Latar belakang Yurisdiksi European Court Of Human Rights Terkait Implementasi Putusannya Di Inggris Menurut Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pada hakikatnya, semua manusia memiliki martabat dan derajat yang sama, serta memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama, maupun status sosial lainnya. Hal ini karena setiap manusia memiliki derajat yang luhur human dignity dan berasal dari Tuhan yang menciptakannya sebagai individu yang bebas untuk dapat mengembangkan diri. 4 Hak-hak manusia tersebut, lantas semakin berkembang dari hak asasi yang bersifat pribadi atau orang-perorangan personal rights menjadi Hak Asasi Manusia HAM atau human rights. 5 Paton mengatakan bahwa hak mengandung unsur perlindungan, kepentingan dan juga kehendak. 6 Hal ini dapat dikaitkan dengan realita perlindungan HAM Internasional. Dalam perspektif sejarah, perlindungan terhadap HAM telah dilaksanakan lewat Piagam Madinah tahun 622 M. 7 4 Dede Rosyada dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi Jakarta: Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media, 2003, hlm.200 Setelah itu, lahir beragam instrumen hukum normatif dari berbagai belahan dunia antara lain Magna Charta 1679, Bill of Rights 1776, Declaration des Droits l’Hommes et du Citoyen 1789. Namun komitmen internasional yang luas baru terlihat dalam pembentukan United Nations Declaration of Human Rights atau Deklarasi Hak 5 Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, HAM dalam DinamikaDimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial, Bogor: Ghalia Indonesia, 2014, hlm.47 6 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2005, hlm.95 7 Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, op.cit., hlm.43 Asasi Manusia PBB DUHAM yang dibentuk tahun 1948 sebagai landasan moril penegakkan HAM dunia. Eropa sebagai benua dengan Negara yang saling berbatasan darat, telah banyak menjadi tempat pelanggaran HAM yang berat 8 terutama selama perang dunia. Semangat untuk melindungi HAM mulai berkembang di Eropa terutama sejak Pidato Winston Churchill di Universitas Zurich tanggal 19 September 1946 : 9 We must build a kind of United States of Europe...The first step is to form a Council of Europe. 10 Pernyataan ini lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan kongres pada tahun 1948 untuk merumuskan organisasi yang hanya mencakup Negara- negara di Eropa yang pada akhirnya membentuk Council of Europe Dewan Eropa. Dewan Eropa menjadi organisasi politik benua tertua yang dibentuk pada 1949 11 melalui Treaty of London atau Statute of Council of Europe yang sasarannya adalah, inter alia 12 , penguatan demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Rule of Law. 13 Sebagai organisasi internasional, CoE memiliki kewenangan untuk membentuk perjanjian-perjanjian termasuk diantara Negara-negara anggotanya. 8 Javaid Rehman, International Human Rights Law : Practical Approach, London: Pearson Education Limited, 2003, hlm. 136 9 The Council of Europe, http:www.austria.orgforeign-policyeuropethe-council-of- europe terakhir diakses tanggal 20 Januari 2015 10 Winston Churchill and the Council of Europe, dikutip dari http:www.coe.inttdgalditilcdArchivesselectionChurchillDefault_en.asp terakhir diakses tanggal 12 Januari 2015 11 Sophie Lobey, History, Role, and Activities of the Council of Europe: Facts, Figures and Information Sources, http:www.nyulawglobal.orgglobalexcouncil_of_europe.htm, terakhir diakses tanggal 11 Januari 2015 12 Bahasa Latin untuk “antara lain”. Frasa ini sering ditemukan dalam dalil-dalil permohonan yang ditulis untuk mengkhususkan contoh dari banyak kemungkinan. Dikutip dari http:dictionary.law.comDefault.aspx?selected=996 terakhir diakses tanggal 12 Januari 2015 13 Pasal 3 Statuta Council of Europe setiap Negara Anggota “harus menerima prinsip rule of law dan pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar bagi semua orang dalam yurisdiksinya” Oleh karenanya, Pada 1950 dibentuklah Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom atau dikenal dengan European Convention on Human Rights ECHR. Dalam sistem yang pertama kali dibentuk, 3 tiga institusi atau organ diberikan tugas untuk menjamin pematuhan ECHR oleh Negara-negara anggota, yakni The European Court of Human Rights, European Commission on Human Rights dan The Committee of Ministers Komite Menteri. Setelah berlakunya Protokol Nomor 11 pada 1 November 1998, dua institusi digabungkan menjadi Pengadilan tunggal yang mana permohonan perseorangan atau antar-Negara mengenai dugaan pelanggaran hak sipil dan politik yang diatur dalam ECHR dapat langsung disampaikan pada Pengadilan. Perubahan ini mengakhiri fungsi penyaringan Komisi dan memungkinkan pemohon untuk membawa kasus mereka langsung kepada Pengadilan. 14 Berbicara mengenai suatu pengadilan, maka perlu membahas ruang lingkup yurisdiksi pengadilan tersebut dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Yurisdiksi berkaitan dengan kekuasaan, hak atau wewenang untuk menetapkan hukum. 15 14 Dikutip dari Hal ini dapat diterapkan pada lembaga atau organ yudisial sebagai pembentuk sumber hukum yakni melalui yurisprudensi atau putusannya. Maka dari itu, ECtHR sebagai suatu badan peradilan atau organ yudisial dari organisasi internasional memiliki yurisdiksi tertentu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. http:www.echr.coe.intPageshome.aspx?p=courtreformc=n13740 528735758554841286_pointer terakhir diakses tanggal 23 Januari 2015 15 Sugeng Istanto, Hukum Internasional Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010, hlm.66 Pengaturan mengenai yurisdiksi ECtHR terdapat dalam Pasal 32 ECHR yang terdiri dari application penerapan dan interpretation penafsiran Konvensi dan Protokol-protokol Tambahan. Penerapan berarti kewenangan ECHR untuk menerima dan menolak individual application permohonan perseorangan maupun inter-states application permohonan antar-negara. Sedangkan yurisdiksi penafsiran dilakukan untuk memperjelas makna dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan termasuk berkaitan dengan implementasi putusan. Selain itu, kewenangan tambahan yang dimiliki ECtHR adalah memberikan advisory opinion atau pendapat nasihat yang bersifat tidak mengikat, atas permintaan Komite Menteri maupun para pihak dalam perkara. Implementasi atau penerapan putusan adalah langkah utama bagi efisiensi Pengadilan. Tanpanya, keadaan bagi mereka yang dibantu oleh Pengadilan tersebut tidak bertambah baik. Bahkan yurisprudensi yang terbaik dan sangat mendalam pun dapat dianggap tidak efektif bila tidak diterapkan, dan legitimasi Pengadilan itu pun dapat dipertanyakan. 16 16 Ibid, hlm.11 Maka dari itu, putusan ECtHR perlu diterapkan di Negara pihak High Contracting Party. Kewajiban untuk mematuhi atau menerapkan putusan akhir ECtHR tercantum dalam Pasal 46 Paragraf 1 ECHR “The High Contracting Parties undertake to abide by the final judgment of the Court in any case to which they are parties.” Penerapan tersebut dapat berupa Individual Measure Langkah Individual yang diterapkan untuk menghilangkan konsekuensi kerugian yang diderita seseorang akibat terjadinya suatu pelanggaran terhadap ECHR. Selain itu, penerapan putusan dapat pula berupa General Measure Langkah Umum yang lebih berfungsi preventif yakni mencegah terjadinya kasus yang sama terulang dikemudian hari dimana salah satu dampaknya adalah amandemen legislasi Negara pihak. Sejak pengadilan dibuka tahun 1959, Negara anggota CoE telah mengadopsi sejumlah protokol yang lebih fokus pada perlindungan hak sipil dan politik seperti hak berserikat dan berkumpul, hak hak atas proses peradilan yang adil, dan hak kebebasan dalam pemilihan umum. Saat ini, 9 Protokol Tambahan telah dibentuk agar ECtHR berperan dalam perlindungan hak-hak yang dijamin dalam ECHR dan Protokolnya tersebut di atas yurisdiksi Negara-negara Pihak. ECtHR tidak berwenang dalam mengawasi implementasi putusannya. ECtHR sebagai mekanisme yudisial yang paling maju untuk memperbaiki pelanggaran HAM ini, harus bergantung pada Komite Menteri untuk mengawasi eksekusi putusannya 17 Hukum supranasional semakin lama telah mempengaruhi hukum nasional selama bertahun-tahun. sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 46 Paragraf 2 ECHR. 18 ECtHR sebagai pengadilan supranasional 19 berarti bahwa pengadilan ini ditempatkan untuk memutuskan masalah tertentu dari kepentingan umum yang berkaitan dengan perlindungan HAM yang melintasi keseluruhan Eropa. 20 17 Gerd Oberleitner, Global Human Rights Institutions: Between Remedy and Ritual, Cambridge :Polity Press 2007, hlm.13 Berkaitan dengan praktik dari peran tersebut, sampai saat ini ECtHR telah menanggapi ribuan putusan yang mengikat setiap aspek legislasi 18 Nina-Louisa Arold, The Legal Culture Of The European Court of Human Rights Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, hlm.6 19 Supranasional diartikan disini sebagai sebuah perluasan melampaui atau melewati batasan-batasan yang dibangun untuk memisahkan bangsa-bangsa suatu Negara. 20 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, Equality and Human Rights Commission Research report 83:The UK and the European Court of Human Rights, Manchester: Equality and Human Rights Commission, 2012, hlm.168 pada benua Eropa. ECtHR juga dinilai sebagai perintis dari salah satu rezim HAM yang paling berhasil saat ini. 21 Namun dalam perkembangannya, ECtHR dikritisi atas jangkauan berlebih terhadap kekuasaan dan turut campur terhadap hukum dalam negeri yang telah terbentuk serta praktik untuk memaksakan standar yang seragam pada Negara- negara Pihak. 22 Inggris merupakan salah satu Negara yang pertama menandatangani teks ECHR pada saat terbentuk tahun 1950, serta yang paling awal meratifikasinya yakni pada tahun 1951. Putusan ECtHR yang menyangkut Inggris biasanya menuntun pada perubahan cepat terhadap hukum atau cara hukum itu diterapkan. Secara umum, Inggris merupakan rekor percontohan dalam penerapan putusan ECtHR. Selain itu, masih banyak terdapat penundaan bahkan penolakan pelaksanaan putusan oleh Negara-negara Pihak dalam beberapa kasus, salah satunya dilakukan oleh Inggris. 23 21 David C. Baluarte, Christian M. De Vos, From Judgment to Justice : Implementing International and Regional Human Rights Decisions, New York: Open Society Foundations, 2010, hlm.33 Namun masih terdapat beberapa putusan ECtHR yang ditolak oleh Inggris untuk diterapkan di Negara tersebut, diantaranya adalah kasus Hirst tahun 2005 serta kasus Greens dan MT tahun 2010. Dalam kasus-kasus ini, putusan akhir ECtHR menyatakan bahwa Inggris telah melanggar hak kebebasan dalam pemilihan umum yang dijamin oleh Pasal 3 Protokol 1 ECHR. Putusan ini mewajibkan Inggris untuk mengamandemen legislasi yang bertentangan dengan ECHR tersebut, khususnya Bagian 3 dari Representation of the People Act 1983. 22 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit, hlm178 23 Ibid, hlm.183 Namun hingga 2015 amandemen tersebut belum dilakukan, padahal batas waktu yang ditetapkan adalah tanggal 11 Oktober 2011. Terhadap kaidah-kaidah Hukum Internasional, Inggris cenderung kepada dua pendekatan yakni lebih mengutamakan hukum nasional atau dalam hal-hal tertentu mengutamakan Hukum Internasional. Demikian pula, perjanjian- perjanjian internasional yang dilaksanakan oleh Inggris, mensyaratkan legislasi untuk dapat berlaku. Peraturan-peraturan Hukum Internasional menjadi bagian dari hukum Inggris jika hukum itu diterima dan diadopsi oleh Inggris. Hal ini menggambarkan bahwa Inggris menganut aliran dualisme dalam menerapkan Hukum Internasional di dalam negeri. Instrumen ratifikasi mengharuskan Inggris untuk mematuhi ketentuan- ketentuan dalam ECHR termasuk Pasal 46 Paragraf 1 yang menegaskan bahwa kekuatan mengikat dan pelaksanaan putusan ECtHR harus dipatuhi oleh Negara- negara Pihak dimana mereka terlibat dalam suatu kasus. Namun, Inggris telah menerapkan legislasi sebagai bentuk kedaulatan Negara untuk melegitimasi putusan ECtHR, yakni melalui Human Rights Act 1998 HRA melalui transformasi hukum. Dalam Bagian 2 HRA, Inggris menyatakan bahwa Pengadilan Inggris harus menindaklanjuti setiap putusan ECtHR agar memiliki kekuatan hukum dalam negeri. Hal ini menyebabkan putusan ECtHR tidak dapat langsung diterapkan atau tidak memiliki dampak langsung dirrect effect terhadap hukum Inggris. Ketentuan ini menjadi dasar hukum bagi Inggris untuk menolak menerapkan putusan ECtHR dalam kasus-kasus di atas. Meskipun demikian, sebuah badan telah dibentuk untuk memfasilitasi penerapan putusan ECtHR di Inggris yakni Joint Committee on Human Rights JCHR. Permasalahan penolakan implementasi oleh Inggris lantas memunculkan pertanyaan mengenai yurisdiksi ECtHR terkait implementasi putusannya di Inggris yang dikaji menurut Hukum Internasional. Oleh karenanya penelitian ini akan lebih dikhususkan pada pembahasan yurisdiksi tersebut yang mana dapat dianalisis dengan melihat kekuatan mengikat ECHR terhadap Inggris serta legitimasi putusan ECtHR dalam hukum inggris.

B. Rumusan Masalah