Implementasi Kebijakan Guna Meningkatkan Substitusi Impor Jeruk

75 Tabel 9. Perkembangan Indeks Grubel-Llyod Komoditas Jeruk Mandarin di Indonesia Tahun 2000-2009 Kode HS Berdasarkan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 0805200000 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Angka di bagian atas adalah IGL dari volume dan di dalam kurung adalah IGL dari nilai produk. Sumber: BPS 2011, diolah Hasil yang diperoleh dari Indeks Grubel Llyod IGL di atas adalah selama tahun 2000-2009 adalah sebesar 0,00. Arti dari nilai ini adalah perdagangan Jeruk Mandarin hanya terjadi satu arah, dari Cina ke Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kesepakatan ACFTA sangat menguntungkan bagi produsen jeruk Cina. Indonesia yang sejak awal telah melakukan ekspor. Penghapusan bea masuk akan memacu Cina untuk melakukan ekspor ke Indonesia secara lebih intensif, sehingga ACFTA justru akan semakin membuat produksi jeruk Indonesia sulit bangkit karena gempuran yang tidak habis-habisnya dari jeruk impor Cina.

6.4 Implementasi Kebijakan Guna Meningkatkan Substitusi Impor Jeruk

Mandarin Potensi sumberdaya alam seperti air dan banyaknya lahan terlantar yang dimiliki Indonesia serta keanekaragaman varietas jeruk yang bisa dikembangkan merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah komoditas jeruk di negeri sendiri dan menyingkirkan jeruk impor Cina. Peningkatan produksi jeruk mutlak diperlukan untuk melakukan substitusi impor sejumlah sama dengan impor jeruk. Apabila hal ini berhasil dilakukan, peningkatan volume ekspor juga tidak 76 mustahil untuk dilakukan jika pihak-pihak yang terkait secara bersama-sama membenahi kekurangan dari sistem produksi dan pemasaran jeruk lokal saat ini. Upaya pemenuhan substitusi impor perlu memperhatikan faktor-faktor yang memengaruhi berdasarkan penelitian. Faktor-faktor yang memengaruhi tersebut adalah harga konsumen jeruk pedesaan, PDB, produksi jeruk nasional, substitusi impor tahun sebelumnya, dan dummy ACFTA. Agar substitusi impor menurun, maka pemerintah harus menurunkan pula harga rata-rata jeruk lokal Harga Pokok Produksi dengan memperhatikan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan harga jeruk impor agar tidak kalah bersaing dengan jeruk melalui minimisasi biaya distribusi dan produksi. PDB juga perlu mendapat perhatian karena peningkatan PDB seharusnya dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan produksi jeruk dengan membenahi kualitas input produksi dan meningkatkan kinerja pengolahan pasca panen melalui dukungan dana dan subsidi. Faktor lainnya yaitu produksi jeruk juga perlu terus ditingkatkan dengan perbaikan kinerja sistem produksi di tingkat usahatani agar mengurangi ketergantungan terhadap impor. Substitusi impor tahun sebelumnya juga perlu mendapat perhatian karena impor saat ini akan menjadi bahan pertimbangan impor tahun sebelumnya, sehingga apabila substitusi impor tahun ini menurun maka kemungkinan besar tahun berikutnya bisa mengikuti. Peningkatan produksi jeruk dengan perbaikan berbagai subsistem yang memengaruhi dapat mengurangi ketergantungan akan jeruk impor secara perlahan-lahan, sehingga tren impor akan menurun. Kesepakatan ACFTA juga sangat penting untuk diperhatikan karena jumlah impor Jeruk Mandarin saat ini menjadi tidak terkontrol, dan berakibat pula 77 pada kenaikan substitusi impor yang harus dilakukan. Pelaksanaan perdagangan bebas perlu mempertimbangkan kesiapan petani dengan memenuhi kebutuhan sistem produksi jeruk mereka. Langkah pertama guna melakukan substitusi impor adalah perbaikan kinerja sistem agribisnis untuk meningkatkan produksi jeruk agar dapat mencukupi kebutuhan konsumsi secara mandiri. Efisiensi sistem produksi pada subsistem perusahaan usahatani dilakukan dengan cara peningkatan keterampilan petani, khususnya dalam menggunakan teknologi produksi baru, sosialisasi mutu standarisasi produk agar jeruk yang dihasilkan memenuhi keamanan pangan, dan mengoptimalkan penggunaan lahan baik yang telah ditanami jeruk maupun lahan terlantar. Upaya ini memerlukan dukungan dari subsistem hulu input, subsistem hilir penanganan pasca panen, dan subsistem penunjang pemerintah agar terjadi peningkatan produksi jeruk. Langkah awal yang harus dilakukan yaitu penyediaan input produksi seperti bibit, pupuk, pembasmi hama, dan lain sebagainya. yang lebih baik di subsistem hulu, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penyediaan bibit jeruk dengan hasil yang sesuai preferensi dan selera konsumen saat ini agar meningkatkan daya saing. Berdasarkan data jumlah dan nilai impor tahun 2000-2009, impor Jeruk Mandarin asal Cina semakin meningkat, akibat tingginya permintaan terhadap jeruk berpenampilan menarik dengan harga murah. Konsumen lebih menyukai kulit buah jeruk kuning oranye dengan tekstur mulus dan manis serta berbiji sedikit. Beberapa jenis jeruk keprok yang telah memenuhi syarat tersebut antara lain: Keprok Batu 55, Keprok Soe, Keprok Berasitepu, Keprok Borneo Prima, dan 78 Keprok Freemont. Keprok Soe dari NTT justru memiliki rasa dan tampilan yang lebih menarik ketimbang jeruk impor dengan rasa manis dan segar. Pemulia tanaman jeruk di Balai Tanaman Jeruk dan Subtropika Balijestro dan peneliti lainnya harus secara bersama-sama mengembangkan intensifikasi pertanian dengan riset dan teknologi bibit jeruk berkualitas dengan harga terjangkau guna memenuhi preferensi konsumen tersebut, membuat bibit yang tahan lama terutama CVPD, dan menghasilkan varietas jeruk yang seedless dengan rekayasa genetic dengan diiringi perbaikan secara teknis. Produksi jeruk pun meningkat dengan daya saing tinggi dan dapat menyubstitusi impor dengan baik karena sesuai dengan permintaan konsumen. Langkah kedua yaitu pembenahan subsistem hilir berupa pengolahan pasca panen dan penyaluran jeruk ke pasar sesuai dengan permintaan konsumen. Kemasan jeruk lokal yang lebih menarik serta pemangkasan biaya ekonomi tinggi terutama untuk biaya produksi dan distribusi perlu dilakukan agar Harga Pokok Produksi HPP atau harga jeruk rata-rata menjadi lebih murah, sehingga pasar untuk jeruk lokal tersedia seiring dengan peningkatan produksi karena mampu bersaing dengan jeruk asal Cina. Masalah ini terlihat dari perbandingan antara harga jeruk impor yang lebih murah dibanding harga jeruk di pasaran, akibat tingginya biaya tersebut khususnya biaya distribusi yang sarat dengan pungutan liar. Biaya produksi dapat diturunkan dengan subsidi pupuk dan pemerataan penyebaran bibit jeruk kualitas bagus, namun berharga murah untuk menghindari gagal panen dan biaya distribusi juga harus dipangkas karena produsen selama ini memperoleh keuntungan rendah akibat pungutan liar Hanif 2010. 79 Pemangkasan dapat dilakukan melalui sistem pemasaran yang lebih baik dengan pengawasan oleh aparat yang lebih ketat di semua lokasi pemberhentian dan aturan yang jelas dalam suatu kelembagaan khusus, sehingga pungutan liar yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dapat dihentikan. Misalnya saja Jeruk Berastagi dari Medan untuk sampai ke Jakarta mengalami 7 kali pungutan liar dan resmi. Akibatnya, mengimpor jeruk dari Cina justru menjadi lebih murah. Jadi, dengan minimisasi biaya ini, substitusi impor jeruk dapat semakin diturunkan karena harga jeruk lokal menjadi murah dan lebih diminati masyarakat. Langkah ketiga adalah perbaikan kinerja pemerintah sebagai subsistem penunjang melalui penetapan kebijakan yang lebih memihak pada produsen jeruk. Peranan pemerintah dan pihak-pihak terkait dibutuhkan melalui insentif harga bagi petani yang produksi jeruknya meningkat, penyuluhan teknologi baru yang lebih efektif kepada petani, dan penetapan Standar Nasional Indonesia SNI untuk jeruk impor sebagai bentuk proteksi non tarif bagi petani dengan syarat bebas hama dan residu pestisida, serta zat berbahaya lainnya. Kesiapan petani dalam menghadapi ACFTA sangat penting untuk ditingkatkan agar dapat lebih baik dalam melakukan substitusi impor akibat tren impor Jeruk asal Cina yang terus meningkat. Hal ini terlihat dari data perbandingan pangsa impor jeruk Cina sebelum dan setelah EHP meningkat pesat, bahkan mengalahkan Jeruk Mandarin dari negara-negara lainnya. Kebijakan yang berpihak untuk pengembangan produksi jeruk nasional dari pemerintah pusat hingga daerah serta keberpihakan konsumen terhadap jeruk dalam negeri harus diintensifkan. Peran pemerintah mencakup sosialisasi perdagangan bebas kepada petani, pembangunan sarana dan prasarana 80 produksi, pengolahan pasca panen, industri pengolahan, kampanye konsumsi buah jeruk lokal, pemberdayaan diplomasi dan negosiasi dalam Economic Partnership Agreement EPA, serta penyediaan benih berlabel dengan kualitas baik. RUU Hortikultura yang dirumuskan pemerintah pada tahun 2010 juga harus segera diterapkan agar petani terlindungi dari produk asing. Langkah berikutnya yaitu pengawalan pengembangan riset dan teknologi secara intensif. Pemerintah daerah dan masyarakat harus lebih selektif dalam memilih varietas jeruk yang beragam agar menghasilkan produk jeruk unggulan yang berdaya saing tinggi. Pengawalan teknologi dibutuhkan karena melihat dari data produksi jeruk tahun 2000-2009, penurunan produksi terjadi pada dua tahun terakhir yang menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan kurang efektif terutama dari segi varietas bibit yang dipilih. Program keprokisasi dengan bibit unggul tahan CVPD dapat menjadi salah satu upaya dengan cara menambah luasan penanaman dan pemerataan bibit Jeruk Keprok ini di berbagai daerah dengan ekstensifikasi melalui pemanfaatan lahan terlantar ataupun intensifikasi berupa mengganti komoditas jeruk yang kurang produktif. Kawalan teknologi dibutuhkan agar tanaman jeruk dapat tumbuh optimal, berumur panjang, dan terhindar dari serangan CVPD yang merupakan penyakit yang menjadi momok bagi petani jeruk. Apabila langkah-lagkah ini berhasil dilakukan secara berkesinambungan, maka kinerja sistem agribisnis akan menjadi lebih baik yang terlihat dari peningkatan produksi jeruk di tingkat on farm dengan didukung oleh berbagai subsistem secara simultan dengan efektif dan efisien. 81

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1

Kesimpulan 1. Faktor-faktor yang memengaruhi substitusi impor jeruk Indonesia periode Januari 2000 hingga Desember 2009 yang berpengaruh nyata yaitu nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga konsumen jeruk di pedesaan, PDB, produksi jeruk nasional, harga jeruk impor, substitusi impor tahun sebelumnya, dan dummy ACFTA. 2. Perbandingan substitusi antara periode pra dan pasca EHP menjadi sangat tergantung dengan volume impor. Jumlah impor sebelum ACFTA saat tarif impor belum 0 selama tahun 2000-2004, meningkat dengan pesat setelah diberlakukannya EHP tahun 2005. Pangsa impor Cina pun mengungguli negara pengimpor lainnya selama periode pasca EHP. 3. Implementasi kebijakan dalam meningkatkan produksi jeruk dalam rangka substitusi impor dilakukan dengan perbaikan kinerja sistem agribisnis melalui pembenahan di subsistem hulu yaitu input produksi, subsistem hilir berupa pengolahan pasca panen dan pemasaran, serta subsistem penunjang berupa dukungan pemerintah agar saling mendukung satu sama lain dan secara simultan memengaruhi sistem produksi jeruk di tingkat usahatani, sehingga dapat terus meningkat.

7.2 Saran

1. Kebijakan yang dapat diambil oleh pengambil keputusan guna memenuhi substitusi impor adalah penurunan Harga Pokok Produksi HPP, membenahi kualitas input produksi dan meningkatkan kinerja pengolahan pasca panen melalui dukungan dana dan subsidi, dan perbaikan kinerja