varietas talas menurut penelitian yang dilakukan oleh Aboubakar et al. 2008 yaitu berkisar antara 1,3 sampai 5,5.
Aboubakar et al. 2008 juga menyatakan bahwa mineral yang menyusun fraksi abu pada tepung talas yang
paling besar adalah Ca dan Mg, serta terdapat korelasi positif yang signifikan antara tingginya kadar abu dengan tingginya kadar kalsium dan magnesium pada
tepung talas. Karbohidrat pada tepung talas yang digunakan pada penelitian ini yaitu
88,55, lebih tinggi dari kadar karbohidrat pada tepung tapioka dan maizena, dan lebih rendah dari kadar karbohidrat hasil penelitian yang dilakukan oleh
Aboubakar et al. 2008 yang menguji kadar karbohidrat talas berkisar antara 90,5 sampai 95,5. Hal ini disebabkan banyaknya pati yang hilang selama
perlakuan pencucian dan perendaman dalam air hangat dan NaCl. Kadar pati dalam tepung sangat mempengaruhi sifat fungsional tepung tersebut sebagai
bahan pangan maupun non pangan. Penggunaan pati pada produk berbasis surimi berperan dalam pembentukan struktur jaringan gel pada surimi.
Pati terdiri atas amilosa dan amilopektin. Perbedaan perbandingan kadar amilosa dan amilopektin akan memberikan pengaruh yang berbeda selama proses
gelatinisasi. Kekuatan pecah gel breaking strength akan meningkat dengan meningkatnya kadar amilosa pada tahap awal gelatinisasi. Selama penyimpanan
dingin, peningkatan amilosa dapat meningkatkan pengeluaran air expressible moisture
dan gaya tekan compressive force gel surimi. Selama penyimpanan beku, amilosa mengalami retrogradasi sehingga meningkatkan expressible
moisture dan kerapuhan gel. Menurut Hartati dan Prana 2003, talas bogor
memiliki kandungan amilosa sebesar 16,5 dan amilopektin 83,49. Kadar amilosa tepung talas lebih kecil dibandingkan dengan kadar amilosa pada tepung
maizena dan tapioka menurut Park 2000, yaitu 26 pada maizena dan 17 pada tepung tapioka. Penggunaan tepung talas dengan kadar amilosa yang lebih rendah
diharapkan dapat menghasilkan produk nugget dengan karakter gel yang lebih baik dan lebih stabil pada penyimpanan dingin dan beku.
Kadar oksalat pada tepung talas sebesar 0,15 lebih rendah dari kadar umbi talas sebelumnya sebesar 0,82 karena adanya perlakuan reduksi oksalat dengan
perendaman dalam air pada suhu 40
o
C selama 180 menit dan perendaman dalam
NaCl 10 selama 60 menit dan dilanjutkan pengeringan pada suhu 60
o
C. Menurut Mayasari 2010, penurunan kadar oksalat terjadi karena adanya ikatan
antara ion Na
+
dan Cl
-
membentuk natrium oksalat yang larut dalam air dan terbuang pada proses pencucian.
Nilai rendemen tepung talas yang digunakan pada penelitian ini adalah 24,24 lebih kecil dari rendemen tepung talas berdasarkan penelitian Mayasari
2010 yaitu sebesar 28,17. Rendemen tepung talas sangat dipengaruhi oleh varietas dan kadar air talas serta efisiensi proses pengeringan. Semakin tinggi
kadar air umbi talas maka semakin rendah rendemen tepung yang dihasilkan. Semakin efisien proses pengeringan maka semakin tinggi rendemen tepung yang
dihasilkan karena bahan yang tercecer atau rusak semakin kecil. Proses perendaman dalam air hangat dan NaCl serta pencucian setelah perendaman juga
sangat berpengaruh pada rendemen tepung karena banyaknya komponen yang ikut larut bersama air selama pencucian.
4.2 Karakteristik Daging Lumat dengan Perlakuan Pencucian
Langkah paling penting dalam proses pembuatan surimi untuk menjamin pembentukan gel yang maksimum, menghilangkan warna, dan odor adalah
pencucian yang efisien. Beberapa masalah terhadap warna, rasa, dan odor dapat diminimalisasi atau dieliminasi dengan dicuci. Sekitar 23 dari daging lumat ikan
merupakan protein miofibril yang merupakan komponen utama pada pembentukan struktur gel tiga dimensi, sedangkan sisanya yaitu 13 mengandung
darah, mioglobin, lemak, dan protein sarkoplasma yang mengganggu kualitas akhir gel surimi. Dengan demikian, pencucian dapat meningkatkan kualitas
surimi dengan memusatkan protein miofibril dan memperpanjang daya simpan beku Park dan Morrissey 2000.
Protein sarkoplasma banyak tersusun atas enzim-enzim. Pencucian daging lumat dapat melarutkan banyak protein
sarkoplasma sehingga enzim proteolisis yang menyebabkan kerusakan pada daging juga ikut larut dan berkurang sehingga surimi yang dihasilkan memiliki
daya simpan yang lebih lama.
Menurut Hossain et al. 2004, pencucian surimi dapat meningkatkan kandungan air, sedikit kadar protein myofibril, dan pH. Hasil analisis terhadap
rendemen, pH, dan protein larut garam PLG daging lumat pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Karakteristik daging lumat Pencucian
Rendemen pH
PLG Tanpa pencucian
100,00±0,00
a
6,65±0,11
a
3,84±0,17
a
Pencucian 1 kali 68,87±1,31
b
6,71±0,05
a
4,39±0,29
a
Pencucian 2 kali 65,70±0,89
c
6,77±0,05
a
5,27±0,11
b
Pencucian 3 kali 63,11±1,19
c
6,77±0,00
a
5,29±0,24
b
Keterangan : angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf superskrip berbeda a,b,c menunjukkan berbeda nyata p0,05
4.2.1 Rendemen Rendemen daging lumat merupakan persentase perbandingan daging lumat
pada setiap tahap pencucian terhadap berat daging sebelum dilakukan pencucian. Berdasarkan data pada Tabel 10 dan hasil analisis ragam Lampiran 3
memperlihatkan bahwa perlakuan pencucian memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen daging lumat yang dihasilkan.
Peningkatan frekwensi pencucian menyebabkan penurunan rendemen. Menurut Rawdkuen et al. 2009,
pada proses pencucian surimi, protein sarkoplasma akan larut dan pada pencucian yang lebih banyak, protein miofibril juga akan ikut larut dan hilang sehingga
rendemen akan semakin rendah. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan Lampiran 3, perlakuan tanpa
pencucian daging lumat memiliki rendemen yang berbeda nyata dengan perlakuan pencucian. Perbedaan rendemen ini karena pada perlakuan pencucian, banyak
komponen daging lumat seperti darah, lemak, abu, dan protein sarkoplasma terlarut dalam air pencucian, dan terbuang pada proses pengepresan daging.
Perlakuan pencucian 1 kali memiliki rendemen yang berbeda nyata dengan pencucian 2 kali dan 3 kali sedangkan perlakuan pencucian 2 kali memberikan
pengaruh yang tidak berbeda dengan perlakuan pencucian 3 kali. Hal ini karena pada pencucian ketiga, komponen daging lumat larut air sudah sangat berkurang
sampai pencucian 2 kali, sehingga rendemen pada pencucian ketiga cenderung tidak berbeda dengan pencucian kedua.
Perlakuan pencucian menyebabkan sebagian besar protein sarkoplasma larut dan terbuang pada pencucian 1 kali. Pada pencucian kedua, sisa protein
sarkoplasma terus dipisahkan. Pada tahap ini ikut pula larut sedikit miosin, aktin, troponin dan tropomiosin. Pada pencucian tahap selanjutnya, tidak ditemukan
lagi protein sarkoplasma secara signifikan sehingga disimpulkan bahwa sebagian besar protein sarkoplasma terlarut dalam air dan dibuang pada tahap pencucian
pertama. Jika protein sarkoplasma telah dipisahkan secara sempurna, maka pencucian selanjutnya dapat menyebabkan penghilangan protein miofibril
Morrissey et al. 2000. Hal ini diduga karena melemahnya matrik gel akibat terjadinya denaturasi protein selama proses pencucian.
4.2.2 Nilai derajat keasaman pH Nilai pH sangat berpengaruh pada proses pembentukan gel surimi.
Berdasarkan Tabel 10, nilai pH daging lumat baik dengan perlakuan pencucian maupun tanpa pencucian menunjukkan peningkatan dari 6,55 untuk daging lumat
tanpa pencucian dan meningkat menjadi 6,77 pada pencucian 3 kali. Peningkatan nilai pH pada setiap tahap pencucian disebabkan adanya penambahan NaCl 0,3
pada air pencucian tahap akhir. Kisaran nilai pH pada daging lumat dan daging surimi yang sudah dicuci berada pada kisaran netral. Hal ini menunjukkan bahwa
ikan yang digunakan pada penelitian ini masih segar dan belum mengalami proses glikolis perubahan glikogen menjadi asam laktat. Proses ini berpengaruh pada
penurunan pH, aktivasi enzim katepsin, dan terjadinya proses proteolisis yang akan mempercepat reaksi pembusukan.
Berdasarkan data analisis ragam Lampiran 4, menunjukkan bahwa pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan
nilai pH. Nilai pH daging lumat tanpa pencucian dan dengan perlakuan pencucian berada pada kisaran pH netral yang berarti berada pada kisaran pH optimal bagi
kelarutan protein miofibril. Kisaran pH 6-7 merupakan kisaran pH optimal bagi kelarutan protein
miofibril dan meningkatkan kemampuan pembentukan gel pada ikan. Pada pH yang lebih rendah yaitu 5,5 atau pada kondisi asam, protein menjadi tidak stabil
dan terdenaturasi. Aktomiosin lebih stabil pada pH 7 dan kestabilan miosin akan membantu proses pembentukan gel Suzuki 1981.
Adanya gugus karboksil dan gugus amin pada asam amino menyebabkan protein bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat asam atau basa tergantung nilai pH.
Perubahan pH akan mempengaruhi ionisasi gugus fungsional protein sehingga muatan total protein berubah. Pada titik isoelektrik, total muatan protein sama
dengan nol sehingga interaksi antarmolekul protein menjadi maksimum. Pada kondisi ini, protein mencapai titik isoelektrik dan memiliki kelarutan yang
minimum. Pada pH di bawah titik isoelektrik, protein cenderung bermuatan positif, sebaliknya pada pH di atas titik isoelektriknya, protein cenderung
bermuatan negatif. Semakin jauh pH dari titik isoelektriknya maka kelarutan protein semakin meningkat Kusnandar 2010.
4.2.3 Protein larut garam PLG Protein larut garam PLG pada dasarnya merupakan protein miofibril yang
sangat berperan dalam pembentukan gel. Protein miofibril pada daging ikan mencakup 66-77 dari total protein. Ketika protein diekstrak dengan larutan
garam, aktin F-aktin akan berikatan dengan miosin membentuk aktomiosin Suzuki 1981. Berdasarkan data pada Tabel 10, nilai PLG untuk daging lumat
tanpa pencucian sebesar 3,84 dan menunjukkan peningkatan sampai pencucian 3 kali, yaitu sebesar 5,29. Hasil analisis ragam Lampiran 5 menunjukkan
bahwa perlakuan pencucian berpengaruh terhadap kadar PLG. Peningkatan nilai PLG pada setiap tahap pencucian disebabkan banyaknya protein sarkoplasma
yang larut dan terbuang pada saat pencucian yang diikuti dengan peningkatan kelarutan protein miofibril.
Adanya garam dapat meningkatkan atau menurunkan kelarutan protein. Hal ini karena penambahan garam dapat mempengaruhi kekuatan ion dalam larutan,
yang berpengaruh pula terhadap kelarutan protein. Pada umumnya, jika kekuatan ion meningkat maka kelarutan protein akan semakin besar. Pada konsentrasi yang
lebih tinggi lagi atau pada konsentrasi garam tertentu yang lebih tinggi, kelarutan protein akan menurun atau disebut salting-out Kusnandar 2010.