Tebu dan Industri Kaitannya

industri pengolahan daging 15112. Industri pengolahan daging termasuk ke dalam kelompok industri makanan lainnya pada tabel input-output. Keunggulan industri ini telah diuraikan pada pembahasan sektor unggas, yaitu mencakup keterkaitan sektoral, dampak penggandanya pendapatan dan PDRB, aspek penggunaan input lokal dan aspek kepemilikan industri pengusaha lokal. Dengan keunggulan tersebut, perluasan usaha ke industri ini dapat melengkapi kekurangan sektor ternak dampak pengganda yang rendah. Terutama perluasan usaha ke arah industri pengolahan daging, yang lebih mudah usahanya, akan meningkatkan pendapatan kelompok peternak kecil. Pemusatan industri pemotongan hewan terletak di Kabupaten Subang, sedangkan industri pengolahan daging terpusat di Kabupaten Bekasi dan Kota Depok. Kabupatenkota yang menjadi pemusatan industri ini dapat dilihat pada Peta Pemusatan Ternak, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat Gambar 33 dan rincian data jenis industri dan data pendukung lainnya disajikan pada Tabel 57. Selain di lokasi pemusatannya, Kota Bandung juga memiliki industri pengolahan daging, yaitu baso sapi dan sosis, walaupun dengan nilai output yang berda di bawah rata-rata. Industri terkait lainnya adalah industri roti dan sejenisnya 15410 terpusat di Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi; 3 serta industri kue-kue basah 15498 yang menggunakan daging sapi atau olahannya ataupun susu, memusat di Ciamis dan Garut. Ketiga industri ini memenuhi kriteria keunggulan yang ditetapkan dalam analisis ini.

5. Tebu dan Industri Kaitannya

Keunggulan sektor tebu adalah pada dampak pengganda terhadap PAD, yang menempati posisi keempat dari pengganda PAD tertinggi dari 86 sektor ekonomi atau pada posisi ke-3 dalam kelompok sektor pertanian primer. Keterkaitannya ke sektor di depannya baik langsung maupun totalnya cukup kuat, diindikasikan dengan angka DFL dan DIFL berada di atas rata-rata provinsi. Namun keterkaitan ke belakangnya lemah, begitupula dengan dampak penggandanya yang rendah selain pengganda PAD. Oleh karena itu sektor tebu dapat mendorong pertumbuhan sektor di depannya dan mampu memberikan 18 9 Gambar 33 Peta pemusatan ternak, industri kaitannya dan tingkat kesejahteraan di Jawa Barat. 19 Tabel 57 Pemusatan ternak, produk olahannya dan industri utama kaitannya di Jawa Barat Kabupatenkota Pusat Sapi Ptg 1, Domba 2, Kerbau 3, Kuda 4, Kambing 5 Kulit Susu Pusat Ind. Hulu: Pupuk 24121 1, 24123 2; dan Pemberantas hama 24212 3 Pusat Ind. Daging Olahan Primer Lanjutan 15111 1, 15498 2, 15496 3, 15497 4, 15112 5, 15410 6 Pusat Ind Kulit Olahan 19112 1, 19121 2, 19129 3, 19201 4 Ind.Susu Olahan 15211 1, 15212 2, 15213 3 Tingkat Kesejahte- raan Tingkat Pengang- guran BANDUNG 1,2,3 Pusat Pusat 3 2 1 MR T BEKASI 2.3 Pusat 4,5,6 T BOGOR 1,3,4,5 Pusat Pusat 3 3.6 1234 MR T CIAMIS 2.4 3 MR CIANJUR 3.2 1 R CIREBON 1.3 3 R GARUT 1.5 Pusat 2.3 R INDRAMAYU 1,2,3,4 3 R KARAWANG 2 3 1 MR T KOTA BANDUNG 2 Pusat 1.3 2 1 T T KOTA BANJAR 1.4 MR T KOTA BEKASI 5 1,2,3 4 T T KOTA BOGOR 2.5 Pusat 2 T T KOTA CIMAHI 1.3 3 MR T KOTA CIREBON 5 T KOTA DEPOK 1.5 2 5 T T KOTA SUKABUMI 4.5 T T KOTA TASIKMALAYA 2.4 MR T KUNINGAN 2 Pusat MR MAJALENGKA 2 MR PURWAKARTA 4.5 2 4 MR SUBANG 1,4,5 Pusat 1 MR SUKABUMI 2.4 Pusat 3 MR SUMEDANG 1,3,4 Pusat MR TASIKMALAYA 5 MR Keterangan: 15111 1 = Ind. pemotongan hewan, 15498 = Kue basah, 15496 = Kerupuk, 15497 = Bumbu masak, 15112 = Pengolahan daging, 15410 = Roti 19112 = Penyamakan kulit, 19121 19129 = Barang dr kulit, 19201 = Sepatu alas kaki R = Rendah, MR = Menengah Rendah, T= Tinggi pelipatgandaan pajak tak langsung yang cukup tinggi untuk membiayai pembangunan daerah. Sektor kaitannya yang terdekat adalah industri gula. Industri ini memiliki kaitan sektoral ke belakang yang kuat, baik keterkaitan total maupun keterkaitan langsungnya. Sektor ini juga unggul dalam memberikan dampak pengganda terhadap pendapatan dan PDRB. Industri olahan lanjutan tebu, yang merupakan industri makanan lainnya, memenuhi banyak kriteria unggulan sebagaimana yang telah dibahas pada komoditi pertanian primer lainnya. Dengan pemikiran yang sama dengan ulasan sebelumnya, bahwa perluasan usaha, terutama yang membutuhkan bahan baku tebu atau gula pasir yang besar, akan meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan pekebun tebu, serta dapat memperkuat keterkaitan sektoral, interindustrial dan keterkaitan antarwilayah. Gambar 34 menyajikan Peta Pemusatan Tebu, Industri Kaitannya dan Tingkat Kesejahteraan di Jawa Barat, dilengkapi dengan data pendukungnya yang disajikan pada Tabel 58. Dari informasi tersebut ditunjukkan bahwa selain sebagai pusat produksi tebu, Kabupaten Cirebon juga merupakan satu-satunya lokasi pemusatan industri gula pasir 3 industri. Di Kabupaten Majalengka sebenarnya terdapat satu industri gula pasir yang cukup besar, tetapi nilai outputnya masih di bawah rata-rata provinsi. Industri gula lainnya berada di Kabupaten Subang, tetapi bukan sebagai pemusatan industri. Masih dengan pemikiran yang sama, terutama di kabupaten Cirebon dan Majalengka, yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah, dapat dilakukan diversifikasi usaha ke arah hilir bagi para pekebun tebu rakyat. Kebutuhan pasokan tebu untuk industri gula pasir di Kabupaten Cirebon dapat dipenuhi dari kabupaten tetangganya, yaitu kabupaten Kuningan dan Majalengka. Kapasitas produksi real industri gula pasir di Cirebon masih jauh berada di bawah kapasitas terpasangnya, justru di Kabupaten Majalengka yang bukan lokasi pemusatan industri telah mendekati kapasitas terpasangnya, yaitu 80 persen. Realisasi produksi industri gula Jawa Barat rata-rata hanya mencapai 34 persen dari kapasitas terpasang industri. Nilai kapasitas produksi riil rata-rata yang rendah ini akibat kapasitas produksi beberapa industri di Kabupaten Cirebon yang rendah. Serapan tenaga kerja industri gula juga rendah, yaitu 8 orang per 1 juta rupiah nilai output dengan perbandingan pekerja produksi dan nonproduksi sebesar 2 : 1. Tidak ada produk gula pasir yang masuk ke pasaran dunia. 192 Gambar 34 Peta pemusatan tebu, industri kaitannya dan tingkat kesejahteraan di Jawa Barat. 193 Tabel 58 Pemusatan tebu dan industri utama kaitannya di Jawa Barat Kabupatenkota Tebu Pusat Ind. Hulu: Pupuk 24121 1, 24123 2; dan Pemberantas hama 24212 3 Ind.Olahan Primer Ind.Gula 15421 Ind.Olahan Lanjutan 15211 1, 15213 2, 15424 3, 15540 4, 15410 5, 15498 6, 15497 7 Tingkat Kesejahteraan Tingkat Pengangguran BANDUNG 1 MR T BEKASI 4,5,7 T BOGOR 3 4.5 MR T CIAMIS MR CIANJUR 1 R CIREBON Pusat Pusat R T GARUT 6 R T INDRAMAYU R KARAWANG 4 MR T KOTA BANDUNG 1.5 T T KOTA BANJAR MR KOTA BEKASI 5.6 T KOTA BOGOR 3 T T KOTA CIMAHI MR KOTA CIREBON T T KOTA DEPOK 2 4 T T KOTA SUKABUMI T T KOTA TASIKMALAYA MR KUNINGAN Pusat MR MAJALENGKA Pusat MR PURWAKARTA 2 7 MR T SUBANG MR SUKABUMI 2.4 MR T SUMEDANG MR TASIKMALAYA MR Keterangan: 15211 = ind Susu, 15213 = Es krim, 15424 = Sirop, 15540 = mie, spagheti dll , 15410 = Roti, 15498 = Kue Basah, 15497 = Bumbu Masak R = Rendah, MR = Menengah Rendah, T= Tinggi ARAHAN PEMBANGUNAN UNTUK PENINGKATAN KINERJA PEMBANGUNAN DI JAWA BARAT Konsep Pembangunan Pusat Pertumbuhan dan Transformasi Sektoral Wilayah yang mengandalkan pada aktivitas sektor industri di Jawa Barat dalam banyak analisis ternyata berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan pembangunan. Namun tidak berarti bahwa permasalahan-permasalahan tersebut disebabkan oleh keberadaan sektor industri atau sektor jasa. Runtunan permasalahan yang makin kompleks dan terus berlanjut, timbul akibat diterapkannya paradigma pembangunan yang lebih mendahulukan pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan, selain pola pintas transformasi struktural yang menyebabkan kesenjangan dan ketidakmatangan proses pembangunan. Percepatan pembangunan di kutub-kutub pertumbuhan di Jawa Barat, terutama wilayah administratif kota, sangat terkait dengan kebijakan pembangunan nasional yang memfokuskan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi PDRB yang tinggi. The first fundamental theorm of welfare economic, yang diadopsi negara ini, merupakan konsep Kuznets 1966 yang berpendapat bahwa bagi negara yang pendapatannya rendah, maka agar perekonomiannya bertumbuh, harus mengorbankan dahulu tujuan pemerataan. Ini dianggap pilihan terbaik dari beberapa tuntutan pencapaian tujuan pembangunan yang tidak saling menenggang trade off, yaitu antara pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Hal ini kemudian memberi legitimasi dominansi peranan pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumberdaya dan program pembangunan pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi. Pilihan pada umumnya jatuh pada sektor industri atau sektor jasa, yang dapat memberikan perolehan PDRB yang relatif cepat. Pada wilayah tersebut, dikonsentrasikan segala aktivitas pembangunan, baik infrastruktur, sarana prasarana pembangunan, fasilitas sosial, fasilitas usaha ekonomi, serta kelengkapan dan kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi. Fakta-fakta yang telah dipaparkan dalam analisis penelitian ini menjadi bukti empirik dampak negatif penerapan konsep pembangunan seperti itu. Terutama kota administratif, yang merupakan kota industri atau jasa, pada umumnya memiliki kelas IPM Tinggi dan kelas IKM Menengah Bawah, sebaliknya yang terjadi dengan kabupaten pertanian. Indikator ini sebagai penunjuk bahwa kesempatan untuk mengakses fasilitas pelayanan yang bersifat primer di wilayah perkotaan sudah melebihi batas standar, tetapi sebaliknya yang terjadi di wilayah pertanian di daerah perdesaan. Bukti lain, bahwa pada wilayah administratif kota pada umumnya memiliki persentase desa pertumbuhan yang tinggi dan dengan desa tertinggal yang kecil atau tidak ada sama sekali. Pada awalnya, dari strategi pemusatan alokasi sumberdaya, atau disebut sebagai growth pole strategy ini, diharapkan efek keberhasilan pembangunan akan menetes ke daerah hinterlandnya trickle down effect. Namun yang terjadi bukanlah kesejahteraan yang menetes ke bawah, net effect-nya malah menimbulkan aliran sumberdaya besar-besaran dari daerah hinterland ke kutub pertumbuhan tersebut massive backwash. Proses pemeratan yang diduga dapat berlangsung dengan sendirinya, pada kenyataannya justru menimbulkan pengurasan sumberdaya secara masif dari wilayah perdesaan sumberdaya alam primer ke pusat pertumbuhan, yang kemudian berlanjut pada permasalahan pembangunan yang lebih kompleks. Wilayah pertanian atau pertambangan, yang kaya akan sumberdaya alam, justru teridentifikasi sebagai wilayah yang paling rendah kesejahteraannya. Wilayah perdesaan di kabupaten Indramayu, Garut dan Cianjur merupakan salah satu bukti nyata permasalahan tersebut Walaupun strategi pusat pertumbuhan dalam jangka pendek mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi hal tersebut tidak seimbang dengan konsekuensi nyata yang harus ditanggung oleh rakyat dan generasi yang akan datang. Pertumbuhan tersebut telah gagal memberikan pemerataan, justru mempertajam kesenjangan ekonomi, kesenjangan wilayah, pengangguran yang tinggi, fragmentasi lahan, manghilangkan lahan-lahan pertanian, degradasi sumber- sumber alam akibat eksploitasi yang berlebihan dan permasalahn pembangunan lainnya. Problematika pembangunan timbul juga akibat penerapan pola pintas transformasi struktural yang tidak melalui pematangan sektor kunci, yaitu sektor pertanian. Upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan telah menggeser peran dominan dan konsentrasi pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa, sementara sektor pertanian masih dalam kondisi prematur. Percepatan pembangunan ini secara tidak langsung telah mengabaikan wilayah perdesaan dan sektor pertanian, yang menjadi penopang perekonomian sebagian besar masyarakat Jawa Barat. Pada negara maju, perubahan struktur perekonomian dinilai matang karena diawali dengan pertanian yang kokoh, dimana surplusnya digunakan untuk membiayai pembangunan sektor industri. Selanjutnya posisi sektor pertanian digantikan oleh sektor industri dan surplus sektor industri tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan sektor jasa. Sektor industri kemudian digantikan oleh sektor jasa, dan surplus sektor industri dan sektor jasa digunakan untuk mensubsidi sektor pertanian, selain untuk sektornya sendiri. Dengan pola demikian, maka antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian dapat saling memperkuat. Hirchman 1957 dalam Jhingan, 1992 mengemukakan bahwa pemilihan sektor industri sebagai sektor andalan pembangunan ekonomi dinilai layak, karena sektor tersebut memiliki indeks kaitan ke belakang backward likages yang lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian, sehingga sektor industri mampu menjadi penarik sektor lainnya melalui tarikan permintaan input. Salah satu asumsi yang dikedepankan oleh Hirchman adalah koefisien keterkaitan ke belakang masing- masing sektor ekonomi yang berimbang dan tinggi. Sehingga jika asumsi tersebut terpenuhi, maka strategi pembangunan yang menjadikan sektor industri sebagai sektor andalan, selain akan menghasilkan pertumbuhan yang tinggi, juga akan menghasilkan pertumbuhan yang merata. Dengan konsep demikian, maka perlu dipertanyakan mengapa pembangunan perekonomian di Jawa Barat, yang mengandalkan pada sektor industri yang berorientasi ekspor, ternyata justru menimbulkan kesenjangan antara sektor pertanian dan sektor industri, yang berakibat pada munculnya kesenjangan antarwilayah, kesenjangan pendapatan wilayah perdesaan dan perkotaan, dan berbagai permasalahan pembangunan lainnya? Kondisi yang sungguh bertentangan dengan konsep pemikiran tersebut salah satunya diakibatkan oleh pola pintas transformasi struktural yang tidak didahului dengan pengokohan sektor pertanian. Sektor pertanian yang belum matang, secara dini telah digantikan perannya oleh sektor industri. Hal tersebut ditunjukkan dengan pergeseran dominasi PDRB yang terlalu cepat beralih ke sektor industri, sementara sektor pertanian masih dalam kondisi prematur, yang bahkan belum mampu membiayai pembangunan sektornya sendiri serta masyarakat yang berada di dalamnya. Koefisien keterkaitan yang tidak berimbang, yang menyimpang dari asumsi Hirchman, disebabkan antara lain oleh rendahnya kualitas dan ketersediaan faktor produksi serta teknologi di wilayah pertanian atau perdesaan. Kondisi ini tidak terlepas dari kebijaksanaan pemerintah sebelumnya yang lebih condong memberikan insentif berusaha kepada wilayah basis industri dibandingkan wilayah basis pertanian, sehingga aliran dana dan modal usaha tersedot ke perkotaan atau wilayah industri dan jasa, dan sebaliknya yang sampai ke wilayah pertanian terus menurun. Di sisi yang lain, tidak adanya pengaturan yang jelas dan benar mengenai kepemilikan sumberdaya, yang menyangkut kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara, telah menghambat upaya pemerataan pembangunan. Kekosongan peraturan hukum tersebut menyebabkan kepemilikan umum dapat bergeser menjadi kepemilikan individu, atau yang juga sering terjadi adalah kepemilikan individu dapat dipaksa menjadi kepemilikan negara. Di antara sumberdaya atau barang yang termasuk kepemilikan umum Istac 2004 adalah: 1 sarana umum, yaitu setiap barang yang tanpa barang itu, maka aktivitas kehidupan sehari-hari tidak dapat berjalan dengan baik, seperti air dan seluruh sarana untuk kemaslahatan umum, 2 sumberdaya yang memiliki sifat tidak boleh dikuasai secara individu laut, sungai, jalan raya, termasuk pembangkit listrik, jaringan telekomunikasi, jaringan pompa yang melalui wilayah umum, dan 3 pertambangan yang depositnya besar. Kepemilikan tersebut tidak boleh digeser menjadi kepemilikan pribadi ataupun sekelompok investor. Tetapi kondisi yang terjadi saat ini bahwa kepemilikan umum telah bergeser menjadi kepemilikan perorangan, sehingga aset besar yang seharusnya dapat digunakan untuk membiaya kepentingan umum, dimonopoli sekelompok kapitalis kuat dan keuntungannya pun hanya mengalir kepada pihak-pihak tertentu saja. Padahal anggaran besar tersebut seharusnya dapat membiayai upaya pemerataan pembangunan dan pencapaian kesejahteraan masyarakatnya. Arahan Pembangunan untuk Peningkatan Kinerja Pembangunan di Jawa Barat Dari berbagai permasalahan pembangunan di Jawa Barat yang telah terpaparkan dari hasil analisis, faktor penyebab, serta hasil identifikasi sektor-sektor unggulan, maka arahan pembangunan wilayah secara umum adalah memperkuat sektor pertanian, termasuk wilayah dan masyarakat yang terlibat di dalamnya, dengan mengoptimalkan potensi domestik wilayah. Upaya perbaikan tersebut dapat dilakukan secara simultan dari beberapa program pembangunan, yaitu:

1. Pembangunan Fasilitas Urban di Perdesaan