69
Jeruk Mandarin asal Cina merupakan salah satu komoditas utama negeri tersebut dan penanaman dilakukan dengan skala besar dengan teknologi bibit
yang jauh lebih berkembang dibanding jeruk lokal di Indonesia. Oleh karena itu, produsen lokal harus berusaha keras guna meningkatkan daya saing agar tidak
semakin terpuruk di tengah gempuran jeruk asal Cina. Indonesia memiliki potensi besar guna melakukan substitusi impor jeruk ini karena memiliki banyak aksesi
jeruk dan lahan terlantar yang tidak termanfaatkan.
6.3 Perbandingan Jumlah Impor Jeruk Mandarin Sebelum dan Sesudah
ACFTA Kesepakatan ACFTA yang menghapus hambatan tarif untuk produk-
produk EHP termasuk Jeruk Mandarin yang diperdagangkan antara Indonesia dan Cina awalnya bertujuan untuk meningkatkan ekspor kedua negara dan
menguatkan kinerja perdagangan bilateral. Akan tetapi, ketidaksiapan Indonesia dalam menyaingi Cina yang tengah menuai keberhasilan di bidang perekonomian
dan memiliki perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat surplus produk perkebunan Indonesia untuk komoditas seperti karet, minyak sawit, coklat, dan
lain sebagainya. tetap kalah tinggi dengan impor yang berasal dari Cina seperti produk industri dan hortikultura.
Total jumlah impor Jeruk Mandarin semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsumsi di dalam negeri
tanpa diiringi dengan peningkatan produksi yang justru terus menurun karena lemahnya sistem produksi dan pemasaran. Akibatnya, impor jeruk harus ditambah
dan Jeruk impor asal Cina pun membanjir karena didukung oleh kesepakatan ACFTA yang menerapkan tarif impor 0 untuk produk Cina. Peniadaan tarif
impor membuat Jeruk Mandarin Cina dengan mudah dapat memengaruhi pangsa
70
pasar jeruk lokal. Substitusi impor yang harus dilakukan pun semakin meningkat dan membuat petani jeruk serta dinas yang terkait kewalahan karena
ketidaksiapan mereka dalam menghadapi ACFTA. Berikut adalah Tabel jumlah impor Jeruk Mandarin saat pra dan pasca EHP selama tahun 2000-2009.
Tabel 8. Total Impor dan Jumlah Impor Jeruk Mandarin Cina di Indonesia saat Pra dan Pasca EHP Selama Tahun 2000-2009.
Tahun Total Jeruk Impor
Kg Laju
Pertumbuhan Jeruk Mandarin Kg
Laju Pertumbuhan
2000 59.729.824
33.626.461 2001
62.773.133 Pra-EHP
22.108.115 Pra-EHP
2002 54.881.400
-7.64 24.458.458
-9,46 2003
32.901.776 19.136.391
2004 43.469.826
22.598.743 2005
53.658.734 Pasca-EHP
38.587.270 Pasca-EHP
2006 68.535.374
36,99 48.704.851
46,86 2007
89.125.467 73.962.494
2008 109.598.159
97.407.786 2009
188.956.251 179.502.061
Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS 2000-2009, diolah
Selama masa pra EHP, total impor Jeruk Mandarin cenderung menurun hingga tahun 2004 hanya sebesar 43.469.826 kg dengan tren -7,46 , begitu pula
dengan impor jeruk asal Cina menurun sampai 22.598.743 kg dengan tren -9,46 . Jumlah impor jeruk terbesar terjadi pada tahun 2001 untuk total serta tahun
2000 untuk jeruk Cina dan cenderung terus menurun di tahun-tahun berikutnya karena produksi jeruk yang terus meningkat. Akan tetapi, hal ini tidak
berlangsung lama karena adanya EHP sehingga setelah tahun 2004, jumlah impor terus mengalami kenaikan hingga tahun 2009 mencapai 188.956.251 kg untuk
total dengan tren 36,99 dan 179.502.061 kg dengan tren 46,86 bagi jeruk Cina yang menandakan bahwa ACFTA menjadi jalan untuk ekspansi intensif
71
Jeruk Mandarin asal Cina. Substitusi impor jeruk pun semakin tinggi karena berbanding lurus dengan jumlah impor Jeruk Mandarin yang dilakukan.
Jeruk Mandarin merupakan salah satu komoditas ekspor utama Cina. Cina dapat melakukan produksi dengan skala besar dan teknologi bibit yang sudah
sangat baik, sehingga dapat menghasilkan buah jeruk dengan tampilan menarik namun harga tetap murah. Hal ini membuat bukan hanya produsen lokal yang
merugi, tetapi juga eksportir jeruk lainnya, seperti Pakistan dengan Jeruk Kino dan Amerika Serikat dengan Jeruk Sunkist karena banyak konsumen yang beralih
ke Jeruk Mandarin Cina yang lebih murah walaupun rasa tidak lebih baik. Kondisi tersebut semakin didukung oleh kesepakatan ACFTA yang
menghapus tarif impor untuk Jeruk Mandarin dari Cina, sehingga impor jeruk semakin membanjir. Akibatnya, importir Indonesia pun cenderung memilih jeruk
dari Cina karena tanpa tarif impor, harganya pasti lebih murah dibanding jeruk dari negara lain apalagi jeruk lokal. Impor Jeruk Mandarin Cina pun semakin
mendominasi persentase impor dibanding negara lainnya terutama sejak pemberlakuan EHP akibat ACFTA.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kesepakatan ACFTA sangat menguntungkan bagi Cina karena dapat menurunkan permintaan impor jeruk dari
negara lainnya. Ekspansi besar-besaran dapat dilakukan tambah hambatan, sehingga semakin mempersulit petani lokal dalam menyubstitusi Jeruk Mandarin
impor. Berikut adalah Diagram persentase Jeruk Mandarin dalam Total Jumlah Jeruk Impor dari berbagai negara selama pra dan pasca EHP.
72
Sumber:BPS 2000-2004, diolah
Gambar 11. Persentase Impor Jeruk 5 Negara Pengimpor Terbesar di Indonesia Pra-EHP Tahun 2000-2004
Sumber: BPS 2005-2009, diolah
Gambar 12. Persentase Impor Jeruk 5 Negara Pengimpor Terbesar di Indonesia Pasca
–EHP Tahun 2005-2009 Berdasarkan diagram di atas dapat dilihat bahwapersentase impor Jeruk
Mandarin Cina semakin meningkat sejak disepakatinya ACFTA untuk produk EHP. Sejak sebelum tahun 2004, dominasi jeruk asal Cina sudah mendominasi
total Jeruk Mandarin. Persentase jeruk Cina sebesar 47,24 dan masih dapat disaingi oleh jeruk asal Pakistan dengan pangsa 33,76 saat pra-EHP. Akan
tetapi, pangsa Jeruk Mandarin meningkat begitu besar dan mengalahkan impor jeruk setelah pemberlakuan EHP yaitu mencapai 83,27 . Hal ini menunjukkan
73
bahwa kesepakatan ACFTA semakin membuat jeruk impor Cina membanjir dan memberatkan upaya substitusi impor. Indonesia sebagai negara subur dan
memiliki potensi tinggi dalam produksi hortikultura seharusnya tidak perlu mengimpor jeruk sebesar ini serta bergantung sepenuhnya pada Cina.
Laju pertumbuhan nilai dan jumlah impor Jeruk Mandarin Cina ke Indonesia juga cenderung memiliki tren positif dari tahun ke tahun. Pada tahun
2001, 2003, dan 2004 jumlah dan nilai impor jeruk mengalami penurunan karena masyarakat Indonesia masih memilih jeruk lokal daripada jeruk impor. Akan
tetapi, sejak diterapkannya ACFTA dengan tarif 0 di tahun 2005, laju pertumbuhan nilai dan jumlah impor jeruk terus mengalami tren positif akibat
perubahan preferensi masyarakat yang lebih memilih jeruk impor. Keadaan ini menunjukkan produktivitas jeruk lokal yang semakin berkurang serta minimnya
usaha untuk melakukan substitusi impor secara intensif. Indonesia cenderung lebih suka bergantung kepada jeruk Cina yang lebih murah. Berikut adalah Grafik
laju pertumbuhan volume dan nilai Jeruk Mandarin Cina selama tahun 2001-2009.
Sumber: BPS 2000-2009, diolah
Gambar 13. Laju Pertumbuhan Jumlah dan Nilai Impor Jeruk Mandarin di Indonesia Tahun 2001-2009
74
Laju pertumbuhan nilai impor mengalami tingkat kenaikan yang lebih tinggi dibanding jumlah impor terutama di tahun 2006 yaitu sebesar 111,57 atau lebih
dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya dengan peningkatan jumlah impor sebesar 26,22 . Hal ini menunjukkan bahwa ekspor Jeruk Mandarin sangat
menguntungkan bagi Cina karena bernilai sangat besar walaupun akibat adanya penghapusan tarif impor, harga jeruk yang diekspor lebih murah dibanding di
negara asalnya. Berdasarkan perbandingan nilai dan jumlah jeruk pada saat pra EHP dan
pasca EHP, terjadi pula peningkatan volume impor yang cukup signifikan. Saat pra EHP persentase laju pertumbuhan justru mengalami penurunan sebesar 9,46
untuk berat dan 5,6 untuk nilai, sedangkan pasca EHP terjadi pelonjakan yang sangat tinggi hingga mencapai 46,86 untuk berat dan 74,86 untuk nilai
impor. Kinerja perdagangan bilateral melalui` pelaksanaan kesepakatan EHP
Indonesia-Cina juga dapat dilihat berdasarkan indeks Grubel-Llyod. Nilai indeks menunjukkan apakah perdagangan hanya terjadi dari Cina ke Indonesia saja atau
sebaliknya, dan bisa juga perdagangan tersebut terjadi secara dua arah yang menunjukkan bahwa kesepakatan ACFTA telah meningkatkan kinerja
perdagangan kedua negara. Hasil dari perhitungan indeks adalah sebagai berikut.
75
Tabel 9. Perkembangan Indeks Grubel-Llyod Komoditas Jeruk Mandarin di Indonesia Tahun 2000-2009
Kode HS
Berdasarkan Buku Tarif
Bea Masuk Indonesia
Tahun 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009
0805200000 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00
Angka di bagian atas adalah IGL dari volume dan di dalam kurung adalah IGL dari nilai produk.
Sumber: BPS 2011, diolah
Hasil yang diperoleh dari Indeks Grubel Llyod IGL di atas adalah selama tahun 2000-2009 adalah sebesar 0,00. Arti dari nilai ini adalah perdagangan Jeruk
Mandarin hanya terjadi satu arah, dari Cina ke Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kesepakatan ACFTA sangat menguntungkan bagi produsen jeruk Cina.
Indonesia yang sejak awal telah melakukan ekspor. Penghapusan bea masuk akan memacu Cina untuk melakukan ekspor ke Indonesia secara lebih intensif,
sehingga ACFTA justru akan semakin membuat produksi jeruk Indonesia sulit bangkit karena gempuran yang tidak habis-habisnya dari jeruk impor Cina.
6.4 Implementasi Kebijakan Guna Meningkatkan Substitusi Impor Jeruk