Analisis Sampel METODE PENELITIAN

menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i. Dimensi sampel yang akan diukur, dibuat dengan ukuran yang sama diameter 3 cm dan ketebalan 1 cm. Sampel kemudian ditempatkan pada wadah uji pengukuran tekstur, melalui pemberian gaya tekan compression sebanyak 2 kali yang merupakan simulasi proses pengunyahan di dalam mulut. Output hasil pengukuran berupa grafik hubungan plot gaya dan waktu. Hasil grafik yang diperoleh kemudian dianalisis parameternya melalui perhitungan masing-masing profil tekstur. Pembacaan grafik dibantu dengan menggunakan program Texture Exponent Lite 4.0.7.0 dari Visual Component Incorporation . Berdasarkan program ini dapat diperoleh nilai titik tertinggi dari puncak kurva pertama, luas area puncak kurva 1 dan 2, serta waktu yang digunakan saat penekanan pertama dan penekanan kedua. Parameter profil tekstur yang dihitung adalah kekerasan hardness yang ditandai dengan puncak maksimum, daya adhesive adhesiveness ditandai dengan area negatif di bawah kurva sedangkan kekenyalan cohesiveness ditandai dengan rasio antara 2 area yang terbentuk. 3.4.14 Uji viskositas Yusnita et al. 2007 Pengukuran menggunakan alat Brookfield Viscometer dengan prinsip kerja mengukur tangensial tegangan geser yang timbul pada permukaan spindle silinder standar dari alat yang berotasi dalam cairan yang diukur viskositasnya. Hasil pengukuran dapat dibaca pada jarum pengukur dial gauge saat rotasi dihentikan. 3.4.15 Derajat warna Park 2000 Derajat warna ditentukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR-300. Prinsip penetapan adalah mengukur kroma, intensitas dan kecerahan pantulan sinar tampak yang dipaparkan pada obyek yang dinilai warnanya. Hasil pengukuran dinyatakan dengan sistem notasi warna Hunter L, a, b dimana L menyatakan lightness dengan kisaran nilai 0 sampai 100. Semakan besar nilai L maka warna sampel semakin cerah. Nilai +a menyatakan redness dan -a menyatakan greenness, +b menyatakan yellowness dan –b menyatakan blueness. 3.4.16 Coating pick-up dan cooked yield nugget Yusnita et al. 2007 Coating pick-up dan cooked yield merupakan parameter untuk menentukan kualitas adonan bahan pelapis nugget batter. Coating pick-up berkaitan dengan kemampuan daya melekat crumb pada adonan batter dan dihitung setelah pelapisan coating, sedangkan cooked yield menunjukkan pertambahan rendemen nugget yang telah dibalut dengan batter dan digoreng dibandingkan dengan berat sebelum dibalut. Coating pick-up = C− R R x 100 Cooked yield = F R x 100 Keterangan : C = Berat setelah coating pelapisan R = Berat sebelum coating pelapisan F = Berat setelah frying penggorengan 3.4.17 Perhitungan rendemen Pengamatan rendemen meliputi rendemen fillet skinless ikan, daging lumat dan tepung talas. Rendemen fillet ikan = x 100 Rendemen daging lumat = x 100 Rendemen tepung talas = Berat tepung talas Berat umbi segar x 100 3.4.18 Total Plate Count TPC Fardiaz 1993 Pembuatan media agar dengan cara mencampurkan 23 g nutrient agar ke dalam 1 liter akuades dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut. Sterilisasi 121 o C, 1 atm dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan lain yang akan digunakan seperti pipet dan blender dalam autoklaf selama 15 menit. Larutan agar disimpan dalam pemanas air bersuhu 45 °C. Pembuatan larutan pengencer dengan pencampuran 8,5 g NaCl ke dalam 1000 mL akuades. Larutan pengencer kemudian disterilisasi. Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 g bahan dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 mL sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 mL larutan sampel yang sudah homogen tersebut menggunakan pipet steril, lalu kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 mL larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10 -1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 mL larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam cawan petri dengan metode tuang sebanyak 20 mL dan digoyangkan sampai merata. Cawan petri agar yang sudah membeku diinkubasi dengan posisi terbalik selama 48 jam dalam inkubator bersuhu 37 o C. Perhitungan koloni mikroba pada cawan yang telah diinkubasi dihitung berdasarkan kisaran jumlah yang layak dihitung yaitu 30-300 koloni. Perhitungan jumlah bakteri total per gram dapat dihitung dengan memperhitungkan jumlah pada tingkat pengenceran dan pada cawan petri dengan menggunakan coloni counter atau hand counter. 3.4.19 Nilai pH Apriyantono et al. 1989 Pengukuran pH sampel dilakukan dengan pH meter. pH meter dinyalakan sampai diperoleh keadaan stabil selama 15 sampai 30 menit. Sampel sebanyak 10 g ditambah dengan 50 mL akuades dan kemudian diblender. Selanjutnya elektroda pH meter dibilas dengan akuades dan dikeringkan, kemudian pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan buffer pH 7 lalu dikeringkan dengan tissue. Elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel dan nilai pH dapat diketahui setelah diperoleh pembacaan yang stabil dari pH meter. 3.4.20 Uji sensori SNI 01-2346-2006 dan Setyaningsih et al. 2010 Uji sensori melalui uji hedonik bertujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk. Pelaksanaan uji hedonik ini adalah dengan menyajikan nugget lele yang telah diberi kode sesuai dengan perlakuannya dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan Lampiran 1. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis. Skala hedonik yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan SNI 01-2346-2006 adalah skala 1-9, dengan tingkat kesukaan amat sangat tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka, netral, agak suka, suka, sangat suka, dan amat sangat suka. Parameter yang diuji untuk tahap penentuan formulasi bahan pengisi filler meliputi kesukaan terhadap rasa, tekstur, aroma dan warna. Parameter untuk menentukan formulasi bahan coating diantaranya warna, kenampakan, tekstur, dan rasa. Adapun parameter organoleptik untuk penentuan umur simpan digunakan parameter tekstur, rasa, warna dan aroma. Uji sensori untuk membandingkan produk nugget terbaik dengan produk komersial menggunakan uji Quantitative Descriptive Analysis QDA dengan menggunakan 12 panelis terlatih Setyaningsih et al. 2010. Pada tahap ini panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap intensitas atribut produk dengan menggunakan skala garis tidak berstruktur Lampiran 2 dan dibandingkan dengan produk komersial. Hasil dari QDA dilaporkan dalam bentuk jaring laba-laba spider web.

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perhitungan uji organoleptik dilakukan menggunakan analisis non parametrik yaitu uji Kruskal Wallis Steel dan Torrie 1993 dengan rumus sebagai berikut : H = Σ - 3n+1 Pembagi = 1- H’ = Keterangan : Ri : jumlah rangking dalam contoh ke-i ni : jumlah pengamatan dalam perlakuan ke-i H : kriteria yang akan diuji T : jumlah data yang sama H’ : H terkoreksi Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SPSS 16. Jika hasil uji menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut multiple comparison dengan rumus sebagai berikut Steel dan Torrie 1993 : | − | 2 + 1 6 Keterangan : Ri : rata-rata nilai rangking perlakuan ke-i Rj : rata-rata nilai rangking perlakuan ke-j P : banyaknya ulangan n : banyaknya data z : peubah acak k : perlakuan α : selang kepercayaan Pengaruh interaksi antara banyak pencucian daging ikan dan konsentrasi tepung talas pada tahap penentuan formulasi filler nugget, menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL faktorial yang terdiri atas 2 faktor, yaitu faktor banyak pencucian daging lumat faktor A dan konsentrasi tepung talas faktor B dengan ulangan sebanyak 2 kali. Model rancangan yang digunakan adalah Y ijk = µ + α i + β j + αβ ij + ε ij Dimana : Y ijk = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke -k µ = Rataan nilai tengah umum αi = Pengaruh perlakuan pencucian daging lumat ke-i i= 0 kali, 1 kali, 2 kali, 3 kali βj = Pengaruh konsentrasi tepung talas ke -j j= 0, 5, 10, 15, 20 αβij = Pengaruh interaksi perlakuan pencucian daging lumat ke-i dengan konsentrasi tepung talas ke-j εijk = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j dengan hipotesis : H : tidak terdapat pengaruh interaksi antara banyak pencucian daging lumat Faktor A dengan konsentrasi tepung talas Faktor B terhadap sifat fisik nugget lele H 1 : terdapat pengaruh interaksi antara banyak pencucian daging lumat Faktor A dengan konsentrasi tepung talas Faktor B terhadap sifat fisik nugget lele Penelitian tahap III, yaitu penentuan formulasi bahan pelapis nugget, digunakan Rancangan Acak Lengkap RAL dengan 5 perlakuan yaitu perlakuan perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena 4:0; 3:1; 2:2; 1:3; 0:4 dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Model persamaan yang digunakan : Y ij = µ + αi + εij Dimana : Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena pada taraf ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan nilai tengah umum αi = Pengaruh perlakuan perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena pada taraf ke-i i = 0:4, 1:3, 2:2, 3:1, 4:0 εij = Pengaruh acak pada perlakuan perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena pada taraf ke-i dan ulangan ke-j dengan hipotesis : H : tidak terdapat pengaruh perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena dengan sifat fisik nugget lele H 1 : terdapat pengaruh perbandingan konsentrasi tepung talas dan maizena dengan sifat fisik nugget lele Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam ANOVA. Jika analisisnya berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan Steel dan Torrie 1995. Penentukan perlakuan terpilih pada tahap penentuan formulasi bahan pengisi filler dan pelapis coater menggunakan metode Bayes Marimin 2004 dengan persamaan : Total Nilai i = Σ Nilai ij Krit j J=1 Dimana : Total Nilai i = total nilai akhir dari alternatif ke-i Nilai ij = nilai dari alternatif ke-i pada kriteria ke-j Kriteria j = Tingkat kepentingan bobot kriteria ke-j i = 1,2,3,....n; n = jumlah alternatif j = 1,2,3,....m; m = jumlah kriteria Pada tahap penentukan umur simpan produk, digunakan metode akselerasi dengan model atau persamaan Arrhenius Singh 1994. Umur simpan pada suhu tertentu dapat ditentukan dengan menghubungkan nilai k pada suhu yang diinginkan. Nilai k dihubungkan dengan suhu menggunakan persamaan Arrhenius : k = koe -EaRT Dari persamaan Arrhenius dapat diketahui umur simpan pada suhu yang dikehendaki dengan persamaan : Umur simpan ordo nol : t = Umur simpan ordo 1 : t = Keterangan : t = umur simpan hari Ao = nilai mutu awalkonsentrasi mula-mula At = nilai mutu akhirkonsentrasi pada titik batas kadaluarsa titik kritis k = konstanta laju reaksi Ea = energi aktifasi T = suhu mutlak K R = konstanta gas 1,986 kalmol Suhu yang dipilih pada perlakuan penyimpanan untuk pendugaan umur simpan adalah suhu -10 o C, -5 o C dan 0 o C dengan selang waktu pengamatan 7 hari. Pengamatan dilakukan selama 35 hari.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Karakteristik bahan baku sangat menentukan kualitas produk nugget ikan yang dihasilkan. Tahap awal penelitian dilakukan pengujian sifat bahan baku ikan lele dumbo segar, umbi talas dan tepung talas. Analisis yang dilakukan meliputi analisis komposisi kimia dan rendemen. 4.1.1 Lele dumbo Lele dumbo merupakan bahan baku utama dalam pembuatan nugget ikan. Komposisi kimia dan rendemen fillet bahan baku ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik daging ikan lele dumbo Komposisi Lele dumbo Clarias lazeera Cyprinus carpio bb bk bk bk Air 77,16 ± 0.06 - 7,50 - Protein 17,89 ± 0.05 78,33 73,10 53,59 Lemak 2,29 ± 0.08 10,02 8,00 13,99 Abu 2,38 ± 0.04 10,42 8,60 7,91 Karbohidrat 0,28 ± 0.02 1,23 2,50 24,51 Rendemen fillet 43,79 ± 0.73 - - - Keterangan : Aremu dan Ekunode 2008, Jabeen dan Chaudhry 2011 bb : basis basah, bk : basis kering. Berdasarkan hasil pengukuran komposisi kimia dapat diketahui bahwa ikan lele dumbo tergolong ikan yang berprotein tinggi dengan kadar protein 17,89 bb atau 78,33 bk. Kandungan protein pada lele dumbo ini lebih tinggi dari kadar protein pada African catfish Clarias lazeera yang digunakan pada penelitian Aremu dan Ekunode 2008 yaitu 73,10 bk serta protein pada ikan mas Cyprinus carpio yang diperoleh dari sungai Indus Pakistan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jabeen dan Chaudhry 2011 yaitu sebesar 53,59 bk. Kandungan protein pada ikan selain merupakan sumber asam amino, juga berperan dalam memberikan kekuatan gel pada daging lumat ikan Suzuki 1981. Protein otot terdiri atas protein sarkoplasma yang larut air, protein miofibril yang larut garam dan protein stroma protein jaringan ikat yang tidak larut dalam air, basa, atau larutan garam. Perbedaan kandungan protein pada ikan dipengaruhi oleh jenis ikan, lingkungan hidup hasil budidaya atau bukan dan kematangan gonad Haard 1995. Lemak merupakan zat makanan yang sangat penting bagi manusia dan merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipid dalam jumlah yang sebenarnya Winarno 2008. Kandungan lemak pada lele dumbo sebesar 2,29 bb. Kadar lemak lele dumbo lebih besar dari kadar lemak Clarias lazeera berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aremu dan Ekunode 2008 dan lebih rendah dari kadar lemak ikan mas Cyprinus carpio yang dilakukan oleh Jabeen dan Chaudhry 2011. Menurut Suriah et al. 1995, ikan dengan kadar lemak kurang dari 5 tergolong ikan dengan kadar lemak rendah. Lele dumbo tergolong ikan berlemak rendah sehingga cocok untuk diolah menjadi surimi karena lemak dapat menghalangi terbentuknya gel pada surimi dan harus dihilangkan dengan proses pencucian. Kadar abu berhubungan dengan kandungan mineral suatu bahan. Hasil analisis kadar abu lele dumbo sebesar 2,38 bb atau 10,42 bk. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar mineral pada Clarias lazeera dan Cyprinus carpio pada Tabel 7. Menurut Erkan dan Ozden 2007, adanya perbedaan komposisi mineral pada makanan laut berhubungan erat dengan perbedaan musim dan faktor biologis spesies, ukuran tubuh, daging merahputih, umur, jenis kelamin dan kematangan seksual, area penangkapan, metode penangkapan, sumber makanan, dan kondisi lingkungan kimia air, salinitas, temperatur, keberadaan kontaminan. Kadar karbohidrat pada ikan umumnya sangat rendah yaitu kurang dari 1 dan terdapat dalam bentuk polisakarida, yaitu glikogen yang strukturnya serupa dengan amilum. Glikogen terdapat dalam sarkoplasma antara miofibril-miofibril. Kadang-kadang merupakan senyawa kompleks dengan protein miosin dan protein miogen. Glikogen dalam daging bersifat tidak stabil, mudah berubah menjadi asam laktat melalui proses glikolisis Adawyah 2008. Kadar karbohidrat lele dumbo yang digunakan pada penelitian ini sebesar 0,28. Rendemen fillet ikan diukur dari perbandingan antara berat fillet skinless dibandingkan dengan berat daging awal. Nilai rendemen ikan lele yang diperoleh sebesar 43,79 dan nilai ini berada pada kisaran nilai rendemen fillet skinless berdasarkan penelitian Yasemi et al. 2011 pada ikan halibut Psettodes erumei yaitu berkisar antara 42-49 dan lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen ikan nila Oreochromis niloticus L berdasarkan penelitian Ratten et al. 2004 yaitu sebesar 35,7. Tingginya rendemen fillet skinless lele dumbo karena penggunaan ikan yang berukuran rata-rata 1-3 kg, dengan daging yang lebih tebal sehingga rendemen yang dihasilkan juga semakin besar. Menurut Suryaningrum 2010, semakin besar ukuran ikan lele, rendemen fillet yang dihasilkan semakin tinggi. Ikan lele yang berukuran lebih kecil memiliki ukuran kepala yang lebih besar sehingga rendemen fillet yang dihasilkan lebih rendah. Ikan lele ukuran konsumsi menghasilkan daging fillet sebesar 29,95. Menurut Sang et al. 2009, faktor yang berpengaruh terhadap rendemen fillet adalah ukuran ikan, jenis kelamin, spesies, dan makanan ikan. 4.1.2 Umbi talas Talas bogor sebagai bahan baku pembuatan tepung talas dan crumb talas digunakan sebagai bahan pengisi dan pelapis pada nugget. Analisis terhadap umbi talas yang meliputi analisis proksimat kadar protein, lemak, air, abu, dan karbohidrat, kadar oksalat dan rendemen tepung disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik umbi talas Komposisi Umbi talas Umbi talas bb bk bk Air 52,19 ± 1,36 - - Protein 2,94 ± 0,06 6,15 2,59 Lemak 0,57 ± 0,06 1,19 1,15 Abu 1,42 ± 0,09 2,97 9,36 Karbohidrat 42,88 ± 1,15 89,69 86,9 Kadar oksalat 0,39 0,82 0,86 Keterangan : Mayasari 2010; bb : basis basah, bk : basis kering. Komposisi kimia umbi talas bervariasi tergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen Muchtadi dan Sugiyono 1992. Berdasarkan Tabel 8, kadar protein pada umbi talas yang digunakan pada penelitian ini, yaitu 6,15 bk, lemak 1,19 bk, dan karbohidrat 89,69 bk. Kadar ini lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan umbi talas yang digunakan pada penelitian Mayasari 2010. Kadar abu dan oksalat umbi talas pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu dan oksalat pada penelitian Mayasari 2010. Menurut Aboubakar et al. 2008, terdapat korelasi antara kadar abu dan kadar oksalat pada umbi talas. Semakin tinggi kadar oksalat, semakin tinggi kadar abu. Hal ini diduga karena senyawa oksalat yang terikat dengan mineral kalsium membentuk kristal kalsium oksalat. Kadar oksalat bervariasi pada berbagai spesies dan varietas, dan merupakan produk akhir metabolisme pada beberapa jaringan tumbuhan. Menurut Noonan dan Savage 1999, ketika talas dimakan maka akan menimbulkan efek yang merugikan karena oksalat mengikat kalsium dan mineral lain. Bradbury dan Holloway 1988 menyatakan bahwa kristal kalsium oksalat tipe raphide menyebabkan rasa gatal dengan cara melepaskan diri dari sel idioblas melalui selubung sel yang robek. Kristal ini kemudian menginjeksikan dirinya ke dalam jaringan mulut maupun kulit, dan bersamaan dengan robeknya selubung, senyawa yang bersifat toksik dikeluarkan dari sel idioblas. Senyawa yang bersifat toksik ini belum diketahui secara pasti komponennya. Paull et al. 1999 menyatakan bahwa senyawa penyebab iritasi adalah proteinase, histamin dan aldehid aromatik. Rasa gatal pada talas ini menurut Mayasari 2010 dapat dikurangi dengan perlakuan perendaman dalam air hangat dan perendaman dalam NaCl. 4.1.3 Tepung talas Umbi talas diolah menjadi tepung talas melalui proses pengeringan untuk menjaga keawetan. Kadar air tepung talas pada penelitian ini adalah 4,77, lebih rendah dari kadar air pada tepung tapioka dan tepung maizena berdasarkan data komposisi gizi tepung dari Direktorat gizi Departemen Kesehatan RI 1995. Tepung talas dengan kadar air rendah, dapat diaplikasikan pada makanan dan disimpan dalam waktu yang lama. Karakteristik tepung talas secara lengkap disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik tepung talas Komposisi Tepung Talas bb Tepung tapioka bb Tepung maizena bb Air 4,77 ± 0,15 12,0 14,0 Protein 4,91 ± 0,03 0,5 0,3 Lemak 0,24 ± 0,03 0,3 0,0 Abu 1,54 ± 0,43 0,3 0,7 Karbohidrat 88,55 ± 0,30 86,9 85,0 Rendemen 24,24 ± 2,14 - - Kadar oksalat 0,15 - - Amilosa 16,5 17 26 Keterangan : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI 1995, Hartati dan Prana 2003, Park 2000; bb : basis basah. Kandungan air dan aktivitas air dapat mempengaruhi perkembangan reaksi pembusukan secara kimia dan mikrobiologi dalam makanan. Makanan yang dikeringkan mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan dengan kandungan air sekitar 5 sampai 15 de Man 1997. Tepung talas memiliki kadar protein yang lebih tinggi dari tepung tapioka dan maizena yaitu 4,91. Penggunaan tepung dengan kadar protein yang lebih tinggi selain berpengaruh pada peningkatan nilai gizi pada bahan makanan, juga berpengaruh pada karakteristik produk yang dihasilkan. Kadar lemak tepung talas adalah 0,24, lebih rendah dari umbi talas 0,57 dan tepung tapioka 0,3. Penurunan kadar lemak dari umbi talas menjadi tepung talas disebabkan banyaknya lemak yang larut pada saat perendaman dalam air hangat dan NaCl serta terbuang pada saat pencucian. Kadar lemak yang rendah merupakan ciri dari tepung yang berasal dari umbi- umbian. Menurut Copeland et al. 2009, kandungan lemak pada pati alami berkorelasi dengan tingginya kadar amilosa dan suhu gelatinisasi. Semakin tinggi kadar lemak, kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi akan semakin meningkat. Lemak dapat berperan sebagai pengkompleks amilosa sehingga dapat menurunkan kelarutan tepung dalam air, menurunkan kapasitas swelling, meningkatkan temperatur gelatinisasi, memperlambat retrogradasi dan menurunkan kerapuhan gel. Rendahnya kadar lemak dan tingginya kadar amilosa pada tepung maizena berdasarkan Tabel 9, diduga karena adanya modifikasi pati. Kadar abu tepung talas 1,54 lebih tinggi dari kadar abu pada tepung tapioka dan maizena. Hasil kadar abu ini berada pada kisaran kadar abu beberapa varietas talas menurut penelitian yang dilakukan oleh Aboubakar et al. 2008 yaitu berkisar antara 1,3 sampai 5,5. Aboubakar et al. 2008 juga menyatakan bahwa mineral yang menyusun fraksi abu pada tepung talas yang paling besar adalah Ca dan Mg, serta terdapat korelasi positif yang signifikan antara tingginya kadar abu dengan tingginya kadar kalsium dan magnesium pada tepung talas. Karbohidrat pada tepung talas yang digunakan pada penelitian ini yaitu 88,55, lebih tinggi dari kadar karbohidrat pada tepung tapioka dan maizena, dan lebih rendah dari kadar karbohidrat hasil penelitian yang dilakukan oleh Aboubakar et al. 2008 yang menguji kadar karbohidrat talas berkisar antara 90,5 sampai 95,5. Hal ini disebabkan banyaknya pati yang hilang selama perlakuan pencucian dan perendaman dalam air hangat dan NaCl. Kadar pati dalam tepung sangat mempengaruhi sifat fungsional tepung tersebut sebagai bahan pangan maupun non pangan. Penggunaan pati pada produk berbasis surimi berperan dalam pembentukan struktur jaringan gel pada surimi. Pati terdiri atas amilosa dan amilopektin. Perbedaan perbandingan kadar amilosa dan amilopektin akan memberikan pengaruh yang berbeda selama proses gelatinisasi. Kekuatan pecah gel breaking strength akan meningkat dengan meningkatnya kadar amilosa pada tahap awal gelatinisasi. Selama penyimpanan dingin, peningkatan amilosa dapat meningkatkan pengeluaran air expressible moisture dan gaya tekan compressive force gel surimi. Selama penyimpanan beku, amilosa mengalami retrogradasi sehingga meningkatkan expressible moisture dan kerapuhan gel. Menurut Hartati dan Prana 2003, talas bogor memiliki kandungan amilosa sebesar 16,5 dan amilopektin 83,49. Kadar amilosa tepung talas lebih kecil dibandingkan dengan kadar amilosa pada tepung maizena dan tapioka menurut Park 2000, yaitu 26 pada maizena dan 17 pada tepung tapioka. Penggunaan tepung talas dengan kadar amilosa yang lebih rendah diharapkan dapat menghasilkan produk nugget dengan karakter gel yang lebih baik dan lebih stabil pada penyimpanan dingin dan beku. Kadar oksalat pada tepung talas sebesar 0,15 lebih rendah dari kadar umbi talas sebelumnya sebesar 0,82 karena adanya perlakuan reduksi oksalat dengan perendaman dalam air pada suhu 40 o C selama 180 menit dan perendaman dalam