Bentuk-Bentuk Umum Implementasi Putusan European Court of Human

BAB III IMPLEMENTASI PUTUSAN EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS PADA NEGARA-NEGARA ANGGOTA

A. Bentuk-Bentuk Umum Implementasi Putusan European Court of Human

Rights terhadap Negara-Negara Anggota Putusan pengadilan atau yurisprudensi adalah salah satu sumber HI. Komitmen untuk patuh pada sebuah putusan adalah penting untuk integritas dari sistem hukum apapun, baik di dalam negeri maupun internasional. Implementasi putusan telah menjadi perhatian yang terus berkembang pada sistem Eropa, dan telah memperoleh desakan tertentu sejak puluhan tahun yang lalu. 172 Sementara implementasi hukum adalah sentral untuk membuat HAM menjadi efektif dalam prakteknya. 173 Final Judgement atau Putusan Akhir yang tertera dalam Paragraf 2 Pasal 46, dapat dikatakan final bila memenuhi unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 44 antara lain ; jika pihak-pihak menyatakan tidak mengajukan permohon kasus lagi kepada Grand Chamber atau dalam jangka waktu 3 bulan tidak juga mengajukannya, dan bila Grand Chamber menolak permohonan Pasal 46. Oleh karenanya, putusan akhir ECHR telah secara sah pada Negara yang dituntut. , implementasi atau penerapan putusan adalah langkah utama bagi efisiensi Pengadilan. 174 172 David C. Baluarte, Christian M. De Vos, op.cit, hlm 34 Selain itu, berdasarkan Pasal 39 Konvensi, ECtHR dapat menerbitkan keputusan 173 Erikson Hasiholan, hlm. 256 174 David Harris, Law of the European Convention on Human Rights. 2nd ed, Oxford: Oxford University Press, 2009 hlm.30 Friendly Settlement yang telah dicapai pihak-pihak diberbagai tahapan proses. Adapun bentuk-bentuk dari implementasi putusan ECtHR ini antara lain : 1. Penggunaan Langkah Perseorangan Adoption of Individual Measures Hal ini berhubungan dengan kewajiban untuk menghapuskan konsekuensi akibat penderitaan pada mereka yang dirugikan akibat terjadinya suatu pelanggaran. Langkah individual ini dibuat untuk mengembalikan pemohon pada posisi sebelum terjadinya pelanggaran 175 Langkah individual tergantung pada sifat pelanggaran dan keadaan dari pemohon. Contoh kasusnya antara lain pengakuan kembali sebuah gereja yang awalnya memiliki status resmi namun telah ditolak, maupun pengembalian hak dari pekerja yang secara melawan hukum dikeluarkan dari pegawai negeri sipil dari Negara tertentu yang secara substantif bertentangan dengan ketentuan ECHR. Hukum Nasional Negara berperan dalam tataran praktis segala norma-norma dan teori-teori hukum. dimana konsekuensi kerugian dari pelanggaran dalam perbaikan bukan jalan yang tepat dengan hanya membayar penebusan yang adil. 176 a. Penebusan Setimpal Just Satisfaction Dalam hal penerapan langkah perseorangan oleh Negara dapat diidentifikasi beberapa upaya, antara lain : Bentuk pertama adalah kewajiban Negara untuk membayar Just satisfaction atau penebusan setimpal sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 41 dari Konvensi : 175 David C. Baluarte, Christian M. De Vos, op.cit, hlm. 16 176 Ibid, hlm. 16 “If the Court finds that there has been a violation of the Convention or the Protocols thereto, and if the internal law of the High Contracting Party concerned allows only partial reparation to be made, the Court itself shall, if necessary, afford just satisfaction to the injured party.” Hal ini berarti jika ditemukan pelanggaran Konvensi atau Protokol tambahan, dan jika hukum dalam negeri Negara Pihak mengizinkan perbaikan sebagian, maka Pengadilan harus jika perlu, memberikan penebusan setimpal ini pada pihak yang dirugikan. Penebusan setimpal merupakan satu-satunya langkah yang ECtHR dapat perintahkan pada para pihak sebagaimana yang tercantum dalam konvensi itu sendiri. Berdasarkan Paragraf 1 Pasal 46, Negara berkewajiban untuk membayar penebusan setimpal, bila pengadilan memutuskan telah terjadinya pelanggaran Pasal 41 tersebut, umumnya dalam waktu tiga bulan. 177 Meskipun demikian, ketetapan pembayaran itu adalah pelengkap untuk restitutio in integrum, dan bukan merupakan hak tambahan untuk Pihak Pemohon. Untuk menerima sejumlah uang tersebut, Pemohon harus membuktikan di satu sisi bahwa terdapat hubungan kausal antara pelanggaran dan kerugian tersebut, dan di sisi lain untuk mengajukan tuntutan pada haknya itu. 178 177 Tom Barkhuysen, Michiel Van Emmerik, A Comparative View on the Execution of the Judgments of the European Court of Human Rights, dalam Theodora A. Christou, Juan Pablo Raymond ed., European Court of Human Rights, remedies and execution of judgments British Institute of International and Comparative Law 2005 hlm.3, dikutip dari Déborah Forst, op.cit, hlm.5 178 Ibid hlm.173. b. Penghentian pelanggaran yang sedang berlangsung Ketika ECHR menemukan pelanggaran yang sedang berlangsung, Negara berkewajiban untuk mengakhiri pelanggaran tersebut sesegera mungkin. 179 c. Restitutio in integrum Langkah ini dilakukan berdasarkan dua ketentuan dasar dalam Konvensi yakni Pasal 46 paragaf 1 kewajiban untuk patuh pada putusan dan Pasal 1 kewajiban umum untuk menghormati HAM : “The High Contracting Parties shall secure to everyone within their jurisdiction the rights and freedoms defined in Section I of this Convention”. Kewajiban Khusus yang kedua adalah restitutio in integrum, berdasarkan Pasal 46 Paragraf 1 ECHR. Ini adalah penerapan di level Eropa yang menunjukkan bahwa kewajiban tertentu oleh Negara adalah sebagai upaya untuk memperbaiki tindakan internasional yang salah, menurut HI. 180 Meskipun demikian, ketika muncul ketidakmungkinan untuk memproses restitutio in integrum, misalnya karena suatu sifat yang membekas, maka Negara tetap tidak dibebaskan dari kewajibannya, melainkan harus mengganti sejumlah uang atau penebusan setimpal, yang sesuai dengan perkiraan nilai restitutio in integrum tersebut. 181 179 Georg Ress, The Effects of Decisions And Judgments of The European Court of Human Rights In The Domestic Legal Order, Texas: Texas International Law Journal, 2005, hlm.380. Meskipun demikian, dalam hukum HAM internasional, kemungkinan restitution in 180 Costas Paraskeva, The Relationship Between the Domestic Implementation of the European Convention on Human Rights and the Ongoing Reforms of the European Court of Human Rights with a case study on Cyprus and Turkey Intersentia, 2010, hlm. 85 181 Georg Ress, op.cit, hlm.380 integrum sangat jarang terjadi. 182 Kewajiban untuk menyediakan ganti rugi adalah efektif ab initio yang berarti Negara harus memeriksa semua konsekuensi dari peraturan yang ilegal dan membuat perbaikan untuk itu, sebagaimana keadaan dimana tidak ada pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan Pasal 41 Konvensi, hal ini nantinya hanya akan digantikan oleh kompensasi. 183 Sehubungan dengan kewajiban untuk mengakhiri pelanggaran Konvensi, beberapa bentuk tindakan telah diterapkan oleh Negara-negara dalam mematuhi putusan ECtHR tersebut. Pertama, yang biasa diterapkan adalah pencabutan perintah administrasi nasional yang ditemukan melanggar ECHR, seperti pencabutan perintah deportasi. Bentuk lain adalah mempercepat penyelesaian proses hukum yang tertunda, dalam kasus yang ditemukan melanggar Pasal 6 hak pemeriksaan pengadilan yang adil putusan ECHR memerintahkan untuk mempercepat proses hukum yang tertunda. Pembebasan tahanan yang ditahan tidak sesuai dengan hukum, juga merupakan sebuah bentuk penerapan yang biasa dilakukan untuk mengakhiri pelanggaran. Contohnya pada kasus Selçuk melawan Turki tahanan dibebaskan setelah Pengadilan menemukan kelebihan waktu penahanan pra-peradilan. Dalam hal ini, pengadilan berpegang pada kewajiban Negara untuk mengambil langkah yang tepat untuk menjamin bahwa perintah hukum di dalam negeri mereka telah mematuhi Konvensi. 182 Elisabeth Lambert Abdelgawad, op.cit, hlm.483 183 Elisabeth Lambert Abdelgawad, The Execution of Judgments of The European Court of Human Rights 2 nd Ed, Strasbourg: Council of Europe Publishing, 2008, hlm.11 ECtHR lantas menyatakan bahwa pemeriksaan kasus kembali, bila diminta, pada prinsipnya menggambarkan sebuah cara yang tepat untuk memperbaiki pelanggaran. 184 Untuk itu, bahkan bila Pengadilan dalam negeri tidak memerintahkan pengadaan kembali proses tersebut, putusan ini yang akan menjadi langkah tepat untuk memenuhi restitutio in integrum agar hukum nasional memenuhinya. 185 Kedua, Negara juga dapat dituntut untuk memperbaiki, mencabut, atau menerbitkan perintah administratif, misalnya negara menjamin izin tempat tinggal setelah pelanggaran pada Pasal 8 penghormatan terhadap privasi dan kehidupan berkeluarga ditemukan. Solusi ini relevan dalam situasi dimana tidak adanya pihak ketiga yang secara langsung terlibat, seperti kasus imigrasi. Ketiga, langkah individual dapat terjadi dalam ganti rugi sejumlah uang atau benda, dimana negara telah mengembalikan barang sengketa pada pemohon, atau membayar sejumlah uang sesuai dengan nilai barang tersebut. Keempat, negara juga dapat mengambil tindakan untuk melakukan perubahan pada catatan-catatan kriminal atau pendaftaran-pendaftaran resmi. 2. Penggunaan Langkah Umum Adoption of General Measures Bentuk langkah kedua yang mungkin terjadi setelah adanya kasus hukum adalah langkah umum yang bertujuan untuk mencegah pengulangan pelanggaran konvensi. Hal tersebut lebih sebagai fungsi preventif atau 184 Déborah Forst, Ibid, hlm.7 185 Xavier-Baptiste Ruedin , op.cit, hlm.122. dikutip dari Ibid pencegahan dibandingkan dengan fungsi perbaikan. 186 Hal ini didasarkan pada kewajiban nyata dari Pasal 46 dan Pasal 1 paragraf 1 Konvensi, dan berasal dari HI yang menunjukkan pada negara sebuah kewajiban memperbaiki masalah struktural yang telah teridentifikasi oleh Pengadilan, dan menaati kewajiban tersebut dengan itikad baik. Dengan kata lain, kewajiban ini adalah hal yang sangat penting dalam kasus dimana Pengadilan mengidentifikasi pelanggaran struktural atau sistemik dari Konvensi. Hal ini dilihat sebagai upaya mengurangi beban ECtHR terhadap sistem konvensi dengan banyaknya jumlah pengaduan yang disampaikan atas satu kasus yang sama dan indikasinya terletak pada adanya kerusakan sistemik. Langkah kedua atas jenis tindakan yang dapat diambil sebagai upaya menerapkan putusan ECtHR ini, adalah tindakan umum, yang berkenaan dengan kewajiban untuk mencegah pelanggaran yang sama terhadap Konvensi di masa depan. Dalam hal tunduk pada kewajiban untuk mengambil langkah umum, negara harus menganalisis sendiri apakah pelanggaran tersebut berasal dari norma, putusan, yurisprudensi atau penerapan di dalam negeri national practice, untuk menemukan kewenangan dimana pelanggaran berasal. 187 186 David C. Baluarte, Christian M. De Vos, op.cit, hlm.41 Dalam praktiknya, Negara tidak diwajibkan untuk memperbaiki keadaan yang muncul sebelum adanya putusan, tetapi mereka tidak dapat menerapkan ketentuan yang melanggar Konvensi lagi di masa depan. Ketentuan tindakan transnasional berakhir jika hukum dalam Negara tersebut telah sesuai dengan 187 Ibid, hlm.8 Konvensi. Meskipun demikian, ECtHR akan mempertimbangkan bahwa ketentuan transnasional tidak harus membentuk atau memelihara keadaan yang diskriminatif, dan untuk itu, hakim dalam negeri harus sepenuhnya menjamin akibat dari standar yang tercantum dalam Konvensi, sebagaimana yang ditafsirkan oleh ECtHR, bahkan setelah adopsi dalam legislasi yang baru. 188 ECtHR dapat mengindikasikan bahwa negara termohon memiliki kewajiban untuk melanjutkan proposal legislatif yang dimaksudkan untuk mengamandemen legislasi yang bermasalah dalam waktu 6 bulan. Selain itu, dalam kasus dimana masalah struktural teridentifikasi, khususnya ketika Pengadilan menerbitkan Pilot Judgement atau Putusan Perintis, Negara- Negara harus menjamin perbaikan internal yang efektif untuk kasus serupa yang tertunda. Terkadang ECtHR menetapkan waktu akhir dalam putusan untuk pengadopsian dari kewajiban langkah umum. Biasanya, hanya negara termohon pada suatu kasus yang terikat pada putusan 189 188 Déborah Forst, op.cit, hlm.8 , dan untuk itu memiliki kewajiban untuk mengambil tindakan umum. Namun, penerapan Negara menunjukkan bahwa beberapa dari mereka yang telah mengamandemen hukumnya atau menerapkan putusan ECHR bertentangan dengan legislasi negara yang lain, mengharuskan Pengadilan dalam Negeri untuk mengambil rencana menafsirkan Konvensi sebagaimana dinyatakan dalam suatu kasus hukum ECtHR. Dengan demikian, putusan ECHR memiliki kewenangan persuasif untuk legislator dan pengadilan dalam 189 David Harris , op.cit, hlm.30 negeri, serta memiliki efek pencegahan, karena negara telah sadar bahwa mereka berisiko memiliki kasus di ECtHR. Ini berhubungan dengan efek erga omnes dari putusan, yang mana dapat diambil dari kewajiban “melindungi” hak-hak pada Konvensi berdasarkan Pasal 1 Konvensi. Jadi, negara harus menindak lanjuti tafsiran Konvensi yang diajukan oleh ECtHR dalam kasus hukumnya ketika mereka melindungi hak- hak Konvensi. Implementasi langkah umum sulit dalam pengamatannya dan seringkali berlarut-larut karena langkah umum secara khusus mengharuskan perubahan yang berskala luas, seperti perubahan pada kitab undang-undang, yang mana dapat bertentangan dengan kekuasaan lembaga-lembaga negara atau mengakibatkan pertentangan pendapat publik. 190 a. Tindakan yang diambil Negara Termohon Adapun dalam praktiknya, langkah umum tersebut diwujudkan dengan jalan sebagai berikut : Terdapat beragam bentuk langkah yang dapat diterapkan oleh Negara untuk memenuhi kewajiban pencegahan pelanggaran Konvensi di masa depan. Pertama, sebagian dari langkah umum terdiri dari perubahan legislasi atau peraturan-peraturan di dalam negeri. Biasanya, pengadilan dalam negeri tidak melakukan penyesuaian ketentuan legislatif melalui Konvensi, jika berhubungan dengan kasus individual dan hasil dari ketentuan in concreto 191 190 David C. Baluarte, Christian M. De Vos, op.cit, hlm.16 . Meskipun demikian, penyebab pelanggaran terkadang berakar dari ketidakkonsistenan yang berasal dari dalam 191 Berarti dengan referensi aktual, fakta-fakta dapat diferifikasi daripada secara teori dikutip dari http:www.oxfordreference.comview10.1093acref978019….001.0001acref- 9780195369380-e-897 terakhir diakses tanggal 3 Februari 2015 legislasi sendiri, salah satunya karena ketentuan legislatif secara langsung melanggar konvensi, atau karena ada celah dalam peraturan dalam negeri tersebut. Kedua, bila pelanggaran yang dihasilkan dari praktek pengadilan nasional, yang mana ditafsirkan merupakan ketentuan legislasi yang melanggar Konvensi, perubahan dalam yurisprudensi pengadilan dalam negeri dapat menjadi jalan yang tepat menjamin ditaatinya putusan. Ketiga, langkah yang berhubungan dengan kekuasaan tertentu dan publik dalam arti luas harus terbukti efisien untuk mencegah pelanggaran di masa depan. Dalam rangka mengikuti rekomendasi 192 dan resolusi 193 192 Committee of Ministers of the Council of Europe, Recommendation on the publication and dissemination in the member states of the text of the ECHR and of the case-law of the ECtHR Komite Menteri dalam hal publikasi dan penyebaran putusan pengadilan, Negara didorong untuk menjamin bahwa suatu kasus hukum pengadilan yang berkaitan, dapat tersebar dengan cepat dan luas dalam bahasa Negara dengan materi yang sesuai dan tersebar kepada lembaga-lembaga umum dengan catatan penjelasan bila diperlukan. Lebih jauh lagi, Komite Menteri mendorong Negara untuk menerapkan Konvensi dan kasus hukum ECtHR tersebut dalam Hukum dan pelajaran Ilmu Politik sebagaimana profesi-profesi penegakan hukum di Negara tersebut. Karena hal itu, Negara harus melakukan semacam seminar pelatihan secara umum atas Konvensi. Terakhir, langkah praktik dapat termasuk penetapan 193 Committee of Ministers of the Council of Europe, Resolution on the publication and dissemination of the case-law of the ECtHR, Res200258, dikutip dari https:wcd.coe.intViewDoc.jsp?id=331589BackColorInternet=9999CCBackColorIntranet=FFB B55BackColorLogged=FFAC75 diakses tanggal 18 Januari 2015 penambahan hakim, bangunan tahanan yang baru dimana memiliki anggaran yang telah diatur, atau dialog politik antara kedua Negara pada putusan yang sama, dapat dijadikan solusi. b. Tindakan yang diadopsi Negara yang bukan Pihak dalam Putusan Biasanya, pengadilan mengambil pendekatan kasuistis pada Konvensi dan dengan demikian itu memberikan panduan bagaimana menerapkan putusan. Jadi, hal ini sering menjadi kesulitan bagi Negara ketiga untuk menarik kesimpulan umum. Meskipun demikian, dikarenakan Pasal 46 paragraf 1, putusan hanya mengikat atas Negara Termohon, Negara ketiga terkadang harus membuat kesimpulan sendiri dari putusan yang penting dari Pengadilan, untuk melindungi hak-hak dalam Konvensi. Lebih jauh lagi, Negara-negara tersebut dapat mengamandemen legislasi mereka sendiri, dan dengan demikian memberikan efek erga omnes pada suatu kasus hukum pengadilan. Misalnya, Perancis baru-baru ini mengamandemen undang-undang pidana perihal hak yang dijamin untuk terdakwa pada tahanan polisi dan khususnya atas aksesnya kepada pengacara untuk mematuhi syarat dari Pasal 6 sebagaimana ditafsirkan Pengadilan pada suatu kasus hukum dimana Perancis bukan merupakan pihak dalam kasus tersebut. 194 Meskipun demikian, efek erga omnes pada putusan Pengadilan adalah terbatas oleh fakta bahwa Pengadilan mengatur satu Negara tertentu untuk mengambil tindakan pada suatu keadaan tertentu. Misalnya ketentuan baru 194 Déborah Forst, op.cit, hlm. 10 tentang undang-undang pidana di Perancis seperti yang telah didiskusikan diatas, ECtHR dalam hal ini dapat mengumumkan apakah prosedur baru itu mematuhi syarat yang ditetapkan Konvensi atau tidak. c. Pengaturan Kelembagaan dalam Negara untuk Melaksanakan Putusan Pengadilan Pada kenyataannya, Negara harus mengadopsi bermacam solusi sembari beberapa diantara mereka mengangkat peran badan pemerintah tertinggi atau resmi Italia dan Austria yang lain menumpukan tugas ini pada Kementrian Peradilan atau Lembaga Pemilih Inggris dan Jerman atau pada Kementrian Luar Negeri Rumania, Turki dan Perancis. Badan legislatif juga diwajibkan untuk menghormati dan melindungi hak-hak Konvensi. Sebenarnya, hal ini telah memperlihatkan implikasi atau dampak kuat pada parlemen nasional dalam proses penerapan putusan yang merugikan juga pendekatan proaktif Negara untuk mencegah potensi terjadinya pelanggaran Konvensi. Banyak kasus juga telah diuji oleh National Human Rights Institutions NHRIs. Beberapa diantara mereka bekerjasama dengan Komite Menteri, dengan mengirim opini apakah Negara telah menerapkan dengan sebaik-baiknya putusan yang mewajibkan pengadopsian tindakan umum, dalam konteks Putusan Perintis Pilot Judgement. Pengadilan dalam negeri juga merupakan sebuah bagian penting. Berkaitan dengan hal ini, beberapa pengadilan konstitusi mengumumkan laporan berkala untuk Pengadilan dalam negeri dengan kesimpulan kasus menyangkut Negara mereka sendiri dan Negara yang lain.

B. Pengawasan terhadap Implementasi Putusan European Court of Human