Yurisdiksi European Court of Human Rights Terkait Implementasi

Posisi Inggris dapat berdampak penting. Jika Inggris mengambil garis negative dan mencoba untuk mendorong melalui putusan yang akan mengenyampingkan otoritas ECtHR, maka aka nada suatu kemungkinan penolakan pada tingkat nasional, yang akan sangat merusak, yang akan meemulai perpecahan sistem dan akan memiliki konsekuensi serius di keseluruhan Eropa. 215

C. Yurisdiksi European Court of Human Rights Terkait Implementasi

Putusannya di Inggris Menurut Hukum Internasional Menurut Boer Mauna, betapapun lengkapnya hukum dari suatu organisasi internasional, namun tidak mungkin dapat memberikan solusi atas semua masalah yuridik yang timbul kemudian. 216 1. Kekuatan Mengikat European Convention on Human Rights terhadap Oleh karena itu perlu dianalisis bagaimana yurisdiksi ECtHR terkait dengan implementasi putusannya di Inggris menurut Hukum Internasional yakni dengan melihat kekuatan mengikat putusan ECHR terhadap Inggris serta legitimasi putusan ECtHR dalam Hukum Inggris Inggris Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional International Court of Justice merumuskan Perjanjian Internasional sebagai salah satu sumber HI. 217 215 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach . op.cit, hlm. 146 “Perjanjian Internasional adalah persetujuan internasional yang mengikat antara Negara-negara dalam bentuk tertulis dan ditentukan oleh HI, baik 216 Boer Mauna, HI: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi kedua, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 484 217 Lihat Pasal 38 1 Statuta Roma International Court of Justice, sumber-sumber HI antara lain : perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dengan instrumen tunggal maupun dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun sebutan khususnya.” 218 Berdasarkkan ketentuan tersebut, ECHR memenuhi kriteria untuk didefini- sikan sebagai perjanjian internasional. Unsur ECHR sebagai perjanjian Internasional dapat dilihat dari ruang lingkup internasionalnya dimana Negara-negara pembentuknya yang tidak hanya satu melainkan berjumlah 47 negara-negara di Benua Eropa, untuk membuat suatu kesepakatan atau konsensus internasional. Konsensus tersebut tercermin dari diadakannya rapat komite pembentuk yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Negara pada tahun 1950 di Roma. ECHR juga disusun dalam bentuk tertulis yang dapat dilihat dalam bagian klausula formal atau setelah pasal-pasal substansial dispositive provision:“done at Rome this 4th day of november 1950, in English and French, both texts being equally authentic, in a single copy which shall remain deposited in the archives of the Council of Europe. The Secretary General shall transmit certified copies to each of the signatories.” Unsur lain adalah suatu Perjanjian Internasional dibentuk dengan instrumen tunggal maupun dua atau lebih instrumen yang terkait dan bagaimanapun sebutan khususnya. Instrumen tambahan bertujuan untuk memperjelas dan menambahkan ketentuan-ketentuan tertentu yang sesuai dengan perkembangan kepentingan internasional. ECHR sendiri telah memiliki instrumen lain yakni 9 Protokol Tambahan dari tahun 1952 sampai dengan tahun 2013. 218 Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Bagian I, Pasal 2 Paragraf 1 a Lebih lanjut, berdasarkan kaidah hukum yang ditimbulkannya perjanjian dapat dibedakan menjadi treaty contract dan law making treaty. Treaty contract tidak memberi kesempatan kepada pihak yang tidak ikut perundingan untuk menjadi peserta perjanjian sedangkan law making treaty adalah perjanjian yang menciptakan kaidah atau prinsip-prinsip hukum yang tidak hanya mengikat pada peserta perjanjian saja, tetapi juga dapat mengikat pada pihak ketiga dan biasanya ditemukan pada perjanjian multilateral yang sifatnya terbuka. 219 Hukum perjanjian internasional merupakan species dari genus yaitu perjanjian pada umumnya sehingga atas isi dan beroperasinya suatu perjanjian internasional juga tunduk pada asas-asas umum perjanjian seperti asas pacta sunt servanda. Asas hukum merupakan suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan kaidah hukum, bersifat umum maupun universal. ECHR sendiri dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang bersifat treaty contract. Perjanjian ini mengikat seperti undang-undang bagi para pihaknya. Adapun prinsip ini terkristalisasi dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian: “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” 220 Asas yang merupakan bagian dari hukum kodrat ini menjadi dasar bagi konsensus. 221 219 Sepriani, op.cit., hlm.29 220 Harry Purwanto, Bagian dari paper untuk tugas mata kuliah Hukum Perjannian Internasioanl pada Program S-3 Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional, hlm. 161, diunduh dari http:download.portalgaruda.orgarticle.php?article=281476val=7175title=Keberadaan20A sas20Pacta20Sunt20Servanda20dalam20Perjanjian20Internasional 221 J.G. Starke, Introduction to International Law, London : Butterword 1989 , hlm.72 Lebih lanjut, sejauh mana para pihak akan menaati isi perjanjian akan terlihat dalam praktik pelaksanaannnya yang tentunya harus didasarkan pada asas itikad baik para pihak. 222 Dengan demikian sebagai dasar daya ikat baik atas HI kebiasaan maupun HI konvensional HI yang berdasarkan perjanjian- perjanjian diletakkan pada norma dasar yang berupa pacta sunt servanda. 223 Mengikatnya perjanjian ini tergantung pada tahap-tahap pembentukan perjanjian itu. Untuk perjanjian yang tidak memerlukan ratifikasi, maka penandatanganan akan menimbulkan akibat hukum yaitu langsung terikatnya Negara penandatangan pada perjanjian tersebut. Namun bila perjanjian mensyaratkan ratifikasi maka Negara akan terikat secara hukum hanya setelah ia meratifikasi. Jika dikaitkan dengan ECHR, dalam Pasal 59 Paragraf 1 ECHR mewajibkan ratifikasi tersebut : “This Convention shall be open to the signature of the members of the Council of Europe. It shall be ratified.” Untuk mengetahui kapan suatu perjanjian berlaku pada umumnya dapat dilihat di bagian klausula formal klausula final, atau setelah pasal-pasal substantif perjanjian internasional tersebut. Dalam hal ini ECHR menetapkan pengaturan mengenai berlakunya perjanjian ini yakni pada Pasal 59 Paragraf 3 menetapkan “The present Convention shall come into force after the deposit of ten instruments of ratification.” karenanya ECHR telah berlaku di Negara- negara penandatangan sejak saat tanggal 3 Septembe 1953. ECtHR memeriksa kasus-kasus individual dan antar Negara melawan Negara pihak pada ECHR. Konvensi ini berbentuk perjanjian yang mengikat 222 Pasal 26 bagian 3 Seksi 1 dari Konvensi Wina 1969 “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” 223 Harry Purwanto, op.cit, hlm.166 terhadap mana, tidak mungkin dihindari, diperkenankannya reservasi- reservasi dan juga diperkenankan menyatakan keberatan atau Denunciation. 224 Reservasi adalah pernyataan sepihak, bagaimanapun frasa atau namanya, yang dibuat oleh Negara, ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau ikut serta pada sebuah perjanjian, cara ini bertujuan untuk pengecualian atau merubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu pada perjanjian dalam hal penerapan pada Negara tersebut. 225 Kenyataannya, tujuan reservasi berdasarkan ECHR adalah tidak banyak memenerangkan kewajiban mana ang suatu Negara terima, melainkan, pertama, untuk mengakomodir dalam menghormati perbedaan kecil antara hukum daerah dan ketentuan dalam konvensi, perbedaan mana sebaliknya dapat menghalangi sebuah Negara dari meratifikasi Konvensi, dan kedua adalah untuk member Negara suatu jangka waktu seteah ratifikasi selama ang mana mereka melanjutkan untuk menerapkan hukum yang sedang berlaku sembari menngamandemen dan memperbaiki mereka untuk membawa mereka sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi. 226 Ketentuan mengenai kemungkinan melakukan reservasi oleh Negara- negara Pihak dicantumkan dalam Pasal 57 ECHR : “Any State may, when signing this Convention or when depositing its instrument of ratification, make a reservation in respect of any particular provision of the Convention to the extent that any law then in force in its territory is not in conformity with the provision. Reservations of a general character shall not be permitted under this Article.” 224 D.W. Bowett, op.cit, hlm 367 225 Vienna Convention on The Law of Treaties, Pasal 2 huruf d 226 R. St. J. Magdonald, Reservation Under The European Convention on Human Rights, diunduh dari http:rbdi.bruylant.bepublicmodelerbdicontentfiles...RBDI201988- 2EtudesMacdonald.pdf, hlm.435 Kenyataannya, Inggris tidak meratifikasi sepenuhnya ketentuan-ketentuan dalam ECHR. Inggris membuat satu reservasi pada Protokol Pertama ECHR yakni berkaitan dengan Pendidikan. 227 “At the time of signing the present First Protocol, I declare that, in view of certain provisions of the Education Acts in the United Kingdom, the principle affirmed in the second sentence of Article 2 is accepted by the United Kingdom only so far as it is compatible with the provision of efficient instruction and training, and the avoidance of unreasonable public expenditure”. Inggris membuat reservasi pada saat penandatanganan, 20 Maret 1952 yakni pada Pasal 2 Protokol 1 dan menyatakan : Pada saat penandatanganan Protokol ini Pertama, saya mengumumkan bahwa, dalam pandangan ketentuan tertentu dari Undang-Undang Pendidikan di Inggris, prinsip yang ditegaskan dalam kalimat kedua Pasal 2 diterima oleh Inggris hanya sejauh itu sesuai dengan ketetuan dari pengajaran dan pelatihan yang efisien dan pencegahan dari pembelanjaan umum yang berlebih 228 Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Hukum Internasional, ECHR memenuhi unsur sebagai perjanjian internasional dan memiliki kekuatan mengikat atas Negara-negara pihak yang telah meratifikasinya. Hal ini juga termasuk mematuhi putusan ECtHR yang merupakan produk perjanjian tersebut berdasarkan Pasal 19. Pengakuan 227 Appendix 1 para 1 European Convention on Human Rights 228 Review of the UK’s Reservations to International Human Rights Treaty Obligations, hlm. 8, diunduh dari https:www.liberty-human-rights.org.uksitesdefaultfilesinterventions- dec-2002.pdf yurisdiksi ECtHR yang diperdebatkan sekarang adalah wajib untuk seluruh pihak pada Konvensi 229 Sehubungan dengan hal tersebut, Inggris adalah salah satu negara pertama yang menandatangani ECHR yakni pada tanggal 4 November 1950 dan menjadi Negara pertama pula yang meratifikasnya yakni pada tanggal 8 Maret 1951 dan ECHR berlaku pada 3 September 1953. termasuk Inggris. 230 Sejak tanggal ratifikasi itulah, Inggris telah terikat menurut HI oleh ketentuan-ketentuan Konvensi. 231 Pada tingkat Eropa, ECtHR dapat mengurusi suatu kasus jika Negara Termohon telah menerima yurisdiksinya. 232 Penting untuk mengingat bahwa setiap Negara memiliki keputusan bebas untuk meratifikasi ECHR dan menjadikannya mengikat oleh standar-standarnya. 233 229 European Court of Human Rights [ECHR], ANNUAL REPORT, 2007, hlm. 11. diunduh dari Berkaitan dengan hal tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa Inggris merupakan Negara yang terikat ECHR dan Protokol Tambahannya dengan konsekuensi harus mengikuti ketentuan-ketentuan dalam ECHR yang terdiri dari hak-hak dan kewajiban Negara yang Terikat, prosedur dan kompetensi pengadilan serta hak-hak asasi manusia yang dijamin di dalamnya. Meskipun demikian, menurut Hukum Internasional terdapat batasan atau pengecualian bagi http:www.echr.coe.int terakhir diakses tanggal 20 Januari 2015 230 Tanggal 5 April 2002 jumlah total ratifikasi atau aksesi ECHR adalah 41 dan jumlah yang tidak diikuti dengan ratifikasi adalah 2 231 Michael P.Furmston, Roger Kerridge, B.E. Sufrin, The Effect on English Domestic Law of Membership of The European Communities and of Ratification of The European Convention on Human Rights, Bristol: BRILL, 1983, hlm.247 232 Human Rights: The European Convention, http:news.bbc.co.uk2hiuk_news948143.stm terakhir diakses tanggal 20 Februari 2015 233 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach . op.cit, hlm.162 ketentuan yang direservasi oleh Inggris yakni Pasal 2 Protokol 1 yang tidak mengikat Inggris untuk melaksanakannya. Oleh karenanya secara teoritis, Inggris juga harus mematuhi putusan ECtHR sesuai Paragraf 1 Pasal 46 “The High Contracting Parties undertake to abide by the final judgment of the Court in any case to which they are parties.” Pasal ini menjadi dasar Negara-negara pihak harus mematuhi putusan akhir ECtHR, termasuk juga Inggris dalam kasus-kasus tersebut oleh karena reservasi Inggris hanya mencakup Pasal 2 Protokol Pertama. Maka menolak putusan ECtHR akan menjadi pelanggaran HI sebagai hasil dari kewajiban Inggris tersebut. 234 2. Legitimasi Putusan European Court of Human Rights dalam Hukum Inggris Negara menjalankan norma HAM untuk mengikuti Negara-negara lain, yang telah menjalankannya, dan mereka melakukannya ketika mereka secara umum mengharapkan untuk menjalankannya. 235 Sebagai hasilnya, komitmen Negara pada norma HAM telah diatribusiakan pada beberapa faktor dan penjelasan yang luas telah dikembalikan pada tingkat dalam negeri. Berdasarkan analisis ini, pembentukan ECHR telah menunjukkan bahwa Negara tertarik dalam membentuk HAM untuk kepentingan poltik di tingkat dalam negeri. 236 234 Ian Mclver, Angus Evans, SPICe Briefing The European Convention on Human Rights in The United Kingdom, 2014, hlm.10 diunduh dari Kaidah hukum yang mengikat atas Negara oleh karenanya berasal dari kebebasan kehendak free will mereka Negara sebagaimana www.scottish.parliament.ukResearchBriefingsAn..pdf tanggal 4 Februari 2015 235 Thomas J.Volgy, et.al., Mapping the New World Order, Chichester: Wiley-Blackwell, 2009, hlm.180 236 Ibid diungkapkan dalam perjanjian atau penggunaan yang secara umum diterima sebagai ungkapan kaidah hukum. 237 Terkait dengan keinginan bebas free will Negara tersebut terhadap HI maka terdapat dua aliran yakni Monisme dan Dualisme. Menurut aliran monoisme HI dan Hukum Nasional merupakan 2 kesatuan hukum dari satu sistem hukum yang lebih besar yaitu hukum pada umumnya. Dalam perkembangannya aliran monisme terpecah menjadi dua yaitu aliran monisme primat HI dan monisme Primat HN. 238 Perancis dan Belanda merupakan negara-negara monisme karena kedudukan hukum internasional dengan jelas diatur di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka. Pasal 55 Konstitusi Perancis 1958 menentukan “Treaties or agreements duly ratified or approved shall upon publication, prevail over Acts of Parliament,...” Selanjutnya, Pasal 94 Konstitusi Belanda Grundwet menyatakan “Statutory legislations in force within the Kingdom shall not be applicable if such application is in conflict with provisions of the treaties that are binding on all persons or resolutions by international organizations.” Ke-monisme-an Negara-negara tersebut terlihat dari adanya pengaturan kedudukan hukum internasional di dalam konstitusi masing-masing negara, yang mana keutamaan diberikan pada hukum internasional. 239 237 Patrick Capps, Malcolm Evans, Stratos Konstadinidis, hlm.xxi 238 Sefriani, op.cit, hlm. 86 239 Wisnu Aryo Dewanto, Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional Di Indonesia, Opinio Juris, Volume 04 Januari - April 2012, diunduh dari http:pustakahpi.kemlu.go.idappOpinio20Juris20Vol204,20Januari- Mei202012_20_34.pdf, hlm.21 Sebaliknya, ada negara-negara yang memang tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi-konstitusi negara mereka karena keutamaan diberikan kepada hukum nasional. 240 Aliran ini sering disebut dengan dualisme. Dualisme mengemukakan bahwa HI dan HN adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda satu dengan yang lain. 241 Negara-negara yang menerapkan aliran ini antara lain dan Inggris. Inggris tidak memiliki konstitusi dalam kaitannya untuk mengatur kekuasaan pemerintahan. 242 Berkaitan dengan perjajjian sebagai sumber HI berbeda di kedua aliran tersebut. Ketika Negara menandatangani perjanjian, mereka biasanya meraih hasil tertentu, neamn menyimpan untuk mereka sendiri hak untuk menentukan cara mana hal ini akan dibawa jika hasil keinginan termasuk sebuah perubahan dari hukum mereka, hukum mereka menentukan apakah akan secara serta merta mengikuti perjanjian direct effect atau legislasi diperlukan. Perjanjian atau ketentuan di dalamnya diterapkan pada sistem hukum dari suatu Negara tanpa Negara tersebut mengadopsi legislasi khusus yang mengatur penerapan perjanjian, perjanjian itu dapat dikatakan efektif secara langsung atau secara langsung dapat diterapkan. Dalam Negara tertentu efek langsung ini dimungkinkan, sedangkan di Negara lain tidak. 243 Sebuah perjanjian secara langsung efektif jika otomatis menjadi bagian dari sistem hukum suatu Negara monisme. Maka doktrin yang digunakan 240 Ibid, 241 Sefriani, op cit, 87 242 Liz Barclay, UK Law and Your Rights for Dummies Chicester: John Wiley and Sons,2006, hlm.8 243 Patrick Capps, Malcolm Evans, Stratos Konstadinidis, op.cit, hlm.75 adalah doktrin inkorporasi doctrine of incorporation yang menyatakan bahwa HI akan berlaku otomatis menjadi bagian dari Hukum Nasional HN tanpa adopsi sebelumnya. 244 Lain hal dengan “efektif yang tidak langsung”, ini tidak diterapkan dalam hukum dalam negeri suatu Negara dualisme tanpa adopsi legislasi untuk membuat ketentuan ini. Adapun doktrin yang digunakan pada aliran ini yakni doktrin transformasi doctrine of transformation menyatakan bahwa HI tidak menjadi HN kecuali atau sampai diimplementasikan dalam HN lebih dulu. HI tidak dapat diterapkan di lingkup dosmetik kecuali jika sudah ditransformasikan dalam sistem HN. 245 Secara khusus, teori transformasi yang didasarkan atas suatu anggapan adanya perbedaan antara traktat-traktat, di satu pihak, dan undang-undang atau peraturan-peraturan nasional di pihak lain. Menurut teori ini, ada perbedaan antara tratat-traktat yang memiliki sifat janji- janji promises dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah commands. Akibat dari perbedaan mendasar ini adalah diperlukannya suatu transformasi dari satu tipe yang lain baik secara formal maupun secara substantif. 246 Menurut Konvensi Montevideo Tahun 1933 : “Sovereignty refers to the bundle of rights and competence which go up to make up the nation state. It is Penerapan teori tersebut berbeda-beda antara Negara yang satu dengan yang lain. Hal ini berkaitan dengan kedaulatan Negara untuk melaksanakan HI itu dalam hukum nasional. 244 John O’Brien, International Law, Great Britain: Cavendish Publishing Limited, 2001 hlm.113 245 Ibid, hlm.114. 246 J.G. Starke, op.cit., hlm. 102 therefore analogous to statehood.” 247 Jika diterjemahkan secara bebas, hal ini berarti kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang- undang dan melaksanakannya dengan semua cara termasuk paksaan yang tersedia. 248 Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan. 249 Hubungan kedaulatan Negara dan penegakan hukum HAM yakni teori ini menyatakan bahwa kedaulatan Negara adalah kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaaan lain yang dimiliki oleh Negara untuk mengakui, memajukan, melindungi dan melaksanakan ketentuan norma HAM di wilayah negaranya dan di yurisdiksinya. 250 Mengenai sumber HI yang berasal dari perjanjian, praktik Inggris membedakan perjanjian tersebut kedalam dua golongan, yaitu perjanjian yang membutuhkan persetujuan parlemen untuk bisa diterima menjadi bagian HN Inggris dan perjanjian yang tidak memerlukan persetujuan parlemen. Perjanjian yang membutuhkan persetujuan parlemen adalah perjanjian yang Berdasarkan hal tersebut, Inggris memiliki wewenang dalam menentukan bagaimana cara penerapan HI di negaranya. 247 Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 29 248 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008 hlm. 54 249 Tien Saefullah, “Hubungan antara Yurisdiksi Universal Dengan Kewajiban Negara Berdasarkan Prinsip Aut Dedere Aut Judicare dikutip dari Tindak Pidana Penerbangan dan Implementasinya di Indonesia” dalam jurnal HI UNPAD, Bagian HI, FH Universitas Padjajaran, Bandung, VolII2002, hlm.42 250 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam HI, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1990, hlm.7 materinya dianggap cukup penting dan prinsip seperti masalah batas-batas wilayah, HAM, hak-hak dan kewajiban warga negara, serta keuangan. Perjanjian-perjanjian ini tidak memberikan akibat hukum di depan pengadilan Inggris sebelum diimplementasikan dalam HN. Perjanjian-perjanjian jenis ini disebut unincorporated treaties. 251 Selain itu perjanjian yang bersifat teknis yang tidak begitu prinsipil dapat otomatis menjadi bagian dari HN Inggris dan disebut incorporated treaties. 252 Berkaitan dengan dasar-dasar pemberlakuan HI dalam hukum nasional Inggris tersebut, Pada kasus Negara dualis seperti Inggris, status perjanjian tergantung pada instrument yang mana ia diberikan dampak hukum. ECHR harus terlebih dahulu diterima dalam hukum nasional Inggris dengan meminta persetujuan parlemen dalam penerapannya. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan substansi perjanjian yang penting yaitu mengenai HAM. Maka dari itu, Inggris melegitimasi putusan ECtHR dalam hukum nasionalnya yakni melalui instrumen hukum dan lembaga sebagai berikut: a. Human Rights Act 1998 Meskipun memiliki kewajiban internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969, selama puluhan tahun, hakim-hakim Inggris dan otoritas publik tidak terikat untuk mengamati permasalahan HAM sebagai masalah di Inggris. Rancangan Undang-Undang HAM baru diperkenalkan kepada Parlemen pada bulan Oktober 1997 dan Human Rights Act HRA disetujui oleh Kerajaan pada November 1998 dan berlaku pada tanggal 2 251 John O’Brien, op.cit, hlm.120 252 I Wayan Parthiana, op.cit, hlm.124 Oktober tahun 2000. Sebelumnya, masyarakat yang terlanggar haknya oleh otoritas Negara, harus mengadukan pelanggaran tersebut ke ECtHR dengan waktu yang panjang dan biaya yang tak jarang mahal. 253 Tujuan dibentuknya HRA adalah untuk memberikan efek lebih jauh pada hukum Inggris terhadap hak-hak dasar dan kebebasan yang tercantum dalam Konvensi. Hal ini memungkinkan individu menyerahkan pada Pengadilan Inggris urusan perbaikan pelanggaran hak-hak dalam Konvensi, tanpa perlu pergi ke Strasbourg. Semua badan publik seperti Pengadilan, Kepolisian. Pemerintah Daerah, Rumah Sakit, Sekolah Umum dan badan lain yang membawa fungsi publik harus mematuhi hak- hak dalam Konvensi. Hal ini berarti antara lain, individu dapat mengajukan kasus HAM pada Pengadilan dalam Negeri. 254 HRA melengkapi HAM yang terkandung dalam ECHR menjadi bagian dari hukum Inggris dalam tiga cara yakni : 1 Semua hukum Inggris harus ditafsirkan, sedapat mungkin, dengan jalan bahwa itu sesuai dengan hak-hak dalam HRA. 2 Jika sebuah UU dari Parlemen melanggar hak-hak ini, Pengadilan dapat mengumumkan legislasi tersebut tidak sesuai dengan hak-hak tersebut. ini tidak berdampak pada validitas hukum –HRA memelihara kedaulatan parlemen dan menyerahkan pada Parlemen untuk memutuskan apakah akan mengamandemen hukum atau tidak. 253 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit, hlm. 21 254 The Human Rights Act, http:www.equalityhumanrights.comyour-rightshuman- rightswhat-are-human-rightshuman-rights-act para 2-3 terakhir diakses tanggal 9 Maret 2015 3 Pemberlakuan hukum terhadap otoritas publik tidak sesuai dengan HAM kecuali menurut kewajiban dalam undang-undang untuk bertindak demikian dan setiap orang yang mana haknya telah dilanggar dapat membawanya pada proses ECtHR melawan otoritas publik. Selain itu, HRA mempertahankan doktrin kedaulatan parlemen yang telah lama dimana parlemen sendiri yang dapat memutuskan apakah akan membatalkan atau mengamandemen suatu legislasi. Hal ini sangat kontras pada European Communities Act 1972, yang mana mengizinkan Hukum Inggris untuk dikesampingkan jika terjadi konflik dengan langsung melaksanakan hukum EU, tidak seperti CoE. Adapun hal-hal yang diatur dalam HRA antara lain : 1 Penafsiran Legislasi Berdasarkan Bagian 3 HRA, Hukum Inggris harus ditafsirkan sedapat mungkin untuk melakukan sesuatu dengan cara yang sesuai dengan hak- hak dalam Konvensi. Jika UU dari parlemen melanggar hak-hak ini, Pengadilan yang lebih tinggi seperti Pengadilan Tinggi, Court of Appeal atau Supreme Court dapat mengumumkan bahwa legislasi tersebut tidak sesuai dengan hak dalam Konvensi. Ini menimbulkan kekuatan untuk mengizinkan menteri membuat perintah perbaikan untuk mengamandemen legislasi dan mengarahkannya sesuai dengan hak Konvensi. Pernyataan dari ketidaksesuaian tidak berdampak pada validitas, operasi atau penegakkan hukum. Bagian 19 HRA mengatur bahwa untuk pemeriksaan pertama, menteri bertanggungjawab untuk membuat pernyataaan tertulis bahwa dia mempertimbangkan rancangan tersebut sesuai dengan hak-hak konvensi atau tidak dan dapat membuat pernyataan seperti itu yang ditujukan pada parlemen untuk meneruskannya melalui rancangan undang-undang. Hal ini bermaksud untuk menggiatkan menteri dan pelayan sipil untuk mempertimbangkan dampak yang dibawa legislasi HAM tersebut sebelum ia diperkenalkan. Pernyataan ketidaksesuaian ini dapat sering bertindak sebagai pemicu untuk mendorong debat dalam Parlemen tentang ketidkasesuaian rancangan legislasi. Penjelasan yang melengkapi rancangan juga saat ini termasuk informasi rinci karena legislasi dipertimbangkan untuk sesuai dengan HAM. 2 Penafsiran Hak-Hak dalam Konvensi Aspek penting dari HRA adalah bahwa ketika putusan ECtHR mengikat atas Pemerintah Inggris, Pengadilan Inggris tidak berkewajiban dibawah Konvensi untuk memberikan mereka dampak langsung. Bagian 2 HRA mewajibkan bahwa, dalam penfsiran HAM, pengadilan dalam negeri harus menindaklanjuti putusan ECtHR. Hal ini tidak mengikat pengadilan Inggris sebaliknya mewajibkan mereka untuk menindaklanjuati putusan yang relevan, lebih seperti mereka melakukannya dibawah peraturan common law dari penafsiran undang-undang. 255 Sebagaimana tercantum dalam Bagian 2 paragraf 1 berikut : 256 “A court or tribunal determining a question which has arisen in connection with a Convention right must take into account any - a Judgment, decision, declaration or advisory opinion of the European Court of Human Rights, b Opinion of the Commission given in a report adopted under Article 31 of the Convention, c Decision of the Commission in connection with Article 26 or 272 of the Convention, or d Decision of the Committee of Ministers taken under Article 46 of the Convention, whenever made or given, so far as, in the opinion of the court or tribunal, it is relevant to the proceedings in which that question has arisen.” Pasal ini merupakan dasar bagi Inggris untuk menindak lanjuti setiap putusan ECtHR oleh Pengadilan dalam Negeri. Secara khusus di Inggris, pada Bagian 3 1 HRA mensyaratkan legislasi utama dan dibawahnya untuk ditafsirkan, menindak lanjuti putusan ECTHR Bagian 2 dengan jalan yang mana “sejauh mungkin” sesuai dengan hak-hak dalam ECHR. dari paragraf 2 b dan 2 c dari Bagian 3, seseorang dapat infer a contrario bahwa Pengadilan dapat mengumumkan legislasi dibawahnya tidak valid jika itu tidak dapat ditafsirkan secara konsisten dengan ECHR, kecuali legislasi utama menghalangi penghapusan ketidaksesuaian. Dampak HRA telah kerap digambarkan sebagai konstitusional dengan pertimbangan “tekanan politik” pada parlemen untuk mengemandemen hukum yang dihasilkan dari pengumuman ketidakpatuhan yang menjadi masalah ECtHR, sebagaimana tingkat supra legislative dari hak-hak 255 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit, hlm.24 256 United Kingdom, Human Rights Act 1998, Bagian 2, hlm.2 ECHR dalam hukum Inggris yang mengikat Pengadilan untuk menafsirkan bahwa sesuai dengan konvensi atau untuk mengumumkan ketidaksesuaian dengan konvensi. HRA juga menawarkan mekanisme dimana amandemen akan dibuat melalui Perintah Perbaikan. Jika menteri mempertimbangkan bahwa terdapat alasan pemaksaan untuk melakukannya, ia dapat membuat sebuah perintah untuk mengamandemen legislasi dalam perintah untuk menghilangkan ketidaksesuaian yang diakui Pengadilan. Satu-satunya pengecualian adalah penghormatan terhadap perintah yang mendesak, yang mengizinkan perintah sementara. Hal ini bermaksud untuk menjamin bahwa pelanggaran HAM yang jelas dapat diuraikan dengan cepat, daripada menunggu untuk langkah legislasi yang sering dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan. 257 b. The Joint Committee on Human Rights JCHR Dasar pembentukan lembaga ini adalah untuk menawarkan cara dimana perannya dapat meningkatkan hubungan dengan implementasi putusan ECtHR. JCHR bertugas untuk mempertimbangkan : 1 Permasalahan berkaitan dengan HAM di Inggris namun tidak termasuk pertimbangan kasus individual 2 Proposal untuk perintah perbaikan, rancangan perintah perbaikan dan perintah perbaikan yang dibuat berdasarkan HRA 257 How the Human Rights Act works, https:www.liberty-human-rights.org.ukhuman- rightswhat-are-human-rightshuman-rights-acthow-human-rights-act-works, para.17, terakhir diakses tanggal 9 Februari 2015 3 Dengan menghormati rancangan perintah perbaikan dan perintah perbaikan, baik perhatian yang khusus dari pengadilan dalam negeri harus diputuskan pada mereka pada hal-hal tertentu berdasarkan HC Standing Order No. 151 Anggaran Dasar dari JCHR. Tugas dari JCHR adalah untuk mempertimbangkan permasalahan dalam Inggris, dengan meneliti rancangan legislasi untuk mempertimbangkan apakah legislasi tersebut sesuai dengan HAM. Hal ini juga mengambil alih kewajiban tertentu pada permasalahan yang berkaitan dengan HAM dan membuat rekomendasi pada Parlemen. Parlemen sangat berperan dalam pengimplementasian putusan ECtHR. Pengamatan Parlemen yang efektif menjadi persoalan yang muncul dalam konsep legislasi dan implementasi dari putusan ECtHR yang mana dapat mempengaruhi putusan ECtHR berikutnya. Dalam hal ini, JCHR memainkan peranan yang signifikan dalam menjamin pengamatan oleh ECtHR dengan menawarkan jalan peningkatan proses implementasi putusan ECtHR di Inggris. JCHR juga melihat tanggapan Pemerintah pada putusan yang berkaitan dengan HAM dan pemeriksaaan pada setiap perintah perbaikan yang mengamandemen legislasi dalam tanggapan pada putusan ini. JCHR berperan penting dalam meneliti legislasi dalam menjamin terdapat transparansi yang besar dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Mengingat di Inggris, Parlemen memegang peranan aktif dalam implementasi putusan ECtHR, khususnya melalui JCHR, telah menciptakan dorongan dari CoE untuk mengembangkan keterlibatan parlemen dalam proses tersebut. Hal ini disebabkan karena parlemen tidak diarahkan bagaimana mengimplementasikan putusan tersebut. Dalam membahas permasalahan dimana Pengadilan Inggris Supreme Court atau House of Lord dan ECtHR sebagai Pengadilan Internasional memiliki pandangan yang berbeda dan atas dasar kedaulatan Negara Inggris menolak untuk memberlakukan putusan ECtHR tersebut, J.G. Starke berpendapat bahwa Pengadilan Nasional yang tunduk pada hukum nasional, dengan sendirinya bertindak secara bertentangan dengan HI, dan sebagai sebuah organ Negara, pihaknya akan memikul tanggung jawab internasional, suatu Negara responden termohon tidak dapat mengemukakan alasan bahwa hukum nasionalnya bukan hanya konstitusinya memuat kaidah-kaidah yang bertentangan dengan HI, juga negara itu tidak dapat menyatakan ketiadaan absence suatu ketentuan legislatif atau suatu kaidah hukum intern sebagai pembelaan diri terhadap dakwaan bahwa pihaknya telah melanggar HI. 258 “Berkenaan dengan cara pembentukan hukum nasionalnya, Negara menurut HI memiliki kebebasan penuh untuk bertindak, dan hukum nasionalnya merupakan persoalan diplomatik di mana Negara lain tidak berhak untuk mencampurinya, dengan ketentuan bahwa hukum nasional tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mengefektifkan semua kewajiban internasional Negara tersebut” hal ini dinyatakan secara tepat dalam perkara Finnish Ship Arbitration : Agar suatu putusan menjadi relevan secara hukum, atau dengan kata lain agar mempunyai pengaruh sebagai pengendalian sosial, maka putusan tersebut harus diterima oleh para pihak untuk memecahkan persengketaan 258 J.G. Starke, op.cit, hlm. 114 di antara mereka terhadap situasi yang ditimbulkan oleh bentrokan kepentingan di antara mereka. 259 Sebagaimana pendapat Mc Nair : “if fully sovereign state possess a treaty power when acting alone, it is not suprising to find the same power attribute to an international organization which they have created from the members of which usually sovereign states.” 260 Pada Negara-negara “dualis” seperti Inggris, status dari sebuah perjanjian Internasional tergantung pada instrumen yang mana ia diberikan akibat hukum. Jika kalimat dalam perjanjian adalah terinkorporasi pada sebuah undang-undang, bukan perjanjian yang diterapkan. Jika terdapat konflik dari ketentuan hukum lain, konflik bukan diantara perjanjian dan ketentuan lain, namun diantara undang-undang dan ketentuan yang lainnya. Kaidah kebiasaan menentukan yang mana yang berlaku. Jika dilain sisi, undang-undang mengatakan bahwa perjanjian memiliki paksaan hukum, hal itu sama dengan mengatakan bahwa perjanjian itu sendiri yang diterapkan. Meskipun demikian, itu diterapkan hanya karena undang-undang itu mengatakan hal tersebut; secara konsekuen, undang- undang dari perjanjian adalah sama dengan undang-undang itu. 261 Dari analisis yang telah dijabarkan di atas, maka ECtHR tetap memiliki yurisdiksi terkait implementasi putusannya di Inggris yakni 259 Bohannan, 1980 hlm. 24-42, dikutip dari Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory dan Teori Peradilan Judicialprudence Termasuk Interpretasi Undang-Undang Legisprudence, Vol.1, Jakarta:Prenada Media Group, 2012, hlm.46 260 Mc Nair, The Law of Treaties, Oxford: The Claredon Press, 1961, hlm. 50 261 Patrick Capps, Malcolm Evans, Stratos Konstadinidis, op.cit, hlm 77 melalui putusannya yang dapat berupa pelaksanaan penebusan setimpal, petunjuk kemungkinan pelaksanaan dalam putusan, putusan kedua dari permasalahan yang sama, serta Pilot-Judgment Procedure atau Putusan Perintis., namun dalam penerapannya tetap tergantung pada kebijakan dalam negeri berdasarkan kedaulatan negaranya dimana ECHR diakui sebagai bentuk unincorporated treaties terhadap hukum Inggris. Putusan ECtHR juga meninggalkan sejumlah diskresi pada Negara berkaitan dengan bagaimana Negara mengamandemen hukum, kebijakan dan prkatik dalam kewajibannya sesuai dengan prinsip subsidiaritas. JCHR telah mengungkapkan bahwa dampak mengikat putusan ECtHR pada Negara-negara yang terikat adalah dibatasi praktik oleh Negara itu dengan mengambil pendekatan pasif yang esensial untuk mematuhi Konvensi. Jadi dimana perjanjian internasional diterapkan dalam sistem hukum salah satu pihaknya, masalah mengenai apakah kewajiban perjanjian mengesampingkan hukum nasional, harus ditentukan oleh hukum Negara tersebut. 262 Rezim HAM dipercayai dapat menggiring pada peningkatan yang baik dari traktat-traktat perlindungan HAM, terutama karena Negara yang telah meratifikasi traktat-traktat HAM individual dapat menyelenggarakannya secara bertanggungjawab, walaupun diterapkan secara tidak langsung : oleh moral atau tekanan material, melalui bantuan luar negeri atau melalui 262 Patrick Capps, Malcolm Evans, Stratos Konstadinidis, op.cit, hlm.76-77 tindakan dari organisasi non-pemerintah, daripada oleh penegakkan terhadap mekanisme traktat tersebut. 263 Proses implementasi putusan ECtHR harus disadari merupakan proses politik yang dipaksa dengan kewajiban hukum untuk menghentikan pelanggaran, menyediakan perbaikan untuk masalah perseorangan dan mencegah pelanggaran baru yang sama. 264 Keputusan untuk tidak mematuhi atau menunda pematuhan terhadap putusan pengadilan akan termasuk ke dalam elemen reputasi politik internasional atau negosiasi daripada murni permasalahan hukum. Jadi, implementasi adalah proses politik disamping proses hukum. 265 Merupakan sebuah konsekuensi bahwa rezim HAM memiliki prosedur pembuatan keputusan yang lemah tanpa kekuatan untuk mempengaruhi kedaulatan Negara dalam cara yang signifikan. Hal ini, berbeda dengan di dalam negeri dimana pengadilan lebih rendah terikat pada putusan pengadilan yang berkuasa dimana suatu putusan itu akan diterapkan untuk memberlakukan hal yang sama. Bagaimanapun juga, dalam HI, tidak ada mekanisme semacam itu. 266 263 Thomas J.Volgy, et.al, op.cit, hlm. 182 264 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit.hlm.151 265 Ibid, hlm.146 266 Andrew T Guzman, Timothy Meyer, International Soft Law August 4, 2010. The Journal of Legal Analysis, Vol. 2, No. 1, Spring 2011; UC Berkeley Public Law Research Paper No. 1353444. Diunduh dari http:ssrn.comabstract=1353444 terakhir diakses tanggal 4 Maret 2015 hlm. 36 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan