7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendidikan dan Pelatihan
Setiap organisasi pada prinsipnya berorientasi pada peningkatan produktivitas dengan cara meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan yang
dilakukan oleh pegawai dalam organisasi tersebut. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pada setiap organisasi dibutuhkan pegawai yang berkualitas,
yaitu yang memiliki kompetensi yang optimal, baik pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang baik dalam tugasnya. Salah satu cara
untuk meningkatkan kompetensi dimaksud adalah dengan mengikutsertakan pegawai tersebut pada program-program pendidikan dan pelatihan Diklat.
Menurut Notoatmodjo 1992 diklat merupakan upaya untuk pengembangan sumber daya manusia terutama untuk pengembangan aspek
kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. Pengertian diklat dapat juga merupakan sarana untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan
para pegawai untuk menyelesaikan tugasnya. Diklat ini juga penting sebagai cara untuk melaksanakan strategi karena diklat akan mempengaruhi nilai
pegawai, sikap dan praktek. Pengertian pendidikan berbeda dengan pelatihan seperti yang dikemukakan oleh Flippo 1997 yang mendeskripsikan
pendidikan berhubungan dengan peningkatan pengetahuan umum dan pemahaman atas lingkungan secara menyeluruh. Sementara pelatihan
merupakan suatu usaha peningkatan pengetahuan dan keahlian seorang karyawan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Demikian juga yang
dikemukakan oleh Nadler Laird,1982 pelatihan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk penyempurnaan kemampuan dan produktivitas pegawai
dalam menjalankan
tugas. Pendidikan
adalah kegiatan
untuk mengembangkan
sumber daya
manusia yang
ditujukan untuk
menyempurnakan kepentingan yang lebih luas pada diri pegawai di luar tugas pekerjaan yang sedang ditangani saat ini.
Lebih lanjut menurut Nitisemito 1996 menyatakan diklat adalah suatu kegiatan yang bermaksud untuk memperbaiki dan mengembangkan
8 pengetahuan knowledge, keterampilan skill dan tingkah laku attitude
dari pegawai sesuai dengan keinginan organisasi. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam penyelenggaraan pelatihan menurut Kristiadi 1997
menyatakan: Pengkajianpenelitian
juga diperlukan
dalam rangka
penyusunan dan penyempurnaan kurikulum, pengembangan modul-modul, pengelolaan dan pengadaan kepustakaan, teknologi pendidikan dan pelatihan,
termasuk pengembangan sistem informal pendidikan dan pelatihan. Kualitas hasil pendidikan dan pelatihan juga turut dipengaruhi oleh kualitas tenaga
kependidikan dan pelatihan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dibuat pengertian bahwa dalam penyelenggaraan pelatihan harus benar-benar
didasarkan pada analisis kebutuhan yang nyata. Perencanaan kebutuhan pelatihan harus ditetapkan secara jelas, datanya
dapat diukur maka akan mengakibatkan kesulitan dalam penyelenggaraan pelatihan dan pada waktu melakukan evaluasi terhadap hasil pelatihan yang
telah dilakukan. Rancangan kebutuhan pelatihan ini merupakan suatu standar yang akan digunakan dalam evaluasi pelatihan. Penentuan rancangan
kebutuhan pelatihan adalah sangat penting, karena berangkat dari program tersebut akan dapat disusun pelatihan apa yang diperlukan. Dengan diketahui
sasaran dan sumber daya yang ada, maka baru dapat ditentukan perilaku yang diperlukan bagi seorang pegawai, setelah itu baru dapat ditentukan pelatihan
yang diperlukan bagi pegawai, setelah itu baru dapat ditentukan pelatihan yang diperlukan untuk menambah pengetahuan, skill dan merubah sikap dari
para pegawainya person analysis yang diperoleh dengan membandingkan tingkat kinerja sekarang dengan tingkat kinerja diharapkan. Kondisi tersebut
selalu dievaluasi, sehingga merupakan feedback bagi penyempurnaan pelatihan-pelatihan yang akan datang. Upaya yang harus dilakukan dalam
rangka keberhasilan pencapaian sasaran program pendidikan dan pelatihan menurut Nasution 1994 adalah sebagai berikut:
1.
Mempunyai sasaran yang jelas dan memakai tolok ukur terhadap hasil yang dicapai;
9
2.
Diberikan oleh tenaga pengajar yang mampu untuk menyampaikan ilmunya, serta mampu memotivasi peserta program pendidikan dan
pelatihan;
3.
Materi yang disampaikan secara mendalam sehingga mampu merubah sikap dan meningkatkan prestasi karyawan;
4.
Materi sesuai dengan latar belakang teknis, permasalahan dan daya tangkap peserta;
5.
Menggunakan metode yang tepat guna, misalnya: kelompok diskusi untuk sasaran tertentu, meningkatkan keterlibatkan aktif peserta sehingga mereka
bukan sebagai pendengar belaka;
6.
Disertai dengan metode penilaian sejauhmana sasaran program dapat tercapai, hal ini demi prestasi dan produktivitas karyawan.
Moekijat 1995 menyebutkan bahwa diklat dituntut untuk memenuhi tiga kriteria yaitu:
1.
Diklat merupakan proses untuk menambah kemampuan pekerja.
2.
Diklat mampu mewujudkan perubahan dalam kebiasaan kerja dan sikap kerja seseorang dalam pekerjaan.
3.
Harus berhubungan dengan pekerjaan tertentu. Efisiensi dan efektivitas pelatihan dalam kaitan dengan peningkatan
produktivitas karyawan menurut Nasution 1994 dapat dicapai melalui:
1.
Pengetahuan karyawan;
2.
Keahlian karyawan;
3.
Sikap karyawan terhadap tugas-tugasnya; Program training pernah dikembangkan dengan menggunakan course-
based approach yang lebih berorientasi kepada penguasaan materi training yang dipilah berdasarkan bidang ilmukajian. Pendekatan ini lebih
menekankan kepada struktur ilmu dibandingkan dengan manfaat bagi peserta. Pendekatan lain yang saat ini digunakan menurut Suciati 2004 adalah model
performance technology yang menekankan kepada kinerja yang dapat dilihat pada Gambar 1.
10 Gambar 1. Performance Technology Suciati, 2004
Model ini mempunyai karakteristik tertentu yaitu adanya spesifikasi kompetensi yang jelas, yang dikembangkan dari profil hasil pendidikan yang
diharapkan. Kompetensi merupakan kombinasi keterampilan, sikap dan perilaku yang mendukung kinerja optimal dalam pekerjaan yang memenuhi
standar dan tuntutan kerja. Kejelasan kompetensi ini sangat penting sebab sebagai rumusan tujuan kompetensi ini menjadi acuan dalam proses
perencanaan dan pengembangan strategi dan evaluasi diklat. Pendapat Noe 2002 menyatakan bahwa organisasi memberi fasilitas pelatihan kepada
karyawan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk menunjang performance pekerjaan. Perancangan program diklat berbasis kompetensi
dapat menggunakan performance system based model Suciati, 2004 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Performance System Based Model Suciati, 2004 Kriteria model ini adalah identifikasi dan analisis pada tiap tahapan
untuk menghasilkan penyampaian materi yang efektif dan pengukuran hasil
11 kerja yang akurat. Analisis sistem kerja akan menghasilkan semua fungsi atau
tugas dilengkapi dengan deskripsi pengetahuan dan keterampilan, bahan dan peralatan kerja serta standar kinerja kompetensi yang harus ditunjukkan.
Disamping itu, juga perlu ditentukan frekuensi tugas tersebut, tingkat kepentingannya, kompleksitas dan tingkat kesulitan tugas tersebut.
Berdasarkan hasil analisis, kemudian ditentukan kesenjangan gap antara kompetensi yang dimiliki oleh target peserta diklat dengan standar
yang dihasilkan dari analisis sistem kerja. Berdasarkan rumusan kompetensi dikembangkan sistem pengukuran kompetensi berupa tes dan non-tes.
Rumusan berbagai kompetensi tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam pengalaman belajar bagi peserta diklat mencakup metode, media, bahan ajar
dan waktu. Dalam merancang proses belajar dan metode, berbagai pendekatan diklat yang efektif seperti belajar aktif, problem atau case-based
learning dapat digunakan untuk mengupayakan agar peserta aktif, kreatif dan produktif.
Konsepsi baru pelatihan untuk mengarahkan kepada motivasi dan keterampilan peserta pada aspek tindakan, keterampilan yang diperoleh
melalui praktek. Sehingga pembelajaran merupakan fungsi dari motivasi dan kemampuan masing-masing peserta, norma kelompok pelatihan, metode
pelatihan dan perilaku para penatar, serta suasana umum dalam lembaga pelatihan. Motivasi dan cara penggunaan pelatihan oleh peserta dipengaruhi
oleh suasana dan dukungan organisasi kerjanya. Akibatnya perbaikan dalam pekerjaan merupakan fungsi dari pengetahuan perorangan, norma kelompok
kerja dan suasana umum organisasi. Untuk itu, pelatihan adalah tanggung jawab dari organisasi asal peserta, peserta dan lembaga pelatihan. Lynton dan
Pareek 1998 berpendapat bahwa pelatihan mencakup tahap persiapan, prapelatihan dan kemudian suatu tahap pelatihan.
Menurut Simamora 1997, tujuan pelatihan adalah untuk memperbaiki kompetensi dengan menghilangkan kesenjangan pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang menyebabkan karyawan menjadi mampu memenuhi tuntutan kinerja. Terdapat tiga karakteristik tujuan pelatihan menurut Atmodiwirio
2002, yaitu spesifik dinyatakan secara eksplisit, definitif dan istimewa,
12 dapat diukur dapat dievaluasi, dibandingkan dengan standar dan
mengambarkan hasil outcome yang dapat diamati orang lain. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, dinyatakan
bahwa salah satu tujuan Diklat adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan
secara profesional dengan dilandasi kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya, sasaran Diklat adalah terwujudnya Pegawai Negeri Sipil
yang memiliki kompetensi baik kemampuan maupun karakteristik yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan dan
sikap perilaku yang sesuain dengan persyaratan dan jabatan masing-masing. Wiles Bundy yang diartikan oleh Atmodiwirio 2002 menyatakan
materi untuk mencapai sasaran perlu dianalisis materi apa yang tepat. Materi diartikan sebagai kurikulum. Metode yang digunakan harus tepat sesuai
dengan sasaran dan materi. Metode yang digunakan harus sesuai dengan prinsip belajar orang dewasa andragogi. Simamora 1999 mendeskripsikan
prinsip andragogi yaitu: 1. Belajar berdasarkan pengalaman. Peserta dapat membawa dan mengaitkan
pengalamanya ke dalam proses belajar. Aktivitas belajar sebaiknya lebih bersifat pengalaman daripada informasional.
2. Belajar terpusat pada masalah. Peserta termotivasi untuk belajar bila pelatihan membantu memecahkan permasalahannya. Masalah – masalah
diaplikasikan ke dalam informasi yang baru. 3. Belajar adalah kolaboratif. Atmosfir belajar hendaknya terbuka,
mendukung dan kolaboratif. Harus ada sikap saling menghargai dan mempercayai diantara peserta dan pelatih.
4. Belajar membutuhkan keterlibatan. Rencana, perancangan dan evaluasi belajar hendaknya merupakan partisipasi antara peserta dan pelatih.
Atmodiwirio 2002 berpendapat peserta diklat merupakan pemilihan siapa peserta yang tepat untuk dilatih. Peserta adalah subyek pelajaran dan
bukan obyek pelajaran, widyaiswara dan peserta merupakan dua komponen yang saling berinteraksi secara aktif. Instruktur, kompetensinya sebagai
pelatih harus capable. Instruktur dari organisasi atau dari luar organisasi
13 sebaiknya memahami segi teoritis dan segi praktisnya dan memahami praktek
ilmu pendidikan orang dewasa. Strategi pengajaran yang cocok dipakai pada pelatihan adalah strategi
pendidikan untuk orang dewasa andragogi. Pendidik dalam diklat harus menyadari bahwa pelatihan bertujuan agar peserta terampil dalam
melaksanakan tugasnya. Penunjukan pendidik widyaiswara pada suatu program diklat didasarkan pada keahlian, pengalaman, mental, dan tanggung
jawab atas keberhasilan mata diklatnya. Atmodiwirio 2002 berpendapat bahwa kriteria penunjang widyaiswara yang lainnya dengan memperhatikan
jenis dan jenjang diklat yang bersangkutan .
Model evaluasi pelatihan yang dikembangkan pertama kali oleh Donald L. Kirkpatrick 1959 menggunakan empat level dalam mengkategorikan
hasil-hasil pelatihan. Empat level tersebut adalah level reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil. Penerapan model evaluasi empat level dari Kirkpatrick
dalam pelatihan dapat diuraikan dengan persyaratan yang diperlukan sebagai berikut:
1. Level 1: Reaksi Evaluasi reaksi ini sama halnya dengan mengukur tingkat kepuasan
peserta pelatihan. Komponen-komponen yang termasuk dalam level reaksi ini yang merupakan acuan untuk dijadikan ukuran. Komponen-
komponen tersebut berikut indikator-indikatornya adalah: a. Instrukturpelatih. Indikator-indikatornya adalah kesesuaian keahlian
pelatih dengan bidang materi, kemampuan komunikasi dan keterampilan pelatih dalam mengikutsertakan peserta pelatihan untuk
berpartisipasi aktif. b. Fasilitas pelatihan. Dalam komponen ini, yang termasuk indikator-
indikatornya adalah ruang kelas, pengaturan suhu di dalam ruangan dan alat pendukung pembelajaran yang digunakan.
c. Jadwal pelatihan. Yang termasuk indikator-indikator dalam komponen ini adalah ketepatan waktu dan kesesuaian waktu dengan peserta
pelatihan, atasan para peserta dam kondisi belajar.
14 d. Media pelatihan. Dalam komponen ini, indikator-indikatornya adalah
kesesuaian media dengan bidang materi yang akan diajarkan yang mampu
berkomunikasi dengan
peserta dan
menyokong instrukturpelatih dalam memberikan materi pelatihan.
e. Materi pelatihan. Yang termasuk indikator dalam komponen ini adalah kesesuaian materi dengan tujuan pelatihan, dan kesesuaian materi
dengan topik pelatihan yang diselenggarakan. f. Konsumsi selama pelatihan berlangsung. Yang termasuk indikator di
dalamnya adalah jumlah dan kualitas dari makanan tersebut. g. Pemberian latihan atau tugas. Indikatornya adalah peserta diberikan
soal. h. Studi kasus. Indikatornya adalah memberikan kasus kepada peserta
untuk diselesaikan. i. Handouts. Dalam komponen ini indikatornya adalah berupa jumlah
handouts yang diperoleh, apakah membantu atau tidak. 2. Level 2: Pembelajaran
Level evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada materi yang telah diberikan, dan juga dapat
mengetahui dampak dari program pelatihan yang diikuti para peserta dalam hal peningkatan knowledge, skill dan attitude mengenai suatu hal
yang dipelajari dalam pelatihan. Pandangan yang sama menurut Kirkpatrick, bahwa evaluasi pembelajaran ini untuk mengetahui
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh dari materi pelatihan. Oleh karena itu diperlukan tes guna mengetahui
kesungguhan apakah para peserta mengikuti dan memperhatikan materi pelatihan yang diberikan. Dan biasanya data evaluasi diperoleh dengan
membandingkan hasil dari pengukuran sebelum pelatihan pre-test dan sesudah pelatihan atau tes akhir post-test dari setiap peserta. Pertanyaan
disusun sedemikian rupa sehingga mencakup semua isi materi dan pelatihan.
3. Level 3: Perilaku
15 Pada level ini, diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan
tingkah laku peserta karyawan dalam melakukan pekerjaan serta untuk mengetahui apakah pengetahuan, keahlian dan sikap yang baru sebagai
dampak dari program pelatihan, benar-benar dimanfaatkan dan diaplikasikan di dalam perilaku kerja sehari-hari dan berpengaruh secara
signifikan terhadap peningkatan kinerjakompetensi di unit kerjanya masing-masing.
4. Level 4: Hasil Hasil akhir tersebut meliputi, peningkatan hasil produksi dan kualitas,
penurunan harga dan peningkatan penjualan. Tujuan dari pengumpulan informasi pada level ini adalah untuk menguji dampak pelatihan terhadap
kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan. Sasaran pelaksanaan program pelatihan adalah hasil yang nyata yang akan disumbangkan
kepada perusahaan sebagai pihak yang berkepentingan. Walaupun tidak memberikan hasil yang nyata bagi perusahaan dalam jangka pendek.
Bukan berarti program pelatihan tersebut tidak berhasil. Ada kemungkinan berbagai faktor yang mempengaruhi hal tersebut, dan sesungguhnya hal
tersebut dapat dengan segera diketahui penyebabnya sehingga dapat pula sesegera mungkin diperbaiki.
2.2. Analisis Kebutuhan Pendidikan dan Pelatihan