternal wilayah atau luar negeri. Parameter yang paling utama dalam analisis adalah koefisien teknologi a ij yang secara matematis diformulasikan sebagai berikut: j ij ij X X a = atau X ij = a ij . X j 1 dimana: a ij : rasio antara banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j =X ij terhadap total input sektor j =X j . Dengan demikian, Tabel I-O secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: a 11 X 1 + a 12 X 2 + … a 1j X j …+ a 1n X n + Y 1 = X 1 a 21 X 1 + a 22 X 2 + … a 2j X j …+ a in X n + Y 2 = X 2 : : : a i1 X 1 + a i2 X 2 + … a ij X j. … + a in X n + Y i = X i 2 : : : a n1 X 1 + a n2 X 2 + … a ij X n….. + a nn X n + Y n = X n atau                   =                   +                                     n i n i n i nn n n ij n n X X X X Y Y Y Y X X X X a a a a a a a a a a 2 1 2 1 2 1 2 1 2 22 21 1 12 11 : M 3 Dengan notasi matriks dirumuskan sebagai berikut: AX + Y = X 4 Matriks A merupakan matriks koefisien hubungan langsung antarsektor koefisien teknologi, dengan demikian maka: X – AX = Y I – AX= Y X = I – A -1 .Y 42 Matriks I – A dikenal sebagai matriks Leontief, merupakan parameter penting di dalam analisis I-O. Invers matriks tersebut, matriks I-A -1 atau B adalah matriks invers Leontief matriks saling hubungan langsung dan tidak langsung antarsektor. Karena I – A -1 Y = BY, maka peningkatan produksi X merupakan akibat tarikan permintaan akhir Y. Gradien peningkatannya ditentukan oleh elemen-elemen matriks B Saefulhakim 2004. Analisis Keterkaitan Struktural Antarsektor Saefulhakim 2004 mengemukakan bahwa dengan analisis I-O dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut : a. Keterkaitan langsung ke belakang direct backward linkage a j: menunjukkan efek langsung dari perubahan output suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menyediakan input bagi sektor tersebut. ∑ = n i ij j a a Untuk membandingkan dengan sektor lainnya, a j kemudian dinormalisasikan menjadi a j, sebagai rasio antara keterkaitan langsung ke belakang sektor j dengan rata-rata keterkaitan langsung ke belakang untuk sektor-sektor lainnya. ∑ ∑ = = j j j j j n j j a na a a a 1 Nilai a j 1 menunjukkan bahwa sektor j memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat atau memiliki pengaruh langsung yang kuat terhadap pertumbuhan sektor- sektor lain. b. Keterkaitan langsung ke depan direct forward linkage ai : menunjukkan efek langsung dari perubahan output tingkat produksi suatu sektor terhadap total tingkat produksi sektor-sektor yang menggunakan output sektor tersebut. ∑ = j ij i a a Untuk membandingkan dengan sektor lainnya, ai kemudian dinormalisasikan menjadi ai , sebagai rasio antara keterkaitan langsung ke depan sektor i dengan rata-rata keterkaitan langsung ke depan untuk sektor-sektor lainnya, 43 ∑ ∑ = = i i i i i n i i a na a a a 1 c. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang direct and indirect backward linkage b j: menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari kenaikan permintaan akhir terhadap satu unit output sektor tertentu, pada peningkatan total output seluruh sektor perekonomian. Sebagai parameter yang menunjukkan kekuatan suatu sektor dalam mendorong peningkatan seluruh sektor perekonomian, dapat diformulasikan sebagai berikut : ∑ = i ij j b b di mana bij adalah elemen-elemen invers matriks Leontief B=I-A -1 . Untuk membandingkan dengan sektor lainnya, b j kemudian dinormalisasikan menjadi b j , sebagai rasio antara keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor j dengan rata-rata keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan untuk sektor-sektor lainnya. ∑ ∑ = = j j j j j n j j b nb b b b 1 d. Keterkaitan langsung dan tak langsung ke depan direct and indirect forward linkage bi : ∑ = i ij i b b Untuk membandingkan dengan sektor lainnya, b i dinormalisasikan menjadi b i , sebagai rasio antara keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor i dengan rata-rata keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor lainnya. ∑ ∑ = = i i i i i n i i b nb b b b 1 Analisis Dampak Pengganda Multitplier a. Output Multiplier o Mj Yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j terhadap 44 peningkatan total output seluruh sektor di wilayah penelitian. Angka yang diperoleh sama dengan angka keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang seperti yang telah diuraikan di atas. ∑ = i ij j O b M b ij : elemen inverse matriks Leontief b. Income Multiplier I Mj Yaitu dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j terhadap peningkatan total pendapatan rumah tangga secara keseluruhan di wilayah penelitian. ∑ = i ij i I j I j I b v v M 1 I v i : rasio pendapatan rumahtangga dari sektor i terhadap total output sektor i untuk i=j, maka I v i = I v j b ij : elemen inverse matriks Leontief c. Total Value-Added Multiplier atau multiplier PDRB GDP Yaitu merupakan dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j terhadap peningkatan PDRB wilayah penelitian. ∑ = i ij i GDP j GDP j GDP b v v M 1 GDP v i : rasio Produk Domestik Regional Bruto dari sektor i terhadap total output sektor I untuk i=j, maka GDP v i = GDP v j b ij : elemen inverse matriks Leontief d. Employment Multiplier, E M j Yaitu merupakan dampak peningkatan permintaan akhir atas output sektor j terhadap peningkatan total kesempatan kerja di wilayah penelitian. ∑ = i ij i E j E j E b v v M 1 E v i : rasio jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor i terhadap total output sektor i untuk i=j, maka E v i = E v j b ij : elemen inverse matriks Leontief 45 Suatu tabel Input-Output disusun berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut BPS 2000: 1. Homogenitas homogeneity, yaitu asumsi bahwa satu sektor hanya akan menghasilkan satu jenis output dengan struktur input yang tunggal dan tidak ada subtitusi otomatis antar output dari sektor yang berbeda. 2. Proporsionalitas proportionality, yaitu asumsi bahwa kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan oleh sektor tersebut. 3. Aditivitas additivity, yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan hasil penjumlahan dari setiap pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Asumsi ini sekaligus menegaskan bahwa pengaruh yang timbul dari luar sistem input-output diabaikan. Dalam analisis input-output digunakan tabel I-O klasifikasi 9 x 9 sektor dan tabel I-O klasifikasi 86 x 86 sektor tahun 2003 publikasi tahun 2005. Analisis input-output merupakan salah satu analisis untuk penentuan sektor unggulan yang sejalan dengan tujuan pembangunan ”pertumbuhan ekonomi yang tinggi”, yaitu dari kekuatan keterkaitan sektoralnya dan besarnya dampak pengganda yang dapat diberikan sektor tersebut. Analisis dampak pengganda multiplier effect mencakup dampak pengganda pendapatan, dampak pengganda serapan tenaga kerja, dampak pengganda pajak tak langsung netto PAD dan dampak total nilai tambah bruto PDRB. Analisis Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan pada dasarnya dilakukan dengan membandingkan persyaratan yang diminta untuk pengunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut Metode FAO 1976. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO 1976 dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut : Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai S dan lahan yang tergolong tidak sesuai N. Kelas, adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo, dimana pada tingkat kelas lahan 46 yang tergolong ordo sesuai S dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu ; sangat sesuai S1, cukup sesuai S2, dan sesuai marginal S3. Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai N tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. Sub-kelas, adalah tingkat dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi sub-kelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat. Unit, adalah tingkat dalam sub-kelas kesesuaian lahan yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolannya. Dalam penelitian ini, disebabkan keterbatasan ketersediaan data spasial yang akurat skala besar di tingkat provinsi, maka metoda baku evaluasi kesesuaian lahan yang populer digunakan metoda FAO, tidak dapat dilakukan. Sehingga teknik yang digunakan untuk analisis kesesuaian lahan ini adalah menggunakan data kesesuaian komoditi yang telah tersedia pada Peta Landsystem dari Peta RePPRoT Jawa Barat dengan beberapa keterbatasannya. Upaya pendetilan data atribut dilakukan melalui pengecekan silang dengan data produksi aktual masing-masing kabupaten dan informasi tingkat produktivitas standar menurut kelas kesesuaian lahan. Dengan metoda analisis spasial Sistim Informasi Geografis, dihasilkan Peta Kesesuaian Lahan untuk masing-masing sektor pertanian primer unggulan Jawa Barat. Analisis Deskriptif Pohon Industri Analisis pohon industri dilengkapi dengan informasi persentase jumlah output yang diekspor, pasokan input impor dan sharing modal investor asing dan kepemilikan investor domestik D. Informasi tersebut merupakan hasil olahan dari database industri besar dan sedang di Jawa Barat pada tahun 2004 4 804 industri, yang merupakan publikasi terakhir BPS Jakarta. Sedangkan bagan pohon industri bersumber dari Badan Litbang LIPI dan Departemen Pertanian. Analisis Spasial Sebagian besar hasil analisis merupakan analisis yang terkait dengan informasi spasial ruang, sehingga hasil analisis statistik yang telah dihasilkan disajikan dalam bentuk visual peta-peta tematik, selain disajikan dalam bentuk data tabular dan analisis deskriptif. Informasi dalam bentuk peta akan sangat 47 memudahkan pengguna informasi dalam memahami makna dari hasil analisis tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rondinelli 1985 bahwa analisis spasial menyediakan beberapa hasil perhitungan atau olahan data yang dibutuhkan untuk menyusun pendapat secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dengan cara mengkombinasikan dengan hasil-hasil analisis lainnya. Peta-peta tematik yang menggambarkan hasil analisis, secara visual dihasilkan dari memanfaatkan data atribut peta yang digabungkan dengan data statistik dan data perolehan hasil analisis, sehingga dihasilkan peta tematik sesuai tujuan analisis. Barus dan Wiradisastra 2000 mengemukakan bahwa operasi tumpang-tindih dalam SIG umumnya dilakukan dengan salah satu dari lima cara yang dikenal, yaitu: a pemanfaatan fungsi logika dan fungsi bolean, b pemanfaatan fungsi relasional, c pemanfaatan fungsi aritmatika, d pemanfaatan data atribut, dan e menyilangkan dua peta langsung. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi SIG ArcView 3.3. SIG sebagai suatu perangkat alat untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil kembali, mentransformasi dan menyajikan data spasial dari aspek-aspek permukaan bumi Burrough 1989 dalam Barus Wiradisastra 2000. Dalam penelitian ini, operasi tumpang tindih dilakukan untuk memperoleh informasi kekonsistenan pemanfaatan lahan aktifitas sektor unggulan aktual dengan RTRW. Data yang digunakan adalah peta administrasi, peta RTRW tahun 2003 - 2010 dan peta existing landuse tahun 2005 Provinsi Jawa Barat dengan skala 1: 250.000. Sebagai studi kasus, digunakan peta tematik yang sama dari Kabupaten Sukabumi dengan skala peta 1 : 100.000. Pemanfaatan data atribut juga digunakan untuk menghasilkan peta kesesuaian komoditi pertanian unggulan, yang diturunkan dari data atribut peta Landsystem Jawa Barat, yaitu field kelas kesesuaian lahan komoditi pertanian. Hampir seluruh output analisis, yang disajikan secara keruangan peta, juga menggunakan metoda pemanfaatan data atribut ini. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5°50 - 7°50 Lintang Selatan dan 104°48 - 108°48 Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: 1 sebelah utara, berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta; 2 sebelah timur, berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah; 3 sebelah selatan, berbatasan dengan Samudra Indonesia; 4 sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi Banten Gambar 3. Provinsi Jawa Barat terdiri dari 16 kabupaten dan 9 kota dan mencakup 592 kecamatan, 1 798 wilayah yang diklasifikasikan sebagai perkotaan dan 4 083 perdesaan. Luas wilayahnya meliputi 29 276.72 km 2 dengan rincian luas masing- masing kabupatenkota seperti yang ditampilkan pada Tabel 4. Kabupaten Sukabumi adalah kabupaten dengan wilayah terluas 3 160.51 km 2 di antara kabupatenkota lainnya di provinsi ini, sementara Kota Cirebon adalah wilayah yang tersempit. Selain memiliki wilayah terluas, Kabupaten Sukabumi juga memiliki jumlah kecamatan terbanyak 45 kecamatan. Kabupaten lainnya yang memiliki wilayah yang cukup luas adalah kabupaten Cianjur, Tasikmalaya, Bandung, Ciamis, Bogor dan Garut. Kabupaten Garut merupakan kabupaten yang memiliki jumlah wilayah dengan klasifikasi perdesaan terbesar 323 desa, kemudian diikuti oleh kabupaten Subang, Tasikmalaya, Cianjur dan Kuningan dengan jumlah desa masing-masing yang tidak kurang dari 300 desa. Kondisi Fisik Wilayah Penelitian Secara umum, kawasan utara Jawa Barat merupakan daerah dataran rendah, sedangkan kawasan selatan permukaannya berbukit-bukit dengan sedikit pantai. Sementara di kawasan tengah merupakan dataran tinggi yang bergunung- gunung. Sebagian lahan di provinsi ini berasal dari endapan vulkanis, selain itu juga terdapat banyak aliran sungai yang menyebabkan bagian terbesar dari luas lahannya digunakan untuk pertanian. Aktivitas pertanian juga didukung dengan 49 Gambar 3 Peta wilayah penelitian Provinsi Jawa Barat. Tabel 4 Luas wilayah, jumlah kecamatan, perkotaan dan perdesaan Provinsi Jawa Barat Tahun 2005 Klasifikasi No. KabupatenKota Luas Wilayah km 2 Jumlah Kecamatan Perkotaan Perdesaan 1 Bogor 2 237.09 40 199 227 2 Sukabumi 3 160.51 45 63 280 3 Cianjur 2 977.44 30 46 302 4 Bandung 2 284.61 45 206 234 5 Garut 2 179.51 42 96 323 6 Tasikmalaya 2 301.78 39 34 317 7 Ciamis 2 262.97 36 48 297 8 Kuningan 816.88 32 73 302 9 Cirebon 958.27 37 209 215 10 Majalengka 1 068.69 23 83 248 11 Sumedang 1 062.88 26 52 217 12 Indramayu 1 636.51 28 63 247 13 Subang 1 855.01 22 32 320 14 Purwakarta 757.57 17 50 142 15 Karawang 1 533.86 30 68 214 16 Bekasi 1 065.35 23 65 122 17 Kota Bogor 108.98 6 67 1 18 Kota Sukabumi 49.81 7 31 2 19 Kota Bandung 167.91 26 139 - 20 Kota Cirebon 36.97 5 22 - 21 Kota Bekasi 209.55 12 52 4 22 Kota Depok 212.24 6 61 2 23 Kota Tasikmalaya 40.23 8 15 54 24 Kota Cimahi 177.79 3 15 - 25 Kota Banjar 114.31 4 9 13 Jawa Barat 29 276.72 592 1.798 4.083 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2006 kondisi iklim Jawa Barat yang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun 190.2 mm dan rata-rata hari hujan 20 haritahun. Penggunaan Lahan Selama tiga tahun, yaitu periode 2003 – 2005, terjadi penurunan luas lahan sawah di Provinsi Jawa Barat. Jika dirinci berdasarkan jenis pengairannya, penurunan tersebut dipengaruhi oleh makin sempitnya luas lahan sawah yang berpengairan irigasi setengah teknis, irigasi sederhana dan tadah hujan. Sedangkan sawah dengan irigasi teknis pada tahun 2004 mengalami kenaikan, tetapi kemudian turun di tahun 2005. Secara keseluruhan pada periode tersebut, terjadi penurunan luas lahan sawah, yaitu dari 934 095 ha tahun 2003, turun menjadi 930 347 ha pada tahun 2004 dan 924 832 ha pada tahun 2005 Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan luas lahan sawah dan lahan kering Provinsi Jawa Barat Luas ha Jenis Lahan Sawah dan Lahan Kering 2003 2004 2005 1. Luas Lahan Sawah dirinci menurut jenis pengairan a. Irigasi Teknis 376 865 383 261 380 996 b. Irigasi setengah teknis 121 964 121 264 116 393 c. Irigasi sederhana 101 495 94 615 92 525 d. Tadah hujan 170 755 169 525 157 304 e. Bukan PU 160 097 159 897 174 060 f. Lainnya 2 869 1 785 3 554 Jumlah 934 095 930 347 924 832 2003 2004 2005 2. Luas Lahan Kering dirinci menurut jenis penggunaannya, a. PekaranganLahan untuk bangunan halaman 393 298 394 903 390 312 b. Tegalkebun 784 359 612 151 605 973 c. Ladanghuma - 182 975 183 424 d. Padang rumput 31 396 30 369 31 597 e. Lahan sementara tidak diusahakan 12 270 10 534 28 989 f. Hutan rakyat tanaman kayu-kayuan 218 741 221 089 299 130 g. Hutan negara 572 995 577 110 572 362 h. Perkebunan 318 293 309 306 285 919 i. Rawa-rawa 10 543 20 872 10 524 j. Tambak 36 218 36 975 37 843 k. KolamTerbatempang 23 111 22 912 40 665 l. Lainnya 213 510 182 975 249 615 Jumlah 2 614 734 2 621 280 2 736 353 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2006 Sebaliknya pada lahan kering, pada periode tersebut terjadi kenaikan penggunaan lahan seperti yang diinformasikan pada Tabel 5. Pada tahun 2004, penggunaan lahan yang mengalami kenaikan adalah pekaranganlahan untuk bangunan, hutan rakyat tanaman kayu-kayuan, hutan negara, rawa-rawa dan tambak. Pada tahun 2005, kenaikan penggunaan lahan kering terjadi pada jenis penggunaan ladanghuma, padang rumput, lahan sementara yang tidak diusahakan, hutan rakyat tanaman kayu-kayuan, tambak dan kolamempang. Komposisi Penduduk Jumlah dan Perkembangan Penduduk Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 39 960 869 juta orang pada tahun 2005 dan tingkat kepadatannya mencapai 1 365 orang per kilometer persegi. Dari Tabel 6 dan Gambar 4 tampak bahwa pada tahun 2005 Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor memiliki jumlah penduduk paling banyak, yaitu masing-masing sebesar 4 263 934 dan 4 100 934 orang. Namun dilihat dari kepadatannya, Kota Bandung merupakan daerah terpadat dengan tingkat kepadatan 13 792 orang per kilometer persegi, sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Ciamis 682 orang km 2 . Setelah Kota Bandung, kota dengan kepadatan tertinggi kedua adalah Kota Cimahi 12 272 orangkm 2 , yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kemudian berturut-turut adalah Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Cirebon, Kota Depok, Kota Sukabumi dan Kota Tasikmalaya, yang seluruhnya merupakan wilayah administratif kota. Hanya Kota Banjar, di antara kota-kota administratif Jawa Barat, yang tingkat kepadatan penduduknya relatif rendah. Lajunya perubahan tingkat kepadatan penduduk di sebagian besar wilayah perkotaan, disebabkan oleh pertumbuhan aktivitas perekonomian yang pesat dan tersedianya fasilitas pelayanan, sarana prasarana serta infrastruktur yang baik. Hal itu menjadi daya tarik penduduk luar wilayah untuk menjadikannya sebagai tempat bermukim. Jika ditinjau dari perkembangan kepadatan penduduk dari tahun 2000 menuju tahun 2005, terjadi perubahan tingkat kepadatan penduduk yang cukup signifikan di Provinsi Jawa Barat, terutama pada wilayah kota administratif. Peningkatan kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kota Bekasi, kemudian diikuti oleh Kota Bandung, Kota Bogor dan Kota Sukabumi. Beberapa kota seperti Kota Cimahi, Kota Depok dan Kota Banjar tidak muncul dalam hasil analisis, disebabkan ketidaktersediaan data tahun 2000. 53 Tabel 6 Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat tahun 2000-2005 Jumlah Penduduk Jiwa Kepadatan Penduduk Jiwakm 2 No. KabupatenKota Luas Wilayah km2 2000 2003 2005 2000 2003 2005 1 Bogor 2 237.09 3 508 826 3 791 781 4 100 934 1 568 1 695 1 833 2 Sukabumi 3 160.51 2 075 141 2 168 569 2 224 993 657 686 704 3 Cianjur 2 977.44 1 946 405 2 041 131 2 098 644 654 686 705 4 Bandung 2 284.61 4 158 083 4 002 290 4 263 934 1 820 1 752 1 866 5 Garut 2 179.51 2 051 092 2 187 882 2 321 070 941 1 004 1 065 6 Tasikmalaya 2 301.78 2 064 075 1 569 292 1 693 479 897 682 736 7 Ciamis 2 262.97 1 618 752 1 664 869 1 542 661 715 736 682 8 Kuningan 816.88 984 792 1 034 394 1 096 848 1 206 1 266 1 343 9 Cirebon 958.27 1 931 066 2 038 263 2 107 918 2 015 2 127 2 200 10 Majalengka 1 068.69 1 121 641 1 153 442 1 191 490 1 050 1 079 1 115 11 Sumedang 1 062.88 968 848 1 014 319 1 067 361 912 954 1 004 12 Indramayu 1 636.51 1 597 032 1 653 146 1 760 286 976 1 010 1 076 13 Subang 1 855.01 1 329 838 1 371 005 1 421 973 717 739 767 14 Purwakarta 757.57 700 104 745 917 770 660 924 985 1 017 15 Karawang 1 533.86 1 787 319 1 882 025 1 985 574 1 165 1 227 1 294 16 Bekasi 1 065.35 1 668 494 1 858 925 1 953 380 1 566 1 745 1 834 17 Kota Bogor 108.98 750 819 792 657 844 778 6 890 7 273 7 752 18 Kota Sukabumi 49.81 252 420 267 807 287 760 5 068 5 377 5 777 19 Kota Bandung 167.91 2 136 263 2 228 268 2 315 895 12 723 13 271 13 792 20 Kota Cirebon 36.97 1 663 802 272 673 281 089 45 004 7 376 7 603 21 Kota Bekasi 209.55 1 143 403 1 845 005 1 994 850 5 456 8 805 9 520 22 Kota Depok 212.24 - 1 309 995 1 373 860 - 6 172 6 473 23 Kota Cimahi 40.23 - 473 290 493 698 - 2 662 12 272 24 Kota Tasikmalaya 177.79 - 551 409 594 158 - 13 706 3 342 25 Kota Banjar 114.31 - - 173 576 - - 1 518 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat , 2006, diolah Dengan menggunakan data tahun 2003 dan 2005, Kota Cimahi dan Kota Depok teridentifikasi sebagai kota dengan tingkat kepadatan tinggi. Selama tiga tahun tersebut, Kota Bekasi masih merupakan kota dengan perubahan kepadatan penduduk tertinggi, kemudian secara berturut-turut adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Depok, Kota Tasikmalaya dan Kota Cirebon. Selain wilayah-wilayah tersebut merupakan kota administratif yang pertumbuhan aktivitas perekonomiannya cukup pesat, faktor kedekatan dengan pusat ibu kota menjadi faktor lain pemicu tingginya laju kepadatan penduduk, seperti yang terjadi di Kota Depok dan Kota Bogor. Lokasinya yang berdekatan dengan DKI Jakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi penduduk sekitarnya untuk bermigrasi ke kota-kota tersebut. Gambar 4 Perkembangan jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat tahun 2000, 2003 dan 2005. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur Struktur penduduk Jawa Barat didominasi oleh kelompok angkatan kerja umur 15-64 tahun dengan proporsi sekitar 94.91 persen dari total penduduk - 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000 4.500.000 B ogor S uk abum i C ianj ur B andung Ga ru t T as ik m al ay a Ci a m is Kuni ngan C ir ebon M aj al engk a Sum edang Indram ay u Subang Purw ak ar ta Karaw ang B e ka si Kot a B ogor Kot a S u k abum i Kot a B andung Kot a C ir ebon K o ta B e ka si K ot a D epok K o ta C im a h i K ot a T as ik m al ay a Kot a Banj ar Kabupatenkota J u m lah P en dud uk J iw a 2000 2003 2005 menurut kelompok umur atau sebesar 15 541 630 jiwa Tabel 7. Kelompok penduduk lanjut usia 65 tahun ke atas hanya sebesar 4.14 persen dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 0.67 persen. Sebagian dari penduduk yang berada pada kelompok usia 15-64 tahun masih mengikuti pendidikan sekolah. Tabel 7 Jumlah penduduk menurut kelompok umur jiwa Kabupaten 10-14 th 15-64 th 65+ th Jumlah Bogor 12 925 1 361 618 42 568 1 417 111 Sukabumi 7 913 824 611 57 222 889 746 Cianjur 6 902 836 495 49 251 892 648 Bandung 5 370 1 541 990 56 142 1 603 502 Garut 9 174 841 170 41 662 892 006 Tasikmalaya 3 209 730 807 43 887 777 903 Ciamis 5 554 791 806 63 968 861 328 Kuningan 3 444 427 924 43 784 475 152 Cirebon 7 976 843 408 40 658 892 042 Majalengka 4 625 572 517 32 329 609 471 Sumedang 2 370 458 838 28 212 489 420 Indramayu 8 644 769 086 33 331 850 564 Subang 551 612 192 27 491 640 234 Purwakarta 3 640 322 913 13 297 339 850 Karawang 9 116 719 291 28 688 757 095 Bekasi 7 802 729 104 18 537 755 443 Kota Bogor 1 680 304 528 7 833 319 858 Kota Sukabumi 918 92 266 4 530 97 714 Kota Bandung 2 766 963 490 14 752 981 008 Kota Cirebon 173 114 872 2 249 117 294 Kota Bekasi 2 805 725 724 12 159 740 688 Kota Depok - 520 716 5 958 526 674 Kota Cimahi 893 188 424 893 190 209 Kota Tasikmalaya 1 648 247 840 8565 258 053 Jawa Barat jiwa 110 098 15 541 630 677 966 16 375 013 Distribusi 0.67 94.91 4.14 100.00 Sumber: Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2004 Penduduk yang sudah tidak bersekolah pada usia tersebut, merupakan angkatan kerja yang sebagian dapat tersalurkan pada lapangan kerja formal dan sebagian lainnya pada lapangan kerja informal, sektor pertanian atau menjadi pengangguran. Dengan struktur umur seperti ini, maka dibutuhkan fasilitas sarana prasarana pendidikan dan lapangan pekerjaan yang cukup besar di Jawa Barat. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Dari struktur penduduk berdasarkan tingkat pendidikan, diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat didominasi oleh penduduk tamatan sekolah dasar SD, yaitu 12 086 176 jiwa atau sekitar 39.48 persen dari total penduduk menurut pendidikan Tabel 8. Sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk yang menamatkan diplomaakademi, yaitu 511 805 jiwa 1.67 dan diploma IVuniversitas sebesar 527 767 jiwa 1.72 . Uraian deskripsi di bawah mengacu pada Tabel 8 yang menunjukkan jumlah penduduk menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Kabupaten yang menghasilkan tamatan SD terbanyak adalah Kabupaten Bandung, yang didukung dengan banyaknya bangunan SD di kabupaten tersebut 2 174 unit. Posisi kedua adalah Kabupaten Bogor yang juga didukung oleh ketersediaan bangunan SD 1 633 unit. Selain memiliki tamatan SD terbanyak, Kabupaten Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang mengecap pendidikan tingkat menengah dan tingkat atas yang cukup banyak. Sedangkan jumlah penduduk yang tamat pendidikan tingkat tinggi di kabupaten ini menempati posisi ke-4 setelah Kota Bekasi, Kota Bandung dan Kota Depok. Terdapat perbedaan komposisi penduduk menurut pendidikannya antara kabupaten dominan perdesaan pertanian dengan kabupaten perkotaan industri atau jasa. Kabupaten perkotaan lebih mencirikan perbedaan karakteristik tersebut, yaitu bahwa penduduk yang tamat pendidikan tinggi lebih banyak di daerah perkotaan. Kota Bekasi, Kota Bandung dan Kota Depok merupakan wilayah dengan jumlah tamatan pendidikan tinggi terbanyak, yaitu yang berasal dari diplomaakademi atau diplomaIVuniversitas. Sedangkan kabupaten dengan jumlah tamatan pendidikan tinggi yang paling sedikit adalah Kabupaten Purwakarta. Provinsi Jawa Barat ternyata memiliki cukup banyak jumlah penduduk yang belum atau tidak pernah sekolah, yaitu sebesar 1 730 253 jiwa 5.65 . Jumlah penduduk dengan kriteria tersebut terbanyak berada di Kabupaten Indramayu, yaitu sebesar 284 529 jiwa, diikuti oleh Kabupaten Bogor 196 426 jiwa dan Karawang 193 782 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit dengan kriteria yang sama berada di Kota Sukabumi 388 jiwa. 57 Sumber: Provinsi Jawa Barat, 2005 Tabel 8 Penduduk Jawa Barat berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan jiwa Kabupaten Tidak belum pernah sekolah Tidak belum Tamat SD SD SLTP SMU SM Kejuruan Diploma Akademi Diplo- ma IV Univers itas Jumlah Bogor 196 426 806 448 949 777 407 026 257 377 127 564 34 512 23 601 2 802 731 Sukabumi 76 372 434 128 806 069 246 104 99 594 45 567 14 956 11 047 1 733 837 Cianjur 38 733 395 618 873 176 186 169 69 772 37 631 9 416 5 965 1 616 480 Bandung 42 852 585 330 1 345 124 568 766 411 188 101 764 47 358 33 092 3 135 474 Garut 40 390 463 302 784 907 233 488 114 679 29 665 12 049 7 022 1 685 502 Tasikmalaya 30 314 231 749 825 608 124 373 37 423 15 958 9 453 6 418 1 281 296 Ciamis 67 047 254 542 742 293 197 890 70 861 31440 22 107 17 229 1 403 409 Kuningan 81 979 192 106 389 230 93 941 43 860 25 025 7 158 4 952 838 251 Cirebon 166 866 482 406 580 022 206 620 131 744 49 028 9 458 9330 1 635 474 Majalengka 65 645 222 126 486 216 110 880 60 718 20 081 6 718 7760 980 144 Sumedang 21 498 150 678 387 180 162 492 73410 21 114 17 790 11 316 845 478 Indramayu 284 529 427 143 407 974 158 655 85 823 24 082 12 965 13 581 1 414 752 Subang 143 049 302 520 453 008 147 409 68170 24 436 12 266 8 948 1 159 806 Purwakarta 23 697 132 044 251 158 91 855 68 893 21 345 5 542 1 429 595 963 Karawang 193 782 452 468 550 152 176 615 106 861 33 096 7 670 3 068 1 523 712 Bekasi 142 546 318 686 608 332 230 290 160 141 41 548 12 207 17 957 1 531 707 Kota Bogor 16 464 92 337 190 365 120 533 127 344 35 952 25 872 53 088 661 955 Kota Sukabumi 388 40 442 83 316 43 097 37 813 17 535 3 060 2 907 228 558 Kota Bandung 7 376 169 648 451 780 402 914 529 228 124470 74 682 99 576 1 859 674 Kota Cirebon 7 612 41 520 52 938 40 655 48 094 10 899 9 861 8650 220 229 Kota Bekasi 40 416 183 849 324 159 292 059 421 554 92 955 74 430 100 419 1 529 841 Kota Depok 32 348 130 388 241 088 207 787 258 243 84 261 63 165 63 743 1 081 023 Kota Cimahi 5 358 45 543 101 802 90 193 97 337 34 827 13 395 7 144 395 599 Kota Tasikmalaya 4 566 61 618 200 502 91 516 62 336 14 915 5 715 9 525 450 693 Jawa Barat 1 730 253 6 616 639 12 086 176 4 631 327 3 442 463 1 065 158 511 805 527 767 30 611 588 58 Tabel 9 Banyaknya penduduk kabupatenkota yang bekerja di Jawa Barat menurut mata pencaharian jiwa KabupatenKota Pertanian Pertam- bangan Industri Ligas Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan Lembaga Keuangan Jasa Lainnya Total Bogor 315 871 4 726 339 922 7 220 96 223 311 586 115 457 8 467 200 059 1 399 531 Sukabumi 343 854 2 478 102 908 1 322 41130 161 710 74 494 2 973 100 756 - 831 625 Cianjur 501 356 1 220 49 960 1 336 30 876 126 900 52 196 4 676 53 356 - 821 876 Bandung 328 364 5 226 391 494 3 072 125 002 294 282 114 550 21 116 200 002 - 1 483 108 Garut 378 095 1 550 90 920 - 47 560 188 910 67 690 775 93 915 869 415 Tasikmalaya 318 951 3 147 72 694 522 31 634 172 764 40 717 4 631 40 262 261 685 583 Ciamis 313 953 - 116 076 465 39 932 118 059 66 567 2 431 64 071 - 721 554 Kuningan 187 876 3 333 26 749 713 16 897 125 234 22 137 3 101 48 722 - 434 762 Cirebon 239 538 4 293 198 959 1 431 81 082 158 804 60 799 17 284 63 101 1 543 826 834 Majalengka 170 654 8 076 111 148 658 28 196 117 170 24 726 1 336 42 712 - 504 676 Sumedang 155 277 471 69 087 687 41 022 91 365 18 528 2 532 40 176 - 419 145 Indramayu 442 134 2 616 41 328 - 19 356 129 540 71 574 6 384 72 510 - 785 442 Subang 321 359 - 15 103 - 33 743 96 686 70 190 2 153 42 291 - 581 525 Karawang 171 007 5 055 128 314 842 24 451 166 983 78 429 3 377 70 833 842 650 133 Bekasi 81 972 858 216 348 - 10 472 194 150 118 514 17 380 81 202 720 896 Kota Bogor 4 136 1 551 70 312 1 034 22 231 75 482 25 850 17 578 54 285 272 459 Kota Sukabumi 8 938 - 6 976 218 7 848 38 368 9 810 1 744 15 478 436 89 816 Kota Bandung 12 795 1 706 205 573 7 677 68 240 295 138 50 327 51 180 185 954 878 590 Kota Cirebon 6 206 642 8 346 428 9 202 44 084 8 132 3 852 25 894 106 786 Kota Bekasi 8 060 4 836 199 888 3 224 42 718 150 722 93 496 36 270 157 170 696 384 Kota Depok 13 140 2 920 81 760 4 380 30 660 124 830 60 590 52 560 127 020 497 860 Kota Cimahi 963 - 81 855 2 889 8 667 34 668 10 914 2 247 27 285 642 170 130 Kota Tasikmalaya 24 594 612 50 596 902 12 268 72 524 22 818 3 608 35 312 223 234 Kota Banjar 21 888 940 6 066 - 4 088 12 656 5 476 410 7 714 59 238 Jawa Barat 4 450 695 59 917 2 743 602 40 256 902 209 3 360 849 1 310 420 270 333 1 868 997 3 724 15 011 002 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2006 Komposisi Penduduk menurut Mata Pencaharian Proporsi terbesar penduduk Provinsi Jawa Barat bekerja pada sektor pertanian primer, yaitu sebanyak 4 450 695 orang atau 29.65 persen dari total pekerja di Jawa Barat Tabel 9. Distribusi tenaga kerja terbanyak kedua berada pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, yaitu sebesar 22.39 persen atau sebanyak 3 360 849 orang. Industri pengolahan merupakan sektor ketiga terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 2 743 602 orang atau sekitar 18.28 persen. Sementara yang paling sedikit penyerapan tenaga kerjanya adalah sektor listrik dan gas bumi 0.27 dan sektor pertambangan 0.40 . Kedua sektor ini memang merupakan sektor padat modal dengan tingkat penampungan tenaga kerja yang rendah. Walaupun telah terjadi pergeseran struktur perekonomian Jawa Barat yang mengarah pada sektor industri, namun sektor pertanian ternyata masih merupakan sektor penyerap tenaga kerja tertinggi di provinsi ini. Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten yang proporsi tenaga kerja pertaniannya paling besar di antara sektor lainnya di kabupaten tersebut. Kemudian secara berturut-turut lima kabupatenkota lainnya adalah kabupaten Indramayu 56.29 , Subang 55.26 , Tasikmalaya 46.52 , Ciamis 43.51 dan Garut 43.49 . Secara lengkap distribusi penduduk menurut mata pencahariannya disajikan pada Tabel 10. Kondisi Perekonomian Struktur Perekonomian di Provinsi Jawa Barat secara umum didominasi oleh sektor industri pengolahan. Hal tersebut tercermin dari kontribusinya terhadap PDRB provinsi pada tahun 2004 yang mencapai 130 421 516.47 juta rupiah atau sebesar 43.33 persen dari total PDRB provinsi Tabel 11. Nilai ini terpaut jauh dibandingkan besarnya sumbangan yang diberikan oleh sektor ekonomi lainnya. Sektor perdagangan, hotel dan restoran yang berada pada peringkat kedua, kontribusi PDRB-nya kurang dari separuh kontribusi PDRB sektor industri pengolahan. Sektor perdagangan memberikan sumbangan terhadap PDRB provinsi sebesar 52 846 014.61 juta rupiah 17.56 . Sementara sektor Pertanian yang berada pada posisi peringkat ke-3, sumbangannya terhadap PDRB provinsi hanya 60 Tabel 10 Distribusi penduduk kabupatenkota yang bekerja di Jawa Barat menurut mata pencaharian KabupatenKota Pertani- an Pertam- bangan Industri Ligas Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan Lembaga Keuangan Jasa Lainnya Total Bogor 22.57 0.34 24.29 0.52 6.88 22.26 8.25 0.60 14.29 - 100.00 Sukabumi 41.35 0.30 12.37 0.16 4.95 19.45 8.96 0.36 12.12 - 100.00 Cianjur 61.00 0.15 6.08 0.16 3.76 15.44 6.35 0.57 6.49 - 100.00 Bandung 22.14 0.35 26.40 0.21 8.43 19.84 7.72 1.42 13.49 - 100.00 Garut 43.49 0.18 10.46 - 5.47 21.73 7.79 0.09 10.80 100.00 Tasikmalaya 46.52 0.46 10.60 0.08 4.61 25.20 5.94 0.68 5.87 0.04 100.00 Ciamis 43.51 - 16.09 0.06 5.53 16.36 9.23 0.34 8.88 - 100.00 Kuningan 43.21 0.77 6.15 0.16 3.89 28.81 5.09 0.71 11.21 - 100.00 Cirebon 28.97 0.52 24.06 0.17 9.81 19.21 7.35 2.09 7.63 0.19 100.00 Majalengka 33.81 1.60 22.02 0.13 5.59 23.22 4.90 0.26 8.46 100.00 Sumedang 37.05 0.11 16.48 0.16 9.79 21.80 4.42 0.60 9.59 - 100.00 Indramayu 56.29 0.33 5.26 - 2.46 16.49 9.11 0.81 9.23 - 100.00 Subang 55.26 - 2.60 - 5.80 16.63 12.07 0.37 7.27 - 100.00 Purwakarta 28.43 1.31 21.83 0.44 10.24 20.77 9.43 0.81 6.75 - 100.00 Karawang 26.30 0.78 19.74 0.13 3.76 25.68 12.06 0.52 10.90 0.13 100.00 Bekasi 11.37 0.12 30.01 - 1.45 26.93 16.44 2.41 11.26 - 100.00 Kota Bogor 1.52 0.57 25.81 0.38 8.16 27.70 9.49 6.45 19.92 - 100.00 Kota Sukabumi 9.95 - 7.77 0.24 8.74 42.72 10.92 1.94 17.23 0.49 100.00 Kota Bandung 1.46 0.19 23.40 0.87 7.77 33.59 5.73 5.83 21.17 - 100.00 Kota Cirebon 5.81 0.60 7.82 0.40 8.62 41.28 7.62 3.61 24.25 - 100.00 Kota Bekasi 1.16 0.69 28.70 0.46 6.13 21.64 13.43 5.21 22.57 - 100.00 Kota Depok 2.64 0.59 16.42 0.88 6.16 25.07 12.17 10.56 25.51 - 100.00 Kota Cimahi 0.57 - 48.11 1.70 5.09 20.38 6.42 1.32 16.04 0.38 100.00 Kota Tasikmalaya 11.02 0.27 22.67 0.40 5.50 32.49 10.22 1.62 15.82 - 100.00 Kota Banjar 36.95 1.59 10.24 - 6.90 21.36 9.24 0.69 13.02 - 100.00 Jawa Barat 29.65 0.40 18.28 0.27 6.01 22.39 8.73 1.80 12.45 0.02 100.00 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2006 61 Tabel 11 Produk Domestik Regional Bruto PDRB Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2004 Pering- kat Sektor PDRB juta rupiah Pangsa 1 Industri pengolahan 130 421 516.47 43.33 2 Perdagangan,hotel,dan restoran 52 846 014.61 17.56 3 Pertanian,peternakan,kehutanan, dan perikanan 40 543 533.77 13.47 4 Jasa-jasa 24 778 822.37 8.23 5 Pengangkutan dan komunikasi 15 920 152.26 5.29 6 Listrik, gas,dan air bersih 9 690 285.22 3.22 7 Pertambangan dan penggalian 9 226 933.08 3.07 8 Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 104 543.35 3.02 9 Bangunan 8 480 275.95 2.82 Total 301 012 077.08 100.00 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2004 diolah sekitar 13.47 persen atau sebesar 40 543 533.77 juta rupiah. Fakta ini menunjukkan bahwa perekonomian di Jawa Barat sangat bergantung pada sektor industri pengolahan. Rincian kontribusi sektor perekonomian terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat disajikan pada Tabel 11. Sarana dan Prasarana Wilayah Penelitian Sarana Kesehatan Sarana kesehatan yang ada di Provinsi Jawa Barat mencakup rumah sakit umum, puskesmas induk, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, balai pengobatan dan rumah bersalin. Rincian fasilitas kesehatan tersebut disajikan pada Tabel 12. Dari Tabel itu diketahui bahwa jumlah sarana kesehatan terbanyak berada di Kabupaten Bandung 5 770 unit, kemudian secara berturut-turut adalah Kabupaten Bogor 4 277 unit, Kabupaten Garut 3 640 unit dan Kabupaten Sukabumi 2 826 unit. Di kabupatenkota tersebut proporsi sarana kesehatan terbanyak adalah posyandu dan balai pengobatan. Sementara Kota Bandung merupakan kota yang memiliki jumlah rumah sakit dan balai pengobatan terbanyak di antara kabupatenkota lainnya di Jawa Barat, yaitu masing-masing 28 unit dan 368 unit. 62 Tabel 12 Banyaknya fasilitas sarana kesehatan di Provinsi Jawa Barat unit Kabupaten kota Puskesmas Rumah sakit Induk Pembantu Keliling Balai pengo- batan Posyan- du Polin- des Total Bogor 7 101 73 26 232 3 825 13 4 277 Sukabumi 2 56 94 28 13 2 607 26 2 826 Cianjur 2 43 100 31 37 2 252 51 2 516 Bandung 8 92 89 37 260 5 095 189 5 770 Garut 2 62 113 28 179 3 109 147 3 640 Tasikmalaya 1 40 145 24 45 1 792 225 2 272 Ciamis 3 51 110 34 32 2 135 65 2 430 Kuningan 3 35 70 29 46 1 324 45 1 552 Cirebon 6 44 69 41 59 2 113 23 2 355 Majalengka 2 29 73 20 70 1 379 186 1 759 Sumedang 2 32 71 11 55 1 393 142 1 706 Indramayu 3 49 67 29 43 1 994 19 2 204 Subang 3 39 72 28 98 1 603 115 1 958 Purwakarta 2 19 45 12 33 868 13 992 Karawang 5 41 74 33 130 2 219 30 2 532 Bekasi 4 34 50 9 293 1 713 35 2 138 Kota Bogor 5 24 21 9 77 856 - 992 Kota Sukabumi 4 15 18 7 6 375 - 425 Kota Bandung 28 70 7 368 1 823 - 2 296 Kota Cirebon 8 21 16 12 9 294 2 362 Kota Bekasi 15 31 41 185 1 305 - 1 577 Kota Depok 6 24 5 147 830 10 1 022 Kota Cimahi 1 8 23 4 16 336 - 388 Kota Tasikmalaya 3 14 5 0 39 611 - 672 Kota Banjar 5 3 2 32 - - 42 Sumber: Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2005 Terdapat perbedaan cukup signifikan pada jumlah rumah sakit antara wilayah administratif kota dengan administratif kabupaten. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk masing-masing kabupaten, terjadi ketidakseimbangan proporsi rumah sakit dengan jumlah penduduk yang harus dilayani. Rasio jumlah rumah sakit dan jumlah penduduk di wilayah adminisratif kota jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten yang memiliki lebih banyak desa tertinggal. Nilai rasio terendah terjadi pada wilayah-wilayah administratif kota, yaitu secara berturut-turut dimulai dari yang terendah adalah Kota Cirebon, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya dan Kota Depok. Sementara lima kabupaten dengan ratio tertinggi secara berturut-turut adalah kabupaten 63 Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Cianjur dan Majalengka. Kabupaten-kabupaten tersebut merupakan kabupaten wilayah pertanian yang memiliki desa tertinggal yang relatif banyak. Sarana Pendidikan Sarana pendidikan di Provinsi Jawa Barat terdiri dari Taman Kanak-kanak, SD, SMTP, SMTA dan akademi atau perguruan tinggi, baik sekolah negeri maupun swasta. Tabel 13 memerinci sebaran fasilitas pendidikan dan jumlah guru SD, SMTP dan SMTA di kabupatenkota Jawa Barat. Tabel 13 Banyaknya sekolah dan guru tingkat SD, SMTP dan SMTA di Provinsi Jawa Barat Jumlah Sekolah unit Jumlah Guru orang KabupatenKota SD SMTP SMTA SD SMTP SMTA Bogor 1 633 300 48 11 591 5 607 1 177 Sukabumi 1 173 134 35 7 405 2 705 675 Cianjur 1 241 109 111 7 377 2 504 3 211 Bandung 2 174 277 50 14 104 6 104 1 721 Garut 1 516 139 31 10 819 3 464 895 Tasikmalaya 1 088 120 27 8 192 2 707 949 Ciamis 1 062 94 25 8 081 2 528 812 Kuningan 702 72 42 5 479 1 928 1 136 Cirebon 931 115 20 6 382 3 111 731 Majalengka 828 69 21 4 306 2 036 814 Sumedang 606 78 41 5 901 2 146 1 088 Indramayu 955 114 26 6 508 2 541 405 Subang 889 75 16 6 904 1 201 483 Purwakarta 450 42 28 3 473 1 129 865 Karawang 1 056 90 49 6 963 2 513 1 388 Bekasi 743 96 99 5 687 2 762 2 217 Kota Bogor 312 105 49 3 542 2 473 1 610 Kota Sukabumi 123 33 17 1 251 700 483 Kota Bandung 929 202 120 9 873 6 144 4 680 Kota Cirebon 154 41 25 1 323 969 770 Kota Bekasi 621 169 69 6 218 3 282 1 675 Kota Depok 346 131 51 4 173 2 881 1 227 Kota Cimahi 184 33 17 1 983 1 108 772 Kota Tasikmalaya 265 43 24 2 902 1 604 994 Kota Banjar 87 13 5 774 425 160 Jawa Barat 20 068 2 694 1 046 151 211 64 572 30 938 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2006 64 Sarana sekolah dasar SD terbanyak dimiliki oleh Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor di posisi kedua. Kabupaten ini juga merupakan dua kabupaten yang memiliki sarana SMTP yang terbanyak. Sebagaimana yang telah disinggung bahwa kedua kabupaten ini telah menghasilkan tamatan SD paling banyak. Ketersediaan fasilitas tersebut sesuai dengan besarnya jumlah penduduk usia 10-14 tahun di kedua kabupaten tersebut. Sarana sekolah dengan jenjang yang lebih tinggi, yaitu SMTA, banyak ditemui di Kota Bandung 120 unit yang didukung dengan besarnya jumlah guru pada jenjang tersebut 4 680 orang. Dari satu aspek ini saja, Kota Bandung telah memperlihatkan pesatnya pembangunan, ditunjukkan dengan ketersediaan sarana pendidikan menengah tinggi. Hal ini juga sekaligus menunjukkan besarnya daya tarik Kota Bandung yang menjadikan kota ini sebagai kabupaten dengan tingkat kepadatan tertinggi. Jumlah penduduk di kota ini bahkan lebih tinggi dari Kabupaten Sukabumi yang memiliki luas lahan terbesar. Jumlah sarana sekolah tingkat menengah tinggi ini lebih banyak tersebar di wilayah perkotaan. Lima kabupaten dengan jumlah sarana SMTA terbanyak, yaitu Kota Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kota Depok. Di antara kelompok ini, hanya Kabupaten Cianjur yang merupukan wilayah pertanian. Sarana dan Prasarana Wilayah Sistem Transportasi Jawa Barat dilengkapi dengan sarana transportasi udara dengan tiga bandara udaranya, yaitu yang terbesar adalah Bandara Husein Sastranegara di Kota Bandung, kemudian Bandara Nusa Wiru di Kabupaten Ciamis dan Bandara Penggung di Kabupaten Cirebon. Rincian ketiga bandara udara tersebut ditampilkan pada Tabel 14. 65 Tabel 14 Bandara udara di Jawa Barat No Nama Bandara Lokasi Bandara Deskripsi 1 Husein Sastranegara Kota Bandung Panjang Landasan Km: 2.25 Jenis Pesawat yang Bisa Mendarat: B-737 2 Nusa Wiru Kabupaten Ciamis Panjang Landasan Km: 1.27 Jenis Pesawat yang Bisa Mendarat: CN- 235 3 Penggung Kabupaten Cirebon Panjang Landasan Km: 1.27 Jenis Pesawat yang Bisa Mendarat: F-27 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2007 Untuk mendukung aktivitas lalu lintas penduduk dan barang, provinsi ini juga dilengkapi dengan 9 sembilan pelabuhan laut dengan rincian sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 15. Tabel 15 Pelabuhan laut di Jawa Barat No Nama Pelabuhan Deskripsi Jumlah Dermaga buah: 1 1 Cirebon Panjang Dermaga m: 1 214.00 Jumlah Dermaga buah: 1 2 Eretan Panjang Dermaga m: 50.00 3 Indramayu Jumlah Dermaga buah: 1 4 Kejawanan Jumlah Dermaga buah: 1 Jumlah Dermaga buah: 1 5 Muara Gebang Panjang Dermaga m: 100.00 6 Muara Gembong Jumlah Dermaga buah: 1 7 Pamanukan Jumlah Dermaga buah: 1 Jumlah Dermaga buah: 1 8 Pangandaran Panjang Dermaga m: 30.00 Jumlah Dermaga buah: 1 9 Pelabuhan Ratu Panjang Dermaga m: 200.00 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2007 KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH DI JAWA BARAT Pengelompokan KabupatenKota berdasarkan Sektor Basis dan Sektor Kompetitif Wilayah Cakupan 25 kabupatenkota yang berada pada wilayah Provinsi Jawa Barat menunjuk pada keberagaman antarwilayah. Keberagaman sebagai cerminan variasi spasial meliputi: 1 keragaman karakteristik dari kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia maupun sumberdaya sosial serta 2 permasalahan spesifik di masing- masing wilayah. Keberagaman spasial ini berimplikasi pada pilihan sektor ekonomi andalan yang dapat dikembangkan di masing-masing wilayah untuk mendukung aktivitas ekonomi daerah tersebut. Pilihan sektor ekonomi yang tepat, yaitu yang sesuai dengan karakteristik dan permasalahan wilayah, akan memperkaya kapabilitas masyarakat di dalamnya, mengurangi permasalahan wilayah, memperkokoh daya saing wilayah, yang keseluruhan hasilnya akan tercermin pada peningkatan kinerja pembangunan daerah. Sebaliknya, pilihan yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah, akan memunculkan berbagai permasalahan, yang berimplikasi pada kemunduran kinerja pembangunan wilayah di Jawa Barat. Dengan pemikiran demikian, maka perlu dilakukan pengukuran kinerja pembangunan di masing-masing wilayah dengan basis ekonomi yang beragam tersebut, untuk mengetahui permasalahan pembangunan yang telah meluas serta faktor pemicu permasalahan itu. Berdasarkan nilai LQ PDRB sektor ekonomi yang terbesar di masing- masing kabupatenkota, dihasilkan empat kelompok kabupatenkota utama di Jawa Barat, yaitu kelompok kabupaten pertanian, kabupatenkota industri, kabupatenkota jasa dan kabupaten pertambangan, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 16. Data PDRB dan hasil analisis LQ dan SSA per kabupaten disajikan pada Lampiran 2 sampai Lampiran 5. Secara spasial dalam bentuk penyajian peta ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 8. Kabupaten Garut, Cianjur, Tasikmalaya, Sukabumi, Majalengka, Cirebon, Subang, Kuningan, Ciamis dan Sumedang dari hasil analisis LQ termasuk ke dalam kelompok kabupaten pertanian. Tetapi ternyata sektor pertanian di 6 kabupaten pertanian, yaitu Garut, Tasikmalaya, Majalengka, Kuningan, Ciamis dan Sumedang, dari hasil analisa SSA tidak teridentifikasi sebagai sektor kompetitif. Dari 10 kabupaten basis pertanian, hanya teridentifikasi 4 kabupaten yang pertumbuhan sektor pertaniannya mampu bersaing dengan wilayah lainnya atau teridentifikasi sebagai sektor kompetitif. Sementara di kelompok wilayah berbasis sektor jasa, sektor pertaniannya justru unggul secara kompetitif, begitu pula yang terjadi pada kabupaten industri Tabel 16. Indikasi ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian di wilayah basis pertanian sendiri masih belum optimal, bahkan pertumbuhannya masih tertinggal dari sektor pertanian kabupaten lainnya yang bukan berbasis pertanian. Padahal secara umum, apabila dilakukan perbandingan nilai LQ masing- masing sektor andalan kelompok kabupaten, maka dapat dilihat bahwa nilai LQ sektor andalan kelompok kabupaten pertanian LQ Pertanian menunjukkan nilai rata-rata yang lebih besar dari nilai LQ sektor andalan kelompok kabupaten industri dan kabupaten jasa. Nilai rata-rata LQ sektor pertanian pada kabupaten pertanian sebesar 2.71, masih lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata LQ sektor industri pada kabupaten industri 1.51 dan nilai rata-rata LQ sektor jasa pada kabupaten jasa 1.89. Ini menunjukkan bahwa proporsi PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB seluruh sektor di kabupaten pertanian masih lebih besar dibandingkan dengan proporsi PDRB sektor industri terhadap total PDRB seluruh sektor di kabupaten industri. Hal yang sama dengan kabupaten jasa. Atau dapat dikatakan bahwa sebenarnya kabupaten pertanian sangat didukung oleh kekayaan sumberdaya yang dapat membiayai kegiatan ekonomi sektor andalannya dibandingkan kedua kelompok kabupaten lainnya. Kabupatenkota industri menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan kabupaten pertanian. Sebanyak 5 dari 6 kabupatenkota industri, sektor industrinya teridentifikasi sebagai sektor basis sekaligus sektor kompetitif Tabel 16. Hanya kota Cimahi yang sektor industrinya tidak memiliki keunggulan bersaing antarwilayah. Ini menunjukkan bahwa pusat-pusat industri di Jawa Barat selain memiliki basis sumberdaya yang kuat, pertumbuhan sektornya juga mampu bersaing dengan kabupaten lainnya di Jawa Barat. Pada kelompok kabupatenkota jasa, sektor jasa di semua kabupatenkota jasa teridentifikasi sebagai sektor basis sekaligus sektor kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa kabupaten jasa didukung oleh sumberdaya ekonomi di bidang jasa yang cukup baik dan dengan pertumbuhan yang mampu bersaing dengan sektor jasa wilayah lainnya di Jawa Barat. Tabel 16 Sektor kompetitif dan sektor komparatif kabupatenkota di Provinsi Jawa Barat Sektor KabupatenKota TANI IND JASA TAMB LIGAS PDAG BNGN ANGK KEU Kabupaten Pertanian Garut B K B K B Cianjur K,B B K B B B K,B Tasikmalaya B B K B B B Sukabumi K,B K B K K K K K,B K,B Majalengka B K B K K B B B Cirebon K,B K,B K K,B B B B B Subang K,B K K,B K K K K Kuningan B K K,B K B B B Ciamis B B K B B K,B K,B Sumedang B B K K,B B K,B KabKota Industri Bekasi K, B K K K,B K K Kota Cimahi K B K B B Bogor K, B K B B Bandung K K, B K K K,B K K B Karawang K, B K B K,B K Kota Bekasi K, B K - K K,B K,B K,B B KabKota Jasa Kota Sukabumi K K B K B B B K,B Kota Tasikmalaya K B K B B B K,B Kota Bandung K B - K,B K,B B K,B K,B Kota Depok K K K,B - B B B K,B B Kota Bogor K K K,B - K,B B B K,B K,B Kota Cirebon K K,B - B B B B Purwakarta K B K K B B K,B K,B Kota Banjar B B K K,B B K,B B Kabupaten Pertambangan Indramayu B K K Sumber: Data PDRB Provinsi Jawa Barat tahun 2000 2004, diolah dengan analisis LQ dan SSA Keterangan: TANI : Pertanian TAMB : Pertambangan Penggalian IND : Industri Pengolahan JASA : Jasa-jasa LIGAS : Listrik, Gas Air Bersih PDAG : Pdag, Hotel Resto BNGN : Bangunan ANGK : Pengangkutan Komunikasi KEU : Keuangan, Persewaan K : Sektor Kompetitif B : Sektor Basis Jasa Tanda asterik menunjukkan sektor-sektor yang dikelompokkan menjadi sektor jasa Huruf B tebal menunjukkan sektor basis dengan nilai LQ terbesar 69 Gambar 5 Peta sektor basis dan kompetitif pertanian dan pertambangan Provinsi Jawa Barat. 70 Gambar 6 Peta sektor basis dan kompetitif industri di Provinsi Jawa Barat. 71 Gambar 7 Peta sektor basis dan kompetitif jasa di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Indramayu merupakan satu-satunya kabupaten yang mewakili kabupaten pertambangan. Nilai LQ sektor pertambangan kabupaten ini cukup mencolok diantara nilai LQ sektor lainnya di wilayah tersebut. Namun sektor ini ternyata tidak memiliki keunggulan kompetitif, yang diindikasikan dengan nilai differential shift yang negatif. Nilai negatif tersebut merupakan cerminan dari pertumbuhan sektor pertambangan Indramayu yang beberapa kali mengalami perlambatan atau pertumbuhan negatif selama periode 2001 - 2004. Kinerja Pembangunan Wilayah di Jawa Barat Kinerja pembangunan ekonomi regional Jawa Barat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya adalah melalui pertumbuhan PDRB, kontribusi pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten, tingkat pemerataan atau kesenjangan wilayah ataupun tingkat pengangguran, yang dianalisis pada masing-masing kelompok kabupatenkota Jawa Barat Pembangunan Ekonomi di Jawa Barat Pertumbuhan PDRB Wilayah Pada periode tahun 2000 – 2005, trend pertumbuhan PDRB Jawa Barat tampak berfluktuasi Gambar 8 dan Tabel 17. Laju pertumbuhan PDRB tertinggi dicapai pada tahun 2004, yaitu mencapai 5.45 persen per tahun, tetapi pada tahun 2005 laju pertumbuhannya turun menjadi 5.07 persen. Industri pengolahan yang mendominasi sektor ekonomi Jawa Barat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan PDRB provinsi ini. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kelompok kabupaten industri pengolahan 5.20 per tahun telah mengangkat angka rata-rata laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat 5.03 tahun. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kabupaten industri adalah yang tertinggi diantara keempat kelompok kabupatenkota. Kabupaten jasa, pada posisi kedua, juga memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan rata-rata laju pertumbuhan PDRB provinsi. Tabel 17 Pertumbuhan PDRB kelompok kabupaten di Provinsi Jawa Barat tahun 2001 – 2005 Tahun Kelompok Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata 2001-2005 Kab. Pertanian 4.82 4.55 4.09 4.69 4.49 4.43 Kab.Kota Industri 7.74 4.49 4.78 5.50 5.57 5.20 Kab.Kota Jasa 4.80 5.02 5.12 5.44 5.44 5.17 Kab.Kota Pertambangan 0.20 6.03 0.24 3.77 0.28 1.82 Jawa Barat 4.74 5.00 4.57 5.45 5.07 4.97 Sumber: BPS, beberapa tahun penerbitan 2001 – 2006 Gambar 8 Perkembangan pertumbuhan PDRB Jawa Barat dan kelompok kabupaten pertanian, industri, jasa dan pertambangan. Angka rata-rata laju pertumbuhannya sebesar 5.17 persen per tahun. Sementara kelompok kabupaten pertanian berada pada posisi ketiga dengan angka rata-rata laju pertumbuhan sebesar 4.43 persen. Walaupun angka tersebut berada di bawah angka rata-rata provinsi, rata-rata laju pertumbuhan PDRB kelompok kabupaten ini masih lebih tinggi dibandingkan kabupatenkota pertambangan 1.82 per tahun. Pertumbuhan yang rendah tersebut dapat 1,00 - 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun P er tum buhan P D R B tah un Jawa Barat Kab. Pertanian Kab.Kota Industri Kab.Kota Jasa Kab.Kota Pertambangan Tahun disebabkan ketersediaan sumberdaya alam yang bersifat nonrenewable dan ketergantungan yang kuat dari sektor pertambangan dengan perusahaan berskala besar tertentu. Dari analisis ini, terlihat adanya kecenderungan percepatan pembangunan di kabupatenkota industri dan jasa. Sebaliknya di kabupaten pertanian, pertumbuhan sektor ekonominya jauh tertinggal dibandingkan dengan kabupaten Tabel 18 Pertumbuhan PDRB kabupaten atas dasar harga konstan 2000 periode 2001 – 2005 per tahun Pertumbuhan PDRB Rata-rata 2001- 2005 No. KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005 Kabupaten Pertanian 1 Garut 3.62 3.96 2.70 4.01 4.16 3.69 2 Cianjur 3.69 3.74 3.68 3.97 3.82 3.78 3 Tasikmalaya 2.74 3.07 3.44 3.52 3.83 3.32 4 Sukabumi 8.15 7.65 6.05 6.77 3.66 6.45 5 Majalengka 4.89 3.31 3.25 4.09 4.47 4.00 6 Cirebon 4.88 4.12 4.04 4.67 5.06 4.56 7 Subang 4.60 7.41 6.22 7.29 6.90 6.48 8 Ciamis 2.90 4.27 4.07 4.36 4.58 4.04 9 Kuningan 4.25 4.07 3.50 3.98 3.94 3.95 10 Sumedang 3.66 3.95 3.93 4.30 4.48 4.06 Rata-rata 4.82 4.55 4.09 4.69 4.49 4.43 KabKota Industri 11 Bekasi 4.80 5.00 5.72 6.10 5.97 5.52 12 Kota Cimahi 4.26 4.03 4.18 4.34 4.56 4.28 13 Bogor 3.94 4.43 4.87 5.51 5.81 4.91 14 Bandung 4.91 4.97 5.02 5.63 5.01 5.11 15 Karawang 10.95 3.40 3.66 6.06 6.46 6.11 16 Kota Bekasi 5.09 5.12 5.25 5.36 5.60 5.29 Rata-rata 7.74 4.49 4.78 5.50 5.57 5.20 KabupatenKota Jasa 17 Kota Sukabumi 5.08 5.34 5.39 5.77 5.93 5.51 18 Kota Tasikmalaya 3.75 4.24 4.43 4.99 4.02 4.29 19 Kota Bandung 7.54 7.13 7.34 7.49 7.53 7.40 20 Kota Depok 5.89 6.10 6.29 6.41 6.93 6.32 21 Kota Bogor 5.68 5.79 6.07 6.10 6.12 5.95 22 Kota Cirebon 3.84 4.22 4.27 4.66 4.89 4.38 23 Purwakarta 3.50 4.00 3.01 3.72 3.51 3.55 24 Kota Banjar 3.14 3.30 4.20 4.40 4.63 3.93 Rata-rata 4.80 5.02 5.12 5.44 5.44 5.17 Kabupaten Pertambangan 25 Indramayu 0.20 6.03 0.24 3.77 0.28 1.82 Jawa Barat 4.74 5.00 4.57 5.45 5.07 4.97 Sumber: BPS, beberapa tahun penerbitan 2001-2006 industri dan jasa. Kondisi ini sangat berkaitan dengan perlakuan pembangunan terhadap wilayah dan sektor ekonomi utama yang menjadi penopang ekonomi masyarakatnya. Apabila dikaitkan dengan dominannya penduduk Jawa Barat yang bergantung pada sektor ini, seharusnya sektor pertanian perlu dipacu dan diberdayakan dengan mengoptimalkan segala sumberdaya lokal yang ada pada daerah tersebut. Kontribusi Pertumbuhan Sektor Ekonomi di Jawa Barat Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing kabupatenkota dalam membentuk trend PDRB provinsi. Tabel 19 menyajikan kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi kabupatenkota Jawa Barat pada periode 2001-2005. Pada periode tersebut, trend PDRB Jawa Barat cenderung mengalami peningkatan dan bertahan pada angka dua dijit 5 per tahun, kecuali pada tahun 2003 yang mengalami sedikit penurunan 4.57 per tahun. Dilihat dari persentase kontribusi pertumbuhan kabupaten terhadap pertumbuhan PDRB provinsi pada periode 2001-2005, terdapat perbedaan pola pada masing-masing kelompok kabupatenkota. Pada kelompok kabupatenkota jasa, secara umum kontribusi pertumbuhan sektor ekonominya relatif rendah, bahkan lebih rendah dari kelompok kabupaten pertanian. Pada umumnya, kontribusi pertumbuhan kabupatenkota jasa berada di dalam selang yang rendah 0.25 – 2.44 persen, kecuali kota Bandung 8.18 – 8.89 persen. Kota Bandung merupakan satu-satunya kota jasa yang memberikan angka kontribusi pertumbuhan yang tinggi, meninggalkan kabupatenkota jasa lainnya. Kabupaten pertanian menunjukkan kontribusi yang cenderung lebih tinggi dan lebih seragam, yaitu pada interval 1.38 - 4.00 persen. Sedangkan kabupatenkota industri, pada umumnya memberikan kontribusi yang tinggi, yaitu berada pada interval 4.96 - 16.99 persen, kecuali Kota Cimahi sekitar 2.0 persen. Informasi rendahnya kontribusi pertumbuhan dari kabupatenkota jasa terhadap laju pertumbuhan provinsi tidak muncul dalam analisis laju pertumbuhan sebelumnya. Dari analisis ini ditunjukkan bahwa kabupaten 76 Tabel 19 Kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi di Jawa Barat tahun 2001-2005 Kontribusi Sumber Pertumbuhan tahun Persentase No. KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005 2001 2002 2003 2004 2005 Kabupaten Pertanian 1 Garut 0.19 0.20 0.18 0.21 0.19 4.00 3.96 3.92 3.85 3.80 2 Cianjur 0.15 0.15 0.14 0.16 0.15 3.10 3.07 3.03 3.00 2.96 3 Tasikmalaya 0.10 0.10 0.09 0.10 0.10 2.01 1.97 1.93 1.91 1.88 4 Sukabumi 0.15 0.17 0.16 0.19 0.18 3.25 3.36 3.44 3.49 3.54 5 Majalengka 0.07 0.08 0.07 0.08 0.07 1.53 1.53 1.51 1.49 1.47 6 Cirebon 0.13 0.14 0.12 0.15 0.14 2.73 2.73 2.71 2.69 2.67 7 Subang 0.11 0.12 0.11 0.14 0.13 2.42 2.41 2.47 2.51 2.55 8 Kuningan 0.07 0.07 0.06 0.08 0.07 1.43 1.43 1.41 1.40 1.38 9 Ciamis 0.12 0.13 0.12 0.14 0.13 2.59 2.54 2.52 2.51 2.49 10 Sumedang 0.10 0.11 0.10 0.11 0.10 2.13 2.10 2.08 2.07 2.05 Kab.Kota Industri Pengolahan 11 Bekasi 0.79 0.83 0.76 0.92 0.86 16.69 16.70 16.70 16.88 16.99 12 Kota Cimahi 0.11 0.11 0.10 0.12 0.11 2.27 2.26 2.24 2.23 2.21 13 Bogor 0.48 0.50 0.46 0.55 0.51 10.12 10.05 9.99 10.02 10.03 14 Bandung 0.42 0.45 0.41 0.49 0.45 8.90 8.91 8.91 8.95 8.96 15 Karawang 0.26 0.29 0.26 0.31 0.29 5.43 5.75 5.66 5.61 5.64 16 Kota Bekasi 0.24 0.25 0.23 0.27 0.25 4.96 4.98 4.98 5.01 5.01 KabupatenKota Jasa - - - - - - - - - - 17 Kota Sukabumi 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.59 0.59 0.59 0.60 0.60 18 Kota Tasikmalaya 0.06 0.06 0.06 0.07 0.06 1.31 1.29 1.28 1.28 1.28 19 Kota Bandung 0.39 0.42 0.39 0.48 0.45 8.18 8.39 8.57 8.79 8.96 20 Kota Depok 0.09 0.10 0.09 0.11 0.10 1.91 1.93 1.95 1.98 2.00 21 Kota Bogor 0.07 0.07 0.07 0.08 0.08 1.46 1.47 1.49 1.51 1.52 22 Kota Cirebon 0.10 0.11 0.10 0.11 0.11 2.14 2.12 2.11 2.10 2.09 23 Purwakarta 0.12 0.12 0.11 0.13 0.12 2.44 2.41 2.39 2.35 2.31 24 Kota Banjar 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.27 0.26 0.26 0.26 0.25 KabupatenKota Pertambangan 25 Indramayu 0.39 0.39 0.36 0.41 0.37 8.15 7.77 7.85 7.49 7.37 Jawa Barat 4.74 5.00 4.57 5.45 5.07 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 pertanian sebenarnya memiliki kontribusi yang lebih baik terhadap pertumbuhan perekonomian Jawa Barat dibandingkan dengan kabupatenkota jasa pada umumnya. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kelompok kabupatenkota industri dan jasa memiliki variasi kontribusi pertumbuhan yang cukup tinggi, sebaliknya kabupaten pertanian memperlihatkan kecenderungan yang lebih seragam. Indikasi ini memberikan sinyal bahwa sekalipun dengan sektor andalan yang sama, terjadi kecenderungan kesenjangan pertumbuhan ekonomi di dalam kelompok kabupaten industri atau jasa. Kesenjangan Wilayah Pendekatan Indeks Williamson Pendekatan popular untuk mengidentifikasi kesenjangan antarwilayah adalah analisis Indeks Williamson, yang menggunakan data dasar PDRB per kapita kabupatenkota di Jawa Barat. Dari hasil analisis, terungkap telah terjadi kesenjangan antarwilayah yang tinggi di Provinsi Jawa Barat, yang diindikasikan dengan angka indeks provinsi 0.6 pada rentang indeks kesenjangan sangat tinggi 0.5 – 1.0. Walaupun selama periode tahun 2000 – 2005, kecenderungan tingkat kesenjangan Provinsi Jawa Barat tidak terlalu fluktuatif Gambar 9, namun perlu diwaspadai bahwa sejak tahun 2003 nilai indeksnya cenderung naik. Ini menunjukkan bahwa selama periode tersebut, pembangunan ekonomi belum berhasil merata di kabupatenkota di provinsi ini, bahkan secara perlahan tingkat kesenjangan wilayah cenderung meningkat. Kabupatenkota industri diidentifikasi memiliki nilai indeks yang tertinggi diantara ketiga kelompok kabupaten tersebut dan termasuk ke dalam kategori kesenjangan tinggi. Nilai indeks kelompok kabupatenkota industri selama periode 2000 – 2005 meningkat dari 0.52 tahun 2000 menjadi 0.58 tahun 2005. Kecenderungan yang sama terjadi pada kabupatenkota jasa, dimana nilai indeks pada tahun 2005 0.52 sudah tergolong ke dalam kesenjangan wilayah yang tinggi. Nilai ini telah bergeser dari nilai tahun-tahun sebelumnya yang berada pada kesenjangan menengah sekitar 0.4. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pembangunan kabupatenkota industri dan jasa di Jawa Barat cenderung mengarah pada ketidakmerataan antarwilayah, sekalipun di dalam kelompoknya sendiri dengan sektor andalan yang sama. Sebaliknya pada kabupaten pertanian, 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun In d e k s W illi a m s o n Total Jawa Barat Kab. Pertanian Kab. Kota Indus tri Kab.Kota Jas a Gambar 9 Perkembangan Indeks Williamson kelompok kabupatenkota dan Provinsi Jawa Barat tahun 2000 - 2005. wilayah basis sektor pertanian tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Nilai indeks kelompok kabupaten pertanian selama periode tersebut berada pada interval 0.13 – 0.18, yang masih tergolong dalam kategori kesenjangan rendah. Dalam analisis ini, kabupaten pertambangan tidak disertakan, disebabkan hanya terdiri dari satu kabupaten Indramayu sehingga dinilai tidak representatif dalam menggambarkan kesenjangan antar kelompok kabupaten tersebut. Tabel 20 Indeks Williamson Provinsi Jawa Barat, kabupaten pertanian, kabupatenkota industri, kabupatenkota jasa tahun 2000-2005 Total Jawa Barat Kabupaten Pertanian Kabupaten Kota Industri Pengolahan Kabupaten Jasa Tahun Nilai Kriteria Nilai Kriteria Nilai Kriteria Nilai Kriteria 2000 0.65 Tinggi 0.13 Rendah 0.52 Tinggi 0.44 Menengah 2001 0.64 Tinggi 0.13 Rendah 0.57 Tinggi 0.43 Menengah 2002 0.65 Tinggi 0.13 Rendah 0.56 Tinggi 0.44 Menengah 2003 0.63 Tinggi 0.15 Rendah 0.57 Tinggi 0.44 Menengah 2004 0.65 Tinggi 0.15 Rendah 0.57 Tinggi 0.47 Menengah 2005 0.66 Tinggi 0.18 Rendah 0.58 Tinggi 0.52 Tinggi Sumber: BPS Jawa Barat, beberapa tahun penerbitan 2001-2006, diolah Di sisi lain, tingkat kesenjangan kabupaten pertanian yang rendah, diikuti dengan PDRB per kapita yang rendah pula. Nilai rata-ratanya hanya setengah dari rata-rata pendapatan perkapita kelompok kabupaten lainnya Lampiran 6. Nilai tambah yang rendah dari sektor pertanian, sebagai basis andalan daerah, telah membentuk pendapatan masyarakat pertanian yang rendah pula. Oleh karena itu, pada wilayah tersebut perlu dilakukan pembenahan pembangunan pertanian secara mendasar. Kesenjangan Tingkat Pendapatan Pendekatan Gini Ratio Analisis yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kesenjangan pendapatan penduduk adalah gini ratio atau indeks gini. Data dasar disajikan pada Lampiran 7 dan 8. Hasil analisis Tabel 21 menunjukan bahwa pada dua titik waktu 2002 dan 2005, kesenjangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan dan tingkat kesenjangan pendapatan cenderung semakin tajam di tahun 2005. Jika dikaitkan dengan wilayah administratif kota Tabel 21 Indeks Gini pendapatan penduduk perkotaan, perdesaan dan agregat Provinsi Jawa Barat tahun 2002 dan 2005 Tahun Perkotaan Perdesaan Agregat 2002 0.29 0.22 0.29 2005 0.32 0.26 0.34 Sumber: BPS 2002 dan BPS 2006, diolah Jawa Barat yang seluruhnya didukung oleh sektor industri atau jasa, dan dengan data bahwa persentase desa yang diklasifikasikan sebagai desa pertumbuhan jauh lebih banyak pada daerah administratif kota Lampiran 9, maka indikasi ini menunjukkan bahwa kabupaten dengan andalan sektor industri atau sektor jasa di Jawa Barat berpotensi memunculkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Percepatan pembangunan di pusat pertumbuhan yang diikuti dengan bergairahnya berbagai jenis usaha perekonomian, telah memperlebar senjang antara masyarakat yang mampu menangkap peluang bisnis bernilai tambah tinggi dengan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Masyarakat yang tidak memiliki kapasitas tersebut menjadi terpinggirkan dan mengambil bagian dari sektor informal yang bernilai tambah marjinal. Sementara kondisi tingkat kesejahteraan yang rendah dan minimnya fasilitas usaha di perdesaan, yang sangat kontradiktif dengan kondisi perkotaan, juga ikut mendorong masyarakat desa berkompetisi untuk berusaha di perkotaan. Kesenjangan Penguasaan Lahan dan Fragmentasi Lahan Indeks Gini penguasaan lahan hasil analisis disajikan pada Tabel 22 dan Tabel 23, sedangkan data dasar disajikan pada Lampiran 10. Secara agregat, Tabel 22 menunjukkan bahwa angka Indeks Gini beberapa kabupaten pada kelompok kabupatenkota industri atau jasa 0.28 – 0.61 berada pada interval kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan angka indeks kabupaten pertanian dan pertambangan 0.64 – 0.76, kecuali Kota Banjar 0.74, Purwakarta 0.69, Karawang 0.66 dan Kota Bandung 0.65. Tabel 22 Indeks Gini penguasaan lahan kelompok kabupaten Jawa Barat tahun 2004 Rata-rata Proporsi RT Pertanian berdasarkan Golongan Penguasaan Luas Lahan Kelompok KabupatenKota Interval Indeks Gini 999 m 2 1 000 - 4 999 m 2 5 000 - 9 999 m 2 10 000 - 19 999 m 2 20 000 - 29 999 m 2 30 000 m 2 Kab. industri jasa 0.28 - 0.61 0.65 - 0.74 48.0 36.8 9.1 4.0 1.1 1.0 Kab.Pertanian Petambangan 0.64 - 0.76 22.9 53.0 15.6 6.2 1.4 0.9 Keterangan: menunjukkan nilai ekstrim atau di luar nilai rata-rata Indeks Gini kabupatenkota pada umumnya Sebaran nilai Indeks Gini kabupatenkota kurang menunjukkan pola yang signifikan untuk mendeskripsikan tingkat kesenjangan lahan. Selain itu, interpretasi tingkat kesenjangan lahan tidak dapat disamakan dengan interpretasi tingkat kesenjangan pendapatan seperti yang telah dipaparkan. Tingkat penguasaan lahan yang merata tidak berarti menunjukkan kondisi yang diharapkan. Selain itu, kondisi sesungguhnya lahan pertanian di Jawa Barat pada umumnya telah terfragmentasi menjadi luasan lahan yang sempit, sehingga sangat dimungkinkan penguasaan lahan dominan berada pada lahan-lahan yang sempit hingga luasan skala menengah. Dengan alasan tersebut, maka interpretasi akan lebih rasional dan akan lebih ditekankan pada penelusuran data rata-rata proporsi jumlah rumah tangga pertanian berdasarkan golongan penguasaan luas lahan, yang dapat menunjukkan kecenderungan sebaran fragmentasi lahan pada masing-masing kelompok kabupaten. Tabel 23 Indeks Gini penguasaan lahan kabupatenkota di Jawa Barat Gini Ratio KabupatenKota Kelompok Kabupaten Perkotaan Perdesaan Agregat 1. Bogor Industri 0.48 0.81 0,57 2. Sukabumi Pertanian 0.45 0.81 0,69 3. Cianjur Pertanian 0.46 0.80 0,72 4. Bandung Industri 0.47 0.83 0,61 5. Garut Pertanian 0.42 0.81 0,69 6. Tasikmalaya Pertanian 0.40 0.81 0,68 7. Ciamis Pertanian 0.41 0.80 0,76 8. Kuningan Pertanian 0.37 0.83 0,74 9. Cirebon Pertanian 0.51 0.79 0,64 10. Majalengka Pertanian 0.40 0.82 0.73 11. Sumedang Pertanian 0.40 0.81 0.74 12. Indramayu Pertambangan 0.53 0.77 0.73 13. Subang Pertanian 0.57 0.79 0.69 14. Purwakarta Jasa 0.48 0.80 0.69 15. Karawang Industri 0.58 0.76 0.66 16. Bekasi Industri 0.60 0.77 0.60 17. Kota Bogor Jasa 0.52 0.87 0.28 18. Kota Sukabumi Jasa 0.48 0.87 0.48 19. Kota Bandung Jasa 0.65 0.65 20. Kota Cirebon Jasa 0.50 0.50 21. Kota Bekasi Industri 0.42 0.42 22. Kota Depok Jasa 0.46 0.87 0.33 23. Kota Cimahi Industri 0.50 0.50 24. Kota Tasikmalaya Jasa 0.45 0.84 0.56 25. Kota Banjar Jasa 0.39 0.81 0.74 Keterangan: Tanda asterik menunjukkan indeks gini tidak dihasilkan karena pada wilayah tersebut tidak terdapat daerah perdesaan Jika mengacu pada nilai Indeks Gini, ditunjukkan bahwa nilai indeks relatif rendah pada wilayah kabupatenkota industrijasa. Hal tersebut disebabkan proporsi jumlah rumah tangga yang memiliki dua interval luas lahan yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat 999 m 2 dan 10 000 – 4 999 m 2 , nilainya tidak berbeda jauh atau tersebar lebih merata. Jika dilakukan penelusuran data dasarnya, diketahui bahwa pada kabupatenkota industri dan jasa, rata-rata proporsi rumah tangga yang memiliki lahan paling sempit 999 m 2 cukup besar, yaitu mencapai 48.0 persen, sedangkan pada kabupaten pertanianpertambangan hanya sekitar 22.9 persen. Pada kabupaten pertanianpertambangan ini, proporsi jumlah rumah tangga terbanyak 53.0 berada pada golongan penguasaan lahan yang setingkat lebih luas, yaitu 1 000 – 4 999 m 2 . Ini menunjukkan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan di kabupaten kota industri atau jasa lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pertanian pertambangan Tabel 22. Kecenderungan seperti yang telah diuraikan tercermin terutama di daerah perkotaan. Di daerah perkotaan, kecenderungan fragmentasi lahan pada kabupatenkota industri dan jasa terutama di kota administratifnya lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten pertanian Lampiran 10. Hal ini mengindikasikan bahwa di daerah perkotaan, proses fragmentasi lahan dipercepat oleh aktivitas sektor ekonomi basis wilayah dan penerapan pembangunan pusat pertumbuhan. Di wilayah perdesaan, kecenderungan fragmentasi lahan hanya terjadi pada kabupaten dengan status administratif kota, kecuali Kota Banjar dan Kota Tasikmalaya. Dapat dikatakan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan tersebut tidak signifikan tidak kentara di daerah perdesaan wilayah administratif kabupaten, baik kabupaten pertanian maupun kabupaten industri atau jasa yang bukan kota administratif. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan fragmentasi lahan di perdesaan lebih dipicu oleh faktor percepatan pembangunan di pusat pertumbuhan di kota administratif, dibandingkan faktor sektor ekonomi yang menjadi basis perekonomian wilayah. Tingkat Pengangguran Analisis tingkat pengangguran, sebagaimana analisis lainnya, didekati dengan membagi kabupatenkota ke dalam empat kelompok sektor utama. Data dasar disajikan pada Lampiran 11, sedangkan hasil analisis tingkat pengangguran per kabupatenkota Jawa Barat disajikan pada Tabel 24. Gambar 10 memperlihatkan bahwa selama periode 2001-2005, trend tingkat pengangguran yang tertinggi terjadi pada kelompok kabupatenkota jasa. Walaupun berdasarkan Tabel 24, kabupaten pertambangan Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten yang memiliki rata-rata tingkat pengangguran tertinggi, namun angka rata-rata yang tinggi ini sebenarnya akibat adanya lonjakan tingkat pengangguran yang tinggi pada tahun 2002, yaitu mencapai 64.52. Tetapi pada tahun berikutnya 2003 sampai tahun 2005 kembali normal, bahkan nilainya lebih rendah dibandingkan kelompok kabupaten lainnya. Tabel 24 Perkembangan tingkat pengangguran kelompok kabupaten di Jawa Barat 2001-2005 Tahun Kelompok Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata Tahun 2001-2005 Kabupaten Pertanian 4.94 12.37 12.82 9.80 9.27 9.84 KabupatenKota Industri 8.69 16.77 17.14 15.38 14.84 14.56 KabupatenKota Jasa 9.60 17.62 19.20 14.26 14.35 15.01 Kabupaten Pertambangan 2.89 64.52 10.10 8.39 8.21 18.82 Jawa Barat 6.61 15.18 15.42 12.25 11.91 12.27 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, beberapa tahun penerbitan 2001-2006, diolah - 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun T ing k at P en gan ggur a n Kab. Pertanian Kab.Kota Industri Kab.Kota Jasa Kab.Kota Pertambangan Jaw a Barat Gambar 10 Tingkat pengangguran kelompok kabupaten di Provinsi Jawa Barat 2001-2005. Apabila nilai ekstrim tingkat pengangguran pada kabupaten pertambangan dikeluarkan, maka dapat ditunjukkan bahwa tingkat pengangguran tertinggi terjadi pada kelompok kabupatenkota jasa, kemudian diikuti oleh kabupatenkota industri, kabupaten pertanian dan kabupatenkota pertambangan. Rata-rata tingkat pengangguran kabupaten jasa dan industri berada di atas angka rata-rata provinsi Jawa Barat. Ini menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada sektor industri ternyata belum mampu menangani atau justru berpotensi menimbulkan masalah pengangguran di Tabel 25 Perkembangan tingkat pengangguran di Jawa Barat tahun 2001-2005 Tingkat Pengangguran KabupatenKota 2001 2002 2003 2004 2005 KabupatenKota Pertanian Garut 5.32 5 12.80 5 17.15 1 9.43 6 7.47 9 Cianjur 6.72 1 10.63 8 11.80 7 10.90 3 9.18 4 Tasikmalaya 5.15 6 13.21 3 13.95 4 10.52 4 8.99 5 Sukabumi 4.83 7 13.49 2 15.77 3 12.48 1 13.77 1 Majalengka 3.85 9 10.46 9 10.88 8 8.26 9 8.41 6 Cirebon 4.33 8 17.63 1 16.16 2 12.47 2 12.51 2 Subang 5.44 4 10.66 7 8.73 10 8.26 8 7.66 8 Kuningan 6.02 2 12.31 6 12.41 5 9.49 5 10.17 3 Ciamis 1.94 10 9.32 10 9.52 9 7.74 10 6.29 10 Sumedang 5.82 3 13.16 4 11.82 6 8.46 7 8.25 7 Rata-rata 4.94 12.37 12.82 9.80 9.27 Kab.Kota Industri Bekasi 4.81 5 15.91 4 12.53 5 10.56 6 9.71 6 Kota Cimahi - - - 6 19.96 1 19.58 1 Bogor 6.24 4 14.91 5 18.15 3 12.70 5 12.77 4 Bandung 9.43 3 16.85 2 19.13 2 16.71 2 17.23 2 Karawang 10.22 2 19.39 1 20.97 1 16.55 3 17.18 3 Kota Bekasi 12.75 1 16.82 3 14.93 4 15.81 4 12.55 5 Rata-rata 8.69 16.77 17.14 15.38 14.84 KabupatenKota Jasa Kota Sukabumi 14.51 24.93 22.89 20.39 18.09 Kota Tasikmalaya - - - 12.67 14.33 Kota Bandung 9.33 16.43 20.41 14.14 14.45 Kota Depok 9.38 17.82 15.80 12.88 12.79 Kota Bogor 8.09 16.49 19.45 16.18 16.35 Kota Cirebon 9.05 16.43 16.79 11.75 12.61 Purwakarta 7.23 13.61 19.87 10.36 9.93 Kota Banjar - - - 15.66 16.25 Rata-rata 9.60 17.62 19.20 14.26 14.35 Kab.Kota Pertambangan Indramayu 2.89 64.52 10.10 8.39 8.21 Ket.: Kolom tanda asterik menunjukkan peringkat tingkat penggangguran dari angka yang tertinggi Sumber: BPS Jawa Barat beberapa tahun penerbitan 2001-2005, diolah Provinsi Jawa Barat. Pengembangan industri padat modal memiliki keterbatasan untuk menampung tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Tingkat pengangguran terendah selama periode tahun 2002 – 2005 terjadi pada kabupaten pertanian. Tabel 25 menunjukkan bahwa pada tahun 2004, kabupaten Ciamis, Subang dan Majalengka merupakan kabupaten dengan tingkat pengangguran terendah di Jawa Barat. Sedangkan pada tahun 2005, tingkat pengangguran terendah provinsi terjadi di kabupaten Ciamis dan Garut. Kabupaten tersebut semuanya dari kelompok kabupaten pertanian. Dari tabel tersebut ditunjukkan bahwa angka tertinggi tingkat pengangguran di kabupaten pertanian terpaut cukup jauh dengan angka tingkat pengangguran tertinggi di kabupatenkota industri dan kabupatenkota jasa. Indikasi ini dapat menunjukkan bahwa sektor pertanian yang menopang perekonomian masyarakat di kabupaten pertanian lebih akomodatif dalam menyerap tenaga kerja. Namun analisis ini hanya terbatas pada tingkat pengangguran terbuka dan tidak mempertimbangkan angka setengah pengangguran, yang umumnya menggejala di kantung-kantung pertanian. Pada daerah pertanian, kondisi yang sering terjadi adalah banyaknya pekerja petani yang bekerja di bawah kapasitas produksi atau jam kerja standar, yang disebut dengan setengah pengangguran. Fakta ini diperkuat dengan laporan BPS berdasarkan data Sakerda 2003 BPS Jawa Barat 2003 yang menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang lebih tinggi berada di wilayah Sukabumi-Cianjur yang merupakan kabupaten pertanian, yaitu sebesar 40.86 persen. Kabupaten Indramayu, yang mewakili kabupaten pertambangan, memiliki angka tingkat pengangguran yang rendah. Tingginya rata-rata tingkat pengangguran dalam periode 2001-2005, disebabkan adanya angka ekstrim tingkat pengangguran pada tahun 2002. Sebagian besar penduduk kabupaten ini bekerja di sektor pertanian. Pembangunan Kesejahteraan Manusia Indeks Kemiskinan Manusia IKM dan Jumlah Penduduk Miskin Indeks Kemiskinan Manusia menggunakan indikator-indikator deprivasi keterbelakangan yang paling mendasar, yaitu berumur pendek, ketidaktersediaan akses terhadap sumberdaya publik dan sumberdaya privat. Indeks ini berlandaskan pada konsep deprivasi di mana kemiskinan dipandang sebagai akibat tidak tersedianya kesempatan dan pilihan. Bagi para pembuat kebijakan, kemiskinan dari sudut pandang tersedianya pilihan-pilihan dan kesempatan-kesempatan, seringkali lebih relevan dibandingkan dengan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan karena perhatian lebih terfokus pada penyebab dari kemiskinan dan secara langsung terkait dengan strategi pemberdayaan dan upaya–upaya lainnya untuk meningkatkan kesempatan bagi semua orang BPS, Bappenas, UNDP 2001. Kemiskinan yang diukur dari aspek pendapatan tidak selalu sejalan dengan IKM, disebabkan kedua ukuran tersebut mengukur aspek kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan pendapatan, yang dinyatakan dalam bentuk proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan angka kemiskinan, mengukur keterbelakangan relatif pada standar kehidupan yang sudah dicapai, sedangkan IKM mengukur keterbelakangan yang dapat menghambat kesempatan penduduk untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Namun terdapat kecenderungan pada wilayah dengan IKM yang lebih tinggi IKM menengah atas, memiliki persentase jumlah penduduk miskin yang tinggi pula dan sebaliknya pada wilayah dengan yang IKM rendah. Cianjur, misalnya, yang menduduki posisi IKM tertinggi, persentase jumlah penduduk miskinnya sebesar 19,50 persen dari seluruh penduduk kabupaten ini Tabel 26. Angka tersebut merupakan nilai persentase tertinggi diantara kabupaten lainnya. Begitu pula dengan Indramayu dan Garut, persentase jumlah penduduk miskinnya cukup tinggi, yaitu berturut-turut adalah 17.46 persen dan 15.48 persen. Sebaliknya pada wilayah administratif kota yang memiliki angka IKM rendah, persentase jumlah penduduk miskinnya jauh lebih rendah, yaitu kurang dari 10 persen, kecuali kota Banjar 10.67 . Sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat kaitan antara angka IKM dengan jumlah penduduk miskin. Atau dengan kata lain bahwa keterbatasan ketersediaan fasilitas pelayanan pokok diukur dengan IKM dapat menghambat kesempatan masyarakat untuk mencapai standar hidup yang layak diukur dengan jumlah penduduk miskin. Kondisi IKM Jawa Barat Tahun 2003 Kondisi Indeks Kemiskinan Manusia IKM Jawa Barat pada tahun 2003 ditampilkan pada Tabel 27, dan komponen IKM dan IPM disajikan pada Lampiran 12 dan 13. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan UNDP, maka kabupaten kota di Jawa Barat terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu IKM Menengah Atas 25 ≤ IKM ≤ 40 dan IKM Menengah Bawah IKM 25. Terdapat tiga kabupaten yang tergolong dalam IKM Menengah Atas, sedangkan selebihnya 22 kabupatenkota termasuk ke dalam kelompok IKM Menengah Bawah. Tiga kabupaten yang tergolong ke dalam IKM Menengah Atas tersebut adalah kabupaten Cianjur, Indramayu dan Garut. Tabel 26 Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat tahun 2003-2004 2003 2004 Jumlah Jumlah No. KabupatenKota ribu Jiwa ribu Jiwa 1 Bogor 476.40 12.56 453.40 11.94 2 Sukabumi 353.90 16.32 321.40 14.70 3 Cianjur 388.80 19.05 357.90 17.36 4 Bandung 515.50 12.78 483.60 11.84 5 Garut 338.70 15.48 338.30 15.37 6 Tasikmalaya 285.70 17.99 260.90 16.14 7 Ciamis 228.10 15.18 221.90 14.73 8 Kuningan 201.70 19.50 196.80 18.95 9 Cirebon 352.40 17.29 341.20 16.59 10 Majalengka 203.70 17.66 202.00 17.42 11 Sumedang 130.10 12.82 120.30 11.74 12 Indramayu 288.60 17.46 273.00 16.49 13 Subang 220.40 16.07 202.50 14.67 14 Purwakarta 97.60 13.09 95.50 12.60 15 Karawang 256.00 13.60 252.10 13.28 16 Bekasi 127.50 6.86 121.70 6.35 17 Kota Bogor 65.20 8.23 67.70 7.85 18 Kota Sukabumi 20.50 7.67 16.80 6.16 19 Kota Bandung 88.10 3.95 75.50 3.38 20 Kota Cirebon 21.20 7.76 20.70 7.52 21 Kota Bekasi 58.10 3.15 58.20 3.04 22 Kota Depok 65.00 4.96 64.00 4.84 23 Kota Cimahi 45.50 9.68 43.50 8.85 24 Kota Tasikmalaya 52.70 9.32 48.60 8.48 25 Kota Banjar 17.30 10.67 16.90 10.33 Jawa Barat 4.898.70 12.90 4.654.40 12.10 Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2005b Tabel 27 memperlihatkan bahwa secara umum angka IKM yang relatif tinggi dimiliki oleh kabupaten yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Kabupaten Cianjur, yang termasuk kelompok kabupaten pertanian, merupakan kabupatenkota dengan IKM tertinggi di Provinsi Jawa Barat. Kemudian diikuti oleh kabupaten lainnya, yaitu Indramayu kabupaten pertambangan, Garut kabupaten pertanian, Karawang kabupaten industri pengolahan dan beberapa kabupaten yang mengandalkan perekonomiannya dari sektor pertanian. Tabel 27 Nilai Indeks Kemiskinan Manusia IKM kabupatenkota di Jawa Barat tahun 2003 menurut peringkat Pering- kat KabupatenKota Kelompok KabKota IKM Kelas IKM 1 Cianjur Pertanian 25.80 Menengah Atas 1 Indramayu Pertambangan 25.80 Menengah Atas 2 Garut Pertanian 25.20 Menengah Atas 3 Karawang Ind. Pengolahan 24.40 Menengah Bawah 4 Tasikmalaya Pertanian 24.30 Menengah Bawah 5 Subang Pertanian 23.00 Menengah Bawah 6 Cirebon Pertanian 22.80 Menengah Bawah 7 Kuningan Pertanian 22.50 Menengah Bawah 8 Kota Tasikmalaya Jasa 22.20 Menengah Bawah 9 Bogor Ind. Pengolahan 21.70 Menengah Bawah 10 Bandung Ind. Pengolahan 21.50 Menengah Bawah 11 Sukabumi Pertanian 21.30 Menengah Bawah 12 Purwakarta Jasa 20.90 Menengah Bawah 13 Ciamis Pertanian 20.70 Menengah Bawah 14 Majalengka Pertanian 20.40 Menengah Bawah 15 Sumedang Pertanian 19.00 Menengah Bawah 16 Kota Sukabumi Jasa 18.60 Menengah Bawah 17 Bekasi Ind. Pengolahan 18.30 Menengah Bawah 18 Kota Bogor Jasa 17.40 Menengah Bawah 19 Kota Banjar Jasa 17.30 Menengah Bawah 20 Kota Depok Jasa 16.20 Menengah Bawah 21 Kota Bekasi Ind. Pengolahan 15.70 Menengah Bawah 22 Kota Cirebon Ind. Pengolahan 14.80 Menengah Bawah 23 Kota Cimahi Ind. Pengolahan 14.10 Menengah Bawah 24 Kota Bandung Jasa 10.20 Menengah Bawah Jawa Barat 21.00 Menengah Bawah Sumber: Bapeda dan BPS Provinsi Jawa Barat, 2004a Kabupaten Pertanian yang memiliki angka IKM tinggi, juga merupakan kabupaten yang memiliki proporsi desa tertinggal terbanyak di Jawa Barat. Berdasarkan data BPS dan Bapeda Provinsi Jawa Barat 2006, tiga kabupaten dengan desa tertinggal terbesar secara berturut-turut adalah kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Cianjur. Sementara pada kabupaten tersebut, jumlah desa pusat pertumbuhannya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kabupatenkota lainnya 8 . Sebaliknya dengan daerah perkotaan yang berbasis sektor industri dan jasa, kebanyakan dari kota tersebut tidak memiliki desa tertinggal dan dengan proporsi jumlah desa pusat pertumbuhan yang tinggi Lampiran 9. Kabupaten Indramayu, pada posisi kedua IKM tertinggi, walaupun memiliki sumberdaya tambang yang besar, namun dampak pembangunannya belum terlihat nyata bagi kesejahteraan masyarakatnya. Kabupaten ini dimasukkan ke dalam kelompok kabupaten pertambangan, disebabkan kontribusi sektor pertambangan yang tinggi terhadap PDRB provinsi. Namun perkonomian masyarakat di kabupaten ini sebenarnya lebih bergantung pada sektor pertanian, sementara sektor pertambangan tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data Susenas 2003 sebagian besar masyarakat kabupaten ini 52.58 bekerja di sektor pertanian dan hanya 1.55 persen yang bekerja pada sektor pertambangan dan penggalian yang menjadi sektor andalannya. Luas panen sawahnya pun merupakan yang terbesar diantara kabupaten lainnya di Jawa Barat. Kabupaten Karawang, pada posisi ke-3 IKM tertinggi, memiliki komposisi tenaga kerja yang mirip dengan Kabupaten Indramayu. Sumbangan PDRB-nya didominasi oleh industri pengolahan, tetapi jika ditinjau dari aspek tenaga kerjanya data Susenas 2003 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian. Sebanyak 281 155 jiwa atau 41.94 persen masyarakatnya bekerja di sektor pertanian. Jumlah ini jauh melampaui jumlah pekerja pada sektor unggulan kabupaten sendiri, yaitu industri pengolahan 107 204 jiwa atau 15.99 persen. Daerah yang memiliki nilai IKM relatif rendah terjadi pada kota-kota yang mengandalkan perekonomiannya pada sektor industri dan sektor jasa. Kota-kota tersebut adalah Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Banjar dan Kota Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Sukabumi. Kota Bandung merupakan kota yang teridentifikasi sebagai kota dengan IKM terendah di Provinsi Jawa Barat. Sektor perekonomian kota ini didominasi oleh sektor jasa dan sebagian besar masyarakatnya bekerja pada sektor tersebut, terutama di bidang jasa perdagangan, hotel dan restoran 35.78 . Hanya sebesar 1.29 persen masyarakatnya yang bekerja di sektor pertanian. Perkembangan Kondisi IKM Jawa Barat Tahun 2002-2003 Jika dibandingkan antara kondisi IKM tahun 2003 dengan kondisi IKM tahun 2002, secara umum telah terjadi peningkatan kesejahteraan, yang diindikasikan dengan angka IKM tahun 2003 yang mengalami penurunan pada seluruh kabupaten kota. Tetapi tidak terjadi perubahan pola yang signifikan, Tabel 28 Nilai Indeks Kemiskinan Manusia IKM Kabupatenkota di Jawa Barat Tahun 2002 Menurut Peringkat Peringkat KabupatenKota Kelompok KabKota IKM Kelas 1 Karawang Ind. Pengolahan 29.80 Menengah Atas 2 Indramayu Pertambangan 28.80 Menengah Atas 3 Tasikmalaya Pertanian 27.80 Menengah Atas 3 Kota Tasikmalaya Jasa 27.80 Menengah Atas 4 Garut Pertanian 27.70 Menengah Atas 5 Cianjur Pertanian 27.40 Menengah Atas 6 Cirebon Pertanian 26.70 Menengah Atas 7 Subang Pertanian 25.60 Menengah Atas 8 Bandung Ind. Pengolahan 25.00 Menengah Atas 8 Kota Cimahi Ind. Pengolahan 25.00 Menengah Atas 9 Sukabumi Pertanian 24.70 Menengah Bawah 10 Kuningan Pertanian Jasa 23.00 Menengah Bawah 11 Majalengka Pertanian 22.60 Menengah Bawah 11 Ciamis Jasa 22.60 Menengah Bawah 11 Kota Banjar Jasa 22.60 Menengah Bawah 12 Bogor Ind. Pengolahan 22.20 Menengah Bawah 12 Purwakarta Jasa 22.20 Menengah Bawah 13 Sumedang Jasa 21.10 Menengah Bawah 14 Kota Cirebon Ind. Pengolahan 18.50 Menengah Bawah 15 Kota Bekasi Ind. Pengolahan 18.40 Menengah Bawah 16 Kota Sukabumi Jasa 18.10 Menengah Bawah 17 Bekasi Ind. Pengolahan 17.10 Menengah Bawah 18 Kota Bogor Jasa 15.60 Menengah Bawah 19 Kota Depok Jasa 15.10 Menengah Bawah 20 Kota Bandung Jasa 13.50 Menengah Bawah Jawa Barat 23.00 Menengah Bawah Sumber: BPS, Bappenas dan UNDP, 2004 dimana pada umumnya angka IKM kabupaten pertanianpertambangan masih lebih tinggi terhadap kabupatenkota industri atau jasa. Bahkan dari aspek yang bersifat sangat pokok, seperti akses menuju air bersih, diketahui dari komponen IKM terdapat 8 kabupaten dari 10 kabupaten pertanian, yang lebih dari setengah penduduknya tidak memilki akses ke air bersih. Pada tahun berikutnya 2003, jumlah ini menurun menjadi 6 kabupaten. Sebaliknya, pada kabupatenkota dengan IKM relatif rendah, akses menuju air bersih bukan merupakan persoalan. Perkembangan atau perubahan kelas Indeks Kemiskinan Manusia dapat dilihat pada Peta Perkembangan IKM 2002-2003 pada Gambar 11 atau secara tabulasi ditunjukkan pada Tabel 27 dan Tabel 28. Analisis ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan fasilitas pokok tersebar tidak merata, di beberapa wilayah basis pertanian ketersediaannya sangat terbatas, sementara di wilayah perkotaan dengan basis sektor sekunder dan tersier tersedia dengan kualitas yang memadai. Jika fasilitas yang bersifat sangat pokok saja air bersih tidak tersedia atau dengan kondisi di bawah standar, maka menjadi logis jika ketersediaan fasilitas usaha pun sangat minimal, sehingga tidak memungkinkan masyarakat tani untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi yang tidak segera dibenahi ini akan menyebabkan lebih banyak kantung-kantung kemiskinan yang terkonsentrasi pada wilayah pertanian. Angka Indeks Pembangunan Manusia Tabel 29 dan Tabel 30 menyajikan Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2002 dan 2005, diurut dimulai dari nilai yang tertinggi. Komponen pembentuk IPM disajikan pada Lampiran 13. Tabel 29 menunjukkan bahwa nilai IPM tertinggi tingkat kesejahteraan baik dimiliki oleh daerah administratif yang berbentuk kota dan mengandalkan perekonomiannya pada sektor jasa dan sektor industri pengolahan. Kota Depok merupakan kota yang memiliki nilai IPM tertinggi 73.69 di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002. Nilai IPM yang tinggi di Kota Depok disumbang dari komponen ’angka harapan hidup’ pada saat lahir dan ’angka rata-rata pengeluaran per kapita riil disesuaikan’. Angka-angka tersebut merupakan angka tertinggi diantara kabupatenkota lainnya. Ini menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, terutama dalam hal persalinan, dan perbaikan nutrisi ibu, sudah melebihi kapasitas standar. Kabupaten pertanian, kecuali Tasikmalaya, tergolong dalam kelompok IPM Menengah Rendah yang tersebar dalam interval 62.0 sampai 64.5. Kabupaten- 92 Gambar 11 Peta perkembangan IKM 2002-2003 dan tingkat pengangguran di Jawa Barat. kabupaten tersebut memiliki komponen angka melek huruf yang tergolong menengah dan dengan angka rata-rata pengeluaran per kapita riil yang relatif rendah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada kabupaten pertanian tersebut masih belum hidup secara layak yang diindikasikan dengan tingkat pengeluaran per kapita yang rendah tersebut. Nilai tambah yang diperoleh dari hasil pertanian tidak dapat memberi penghidupan yang layak bagi kesejahteraan petani. Sementara kesempatan untuk mengenyam pendidikan terbatas sampai tingkat menengah. Sarana pendidikan tinggi terkonsentrasi pada kota-kota dengan sektor tersier sebagai andalannya. Kabupaten Indramayu, merupakan kabupaten yang memiliki IPM terendah pada tahun 2002 Tabel 29. Angka komponen IPM yang rendah terutama pada aspek pendidikan. Angka rata-rata lama sekolah 5,1 tahun dan angka melek huruf 76,2 kabupaten ini adalah yang paling rendah di antara kabupatenkota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan Kabupaten Cirebon pada urutan kedua terendah, nilai seluruh komponen IPM-nya tergolong rendah, walaupun bukan merupakan angka yang paling rendah. Dan Kabupaten Garut posisi ketiga terendah memiliki angka komponen terendah pada ’angka harapan hidup’ dan ’angka rata-rata pengeluaran per kapita riil’ yang rendah. Perkembangan IPM tahun 2002 - 2005 Dengan membandingkan Tabel 29 dan Tabel 30, diketahui bahwa pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan nilai IPM pada seluruh kabupatenkota dari tahun dasar 2002. Dalam penyajian kartografis, perkembangan tersebut dapat dilihat pada Peta Perkembangan IPM 2002-2005 Gambar 12. Naiknya nilai IPM ini menyebabkan pergeseran kelas IPM pada beberapa kabupatenkota. Walaupun terjadi peningkatan nilai IPM pada seluruh kabupaten kota, namun pola urutan kabupaten kota tidak mengalami perubahan berarti. Kabupatenkota yang sektor unggulannya adalah sektor industri dan sektor jasa masih menempati posisi teratas tetapi sebaliknya dengan kabupatenkota pertanian. Pola ini mengindikasikan bahwa sekalipun terjadi perbaikan pada setiap kabupaten, namun program pembangunan masih bertahan dengan pola paradigma pembangunan yang lama. Wilayah perkotaan yang dijadikan sebagai pusat pertumbuhan masih Tabel 29 Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2002 menurut kelompok kabupaten Peringkat Nama KabupatenKota IPM Kelompok Kabupaten Kelompok IPM 1 Kota Depok 73.9 Jasa IPM 70 2 Kota Bandung 73.0 Jasa Tinggi 3 Kota Bekasi 72.8 Ind.Pengolahan 4 Kota Bogor 71.9 Jasa 5 Kota Sukabumi 69.2 Jasa 66 ≤ IPM ≤ 70 6 Kota Cirebon 69.2 Jasa Menengah Tinggi 7 Bandung 68.8 Ind.Pengolahan 8 Kota Cimahi 68.8 Ind.Pengolahan 9 Sumedang 67.5 Pertanian 10 Tasikmalaya 67.1 Pertanian 11 Kota Tasikmalaya 67.1 Jasa 12 Bekasi 66.9 Ind.Pengolahan 13 Bogor 65.6 Ind.Pengolahan 60 ≤ IPM 66 14 Purwakarta 65.6 Jasa Menengah Rendah 15 Ciamis 65.3 Pertanian 16 Kota Banjar 65.3 Jasa 17 Kuningan 65.0 Pertanian 18 Cianjur 64.5 Pertanian 19 Majalengka 64.4 Pertanian 20 Sukabumi 63.8 Pertanian 21 Subang 63.0 Pertanian 22 Karawang 62.9 Ind.Pengolahan 23 Garut 62.8 Pertanian 24 Cirebon 62.4 Pertanian 25 Indramayu 61.2 Pertambangan Sumber: BPS, Bappenas dan UNDP, 2004 menjadi curahan konsentrasi pembangunan. Selama tiga tahun tersebut, belum ada restrukturisasi program pembangunan yang dapat membangunkan keterbelakangan kabupaten pertanian diantara kelompok kabupaten lainnya. Dari komponen nilai IPM dan IKM Lampiran 12 dan 13, diketahui bahwa permasalahan ekonomi, yang diindikasikan dari angka pengeluaran per kapita yang rendah, terjadi di kabupaten Cianjur, Cirebon dan Sukabumi. Sementara permasalahan pendidikan di Jawa Barat terdapat di kabupaten Indramayu, Karawang, Subang dan Cirebon. Permasalahan kesehatan terjadi di kabupaten Indramayu, Garut, Cirebon dan Cianjur. Tabel 30 Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 2005 menurut kelompok kabupaten Peringkat Nama KabupatenKota IPM Kelompok Kabupaten Kelompok IPM 1 Kota Depok 77.1 Jasa IPM 70 2 Kota Bekasi 74.6 Ind.Pengolahan Tinggi 3 Kota Bogor 74.3 Jasa 4 Kota Bandung 74.3 Jasa 5 Kota Cirebon 73.7 Jasa 6 Kota Cimahi 73.1 Ind.Pengolahan 7 Bandung 72.4 Ind.Pengolahan 8 Kota Sukabumi 72.4 Jasa 9 Kota Tasikmalaya 72.1 Jasa 10 Tasikmalaya 70.4 Pertanian 11 Bekasi 70.4 Ind.Pengolahan 12 Sumedang 70.2 Pertanian 13 Kota Banjar 69.4 Jasa 66 ≤ IPM ≤ 70 14 Ciamis 69.3 Pertanian Menengah Tinggi 15 Bogor 69.2 Ind.Pengolahan 16 Garut 68.7 Pertanian 17 Sukabumi 68.7 Pertanian 18 Purwakarta 68.6 Jasa 19 Kuningan 68.5 Pertanian 20 Subang 68.2 Pertanian 21 Majalengka 66.9 Pertanian 22 Cianjur 66.8 Pertanian 23 Karawang 66.4 Ind.Pengolahan 60 ≤ IPM 66 24 Cirebon 66.0 Pertanian Menengah Rendah 25 Indramayu 63.0 Pertambangan Jawa Barat 69.9 Sumber: BPS, 2006 Indeks Pembangunan Jender IPM mengukur rata-rata pencapaian secara umum sehingga tidak membedakan tingkat pencapaian pembangunan manusia oleh laki-laki dan perempuan. Sementara Indeks Pembangunan Jender membedakannya. Untuk melihat seberapa besar tingkat kesenjangan antara capaian pembangunan yang diperoleh laki-laki dan perempuan, maka dilakukan kombinasi antara nilai IPJ dengan nilai IPM masing-masing kabupatenkota. Data yang digunakan adalah data tahun 2002, disebabkan IPJ publikasi terakhir hanya sampai tahun 2002. 96 Gambar 12 Peta perkembangan IPM 2002-2005 dan tingkat pengangguran di Jawa Barat. 97 Gambar 13 memperlihatkan bahwa pada semua kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang tersedia datanya nilai IPJ lebih rendah daripada nilai IPM. Hal ini menunjukkan ketimpangan jender terjadi pada semua wilayah. Apabila tidak terdapat ketimpangan jender seharusnya nilai IPM akan sama dengan nilai IPJ atau garis IPM akan berimpit dengan garis IPJ. Angka IPJ disajikan pada Lampiran 14. - 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 Ga ru t C ianj ur T a si km a la ya S u k a bum i M aj al e ngk a C ir ebo n S u ban g K uni nga n Ci a m is S um ed ang B e ka si K o ta C im a h i Bo g o r B an dun g Ka ra w a n g K o ta B e ka si Ko ta Su k a b u m i K o ta T a si km a la y a Ko ta Ba n d u n g K o ta D e pok Ko ta Bo g o r K o ta C ir e b o n P u rw ak ar ta K o ta B anj ar In dr am a y u Kabupate n N ila i In d e k s Ind.Pembangunan Manusia IPM Ind.Pembangunan JenderIPJ Gambar 13 Grafik keterkaitan antara IPM dan IPJ Pada beberapa kabupaten, terdapat kecenderungan daerah yang memiliki IPM tinggi 70 memiliki IPJ yang tinggi pula. Ini menunjukkan pada kabupatenkota dengan IPM tinggi, kesempatan mengakses fasilitas pendidikan- kesehatan dan daya beli yang relatif tinggi, juga diperoleh kaum wanita, walaupun tidak sebaik kaum yang dimiliki kaum laki-laki. Tetapi pada beberapa kabupaten petanian yang memiliki IPM rendah, nilai IPJ-nya bervariasi, yaitu ada yang rendah dan ada yang tinggi. Kabupaten pertanian secara umum menunjukkan tingkat IPM yang rendah diikuti dengan nilai IPJ yang rendah pula. Tetapi pada Kabupaten Cianjur, misalnya, yang memiliki IPM menengah rendah 64.5, tenyata nilai IPJ- nya 54.6 cukup tinggi. Pembahasan keterkaitan variabel IPM dan IPJ secara statistik akan diulas pada subbab berikutnya. 98 Keterkaitan antara Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Kesejahteraan Manusia Hasil analisis komponen utama di provinsi Jawa Barat menghasilkan tiga variabel baru komponen utama, yaitu Faktor 1 pembangunan kesejahteraan manusia mewakili variabel asal IPM, IKM, persentase desa tertinggal, persentase desa pertumbuhan dan tingkat pengangguran; Faktor 2 pembangunan ekonomi mewakili variabel PDRB dan kontribusi pertumbuhan sektor; sementara Faktor 3 pembangunan jender mewakili variabel IPJ dan IDJ. Hasil analisis PCA ditampilkan pada Tabel 31, sedangkan data dasar disajikan pada Lampiran 15. Tabel 31 memperlihatkan bahwa variabel IPM, IKM, proporsi desa tertinggal, dan proporsi desa pertumbuhan berada dalam satu faktor komponen utama yang sama Faktor 1. Ini menunjukkan adanya hubungan antara variabel IPM, IKM dengan banyaknya desa terbelakang dan banyaknya desa pertumbuhan. Tanda positif menunjukkan hubungan yang searah, sebaliknya tanda negatif menunjukkan korelasi yang berlawanan arah. Pada wilayah-wilayah dengan IKM tinggi, pada umumnya memiliki IPM yang rendah, cenderung memiliki lebih banyak desa tertinggal dan lebih sedikit desa pertumbuhannya dibandingkan kabupatankota IKM rendah. Desa terbelakang, salah satunya diidentikkan dengan masalah keterbatasan fasilitas pelayanan pokok pendidikan dan kesehatan dan tingkat daya beli yang rendah, sehingga berdampak pada rendahnya kesempatan masyarakat untuk dapat hidup sehat, terbebas dari buta huruf dan menikmati hidup secara layak. Keterbatasan kesempatan masyarakat tersebut dapat disebabkan keberadaan lokasi fasilitas pelayanan yang jauh atau sulit dijangkau, atau akibat kondisi sarana transportasi atau infrastruktur yang belum memadai di wilayah tersebut. Dengan demikian, analisis ini cocok menggambarkan kondisi yang terjadi pada sebagian besar kabupaten yang teridentifikasi memiliki angka IKM tinggi. Kabupaten dengan IKM relatif tinggi terdiri dari sebagian besar kabupaten pertanian, serta kabupaten kelompok lainnya yang jumlah tenaga kerja terbesarnya berada di sektor pertanian, seperti Indramayu kabupaten pertambangan dan Karawang kabupaten industri. Kabupaten tersebut cenderung memiliki desa tertinggal yang 99 Tabel 31 Hasil analisis komponen utama PCA indikator kinerja pembangunan Provinsi Jawa Barat Nama Variabel Kode Variabel F1 F2 F3 Tingkat Pengangguran Tk Pengangguran 0.021889 0.175619 -0.618754 Indeks Pembangunan Manusia IPM -0.893993 -0.034950 0.159600 Indeks Kemiskinan Manusia IKM 0.841666 -0.107351 -0.334788 Persentase Desa Tertinggal Desa Tertinggal 0.774826 0.002090 0.410998 Persentase Desa Pertumbuhan Desa Pertumbuhan -0.922201 -0.097808 -0.114843 PDRB PDRB 0.027559 0.968584 0.094842 Kontribusi Pertumbuhan Sektor Kontrib Pertumb -0.002654 0.969501 -0.006622 Indeks Pembangunan Jender IPJ -0.109411 0.129409 0.845985 Indeks Pemberdayaan Jender IDJ 0.028584 0.348386 0.848881 Pertumbuhan PDRB Pertum PDRB -0.444926 0.368745 0.158374 Ragam yang diterangkan Expl.Var 3.170428 2.205339 2.172932 Total Ragam Prp.Totl 0.317043 0.220534 0.217293 Keterangan: Huruf yang dicetak tebal memiliki taraf nyata marked loadings 0,700000 cukup banyak dan dengan desa pertumbuhan yang lebih sedikit, serta kurang dilengkapi dengan fasilitas pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Tidak terdapat kaitan antara IKM atau IPM dengan IPJ atau IDJ. Hal tersebut tercermin pada beberapa kabupaten petanian yang memiliki IKM tinggi, nilai IPJ dan IDJ-nya bervariasi, yaitu ada yang rendah dan ada yang tinggi. Kabupaten pertanian secara umum menunjukkan tingkat IKM yang tinggi diikuti dengan nilai IPJ atau IDJ yang rendah. Tetapi terdapat pula kabupaten yang tidak menunjukkan pola yang serupa. Kabupaten Cianjur, misalnya, dengan IKM yang cukup tinggi 25.8, tenyata nilai IPJ 54.6 dan IDJ-nya 56.4 juga tinggi, bahkan nilai IDJ-nya lebih tinggi dari Kota Bandung. Begitu pula dengan Kabupaten Sumedang, yang nilai IKM-nya 21.7 masih berada di atas rata-rata IKM provinsi, memiliki IPJ dan IDJ yang tinggi, yaitu masing-masing 62.4 dan 56.4. Faktor 2 menunjukkan keterkaitan antara nilai PDRB dan kontribusi pertumbuhan PDRB provinsi. Kedua variabel ini jelas menunjukkan korelasi yang tinggi, disebabkan variabel PDRB merupakan faktor dari variabel kontribusi pertumbuhan. Sedangkan Faktor 3 menunjukkan bahwa diantara kedua variabel jender IPJ dan IDJ terjadi korelasi yang kuat. Pada kabupaten dengan IPJ yang tinggi biasanya memiliki IDJ yang tinggi pula. Kabupaten Cianjur dan Sumedang dapat menjadi bukti keterkaitan ini. Pada kedua kabupaten tersebut komponen IPJ perempuan yang diantaranya adalah angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kontribusi dalam pendapatan, nilainya lebih tinggi dibandingkan kaum laki-lakinya. 100 Tingginya angka komponen ini mempengaruhi komponen IDJ yang diantaranya adalah persentase perempuan di parlemen, perempuan pekerja profesional teknisi kepemimpinan dan rata-rata upah di sektor pertanian, sehingga membentuk IDJ yang tinggi pula. Variabel tingkat pengangguran tidak teridentifikasi memiliki taraf nyata. Tetapi dengan angka koefisien sebesar -0.618754 dan dinilai penting untuk analisis ini, diinterpretasikan adanya keterkaitan antara pembangunan jender dengan tingkat pengangguran. Pada wilayah dengan tingkat pembangunan jender yang lebih baik, tingkat penganggurannya cenderung lebih sedikit dan sebaliknya. Semakin banyak perempuan yang mendapatkan kesempatan mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan serta berpartisipasinya perempuan di parlemen, pekerja profesional teknisi kepemimpinan menurunkan tingkat pengangguran di suatu wilayah. Interpretasi Saling Terpisahnya Faktor Komponen Utama Analisis PCA memberikan informasi bahwa antara variabel pembangunan ekonomi F2 dengan variabel pembangunan kesejahteraan manusia F1 tidak ada kaitan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya PDRB ataupun persentase kontribusi pertumbuhan sektor ekonomi tidak cukup berpengaruh terhadap komponen IKM, IPM, desa terbelakang dan tingkat pengangguran. Artinya, besar-kecilnya kontribusi kabupaten terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi, tidak berpengaruh terhadap terjaminnya ketersediaan fasilitas pelayanan primer pendidikan dan kesehatan serta peningkatan daya beli penduduknya. Dengan kata lain kontribusi yang cukup besar yang disumbang suatu kabupaten. tidak selalu diimbangi dengan balas jasa berupa kemudahan penduduknya dalam mengakses fasilitas pelayanan primer. Sebaliknya, sekalipun daerah tersebut tidak terlalu besar kontribusi perekonomiannya, dapat saja berbagai fasilitas pelayanan pokok tersedia secara baik dan masyarakatnya memiliki daya beli yang cukup tinggi. Seperti kota-kota administratif yang didukung oleh sektor jasa, sekalipun kontribusi PDRB-nya tidak sebesar kabupaten pertanian, namun pada wilayah- wilayah tersebut fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikannya justru jauh lebih baik daripada kabupaten pertanian. Kota Depok, salah satu contohnya, sumbangan PDRB dan kontribusi pertumbuhan sektornya berada jauh di bawah Kabupaten 101 Garut, namun dapat dilihat pada kota ini telah menjamur berbagai fasilitas pelayanan tersebut, bahkan dengan kualitas yang melebihi kondisi standarprimer. Begitu pula dengan daya beli penduduk kota ini yang menunjukkan tingkat daya beli yang relatif tinggi. Tidak terlihat adanya indikasi kaitan antara pembangunan kesejahteraan manusia secara agregat tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dan dengan pembangunan kesejahteraan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi kesenjangan antara pembangunan kesejahteraan laki-laki dan perempuan, masih menunjukkan variasi yang beragam pada kabupatenkota di Jawa Barat. Pada kabupaten dengan IPM yang tinggi seperti Kota Cirebon, ternyata nilai IPJ-nya lebih rendah dibandingkan IPJ Kabupaten Sumedang. Begitu pula dengan Kota Bandung dengan IPM yang tinggi, nilai IDJ-nya masih lebih rendah dibandingkan dengan IDJ Kabupaten Cianjur. Secara umum, ketiga faktor komponen utama menunjukan bahwa antara pembangunan ekonomi F2, pembangunan kesejahteraan manusia F1 dan pembangunan kesejahteraan perempuan F3, tidak menunjukkan keterkaitan yang signifikan. Ini berarti bahwa arah pembangunan belum sepenuhnya utuh untuk membangun atau mencapai kesejahteraan manusiamasyarakat, yang justru menjadi tujuan akhir pembangunan. SEKTOR EKONOMI UNGGULAN YANG SEJALAN DENGAN TUJUAN PEMBANGUNAN DI JAWA BARAT Mewujudkan perekonomian yang tangguh berbasis pada agribisnis merupakan salah satu misi pemerintah provinsi Jawa Barat, sebagaimana yang tercantum di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJPD Provinsi Jawa Barat 2005-2025. Pencapaian tersebut dalam deskripsi misinya diupayakan dengan: ”mengembangkan dan memperkuat perekonomian regional yang berdaya saing global dan berorientasi pada keunggulan komparatif, kompetitif dan kooperatif dengan berbasis pada potensi lokal terutama dalam agribisnis”. Misi ini merupakan penjabaran strategi Jawa Barat untuk mendukung visi jangka panjangnya yang diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip stabilitas yang mantap, pertumbuhan yang tinggi, pemerataan yang berkeadilan serta pembangunan yang berkelanjutan. Visi dan misi pembangunan yang ideal tersebut menjadi tumpuan harapan masyarakat Jawa Barat untuk benar-benar terealisasi dalam keberlangsungan hidup masyarakatnya. Salah satu faktor utama pencapaian misi dan tujuan pembangunan tersebut adalah ketepatan dalam menetapkan sektor unggulan yang akan menjadi penggerak perekonomian daerah. Oleh karena itu analisis penentuan sektor unggulan perlu dilakukan dengan cermat dan komprehensif, agar kebijakan dan program pembangunan tidak salah arah dan hasilnya benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Sebagaimana yang telah disinggung dalam metoda penelitian, bahwa identifikasi sektor unggulan Jawa Barat dilakukan dalam beberapa tahap analisis, yaitu: 1 penentuan sektor unggulan secara makro dari 9 sektor perekonomian di Jawa Barat, 2 penentuan sektor unggulan lebih detil dari 86 sektor ekonomi, yang sesuai dengan karakteristik provinsi, permasalahan yang ingin dipecahkan sekaligus tidak bertentangan dengan tujuan pembangunan. Setiap temuan dari proses analisis yang dinilai dapat mendukung tujuan penelitian turut disertakan dalam analisis ini. Tujuan Pembangunan Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi dan Stabil Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi disumbang dari: 1 besarnya kontribusi output dan nilai tambah suatu sektor terhadap perekonomian provinsi, 2 sektor basis dan sektor kompetitif, 3 keterkaitan sektoralnya atau potensi suatu sektor sebagai lokomotif dan pendorong sektor ekonomi lainnya, dan 4 dampak pengganda yang dapat diberikannya, baik terhadap pendapatan, serapan tenaga kerja, PDRB maupun pajak tak langsung. Komponen-komponen tersebut merupakan kriteria untuk penentuan sektor unggulan secara makro dari aspek tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sektor unggulan secara makro ini diperoleh dari hasil beberapa analisis 9 sektor kelompok ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Sektor yang dapat menempati posisi teratas dalam persyaratan kriteria unggulan tersebut adalah sektor yang akan keluar sebagai sektor unggulan dari aspek tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tabel I-O serta nilai koefisien keterkaitan dan dampak pengganda disajikan pada Lampiran 16 sampai 18. Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap Perekonomian Provinsi Tabel 32 menyajikan peringkat dan nilai masing-masing kriteria unggulan dari 9 sektor ekonomi di Jawa Barat. Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari aspek kontribusi suatu sektor terhadap perekonomian provinsi, sektor industri merupakan sektor yang paling banyak memenuhi persyaratan kriteria ersebut. Dari total output sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat, diketahui bahwa lebih dari separuh output tersebut 57.20 berasal dari sektor industri pengolahan. Sektor ini juga merupakan penyumbang terbesar nilai tambah bruto, yaitu sebesar 42.55 persen dari total PDRB provinsi. Sementara dalam serapan tenaga kerjanya, sektor industri menempati posisi ketiga setelah sektor pertanian dan kelompok sektor jasa, yaitu sebesar 18.3 persen dari total tenaga kerja yang tertampung sektor ekonomi di Jawa Barat. Sektor Basis dan Sektor Kompetitif Dari analisis LQ diketahui bahwa hanya terdapat tiga sektor basis di Jawa Barat, yaitu: 1 sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai LQ tertinggi, 2 sektor industri pengolahan dan 3 sektor perdagangan, hotel dan restoran. Ini menunjukkan bahwa ketiga sektor tersebut memusat di Provinsi Jawa Barat dan aktivitasnya berkembang di atas rata-rata nasional. Data dasar PDRB dan PDB disajikan pada Lampiran 19 dan Lampiran 20. Sektor Pertanian, yang memberikan kontribusi ketiga terbesar terhadap PDRB provinsi, ternyata tidak teridentifikasi sebagai sektor basis. Walaupun begitu, nilai LQ-nya hampir mencapai nilai 1 atau nilai rata-rata, sehingga dalam kondisi yang dinamis terjadi perubahan teknologi sektor ini masih berpeluang untuk menjadi sektor basis. Kemungkinan perubahan seperti ini tidak dapat ditangkap dalam analisis LQ. Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa analisis LQ bersifat statis, sehingga tidak dapat menangkap kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan. Sementara hasil analisis SSA menunjukkan terdapat 5 sektor kompetitif di Jawa Barat, yaitu: 1 sektor pertambangan dan penggalian, 2 sektor bangunan, 3 sektor perdagangan, hotel dan restoran, 4 sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta 5 sektor jasa-jasa. Pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jawa Barat, dari tahun 2000 ke tahun 2004, lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor yang sama pada skala nasional. Dari kelima sektor kompetitif di Jawa Barat tersebut, hanya sektor perdagangan, hotel dan restoran yang juga merupakan sektor basis. Hal yang menarik dari hasil analisis, bahwa sektor industri pengolahan tidak teridentifikasi sebagai sektor kompetitif atau hanya sebagai sektor basis. Walaupun PDRB sektor ini di Provinsi Jawa Barat adalah yang terbesar dan dengan jumlah industri yang cukup banyak, tetapi ternyata jika dibandingkan pada skala nasional masih kalah bersaing dengan wilayah lainnya. Laju pertumbuhan PDRB sektor industri pengolahan Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 ke tahun 2004 lebih lambat dibandingkan sektor industri pengolahan secara umum di Indonesia. Sektor tersebut dimungkinkan tergeser oleh kompetisi yang cukup tinggi dari pertumbuhan sektor industri pengolahan di provinsi lainnya yang demikian pesat, terutama dari kota-kota kawasan industri besar lainnya. Dampak terpisahnya kota Cilegon sekarang masuk provinsi Banten, yang dulu merupakan pusat kawasan industri Jawa Barat, cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan kegiatan industri di Jawa Barat. 105 Tabel 32 Sektor ekonomi Jawa Barat berdasarkan peringkat kriteria unggulan Aspek Kriteria Keunggulan Pertanian Pertam- bangan Industri LiGas Bangunan Perdagangan Pengang- kutan Keuangan Jasa jasa Rata- rata P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai P Nilai 1. Kontrinbusi PDRB - Kontb. PDRB provinsi 3 13.47 7 3.07 1 43.33 6 3.22 9 2.82 2 17.56 5 5.29 8 3.02 4 8.23 - Kontb. Output 3 7.48 7 3.57 1 57.20 8 3.10 6 3.83 2 12.50 5 4.10 9 2.56 4 5.69 - Kontb. NTB 3 12.13 5 5.22 1 45.22 8 2.77 9 2.52 2 17.23 6 4.34 7 3.80 4 6.77 - Serapan Tenaga Kerja 1 29.7 8 0.4 3 18.3 9 0.3 6 6.0 2 22.4 5 8.7 7 1.8 4 12.5 2. Sektor Basis S.Kompetitif - Sektor Basis Nilai LQ - 0.97 - - 2 1.40 1 2.07 - - 3 1.22 - - - - - - - Sektor Kompetitif SSA - - 1 0.029 - - - - 4 0.013 3 0.018 - - 2 0.027 5 0.007 3. Keterkaitan Sektoral: - ke belakang langsung DBL 9 0.12 6 0.23 1 0.53 3 0.46 2 0.53 7 0.22 4 0.32 8 0.15 5 0.30 - ke belakang total DIBL 9 1.196 7 1.296 2 1.888 3 1.691 1 1.932 6 1.339 4 1.527 8 1.22 5 1.496 - ke depan langsung DFL 8 0.095 2 0.489 1 1.288 5 0.181 9 0.02 3 0.304 6 0.136 4 0.227 7 0.113 - ke depan total DIBL 6 1.21 2 1.81 1 3.14 5 1.27 9 1.03 3 1.47 7 1.20 4 1.31 8 1.15 4. Dampak Pengganda: - Pendapatan 9 1.15 6 1.31 1 1.95 3 1.70 2 1.87 7 1.29 4 1.50 5 1.39 8 1.17 1.48 - Tenaga Kerja 9 1.05 5 1.36 1 3.79 2 3.46 3 1.52 8 1.17 6 1.25 4 1.42 7 1.23 1.81 - Pajak tak langsung PAD 6 1.59 7 1.29 4 1.87 1 6.43 3 2.49 9 1.18 5 1.6 8 1.19 2 2.86 2.28 - PDRB 9 1.13 6 1.29 2 2.15 3 1.93 1 2.36 7 1.28 4 1.51 8 1.18 5 1.44 1.58 Keterangan: P menunjukkan peringkat Sumber: hasil olahan beberapa analisis 9 sektor ekonomi Sektor pertanian ternyata juga tidak muncul sebagai sektor kompetitif, pertumbuhan sektor pertanian Jawa Barat ini masih berada di bawah rata-rata pertumbuhan sektor pertanian nasional. Ini menjadi catatan penting bahwa ternyata sektor yang dekat dengan masyarakat Jawa Barat sendiri tidak memiliki basis yang kuat dan laju pertumbuhannya sangat lambat. Dampak Pengganda Sektor Ekonomi Analisis dampak pengganda multiplier effect mencakup dampak pengganda pendapatan, dampak pengganda serapan tenaga kerja, dampak pengganda pajak tak langsung netto PAD dan dampak total nilai tambah bruto PDRB. Dari aspek dampak penggandanya, sektor industri juga merupakan sektor yang paling banyak memenuhi kriteria ini dibandingkan 8 sektor ekonomi lainnya. Angka pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerjanya adalah yang tertinggi. Sementara angka pengganda PDRB dan pengganda pajak tak langsung sektor industri masing-masing menempati posisi kedua dan keempat. Dua sektor lainnya yang menempati posisi 3 besar adalah sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor bangunan. Sektor pertanian ternyata menempati posisi terbawah dan angka penggandanya berada di bawah rata-rata pengganda keseluruhan sektor, kecuali pengganda PAD posisi 6. Dapat dikatakan bahwa sektor ini memiliki elastisitas peningkatan pendapatan, PDRB dan serapan tenaga kerja yang rendah, bahkan nilainya paling kecil diantara sembilan sektor perekonomian di Jawa Barat. Padahal pada sektor ini bergantung sebagian besar pekerja di Jawa Barat. Tanpa adanya perubahan besar pada teknologi dan program pembangunan pertanian, upaya peningkatan permintaan pada sektor pertanian akan kurang direspon dengan peningkatan pendapatan total rumah tangga yang signifikan. Rendahnya dampak pengganda tenaga kerja pada sektor pertanian akibat kemampuan lahan pertanian, yang menjadi faktor produksi sektor ini, sudah berada di ambang batas kejenuhan. Artinya penambahan tenaga kerja pada petakan lahan pertanian yang sempit sudah sulit untuk memberikan tambahan unit output. Dengan output yang tidak bertambah akan menghasilkan return yang tetap, namun harus dibagi dengan jumlah tenaga kerja yang terus bertambah. Akibat dari kondisi ini maka penerimaan petani menjadi semakin rendah. Temuan analisis dampak pengganda ini bahwa sektor pertanian agregat sudah tidak elastis untuk serapan tenaga kerja dan memiliki elastisitas yang rendah terhadap peningkatan pendapatan. Elastisitas yang cukup tinggi dari sektor pertanian justru dari aspek pengganda pajak tak langsung PAD, yang belum tentu dapat dinikmati oleh masyarakat tani. Implikasi dari analisis ini adalah bahwa dengan kondisi pertanian sekarang, sudah tidak layak lagi bagi pembuat kebijakan untuk menjadikan sektor pertanian sebagai katup pengaman masalah pengangguran, yang selama ini masih didengungkan. Sifat akomodatif sektor pertanian dalam menerima limpahan tenaga kerja yang tidak tertampung sektor lainnya, justru makin menambah beban petani yang berada di dalamnya. Implikasi lainnya adalah perlu dilakukan pembenahan orientasi pembangunan pertanian, agar sektor pertanian mampu memberikan dampak pengganda pendapatan yang layak bagi masyarakatnya. Aplikasi teknologi yang timpang antara sektor industri dan sektor pertanian merupakan salah satu faktor yang memperlebar kesenjangan produktivitas dan nilai tambah kedua sektor tersebut. Apabila permasalahan ini tidak segera disadari, maka sektor pertanian akan terus tertinggal dan kantung- kantung kemiskinan akan terus bertambah di wilayah pertanian. Keterkaitan Sektoral Keunggulan suatu sektor dilihat juga dari tingkat kekuatan antara sektor tersebut dengan sektor lainnya dalam aktivitas perekonomian. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat menarik aktivitas sektor-sektor di belakangnya hulu. Sebaliknya sektor yang memiliki keterkaitan ke depan yang kuat, berarti peningkatan output sektor tersebut dapat mendorong aktivitas sektor-sektor di depannya hilir. Dengan keterkaitan demikian, maka roda perekonomian dapat bersinergi dengan baik. Antara sektor perekonomian dapat saling melengkapi dan memanfaatkan seoptimal mungkin input sumberdaya alam domestik atau output sektor perekonomian di dalam wilayahnya sendiri. Dengan demikian, nilai tambah yang dihasilkan dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah itu sendiri. Makin kuat keterkaitan antarsektor, maka makin kecil ketergantungan suatu sektor pada barang impor sekaligus memperkecil kebocoran modal wilayah yang mengalir ke negeri lain. Dan makin bersinergi keterkaitan antarsektor, maka makin kecil jumlah produk yang diekspor dalam bentuk mentah segar yang bernilai tambah rendah. Dari aspek keterkaitan sektoralnya, ternyata sektor industri juga merupakan sektor yang memiliki keterkaitan terkuat, kecuali keterkaitan ke belakang totalnya yang menempati posisi kedua setelah sektor bangunan. Sektor yang memiliki keterkaitan terkuat ke depan lainnya selain sektor industri adalah sektor pertambangan dan penggalian. Dari keterkaitan sektoral ke belakangnya, dua sektor yang termasuk ke dalam 3 sektor dengan keterkaitan ke belakang terkuat adalah sektor bangunankonstruksi dan sektor listrik, gas, air bersih. Tetapi ditemukan indikasi negatif dari sektor-sektor yang memiliki keterkaitan sektoral terkuat tersebut. Keterkaitan dari sektor-sektor tersebut ternyata hanya dengan sektor tertentu saja. Pada sektor industri, keterkaitan langsung terkuatnya cenderung dengan kelompok sektornya sendiri. Hal tersebut terungkap dari tabel transaksi domestik input-output. Dengan menurunkannya menjadi ’tabel persentase nilai input sektor pengguna yang berasal dari output sektor pemasok’ Tabel 33, diketahui bahwa sekitar 63.7 persen pasokan input sektor industri pengolahan berasal dari kelompok sektornya sendiri. Serupa dengan keterkaitan langsung ke belakangnya, keterkaitan langsung ke depan terkuat dari sektor industri pengolahan adalah dengan kelompok sektornya sendiri. Tabel 35 yang diturunkan dari tabel transaksi domestik menjelaskan hal tersebut. Sekitar 80.6 persen output sektor industri pengolahan menjadi input bagi sektor industri pengolahan lainnya. Hanya 2.2 persen dari outputnya yang dimanfaatkan oleh sektor pertanian. Sektor bangunan, yang merupakan sektor dengan keterkaitan terkuat kedua, keterkaitan eratnya cenderung hanya dengan sektor industri pengolahan. Sebesar 79.3 persen input sektor bangunan diperoleh dari sektor industri. Sementara sektor listrik, gas dan air bersih, kaitan terkuatnya hanya dengan sektor pertambangan dan sektornya sendiri. Sektor pertambangan memasok 50.9 persen dan dari sektornya sendiri sebesar 23.5 persen. Kedua sektor ini bahkan sangat kecil keterkaitanya dengan sektor pertanian. Padahal kedua sektor ini dan sektor industri, dalam analisis sebelumnya merupakan sektor yang memiliki dampak pengganda terbesar. Dengan nilai koefisien keterkaitan totalnya yang tinggi dan pendapatan rumah tangga sektor ini yang juga relatif lebih tinggi, maka dampak pendapatan upah dan gaji akan lebih banyak dinikmati oleh sektor-sektor tersebut. Sementara dari keterkaitan totalnya, ditemui kondisi yang tidak berbeda. Sektor industri merupakan sektor yang memiliki keterkaitan total ke depan terkuat dan keterkaitan ke belakang terkuat kedua setelah sektor bangunan, dengan koefisien keterkaitannya masing-masing sebesar 3.14 dan 1.89. Ini menunjukkan bahwa kenaikan permintaan akhir sektor industri mampu memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terbesar terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian. Dapat pula dikatakan bahwa sektor ini adalah sektor yang paling kuat dalam mendorong atau menarik sesudah sektor bangunan peningkatan output seluruh sektor perekonomian. Dengan hanya mengacu dari informasi nilai koefisien ini, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang dipacu melalui peningkatan permintaan akhir output sektor industri, akan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan output sektor perekonomian lainnya. Tanpa melakukan penelusuran data dan proses olahan antara, sektor industri nampak sebagai sektor unggulan yang dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Mirip dengan keterkaitan langsungnya, ditemui indikasi negatif dari keterkaitan kuat sektor industri ini. Adanya petunjuk negatif di balik keunggulan tersebut, terungkap dari hasil penelusuran proses olahan antara analisis input output koefisien inputnya. Secara matematis, jika mengacu kembali notasi matriks dari tabel I-O dalam persamaan 4 pada bab Metoda Penelitian halaman 41, dapat diturunkan persamaan matriks sebagai berikut: I – A -1 . Y = X atau B . Y = X 1 atau 2 Jika matriks tersebut diuraikan dalam bentuk persamaan matematis, diperoleh:                   =                                     n i n i nn n n ij n n X X X X Y Y Y Y b b b b b b b b b b 2 1 2 1 2 1 2 22 21 1 12 11 : M b 11 Y 1 + b 12 Y 2 + … b 1j Y j …+ b 1n Y n = X 1 b 21 Y 1 + b 22 Y 2 + … b 2j Y j …+ b 2n Y n = X 2 : : : 3 b 31 Y 1 + b 32 Y 2 + … b 3j Y j …+ b 3n Y n = X 3 : : : b n1 Y 1 + b n2 Y 2 + … b nj Y j …+ b nn Y n = X n + ∑Xn Subskrip 2 ditentukan sebagai sektor industri. Persamaan 2 dan 3 menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan permintaan akhir satu unit output sektor industri Y 2 pada persamaan 2, maka akan mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung terhadap peningkatan total output seluruh sektor perekonomian ∑Xn pada persamaan 3. Semua output sektor ekonomi X 1 sampai X n akan mengalami peningkatan, akibat tarikan permintaan akhir output sektor industri tersebut, tetapi dengan proporsi yang berbeda-beda, tergantung pada koefisien keterkaitannya nilai b ij . Nilai b ij terbesar dimiliki oleh sektor industri, yaitu elemen b 22 pada persamaan 2 dan 3 dengan nilai sebesar 1.53 Lampiran 17. Persamaan 3 memperlihatkan bahwa nilai b 22 yang cukup besar, hanya akan berpengaruh terhadap total output sektor industri saja X 2 , sehingga menghasilkan proporsi total output sektor industri X2 terhadap total output seluruh sektor ekonomi ∑Xn yang terbesar. Proporsinya sebesar 23.1 persen untuk dampak keterkaitan total ke depan dan sebesar 13.9 persen untuk dampak keterkaitan total ke belakangnya Lampiran 17. Nilai ini masih cukup besar dibandingkan dengan proporsi sektor lain yang terkena dampak peningkatan permintaan tersebut. Proporsi yang cukup mencolok terlihat pada keterkaitan langsung sektor industri, di mana proporsi peningkatan outputnya sebesar 45.13 persen untuk keterkaitan ke depan dan 18.41 persen untuk keterkaitan ke belakang. Nilai tersebut cukup signifikan perbedaannya, jika dibandingkan dengan dampak yang terimbas kepada sektor pertanian primer, yaitu sebesar 13.5 kalinya pada keterkaitan total ke depan dan 4.4 kalinya pada keterkaitan total ke belakang dari proporsi kenaikan sektor pertanian primer. Diketahui bahwa pada sektor pertanian primer, proporsinya hanya sebesar 3.34 persen untuk dampak keterkaitan langsung ke depan dan 4.16 persen untuk dampak keterkaitan langsung ke belakangnya. Hasil penelusuran data transaksi domestik input-output telah menunjukkan bahwa keterkaitan terkuat sektor industri cenderung terjadi di antara kelompok sektornya sendiri dan sangat lemah kaitannya dengan sektor pertanian. Kondisi ini menunjukkan fakta transaksi riil yang sebenarnya. Sedangkan penelusuran terhadap koefisien keterkaitannya elemen matrik A dan matriks B, lebih menunjukkan pada tingkat elastisitas dan besarnya dampak akibat upaya peningkatan 1 unit output sektor ekonomi tertentu. Ditunjukkan bahwa dampak akibat upaya pengembangan sektor industri akan lebih besar mengimbas kepada sektor itu sendiri dan tidak cukup besar bagi sektor pertanian primer. Dengan demikian, sekalipun nilai gradien elastisitas ini tidak cukup mencolok, tetapi fakta nilai transaksi domestik menunjukkan keterkaitan asimetris yang cukup signifikan antara sektor industri dan sektor pertanian primer. Keterkaitan asimetris yang dimaksud adalah di satu sisi keterkaitan sektor industri dengan kelompoknya sendiri sangat kuat, sementara keterkaitannya dengan sektor pertanian sangat lemah. Tidak ada satu sektor ekonomi pun yang benar-benar memanfaatkan produk pertanian domestik. Dari Tabel 33 terungkap bahwa tidak ada satu sektor pun yang memiliki kaitan langsung yang kuat dengan sektor pertanian. Produk sektor pertanian yang menjadi input sektor industri hanya sebesar 9.0 persen dari total input yang digunakannya, porsinya masih lebih kecil dibandingkan dengan input yang berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran 11.2 . Rendahnya persentase nilai transaksi dari sektor pertanian menunjukkan bahwa industri pengolahan di provinsi ini tidak banyak menggunakan output dari sektor pertanian primer. Hal tersebut karena jumlah industri yang banyak terdapat di provinsi ini adalah industri nonpertanian yang tidak memiliki keterkaitan erat dengan sektor pertanian primer. Data publikasi BPS Provinsi Jawa Barat 2006 menunjukkan bahwa sekitar 72.02 persen dari total industri di Jawa Barat merupakan industri nonpertanian. Lemahnya keterkaitan tersebut juga memberikan isyarat telah terjadinya kesenjangan teknologi yang diterapkan antara sektor pertanian dengan sektor industri. Kondisi ini menyebabkan kuantitas dan kualitas output sektor pertanian yang dihasilkan tidak dapat memenuhi persyaratan standar input sektor industri. Di sisi lain, sebenarnya sektor pertanian memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan sektor industri. Dari Tabel 34 terungkap bahwa produk antara yang 112 Tabel 33 Persentase nilai input sektor pengguna yang diperoleh dari output sektor pemasok Keterkaitan ke belakang Sektor Pengguna Sektor Pemasok Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertam- bangan dan Penggalian Industri Pengola han Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan konstruksi Perdagang an, Hotel dan Restoran Pengangkuta n dan Komuni-kasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa- jasa Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 21.7 0.0 9.0 - 0.6 3.7 0.0 - 3.7 Pertambangan dan Penggalian 0.0 95.6 7.2 50.9 0.2 0.0 - - 0.0 Industri Pengolahan 59.6 2.0 63.7 17.5 79.3 25.3 50.6 13.2 47.3 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.3 0.2 3.4 23.5 0.1 13.3 2.3 2.7 4.2 Bangunankonstruksi 1.5 0.6 0.1 0.1 0.1 0.1 1.4 3.1 1.9 Perdagangan, Hotel dan Restoran 11.6 0.6 11.2 4.0 14.9 12.5 13.3 4.8 18.3 Pengangkutan dan Komunikasi 1.5 0.3 2.8 1.0 2.4 12.5 13.9 8.8 5.1 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.6 0.4 1.8 1.0 1.9 28.4 12.7 44.3 9.0 Jasa jasa 1.1 0.2 0.8 2.2 0.4 4.2 5.7 23.1 10.5 Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah 113 Tabel 34 Persentase Output Sektor Pemasok untuk memenuhi Permintaan Keterkaitan ke Depan Komponen Permintaan Sektor Pemasok Jumlah Permintaan Antara Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Pengeluaran Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Jumlah Permintaan Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 41.0 51.2 - 0.4 0.3 7.1 100.0 Pertambangan dan Penggalian 102.4 0.0 - - 3.1 0.7 100.0 Industri Pengolahan 41.5 19.9 - 4.4 2.2 31.9 100.0 Listrik, Gas dan Air Bersih 59.4 33.7 - - - 6.9 100.0 Bangunankonstruksi 3.3 0.1 - 96.6 - - 100.0 Perdagangan, Hotel dan Restoran 37.6 34.3 - 3.0 1.5 23.6 100.0 Pengangkutan dan Komunikasi 38.7 32.2 - 1.0 0.5 27.7 100.0 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 74.6 23.6 - - - 1.9 100.0 Jasa jasa 13.2 20.6 51.6 1.8 - 12.9 100.0 Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah 114 Tabel 35 Persentase nilai output sektor pemasok yang menjadi input sektor pengguna Keterkaitan ke Depan Sektor Pengguna Sektor Pemasok Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangun ankonst ruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkut an dan Komunikas i Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa jasa Total Output Antara Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 6.3 0.0 87.9 0.0 0.4 3.4 0.0 0.0 2.1 100.0 Pertambangan dan Penggalian 0.0 21.1 58.9 19.9 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 100.0 Industri Pengolahan 2.2 0.1 80.6 1.1 6.7 3.0 2.8 0.2 3.4 100.0 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.1 0.1 55.2 18.2 0.1 20.1 1.6 0.6 3.9 100.0 Bangunankonstruksi 10.5 4.0 29.5 0.8 2.3 2.6 15.0 9.5 25.9 100.0 Perdagangan, Hotel dan Restoran 2.2 0.1 71.8 1.2 6.4 7.5 3.7 0.4 6.7 100.0 Pengangkutan dan Komunikasi 0.9 0.1 53.9 0.9 3.1 22.0 11.5 2.2 5.5 100.0 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.2 0.2 28.6 0.7 2.0 41.5 8.6 9.1 8.1 100.0 Jasa jasa 1.3 0.2 31.1 4.1 1.1 15.8 9.9 12.1 24.3 100.0 Sumber: BPS Bapeda Jabar 2005, diolah digunakan dalam kegiatan proses produksi sebesar 41.0 persen. Dan dari jumlah yang digunakan untuk kegiatan proses produksi tersebut, sebagian besar 87.9 untuk memenuhi kebutuhan input sektor industri pengolahan Tabel 35. Ini menunjukkan sektor ini sebenarnya berpotensi untuk mendorong pertumbuhan sektor industri, terutama industri pertanian. Hanya saja dimungkinkan akibat rendahnya kualitas produk sektor pertanian dan sedikitnya jumlah industri pertanian yang berpeluang memanfaatkan sektor pertanian tersebut, menyebabkan sektor ini tenggelam diantara eksistensi sektor ekonomi lainnya. Indikasi Negatif Industri Nonpertanian: Keterkaitan internal yang tinggi Dari rangkaian hasil analisis 9 sektor ekonomi, diketahui bahwa kriteria unggulan terbanyak dipenuhi oleh sektor industri. Tetapi di antara hasil analisis yang menunjuk pada keunggulan sektor industri, telah ditemukan indikasi negatif bahwa keterkaitan yang kuat pada sektor industri hanya terjadi di dalam kelompok sektornya sendiri dan sangat lemah keterkaitannya dengan sektor pertanian primer. Berdasarkan informasi ini, maka dampak dan nilai tambah terbesar dari prioritas pengembangan sektor industri akan terkonsentrasi pada kelompok sektor industri sendiri serta sejumlah kecil sektor kaitannya. Pengembangan sektor ini juga kurang signifikan dalam menarik pertumbuhan aktivitas sektor pertanian primer. Dengan analisis yang lebih detil input-output 86 sektor, diketahui bahwa sektor yang memiliki indikasi negatif tersebut pada umumnya adalah sektor industri nonpertanian. Untuk tujuan identifikasi ini, maka dipilih 10 sektor ekonomi utama hasil analisis I-O 86 sektor menurut peringkat keunggulan yang dimilikinya Tabel 36. Diantara 10 sektor tersebut, sektor industri mesin dan peralatannya diidentifikasi sebagai sektor yang memiliki keterkaitan sektoral ke belakang yang kuat. Dengan penelurusan melalui tabel transaksi domestik I-O, diketahui bahwa keterkaitan terkuat sektor ini ternyata lebih tertuju pada sektornya sendiri dan industri nonpertanian lainnya. Sekitar 70 persen inputnya dipenuhi dari kelompok sektor industri ini sendiri 69.90 , sedangkan dalam proporsi yang kecil dipenuhi oleh sektor perdagangan 12.22 , sektor industri mesin lainnya 9.67 , sektor industri logam dasar 2.16 dan sektor jasa angkutan jalan 1.69 . Kaitan sektor ini terhadap sektor pertanian primer bahkan tidak ada sama sekali. Hal yang sama terjadi pada industri nonpertanian lainnya yang termasuk di dalam kelompok 10 sektor ekonomi utama hasil analisis I-O 86 sektor tersebut. Sektor-sektor tersebut adalah industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya; industri pengilangan minyak bumi; industri kimia dasar, kecuali pupuk; dan industri logam dasar dari besi dan baja. Indikasi Positif Agroindustri dan Dukungan Sektor Pertanian Primer Dengan menggunakan analisis yang sama I-O 86 sektor, terungkap bahwa tidak semua industri memiliki indikasi negatif yang telah dipaparkan. Industri pertanian agroindustri ternyata tidak hanya memiliki keterkaitan sektoral yang kuat, tetapi juga lebih kompleks dan berkaitan dekat dengan sektor pertanian primer. Mengacu pada data transaksi input-output dan bagan pohon industri, diketahui bahwa sektor agroindustri unggulan hasil analisis I-O memiliki keterkaitan sektoral yang cukup kompleks, termasuk kaitannya dengan sektor pertanian primer. Diketahui pula dari hasil analisis I-O dan bagan pohon industri bahwa sektor pertanian primer kaitan agroindustri unggulan itu, ternyata juga merupakan sektor unggulan. Dengan demikian, sektor pertanian primer unggulan ini berperan untuk mendorong pertumbuhan agroindustri unggulan di Jawa Barat. Sektor pertanian unggulan pertanian primer dan agroindustri yang termasuk ke dalam 10 sektor utama berdasarkan peringkat kriteria keunggulannya adalah: 1 dari aspek pengganda pendapatan tertinggi adalah industri beras, industri karet dan industri tembakau; 2 dari aspek pengganda PAD adalah sektor unggas posisi teratas, tembakau dan tebu; 3 dari pengganda PDRB adalah industri beras posisi teratas; 4 dari keterkaitan sektoral ke depan adalah industri makanan lainnya dan sektor padi; serta 5 dari keterkaitan sektoral ke belakang adalah industri beras. Informasi ini secara tabular ditunjukkan pada Tabel 36. Nilai koefisien keterkaitan sektor-sektor tersebut di atas rata-rata koefisien keterkaitan seluruh sektor ekonomi. Koefisien keterkaitan dan angka pengganda 86 sektor ekonomi disajikan pada Lampiran 21 sampai Lampiran 22. Disebabkan kapasitas ruang yang cukup besar, data transaksi domestik, koefisien input dan matriks kebalikan tabel I-O 86 sektor, dikompilasi dalam file CD. Keterkaitan Pertanian Primer Unggulan dan Agroindustri Unggulan Sektor pertanian primer unggulan hasil analisis merupakan sektor hulu pemasok dari sektor agroindustri unggulan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dari informasi Tabel 36 dan dengan mengaitkan informasi dua tabel lainnya, yaitu Tabel 37 sektor pertanian primer unggulan dengan Tabel 38 agroindustri ungulan. Tabel 37 menunjukkan bahwa di antara kelompok sektor pertanian primer, komoditi unggulannya adalah unggas, ternak, padi, karet, tembakau dan tebu. Tabel 38 memperlihatkan bahwa di antara agroindustri hilir unggulan adalah industri beras, industri makanan lainnya, industri pengolahan tembakau, industri karet dan barang-barang dari karet, industri kulit dan industri gula. Kelebihan agroindustri unggulan, terutama dari aspek pengganda pendapatannya, akan dapat melengkapi kelemahan sektor pertanian primer. Diketahui dari hasil analisis bahwa tidak ada satupun komoditi pertanian yang memiliki angka pengganda yang tinggi, kecuali pengganda pajak tak langsung yang merupakan komponen PAD Penerimaan Anggaran Daerah. Kecuali pengganda PAD, angka indeks pengganda seluruh sektor pertanian primer nilainya kurang dari satu atau di bawah rata-rata angka pengganda seluruh sektor ekonomi di Jawa Barat Lampiran 22. Ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan permintaan output sektor pertanian tidak akan berdampak besar bagi peningkatan pendapatan rumah tangga dan PDRB provinsi. Dengan keunggulan agroindustri dalam aspek keterkaitan sektoral dan dampak penggandanya serta keterkaitan yang kompleks dari sektor pertanian primer, maka penguatan keterkaitan kedua sektor ini, melalui program diversifikasi usaha petani, tidak hanya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tetapi juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan demikian, sektor pertanian pertanian primer dan agroindustri dapat memenuhi tujuan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sedangkan pada sektor industri nonpertanian, adanya indikasi negatif tersebut merupakan hal yang perlu dipertimbangkan, sebelum menjadikannya sebagai sektor unggulan. Sektor Pertanian Primer Unggulan Diantara 86 sektor perekonomian, sektor pertanian primer komoditi pertanian kurang menunjukan keterkaitan yang kuat dengan sektor ekonomi 118 Tabel 36 Sepuluh sektor ekonomi utama menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat Tingkat Keterkaitan Sektoral Angka Pengganda Perin gkat Keterkaitan ke Depan Langsung Keterkaitan ke Depan Langsung Tak Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Tak Langsung Pendapatan Pajak Tak langsung PAD Nilai Tambah Total PDRB 1 Perdagangan Minyak bumi Jasa Kesehatan Pemerintah Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Industri Beras Unggas dan hasil- hasilnya Industri Beras 2 Industri makanan lainnya Industri makanan lainnya Jasa Pendidikan Swasta Jasa Angkutan Udara Jasa Angkutan Udara Tembakau Jasa Angkutan Udara 3 Minyak bumi Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk Industri Beras Industri alat angkutan lainnya dan jasa perbaikannya Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Gas Kota Industri logam dasar bukan besi dan baja 4 Gas bumi dan panas bumi Industri pengilangan minyak bumi Jasa Pemerintahan Umum Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya Industri karet dan barang-barang dari karet Industri alat angkutan lainnya jasa perbaikan Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya 5 Industri Kimia dan barang- barang dari bahan kimia lainnya Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Jasa Pendidikan Pemerintah Jasa Angkutan Laut Industri furniture termasuk berbahan plastik, besi dan baja Tebu Industri furniture termasuk berbahan plastik, besi dan baja 6 Industri pengilangan minyak bumi Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya Jasa kemasyarakatan Lainnya Industri mesin lainnya dan perlengkapannya Real estate dan usaha persewaan bangunan Jasa kemasyarakatan Lainnya Industri logam dasar dari besi dan baja kecuali furniture 7 Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya Barang tambang dan hasil galian lainnya Industri mesin dan peralatan termasuk perlengkapannya Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki Industri logam dasar bukan besi dan baja Industri Pupuk Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki 8 Listrik Gas bumi dan panas bumi Industri Pupuk Jasa Angkutan Rel Industri alas kaki Jasa Angkutan Sungai dan Danau Industri barang- barang dari plastik kecuali furniture 9 Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya Industri pengilangan minyak bumi Industri logam dasar dari besi dan baja kecuali furniture Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri furniture termasuk berbahan plastik, besi dan baja Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya 10 Padi Bank dan Lembaga Keuangan lainnya Industri pakaian jadi, kecuali untuk alas kaki Industri barang- barang dari plastik kecuali furniture Industri mesin lainnya dan perlengkapannya Jasa Kesehatan Swasta Bangunan 119 Tabel 37 Sepuluh sektor pertanian primer menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat Tingkat Keterkaitan Sektoral Angka Pengganda Peringkat Keterkaitan ke Depan Langsung Keterkaitan ke Depan Langsung Tak Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Tak Langsung Pendapatan Pajak Tak langsung PAD Nilai Tambah Total PDRB

1 Padi

Padi Karet Unggas dan hasil- hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil- hasilnya 2 Tebu Tebu Unggas dan hasil-hasilnya Tembakau Ternak dan hasil- hasilnya Tembakau Tembakau 3 Buah-buahan Karet Tembakau Susu segar Susu segar Tebu Susu segar 4 Unggas dan hasil-hasilnya Kayu dan hasil- hasilnya Tebu Ternak dan hasil- hasilnya Tembakau Kelapa Ternak dan hasil- hasilnya 5 Sayur-sayuran Pertanian Tanaman Perkebunan Susu segar Pertanian Tanaman Perkebunan Pertanian Tanaman Perkebunan Ternak dan hasil-hasilnya Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang 6 T e h Unggas dan hasil- hasilnya T e h Kelapa Sawit Kayu dan hasil- hasilnya Susu segar Karet 7 Karet Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Kelapa Sawit Tebu Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Kelapa Sawit Pertanian Tanaman Perkebunan 8 Tembakau Ternak dan hasil- hasilnya Sayur-sayuran Karet Ikan darat dan hasil perairan darat lainnya Karet Kelapa Sawit 9 Ternak dan hasil-hasilnya Bahan Makanan Lainnya Ternak dan hasil- hasilnya Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Kelapa Sawit Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Tebu 10 Ikan laut dan hasil laut lainnya termasuk udang Jagung Cengkeh Kayu dan hasil- hasilnya Kelapa Cengkeh Ikan darat dan hasil perairan darat lainnya 120 Tabel 38 Sepuluh sektor agroindustri menurut peringkat kriteria unggulan di Jawa Barat Tingkat Keterkaitan Sektoral Dampak Pengganda Pering- kat Keterkaitan ke Depan Langsung Keterkaitan ke Depan Langsung Tak Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Keterkaitan ke Belakang Langsung Tak Langsung Pendapatan Pajak Tak langsung PAD Nilai Tambah Total PDRB 1 Industri makanan lainnya Industri makanan lainnya Industri Beras Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri Beras Industri Pupuk Industri Beras 2 Industri karet dan barang-barang dari karet Industri Pupuk Industri Pupuk Industri karet dan barang-barang dari karet Industri karet dan barang-barang dari karet Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Pupuk 3 Industri Pupuk Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri makanan lainnya Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri karet dan barang-barang dari karet 4 Industri Beras Industri karet dan barang-barang dari karet Teh olahan Gula Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Beras Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman 5 Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Beras Gula Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Gula Industri karet dan barang-barang dari karet Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki 6 Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Industri karet dan barang-barang dari karet Industri Beras Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki Teh olahan Industri makanan lainnya 7 Teh olahan Gula Industri makanan lainnya Industri Pupuk Industri makanan lainnya Industri makanan lainnya Gula 8 Gula Teh olahan Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Teh olahan Teh olahan Gula Teh olahan 9 Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri pengolahan lainnya Industri Kayu, bamboo, rotan dan ayaman Industri Pupuk Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok Industri pengolahan tembakau, bumbu rokok dan rokok lainnya, sehingga berada pada peringkat bawah dari kelompok sektor yang memiliki keterkaitan terkuat. Walaupun demikian, sektor ini memiliki keterkaitan yang kompleks dengan sektor ekonomi lainnya, termasuk dengan sektor industri. Pada kelompok sektor pertanian primer hasil I-O 86 sektor, lima sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang terkuat secara berturut-turut adalah sektor karet, unggas, tembakau, tebu dan susu segar Tabel 37. Karet merupakan salah satu kasus yang akan diuraikan untuk menunjukkan keterkaitan yang kompleks dari sektor pertanian primer unggulan. Keterkaitan sektoral ke depan sektor karet adalah dengan industri alas kaki, industri kendaraan bermotor, industri karet dan barang dari karet, industri mesin lainnya dan perlengkapannya, industri jasa perorangan dan rumah tangga serta 37 sektor hilir lainnya, dengan proporsi pasokan output karet ke sektor hilirnya tersebut masing-masing sebesar 26.31 , 19.20 , 17.59 , 15.85 , 7.77 dan 13.28 . Keterkaitan ke belakang karet dapat dilihat pada Tabel 39. Keterkaitan sektoral dari komoditi pertanian unggulan lainnya, yaitu unggas dan hasil-hasilnya, tembakau, padi dan tebu ditunjukkan pada Tabel 40 sampai Tabel 43. Tabel 39 Keterkaitan ke belakang sektor karet dengan sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Karet 59 905 40.93 2 Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk 36 428 24.89 3 Perdagangan 12 901 8.82 4 Bangunan 8 613 5.89 5 Jasa Angkutan Jalan 3 886 2.66 Sektor Ekonomi Lain 29 sektor 12 307 16.82 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 40 Keterkaitan ke belakang sektor unggas dan hasil-hasilnya dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Input Rp Juta Pangsa 1 Industri makanan lainnya 1 823 728 79.90 2 Perdagangan 285 779 12.52 3 Unggas dan hasil-hasilnya 65 997 2.89 4 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 51 996 2.28 5 Jasa Angkutan Jalan 26 151 1.15 Sektor Ekonomi Lain 38 sektor 1.26 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 41 Keterkaitan ke belakang sektor tembakau dan hasil-hasilnya dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri Pupuk 20 046 42.20 2 Perdagangan 5 231 11.01 3 Unggas dan hasil-hasilnya 4 924 10.37 4 Industri barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya dan furniture 3 560 7.49 5 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 2 876 6.06 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 42 Keterkaitan ke depan sektor padi dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri Beras 11 496 492 94.23 2 Padi 619 357 5.08 3 Industri Kertas, barang dari kertas dan sejenisnya 47 058 0.39 4 Ternak dan hasil-hasilnya 25 000 0.20 5 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 6 139 0.05 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 43 Keterkaitan ke depan sektor tebu dengan sektor lainnya Peringkat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri Gula 172 333 92.25 2 Tebu 12 791 6.85 3 Susu segar 511 0.27 4 Ternak dan hasil-hasilnya 363 0.19 5 Hotel 336 0.18 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Telah disinggung bahwa angka indeks pengganda seluruh sektor pertanian primer nilainya kurang dari satu atau di bawah rata-rata angka pengganda seluruh sektor ekonomi di Jawa Barat, kecuali pengganda PAD-nya. Bahkan dari aspek pengganda ini, sektor pertanian primer jauh lebih unggul diantara sektor ekonomi lainnya. Sektor unggas dan hasil-hasilnya diidentifikasi sebagai sektor yang memiliki dampak pengganda PAD tertinggi. Angka penggandanya mencapai 40,78 Lampiran 22 dan jauh melampaui angka rata-rata pengganda PAD seluruh sektor 2,94. Ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan permintaan 1 rupiah pada sektor perekonomian akan menyebabkan lonjakan kenaikan PAD sebesar Rp 40,78. Tidak hanya sektor unggas, terdapat dua sektor pertanian primer lain yang termasuk ke dalam 5 kelompok besar sektor ekonomi yang memiliki angka pengganda PAD tertinggi, yaitu tembakau pada posisi ke-2 dan tebu pada posisi ke-5. Agroindustri Unggulan Pada bagian ini hanya akan diulas tiga sektor agroindustri unggulan, untuk menunjukkan keunggulannya dari aspek keterkaitan sektoral yang lebih kompleks ataupun memiliki kaitan erat dengan sektor pertanian primer. Agroindustri tersebut adalah industri makanan lainnya, industri beras serta industri kulit dan barang-barang dari kulit. Sektor industri makanan lainnya menempati posisi kedua setelah sektor perdagangan dari 86 sektor perekonomian di Jawa Barat yang memiliki keterkaitan langsung ke depan terkuat. Dalam keterkaitan langsung ke depan, sektor pertanian yang diwakili oleh agroindustri ini, ternyata lebih superior dibandingkan industri nonpertanian. Keterkaitan terkuat industri-makanan-lainnya ini adalah dengan sektor unggas dan hasil-hasilnya, yang merupakan sektor pertanian primer. Tabel 44 Keterkaitan ke depan sektor industri makanan lainnya dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Sebesar 29.35 persen dari total output yang dihasilkan sektor industri makanan lainnya diserap oleh sektor unggas dan hasil-hasilnya, sisanya diserap oleh sektornya sendiri 23.19 , kemudian oleh sektor restoran 13.07 , industri kulit 5.20 dan 42 sektor ekonomi lainnya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 44. Dalam aktivitas perekonomiannya, sektor industri makanan lainnya ini melibatkan cukup banyak sektor ekonomi lainnya 46 sektor, baik sektor pertanian maupun sektor nonpertanian. Industri beras merupakan sektor yang memiliki keterkaitan langsung ke belakang terkuat pada posisi ketiga dari 86 sektor ekonomi. Keterkaitan terkuatnya adalah dengan sektor padi. Sektor padi ini memasok hampir seluruh pasokan input sektor industri beras, yaitu sebesar 88.32 Tabel 45, sementara sisanya dipenuhi oleh sektor perdagangan 8.33, sektor industri beras sendiri 2.84, sektor jasa angkutan jalan 0.14, sektor Bank dan Lembaga Keuangan lainnya 0.11. Pering- kat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Unggas dan hasil-hasilnya 1 823 728 29.35 2 Industri makanan lainnya 1 440 943 23.19 3 Restoran 812 446 13.07 4 Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki 323 349 5.20 5 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 319 337 5.14 Sektor Ekonomi Lainnya 42 sektor Tabel 45 Keterkaitan ke belakang sektor industri Beras dengan 5 sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Pering- kat No. Sektor Sektor Ekonomi Nilai Output Juta Rp Pangsa 1 1 Padi 11 496 492 88.32 2 65 Perdagangan 1 084 752 8.33 3 29 Industri Beras 369 314 2.84 4 69 Jasa Angkutan Jalan 17 597 0.14 5 75 Bank dan Lembaga Keuangan lainnya 14 161 0.11 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Tabel 46 Keterkaitan ke belakang sektor industri kulit dan barang dari kulit sektor ekonomi di Jawa Barat menurut peringkat Pering- kat Sektor Ekonomi Nilai Rp Juta Pangsa 1 Industri makanan lainnya 323 349 44.9 2 Industri kulit dan barang dari kulit kecuali untuk alas kaki 224 727 31.2 3 Perdagangan 90 206 12.5 4 Industri Kimia Dasar, kecuali pupuk 18 509 2.6 5 Industri tekstil 14 514 2.0 6 Jasa Angkutan Jalan 6 771 0.9 7 Industri Kimia dan barang-barang dari bahan kimia lainnya 6 624 0.9 8 Industri alas kaki 5 370 0.7 9 Industri barang-barang dari plastik kecuali furniture 4 105 0.6 10 Listrik 3 525 0.5 Sumber: Tabel I-O Prov. Jawa Barat BPS Bapeda Jabar 2005, diolah Sektor ini juga memiliki keterkaitan dengan 31 sektor ekonomi lainnya di Jawa Barat. Ini memberikan implikasi bahwa pengembangan sektor industri beras berpotensi besar untuk menarik sektor pertanian primer padi. Tetapi keterkaitannya yang besar hanya terbatas pada komoditi pertanian tertentu saja padi. Namun apabila dikaitkan dengan masih banyaknya petani Jawa Barat penghasil padi lengkap dengan status kemiskinannya, pengembangan sektor ini sangat relevan untuk menarik pertumbuhan aktivitas sektor padi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Selain keterkaitan sektoralnya yang kuat, sektor industri beras juga merupakan sektor yang dapat memberikan peningkatan total pendapatan rumah tangga yang tertinggi diantara seluruh sektor perekonomian di Jawa Barat Lampiran 22. Angka pengganda pendapatannya sebesar 3.87 menunjukkan bahwa setiap kenaikan permintaan akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri beras akan meningkatkan pendapatan total rumah tangga sebesar Rp 3.87. Implikasi dari hasil analisis ini adalah bahwa sektor industri beras, sebagai diversifikasi usaha petani padi, dapat dilihat kemungkinan pengembangannya di wilayah basis padi dengan tingkat pendapatan atau kesejahteraan yang rendah. Keterkaitan sektoral agroindustri unggulan lainnya, yaitu industri kulit ditunjukkan pada Tabel 46. Secara lebih rinci keterkaitan interindustrial sektor industri unggulan dan keterkaitannya dengan sektor pertanian primer ditampilkan dengan bagan pohon industri yang disajikan pada Gambar 14 sampai Gambar 19. Ulasan lebih detil tentang industri unggulan ini akan dibahas pada bab Arahan Pengembangan Sektor Unggulan. Tujuan Pembangunan: Pertumbuhan Ekonomi yang Stabil Kemampuan suatu sektor bertahan dari gejolak eksternal ditunjukkan dari rendahnya ketergantungan pada penggunaan input impor dan modal asing. Untuk itu, selain memiliki keterkaitan yang luas dengan sektor lainnya, sektor unggulan haruslah juga tidak bergantung pada faktor eksternal. Sektor pertanian primer pada umumnya lebih banyak memanfaatkan sumberdaya domestik dan dimiliki oleh usahawan lokal, sehingga memenuhi kriteria ini. Pada sektor industri, penggunaan input impornya mencapai 41.1 dan dengan kepemilikan modal asing sebesar 11.5 . Tetapi dengan analisis pohon industri, terungkap bahwa agroindustri hilir unggulan hasil I-O 86 sektor tidak memiliki ketergantungan eksternal yang tinggi seperti industri nonpertanian. Dengan menggunakan bagan pohon industri dari sektor unggulan hasil analsis I-O dapat dilihat tingkat ketergantungan suatu industri terhadap input impor dan modal asing, selain kompleksitas keterkaitan interindustrialnya. Pohon industri ini dilengkapi dengan persentase jumlah output yang diekspor disimbolkan dengan huruf ‘X’, pasokan input impor M dan kepemilikan investasi yang berasal dari investor asing A atau kepemilikan investor domestik D, sebagaimana yang dideskripsikan pada Gambar 14 sampai Gambar 19. Berdasarkan informasi pohon industri komoditi tersebut, terungkap bahwa kebanyakan sektor agroindustri hilir kaitan komoditi pertanian unggulan tersebut hanya menggunakan input lokal. Industri-industri tersebut diantaranya adalah industri penggilingan padi dan penyosohan beras 15311, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya 15312, industri makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 15440, industri kerupuk dan sejenisnya 15496, industri kue- kue basah 15498, industri pengolahan teh dan kopi 15491, industri gula pasir 15421, industri pengeringan pengolahan tembakau 16001, industri pengasapan karet 25121, industri jamu 24234, industri es krim 15213 dan industri sirop 15424. Pengembangan industri yang berbasis sumberdaya domestik seperti ini akan memperkuat sistem perekonomian Jawa Barat dan mencegah berlangsungnya aliran kapital ke luar negeri. Terdapat juga agroindustri yang memanfaatkan input impor namun dengan persentase rendah 10 , seperti industri tepung 15322, industri kecap 15493, industri roti 15410, industri makanan lain 15499, industri minuman ringan 15540, industri bumbu masak penyedap masakan 15497, dengan kandungan input impornya secara berturut-turut sebesar 4 , 1 , 2 , 4 , 7 dan 7 . Sedangkan agroindustri yang menggunakan input impor dengan tingkatan menengah tingkat menengah diasumsikan sebesar 15 M ≤ 30 adalah industri ransum pakan ternakikan 15331, industri susu 15211, industri pupuk buatan majemuk hara makro primer 24123, industri konsentrat pakan ternak 15332 dengan proporsi input impornya secara berturut-turut adalah 17 , 19 , 24 , 30. Selain itu, pada sektor yang masih berkaitan dengan sektor pertanian tersebut, kepemilikan lokal ternyata lebih dominan dibandingkan dengan kepemilikan asing. Hanya terdapat beberapa agroindustri yang memiliki sharing dengan investor asing, yaitu industri makaroni, mie, spagheti, bihun, soun dan sejenisnya 15440, es krim 15213, industri minuman ringan 15540, industri roti dan sejenisnya 15410, industri bumbu masak penyedap masakan 15497, industri ransum pakan ternakikan 15331, industri konsentrat pakan ternak 15332 dan industri berbagai macam tepung dari padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, dan umbi-umbian 15322, dengan proporsi kepemilikan asing secara berturut-turut adalah 1 , 6 , 12 , 3 , 7, 12, 33 dan 33. Dari industri-industri tersebut, hanya industri konsentrat pakan ternak 15332 dan industri tepung 15322 yang memiliki input impor dan kepemilikan asing yang cukup tinggi 30. Secara umum dapat ditunjukkan bahwa sebagian besar agroindustri utama, yang terkait dengan sektor pertanian primer unggulan, memiliki keunggulan pada aspek tidak ada atau rendahnya penggunaan input impor dan kepemilikan asingnya, kecuali agroindustri hulu yang banyak menggunakan bahan kimia yang dipasok dari luar. Sebaliknya dengan industri yang memiliki kaitan jauh dengan sektor pertanian primer, cenderung memiliki muatan impor dan terdapat proporsi kepemilikan asing yang relatif tinggi. Tujuan Pembangunan: Pemerataan Pada pembahasan analisis kinerja pembangunan diketahui bahwa percepatan pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan, termasuk kabupaten industri dan jasa, cenderung menimbulkan permasalahan kesenjangan, fragmentasi lahan dan tingkat pengangguran yang tinggi. Sebaliknya, aktivitas pembangunan di kabupaten pertanian tidak menunjukkan kecenderungan tersebut. Permasalahan kesenjangan justru akan berkurang jika sektor ini beserta masyarakatnya diperkuat dan diberdayakan. Oleh karena itu, untuk program ke depan, realokasi pembangunan ke wilayah pertanian termasuk sektor ekonominya merupakan suatu prioritas untuk pencapaian tujuan pemerataan. 129 Gambar 14 Keterkaitan sektoral padi, industri beras dan industri kaitannya. 130 Gambar 15 Keterkaitan sektoral unggas dan industri kaitannya. 131 Gambar 16 Keterkaitan sektoral karet dan industri kaitannya. 132 Gambar 17 Keterkaitan sektoral tembakau, industri olahan tembakau dan industri kaitannya. 133 Gambar 18 Keterkaitan sektoral ternak dan industri kaitannya. 134 Gambar 19 Keterkaitan sektoral tebu, industri gula pasir dan industri kaitannya. Tujuan Pembangunan: Keberlanjutan Keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, merupakan salah satu tujuan pembangunan yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan sektor unggulan wilayah. Suatu sektor dinilai belum cukup memenuhi kriteria unggulan, jika baru meniliknya dari aspek keterkaitan sektoral dan interregional kabupatenkota di Jawa Barat, ataupun dari aspek ketergantungannya pada faktor eksternal, tanpa mengaitkannya dengan kesesuaian tata ruang wilayah. Sektor unggulan wilayah yang terbukti handal dari banyak kriteria ekonomi dan sosial, jika aktivitasnya berdampak pada kerusakan lingkungan dan menimbulkan berbagai bencana, tidak disarankan sebagai sektor unggulan di suatu wilayah. Oleh karena itu secara spasial, sektor unggulan haruslah merupakan sektor yang pemanfaatan lahannya konsisten dengan rencana tata ruang, selain juga diterima oleh masyarakat lokal dan didukung dengan ketersediaan lahan yang sesuai. Analisis konsistensi untuk pemanfaatan lahan aktivitas komoditi pertanian tidak dapat memberikan informasi dengan tepat. Analisis ini merupakan pendekatan global untuk memberi gambaran secara umum. Untuk identifikasi konsistensi pemanfaatan komoditi secara tepat dapat dilakukan kajian yang lebih detil didukung dengan ground check di lapangan. Pada Peta RTRW Jawa Barat, jenis peruntukan lahan dibedakan menjadi hutan lindung, hutan konservasi, lindung nonhutan, perairandanausitu, hutan produksi, sawah dan budidaya lain. Sedangkan peta existing landuse membedakan penutupan lahan menjadi badan air, hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, sawah, tambak, kebun campuran, ladang, semak belukar, padang rumput, pemukiman, kawasan industri dan kawasan pertambangan. Untuk memudahkan analisis, dilakukan pengelompokan jenis penutupan lahan peta landuse berdasarkan lebatnya tutupan vegetasi lahan dan fungsi hidrologisnya, yaitu: 1 kawasan lindung, 2 hutan dan vegetasi lebat, 3 tanaman pertanian lahan basah TPLB, 4 tanaman pertanian lahan kering TPLK dan 5 ruang terbangun. Kawasan lindung meliputi badan air dan hutan primer; hutan dan vegetasi lebat meliputi hutan sekunder dan perkebunan tahunan; TPLB meliputi sawah dan tambak; TPLK terdiri dari kebun campuran, ladang, semak belukar dan padang rumput; ruang terbangun mencakup pemukiman, kawasan industri dan kawasan pertambangan. Pada peta RTRW, dilakukan pengelompokan menjadi: 1 kawasan lindung dan vegetasi lebat, 2 sawah dan 3 budidaya lain. Kawasan lindung dan vegetasi lebat meliputi hutan konservasi, hutan lindung, lindung nonhutan dan perairandanausitu. Untuk Peta RTRW Kabupaten Sukabumi, sebagai studi kasus analisis ini, jenis peruntukan lahan dibedakan menjadi hutan lindung, hutan suaka margasatwa, hutan konservasi, tubuh air, hutan produksi, perkebunan, sawah, kebun campuran, ladang, permukiman perkotaan, kawasan pariwisata dan zona industri. Sedangkan peta existing landuse membedakan penutupan lahan menjadi hutan primer, tubuh air, hutan sekunder, perkebunan, sawah, kebun campuran, ladang, semak belukar, padang rumput, pemukiman, kawasan pertambangan dan tanah kosong. Pemanfaatan lahan dinilai tidak konsisten inkonsisten jika terjadi pergeseran pemanfaatan dari peruntukan kawasan lindung menjadi aktivitas budidaya, terutama TPLK atau ruang terbangun. Disebabkan keterbatasan informasi kawasan budidaya pada peta RTRW provinsi, maka analisis inkonsistensi pun bersifat terbatas dan mengandung kelemahan. Kawasan budidaya pada peta RTRW hanya dibagi menjadi sawah dan budidaya lainnya. Peruntukan lahan budidaya-lainnya yang menjeneralkan seluruh jenis peruntukan lahan seperti perkebunan, tegalan, TPLK dan ruang terbangun, praktis menihilkan peluang untuk melihat ketidakkonsistenan pemanfaatan lahan di kelompok kawasan budidaya ini. Namun informasi yang bersifat global ini dapat menjadi informasi awal untuk mengkaji konsistensi aktivitas komoditi unggulan di tingkat kabupatenkota, yang pada umumnya telah tersedia data spasial RTRW yang lebih detil. Oleh karena itu untuk mendukung penelitian ini, dalam analisis konsistensi diangkat satu studi kasus, yaitu Kabupaten Sukabumi. Rekap data LQ komoditi pertanian, ketersediaan lahan yang sesuai S1 - S3, luas lahan yang konsisten dan inkonsisten dengan RTRW disajikan pada Tabel 47 sampai Tabel 53. Sedangkan Tabel Produksi dan nilai LQ sektor pertanian ditampilkan pada Lampiran 23 sampai Lampiran 28. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat, Peta penggunaan lahan aktual dan Peta Arahan Pertanian disajikan pada Gambar 20 sampai Gambar 22. Data atribut hasil tumpang tindih Peta RTRW dan peta landuse per kabupaten disajikan dalam file CD. Sementara Peta RTRW dan Peta Landuse Sukabumi disajikan pada Gambar 23 dan 24. 137 Gambar 20 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah dan pemusatan komoditi pertanian unggulan Jawa Barat. 138 Gambar 21 Peta penggunaan lahan di Jawa Barat. 139 Gambar 22 Peta arahan pertanian dan pemusatan komoditi pertanian unggulan Jawa Barat. Gambar 23 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi. Gambar 24 Peta penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi.

1. Padi

Tabel 47 menyajikan infromasi tentang pemusatan produksi padi, ketersediaan lahan dominan yang sesuai dengan karakteristik padi, indeks gini penguasaan lahan serta luas area sawah dan ladangtegalan yang konsisten atau inkonsisten dengan RTRW. Pemusatan padi sawah PS dan padi ladang PL tersebar di kabupatenkota di Jawa Barat, kecuali kota Bogor, kota Depok, kota Cimahi dan kabupaten Tasikmalaya. Kegiatan usahatani masyarakat tersebut secara umum didukung oleh ketersediaan lahan pertanian dengan kelas kesesuaian ‘sesuai’ S2 untuk padi sawah dan ‘sesuai marjinal’ S3 untuk padi ladang. Khusus pada usahatani padi sawah, Tabel 47 memperlihatkan bahwa pada umumnya aktivitas usahatani masyarakat di lokasi pemusatannya, telah menempati ruang yang ditetapkan RTRW provinsi. Dari tabel tersebut ditunjukkan bahwa luas lahan sawah ketetapan RTRW yang menjadi lokasi sesungguhnya usahatani padi sawah sawah Æ sawah, atau yang konsisten pemanfaatannya, lebih luas dibandingkan dengan luas pemanfaatan yang tidak konsisten. Walaupun terdapat beberapa kabupaten pemusatan padi sawah yang memiliki area sawah riil yang menempati kawasan lindung dan hutan produksi dengan luasan relatif lebih sempit. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah kabupaten Bekasi, Indramayu, Karawang, Tasikmalaya, Kuningan dan Majalengka. Secara visual, kabupaten pemusatan aktivitas usahatani padi sawah yang sesuai dengan RTRW berada di bagian utara provinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan antara sebaran lokasi peruntukan sawah peta RTRW dengan sebaran penutupan lahan sawah eksisting peta landuse. Pada peta RTRW, wilayah peruntukan sawah dikonsentrasikan di wilayah Jawa Barat bagian utara, yaitu di kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon Gambar 20. Hal ini tercermin pada peta landuse yang memotret kondisi aktual sesungguhnya, dimana pada lokasi yang ditetapkan tersebut memang tersebar aktivitas persawahan masyarakat. Selain bagian utara Jawa Barat, ketetapan peruntukan ruang usahatani padi sawah juga ditempatkan di bagian tengah Jawa Barat, dengan proporsi luasan yang lebih kecil. Hanya saja berdasarkan pemusatan aktivitas masyarakat sesungguhnya Tabel 47 Pemusatan produksi padi, kesesuaian lahan dan luas sawah ladang yang konsisteninkonsisten dengan RTRW Konsisten: Sawah Æ Sawah Inkonsisten: Kw.Lind, HP Æ Sawah Konsisten : Bdy lain Æ Ladang Inkonsisten: Kw.Lind, HP Æ Ladang Kabupaten Kota Pemusat an Produk- si LQ Kesesuai- an Lahan 10 000 km 2 Bandung PL S2, S3 0.27 0.09 0.11 0.19 Bekasi PS S2, S3 0.49 0.02 0.04 0.01 Bogor - S2, S3 0.36 0.16 0.05 0.15 Ciamis - S2, S3 0.14 0.07 0.05 0.05 Cianjur PL S2, S3 0.22 0.16 0.01 0.03 Cirebon PS S2, S3 0.21 0.00 0.02 0.00 Garut PL S2, S3 0.14 0.19 0.07 0.18 Indramayu PS S2, S3 0.71 0.01 Karawang PS S2, S3 0.67 0.05 Kt Bandung PS S2, S3 0.02 0.00 0.00 0.00 Kt Banjar PS S2, S3 0.01 0.00 0.00 0.00 Kt Bekasi PS S2, S3 0.00 0.00 0.01 0.00 Kt Bogor - S2, S3 0.01 0.00 0.00 0.00 Kt Cimahi - S2, S3 0.01 0.00 Kt Cirebon PS S2, S3 0.21 0.00 0.02 0.00 Kt Depok - S2, S3 0.04 0.00 0.01 0.00 Kt Sukabumi PS S2, S3 0.02 0.00 0.00 0.00 Kt.Tasikmalaya PS S2, S3 0.05 0.02 0.01 0.00 Kuningan PS, PL S2, S3 0.06 0.04 0.12 0.04 Majalengka PS S2, S3 0.06 0.04 Purwakarta PL S2, S3 0.08 0.06 0.02 0.01 Subang PL S2, S3 0.49 0.09 0.11 0.03 Sukabumi PL S2, S3 0.24 0.23 0.12 0.51 Sumedang PL S2, S3 0.03 0.05 0.06 0.13 Tasikmalaya - S2, S3 0.12 0.14 0.04 0.10 Keterangan: PS = padi sawah, PL = padi Ladang, HP = hutan produksi, nilai LQ, zona bagian tengah Jawa Barat ini ternyata bukan sebagai basis padi sawah, tetapi merupakan pemusatan padi ladang. Pendekatan kuantitatif LQ produksi tersebut didukung dengan peta penggunaan lahan landuse, yang memperlihatkan sebaran usahatani ladangtegalan di wilayah-wilayah tersebut. Wilayah tersebut meliputi kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan dan kota Tasikmalaya Gambar 21. Aktivitas padi sawah, dari analisis di atas, menunjukkan kekonsistenannya dengan RTRW provinsi, namun tidak demikian halnya dengan padi ladang. Diasumsikan bahwa area penutupan lahan ladang atau tegalan pada peta landuse merupakan area aktivitas padi ladang masyarakat. Dari hasil tumpang tindih antara peta landuse dan peta RTRW, diketahui bahwa sebaran lokasi usahatani ladangtegalan di bagian selatan Jawa Barat, sebagian besar menempati area lindung nonhutan dan hutan lindung, seperti yang terjadi di kabupaten Sukabumi, Garut dan Cianjur. Begitu pula yang terjadi di kabupaten Bandung. Tabel 47 menunjukkan bahwa pada kabupaten pemusatan padi ladang, luas pemanfaatan ladangtegalan yang inkonsisten dengan RTRW, secara umum lebih besar dibandingkan dengan luas lahan yang konsisten. Pergeseran fungsi lindung hutan menjadi fungsi budidaya lahan kering dengan tutupan vegetasi yang renggang dan tidak bertajuk, akan menghilangkan fungsi dasar hutan sebagai pengatur tata air dan konservasi air. Dengan pendekatan analisis tingkat provinsi ini, maka hanya padi sawah yang teridentifikasi sebagai komoditi pertanian unggulan Jawa Barat, khususnya unggulan di wilayah pemusatannya. Pada tingkat kabupaten Kabupaten Sukabumi, pada umumnya aktivitas usahatani padi masyarakat telah menempati ruang yang ditetapkan RTRW. Hasil tumpang tindih peta RTRW dan peta landuse menunjukkan bahwa sebesar 91.2 dari luas lahan sawah aktual sesungguhnya konsisten dengan RTRW. Area pemanfaatan lahan padi sawah yang konsisten tersebut masih menempati area pertanian ketetapan RTRW. Sedangkan proporsi luas pemanfaatan lahan sawah yang inkonsisten, yaitu yang menempati kawasan lindung dan hutan produksi, mencakup 8.8 dari total luas sawah aktual Tabel 48. Sementara pada pemanfaatan ladang, terjadi perbedaan perolehan hasil analisis di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten yang lebih detil. Di Kabupaten Sukabumi, sebagian besar aktivitas padi ladang masyarakat ternyata konsisten dengan RTRW. Luas lahan ladang aktual yang konsisten mencakup 72.1 dari total luas ladang aktual. Pemanfaatan lahan ladang yang tidak konsisten meliputi 27.9 dari total luas ladang aktual. Dari rangkaian analisis, maka padi sawah dan padi ladang di Kabupaten Sukabumi teridentifikasi sebagai komoditi pertanian primer unggulan yang sejalan dengan ketiga tujuan pembangunan. 144 Tabel 48 Kekonsistenan pemanfaatan lahan di Kabupaten Sukabumi Pemanfaatan Lahan Aktual Kawasan Lindung Hutan dan Vegetasi Lebat TPLB TPLK Ruang Terbangun Peruntukan Lahan berdasarkan RTRW Hutan Primer Tubuh Sungai Hutan Sekunder Perkebunan Sawah Ladang Tegalan Padang Rumput Kebun Campuran Semak Belukar Permukiman Kwsn Pertambangan Tanah Kosong Tidak Teridentifik asi Hutan Lindung 2,495.67 - 191.50 177.91 134.67 418.83 163.08 518.90 53.13 6.18 2.47 6.18 207.56 Hutan Suaka Margasatwa 70.42 - 18.53 38.30 28.42 64.24 12.35 58.07 4.94 - - - 192.73 Kawasan Konservasi 29.65 - 27.18 98.84 39.54 285.40 159.38 254.51 93.90 - 1.24 11.12 7.41 Tubuh Air - 227.33 - - - - - - - - - - - Hutan ProduksiKonversi 1,141.58 - 539.90 1,346.67 98.84 1,866.81 363.23 1,298.49 429.95 - - 21.00 65.48 Perkebunan 349.64 - 201.38 1,529.52 355.82 1,368.91 1,089.69 1,452.92 643.69 12.35 14.83 24.71 214.97 Sawah 223.62 - 92.66 495.43 1,279.96 1,462.81 476.90 1,139.11 151.96 44.48 3.71 17.30 63.01 Kebun Campuran 1,036.57 3.71 213.74 1,975.53 816.65 3,600.19 1,550.53 2,840.37 651.10 29.65 38.30 32.12 187.79 Ladang 13.59 - 4.94 184.09 - 48.18 12.35 55.60 53.13 - - - - Permukiman Perkotaan 69.19 - 1.24 54.36 555.97 259.45 243.39 338.52 6.18 107.49 7.41 - 12.35 Kawasan Pariwisata 24.71 1.24 76.60 44.48 108.72 67.95 2.47 192.73 27.18 12.35 3.71 9.88 7.41 Zona Industri 1.24 - - 2.47 17.30 1.24 - 6.18 4.94 1.24 - 1.24 - Total 5,455.88 232.27 1,367.68 5,947.60 3,435.87 9,444.01 4,073.38 8,155.41 2,120.08 213.74 71.66 123.55 958.73 Luas pemanfaatan lahan: inkonsisten km2 137.14 301.46 2,635.28 1,787.74 Distribusi 2.3 8.8 27.9 43.9 Konsisten km2 5,810.46 3,134.41 6,808.73 2,285.64 Distribusi 97.7 91.2 72.1 56.1 Keterangan: wilayah diarsir adalah wilayah inkonsisten Analisis konsistensi padi ladang tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten tetap mengandung kelemahan. Hal itu disebabkan analisis ini telah menjeneralisasi area ladangtegalan sebagai area usahatani khusus padi ladang, sementara jenis usahatani lahan tegalanladang dapat berupa komoditi lainnya, seperti jagung, ubikayu dan lain-lain. Kemungkinan bahwa lokasi padi ladang yang menempati area yang sesuai dengan RTRW kawasan budidaya atau sebaliknya tanaman tegalan lain yang menempati area lindung, bisa saja terjadi.

2. Tembakau