Teori Konstruksi Sosial Realitas

2. Realisme hipotesis; dalam pandangan realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Dalam bentuk ini mereka mengakui pengetahuan sebagai sebuah hipotesis, lalu mereka membandingkannya dengan segala hipotesis yang melibatkan sebuah realitas sehingga meneguhkan diri mereka menuju pengetahuan yang hakiki. Misalnya orang islam belum tentu benar walaupun Al- Qur’an sebagai pedoman hidupnya telah menuliskan keagungan kebenarannya. Hal ini dikarenakan selama realitas umat islam itu sendiri tidak menunjukan kebenaran dalam Al- Qur’an. Bentuk ini akan terus melakukan dugaan-dugaan terkait kebenaran pengetahuan dan juga realitas yang terjadi dalam lingkungan sosial. 3. Konstruktivisme biasa; konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan sebagai sebuah gambaran dari realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri. Antara pengetahuan dan pengalaman seseorang mampu menjadi sebuah realitas dari seseorang. Lebih tepatnya pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dalam realitas tersebut yang mampu membentuk dirinya dalam sebuah lingkungan. Teori kontruksi sosial realitas merupakan hasil penelitian dari Peter L. Berger dan Thomas Luckman, yang mencoba menyelidiki bagaimana pengetahuan manusia dibangun melalui interaksi sosial. 5 Peter L. Berger adalah seorang sosiolog dari New School for Social Research, New York. Sedang Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Mereka memperkenalkan teori ini melalui buku The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge pada tahun 1966. Dalam buku tersebut digambarkan bahwa proses sosial dilakukan melalui tindakan dan interaksi, dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. 6 Dengan kata lain, realitas bukan sesuatu yang natural melainkan hasil konstruksi manusia. Jadi konstruksi sosial adalah pengembangan pola pikir masyarakat atau khalayak melalui isu yang terdapat pada media. Pengertian dan pemahaman kita terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu. Hasil dari konstruksi sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, dan wacana publik. Realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Realitas sosial yang dimaksud oleh Berger dan Luckman ini terdiri dari realitas objektif, realitas simbolis dan realitas subjektif. 7 Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada diluar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari 5 Morissan, dkk., Teori Komunikasi Massa, h. 28. 6 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 13. 7 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 192. realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis kedalam individu melalui proses internalisasi. 8 Teori dan pendekatan konstruksi sosial realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Proses ini dinamakan proses dialektika. Terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif dan simbolis atau intersubjektif. 9 Adapun dalam pandangan Peter L. Berger tiga tahapan yang dimaksud disini adalah: 10 1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan sealalu mencurahkan diri ke tempat dimana dia berada. Proses ini berawal dari latar belakang seseorang dalam melakukan pencurahan dirinya kedalam sebuah realitas. Proses ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Latar belakang akan mempengaruhi seseorang dalam melihat realitas. 2. Objektivikasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu 8 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 192. 9 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 202. 10 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media Yogyakarta: LKiS, 2002, h. 16. menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Setelah manusia mencurahkan dirinya ke dalam sebuah realitas, maka mereka akan menghasilkan sebuah pemaknaan pada dirinya terkait dengan realitas disekitarnya. Seorang yang berlatar belakang muslim radikal misalnya, akan melihat perjuangan Front Pembela Islam FPI sebagai tindakan yang wajar dalam melakukan kekerasaan untuk menegakan amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan bagi seorang muslim moderat perbuatan tersebut dinilai sebagai sebuah tindakan yang melanggar hukum. Karena akan mengganggu kerukunan umat beragama, selain itu mereka juga akan menganggap FPI sebagai sebuah organisasi liar yang melakukan penertiban iman. Latar belakang seseorang akan menghasilkan realitas yang berbeda dalam melihat kondisi sosial. 3. Internalisasi, proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Dalam tahap ini adalah bagaimana manusia kembali merefleksikan apa yang telah ia hasilkan melalui pencurahan dirinya ke dalam sebuah realitas dan melihat apa yang dipersepsikan oleh lingkungan sekitar terhadap realitas yang sama. Misalnya sebagai pekerja media, seorang wartawan tidak akan mungkin menuliskan hasil pencurahan dirinya dalam sebuah realitas untuk dijadikan sebuah berita. Biasanya mereka dibatasi oleh pengertian-pengertian yang dihasilkan oleh rapat redaksi dalam membuat realitas dalam sebuah pemberitaan. Ini terjadi pada tubuh media manapun. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaiknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. 11 Dari pernyataan itu, berarti realitas tidak pernah memiliki wajah aslinya, akan selalu ada perbedaan. Setiap orang akan memiliki tafsiran sendiri dalam menghadapi realitas. Pengalaman, preferensi, pendidikan, dan lingkungan pergaulan akan menafsirkan sebuah realitas sosial dengan konstruksinya masing-masing.

B. Konsep Internalisasi

Internalisasi merupakan pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subjektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi individu sendiri. Tidak peduli apakah subjektif orang lain itu bersesuaian dengan subjektif individu tertentu, karena bisa jadi individu memahami orang lain secara keliru, karena sebenarnya subjektifitas orang lain itu tersedia secara objektif bagi individu dan menjadi bermakna baginya. 12 11 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, h. 18. 12 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 19. Dengan demikian, internalisasi dalam arti umum merupakan dasar pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. 13 Yang mana melalui proses internalisasi inilah realitas subjektif diciptakan. Dalam penelitian ini internalisasi yang dimaksudkan adalah pemahaman, pemaknaan, penafsiran mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan mahasiswa Universitas Sahid Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi terhadap pemberitaan kisruh RAPBD DKI 2015.

C. Konsep Kesadaran Publik

Kata dasar dari kesadaran adalah sadar, dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sadar adalah merasa tahu dan mengerti. Sedangkan kesadaran itu sendiri menurut KBBI adalah keadaan mengerti hal yang dirasakan atau dialami seseorang. Untuk definisi publik menurut KBBI, publik adalah orang banyak. Jadi peneliti menyimpulkan kesadaran publik adalah keadaan mengerti yang dialami orang banyak terhadap hal yang dirasakan. Dalam penelitian ini publik dikerucutkan kepada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan mahasiswa Universitas Sahid Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi. Kesadaran publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan mengerti yang dialami mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah 13 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, h. 197-198. dan Ilmu Komunikasi dan mahasiswa Universitas Sahid Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi terhadap pemberitaan kisruh RAPBD DKI 2015.

D. Konsep Merespons

Kata dasar dari merespons adalah respons, menurut KBBI respons adalah tanggapanreaksijawaban. Sedangkan untuk pengertian dari merespons adalah memberikan tanggapanmenanggapi. Yang mana dalam penelitian ini merespons yang dimaksudkan adalah memberikan tanggapan mengenai pemberitaan kisruh RAPBD DKI 2015.

E. Konsep Selective Attention

Selective attention penerimaan informasi selektif adalah proses dimana individu cenderung memerhatikan dan menerima terpaan pesan media massa yang sesuai dengan pendapat dan minatnya atau yang sesuai dengan sikap atau kepercayaan yang sudah dimiliki sebelumnya. 14 Di samping itu ia menghindari pesan-pesan yang tidak sesuai dengan pendapat dan minatnya. Bahkan, dalam perkembangannya, seorang individu akan cenderung memilih siaran yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya. 15 Nurudin mengutip Alexis S. Tan yang berpendapat selective attention mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, perbedaan individu merupakan hasil dari struktur kognitif seseorang yang berbeda dalam menerima pesan-pesan media, jenis media massa pun beragam silih berganti menerpa seseorang. Seseorang memiliki kemampuan untuk selektif hanya pada pesan-pesan yang menarik perhatiannya. 14 Morissan, Psikologi KomunikasiBogor: Ghalia Indonesia, 2013, h. 232. 15 Nuruddin, Pengantar Komunikasi Massa Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2007, h. 229.