Yurisdiksi European Court of Human Rights Menurut European

perorangan maupun antar negara, jika tidak ada keputusan yang diambil oleh hakim tunggal. Selain itu dapat pula dilihat kewenangan dalam memproses pada pokok perkara merits menurut Pasal 29. 3. Grand Chamber Dalam Paragraf 2 Pasal 26, Grand Chamber terbentuk dari 17 hakim : Presiden-Presiden Pengadilan dan Wakil-Wakil Presiden, seksi Presiden dan hakim nasional, bersama-sama dengan hakim-hakim. Kewenangan Grand Chamber tercantum dalam Pasal 31 ECHR, antara lain adalah mempertimbangkan permohonan berdasarkan Pasal 33 dan 34 ECHR, memutuskan permasalahan yang diajukan pada ECtHR dari Komite Menteri berdasarkan Paragraf 4 Pasal 46, serta mempertimbangkan permintaan advisory opinion. Selain itu menurut Pasal 43 dalam waktu 3 bulan dari putusan Chamber, para pihak boleh meminta kasus untuk diserahkan kepada Grand Chamber dalam kasus tertentu dan Grand Chamber harus menetapkan cara putusan bila suatu kasus dapat berpengaruh pada penafsiran ataupun penerapan dari Konvensi atau Protokol tambahan atau masalah lain yang menyangkut kepentingan umum.

C. Yurisdiksi European Court of Human Rights Menurut European

Convention on Human Rights Pada umumnya yurisdiksi diturunkan dari statuta, instrumen atau compromis yang mana membentuk pengadilan dan instrumen subsidiaritas yang berasal dari sumber-sumber tersebut. 139 1. Yurisdiksi Penerapan Konvensi Application Begitu pula pada ECtHR dimana pengaturan yang jelas mengenai yurisdiksi ECtHR tercantum dalam Pasal 32 ECHR : “The jurisdiction of the Court shall extend to all matters concerning the interpretation and application of the Convention and the Protocols thereto which are referred to it as provided in Articles 33, 34, 46 and 47.” semua hal yang menyangkut penafsiran dan penerapan Konvensi dan Protokol yang di ditujukan padanya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33, 34, 46 dan 47 ECHR. Yurisdiksi tersebut dapat dielaborasikan sebagai berikut : Instrumen HI yang bersifat normatif harus diaplikasikan, termasuk juga hak-hak yang dijamin ECHR. Aplikasi atau penerapan hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 33 dan 34 ECHR. Yurisdiksi ECHR dalam hal aplikasi atau penerapan konvensi adalah cara atau prosedur dalam pengaplikasian konvensi tersebut oleh ECtHR. Kewenangan ini dapat dibagi berdasarkan jenis permohonan yakni permohonan antar-Negara dan perseorangan. a. Individual Application Permohonan Perseorangan Sebagai subjek hukum sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, individu atau perorangan memiliki derajat yang sama di hadapan hukum tanpa memandang asal usul, agama atau kepercayaan, ras tau etnis, maupun jenis kelamin. Padanya juga melekat hak-hak asasi manusia yang dewasa ini, khususnya pada negara hukum modern, sangat diatur, dilindungi serta dijunjung tinggi. Badan hukum merupakan suatu 139 Chittharanjan F. Amerasinghe, Jurisdiction of Specific International Tribunals, Leiden: Koninklijke Brill NV, 2009, hlm. 7 konstruksi yurisdis yang dapat menunjukkan eksistensinya dalam berbagai bidang kegiatan. 140 Berkaitan dengan hal tersebut, mekanisme permohonan perseorangan terhadap pelanggaran konvensi diperbolehkan. Ketentuan permohonan perseorangan yang terdapat dalam Pasal 34 mengamanatkan adanya yurisdiksi terhadap permohonan yang dapat diajukan oleh perseorangan. “The Court may receive applications from any person, nongovernmental organisation or group of perseorangans claiming to be the victim of a violation by one of the High Contracting Parties of the rights set forth in the Convention or the Protocols thereto. The High Contracting Parties undertake not to hinder in any way the effective exercise of this right.” Pengaduan yang didasarkan pada Pasal 34 dapat diajukan oleh seseorang, organisasi non-pemerintah ataupun kelompok orang. 141 Dalam perspektif sejarah, European Commission of Human Rights telah menerima permohonan perseorangan ini dari tanggal 5 Juli 1955, ketika syarat jumlah Negara-negara setidaknya Negara telah bergabung di dalamnya, dan Pengadilan telah dibuka untuk menjalankan fungsinya pada tahun 1959. 142 Mengenai tahap pertama dalam permohonan kepada ECtHR adalah admissibility yang dilakukan oleh Hakim Tunggal Single-Judge. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menyatakan suatu kasus menjadi admissible dapat diterima antara lain jika : 140 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 118 141 Javaid Rehman,op.cit, hlm.160 142 Steven Greer, op.cit, hlm.33 1 Ratione Materiae Dalam kompetensi ini, perseorangan tidak dapat mengajukan pengaduan terhadap pelanggaran hak-hak yang tidak terkandung dalam Konvensi. Biarpun terdapat keinginan yang kuat dalam suatu permasalahan tertentu atau betapapun seriusnya sifat pelanggaran HAM tersebut, individu tidak dapat bergantung pada hak-hak yang tidak terkandung dalam Konvensi dan Protokol-Protokolnya. Sebagai contoh, individu tidak dapat mengadukan pelanggaran dari hak-hak seperti hak untuk pensiun, keamanan sosial, nasionalitas atau suaka politik politic asylum. Bagaimanapun juga, hak-hak dalam Konvensi terkadang telah diberikan arti yang luas dan diterapkan di berbagai keadaaan. Misalnya, ketika tidak ada hak suaka politik dan kebebasan dari pengusiran atau ekstradisi hak yang terkandung dalam ECHR, pemohon telah dapat menggunakan Pasal 3 yang melindungi hak larangan penyiksaan, yang dalam kasus ini dapat diasumsikan jika di Negara asalnya, seorang tersebut telah menerima atau memiliki kemungkinan menerima penyiksaan tertentu. 2 Ratione Personae Pembatasan ini mengacu pada pembatasan subjek hukum yang dapat mengajukan pengaduan. Pengaduan boleh dibawa oleh perseorangan, organisasi non-pemerintah atau kelompok-kelompok dari perseorangan yang menjadi korban pelanggaran dari Hak-Hak dalam Konvensi 143 “The Court may receive applications from any person, nongovernmental organisation or group of perseorangans claiming to be the victim of a violation by one of the High Contracting Parties of the rights set forth in the Convention or the Protocols thereto. The High Contracting Parties undertake not to hinder in any way the effective exercise of this right.” sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 34 Paragraf 1 ECHR : 3 Ratione Loci Kompetensi ini membatasi kompetensi Pengadilan untuk menganalisis dugaan pelanggaran yang terjadi dalam yurisdiksi Negara tertentu. Pasal 1 dari ECHR menawarkan bahwa Konvensi dapat diterapkan pada setiap orang dalam yurisdiksi Negara yang Terikat. Menurut HI umum, sebuah perjanjian dapat diterapkan pada seluruh teritorial dari Negara penandatangan, termasuk teritorial yang dimilikinya menurut hubungan internasional dari Negara dimana atasnya, ia memiliki tanggung jawab. 144 “Any State may at the time of its ratification or at any time thereafter declare by notification addressed to the Secretary General of the Council of Europe that the present Convention shall, subject to paragraph 4 of this Article, extend to all or any of the territories for whose international relations it is responsible.” Negara dapat melakukan perbuatan hukum dalam yurisdiksi di dalam wilayahnya. Yurisdiksi wilayah ECtHR tercantum dalam Pasal 56 Paragraf 1: Namun, tanggung jawab Negara dapat dilakukan di bawah kekuasaannya, baik ditunjukkan di dalam maupun di luar batas 143 Ibid, hlm.160 144 Vienna Convention on the Law of Treaties, Pasal 29, hlm. 11 wilayah Negara. Dengan kata lain, Negara bertanggungjawab untuk tindakan-tindakan yang terjadi pada wilayahnya hanya diperluas jika itu dilakukan oleh organ-organnya. 145 Negara manapun pada saat yang sama dengan ratifikasinya atau kapanpun setelah diumumkannya pemberitahuan pada Sekretariat Umum dari CoE bahwa konvensi ini harus menjadi subjek paragraf 4 dari Pasal ini, memperluas pada semua atau beberapa wilayah yang menurut hubungan internasional ia memilki tanggung jawab atasnya. Selain itu, yurisdiksi yang dibutuhkan disini tidaklah memiliki arti yang sama dengan teritori atau wilayah, contohnya hal itu dapat termasuk tanggung jawab Negara untuk melakukan tindakan yang ditugaskan pada wakil-wakil atau organ-organnya di luar wilayah mereka. Contohnya tentara suatu Negara yang ditugaskan di Negara lain, maka yurisdiksi mereka adalah sebatas tentara dan markas mereka di Negara tersebut. Hal mengenai wilayah ini lebih lanjut dijabarkan dalam Paragraf 1 dan 2 mengenai penerapan wilayah territorial applications. 4 Ratione temporis. Menggunakan secara umum prinsip yang diterima dalam HI, sebuah perjanjian tidak untuk diterapkan pada fakta atau keadaaan bahwa mereka telah menarik diri, sebelum perjanjian berlaku dan diratifikasi oleh Negara. Penerapan ini juga terdapat dalam ECHR. Komisi telah menetapkan untuk memutuskan penolakan yurisdiksi 145 Javaid Rehman, op.cit, hlm.163 pada pengaduan yang berhubungan dengan keadaan yang sedang berlangsung seperti pelanggaran konvensi yang disebabkan oleh tindakan yang dilakukan pada saat tertentu namun dapat berlanjut oleh karena tindakan yang pokok. Kasus seperti itu terjadi pada warga Belgia yang melakukan pengaduan berkaitan dengan hukuman oleh Pengadilan Belgia untuk pengkhianatan saat Perang Dunia II. Putusan hakim telah diumumkan sebelum Belgia meratifikasi Konvensi, namun keadaan pengaduan penghukuman dalam bentuk pembatasan hak berekspresi- berlanjut setelah konvensi diberlakukan di Belgia. Komisi mengumumkan bahwa pengaduan diterima dan mengatakan bahwa fakta yang muncul belakangan, tampak jelas. 146 5 Kegagalan Upaya dalam Negeri Syarat awal yang harus terpenuhi adalah bahwa ECtHR harus menegaskan apakah permohonan khusus memenuhi kriteria penerimaan. Pengaturan kegagalan pengadilan dalam negeri adalah berdasarkan pengaturan HI umum bahwa Negara harus memiliki kesempatan untuk merubah suatu dugaan pelanggaran. Tugas ini memastikan bahwa terdapat kemungkinan upaya yang cukup dan efektif yang merupakan syarat penting yang sedang dibebankan pada Negara-negara yang Terikat. Hal ini tercantum dalam Pasal 35 Konvensi. Pasal 35 mengatur “The Court may only deal with the matter after all domestic remedies have been exhausted, according to 146 Chittharanjan F. Amerasinghe, op.cit, hlm. 345 the generally recognised rules of international law…” Syarat ini bertujuan untuk mengurangi penumpukan pengaduan. Lebih tepatnya bahwa, pada saat peristiwa pertama, pengadilan dalam negeri diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan pada suatu dugaan pelanggaran. Dengan demikian pemohon diwajibkan untuk mengambil langkah pengaduan pada tingkat nasional. Pemohon harus mengambil semua upaya memadai dan efektif yang memungkinkan dan dapat ditempuh. 147 Pada prinsipnya, pemohon harus mengajukan banding ke Pengadilan tertinggi dari permohonan melawan sebuah keputusan yang tidak adil. Pada Negara-negara dimana terdapat konstitusi tertulis, pemohon harus membawa kasusnya melalui pengadilan konstitusi – sampai pada pengadilan tertinggi dari permohonan. 148 Syarat ini juga sesuai dengan Prinsip Subsidiaritas. Prinsip ini menekankan posisi bahwa sebuah pengaduan pada ECtHR adalah bermaksud untuk menjadi langkah upaya terakhir. 149 Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Protokol 16 ECHR : 150 “Affirming that the High Contracting Parties, in accordance with the principle of subsidiarity, have the primary responsibility to secure the rights and freedoms defined in this Convention and the Protocols thereto…” 147 Ibid hlm.163 148 Ibid, hlm.164 149 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit, hlm 155 150 Council of Europe, Council of Europe Treaty Series - No. 213, Protocol No. 15 amending the Convention on the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 24 Juni 2013 6 Pengaturan Empat Bulan Sebelumnya pengaturan ini berarti bahwa permohonan harus diajukan pada Pengadilan dalam waktu 6 bulan sejak kegagalan upaya dalam negeri domestic remedies. Oleh karenanya, Pengadilan dibatasi untuk menghadapi kasus hanya dalam periode 6 bulan dari tanggal ketika putusan akhir diambil pada tingkat dalam negeri. Namun jangka waktu 6 bulan tersebut mengalami perubahan dalam Protokol 15, menjadi hanya selama 4 bulan. Pengaturan ini akan mencegah kasus lama muncul kembali dalam lembaga penerimaan admissibility. Hal ini tercantum dalam Pasal 35 “The Court may only deal with the matter after all domestic remedies have been exhausted, according to the generally recognised rules of international law, and within a period of four months from the date on which the final decision was taken.” Selain pembatasan-pembatasan di atas, dalam ECHR terdapat batasan lain bagi pengajuan permohonan ini antara lain : 1 Paragraf 2 Pasal 35 ECtHR harus tidak memberlakukan permoho- nan apapun yang masuk berdasarkan Pasal 34 jika : a tanpa nama b secara substansial sama dengan permasalahan yang telah di uji oleh ECtHR atau telah dimasukkan pada prosedur investigasi internasional atau penyelesaian dan tidak mengandung informasi baru yang relevan 2 Paragraf 3 Pasal 35, menjelaskan bahwa Pengadilan harus mengumumkan tidak diterimanya permohonan perseorangan manapun yang dimasukkan berdasarkan Pasal 34 yang mana itu mempertimbangkan tidak ditemukan dalam ketentuan Konvensi atau Protokol tambahan, nyata-nyata melanggar, atau terjadi penyalahgunaan hak mengajukan permohonan. 3 Paragraf 4 Pasal 35, Pengadilan harus menolak permohonan apapun yang mempertimbangkan inadmissibility menurut Pasal ini. Pengadilan akan menolak permohonan jika dasar faktual dari permohonan yang baru adalah sama dengan yang sebelumnya. Atau berdasarkan pertimbangan badan atau lembaga lain. Hal itu tidak masalah jika ada penjelasan hukum baru yang dilibatkan. Tujuan pengaturan ini adalah untuk mencegah penggandaan pemeriksaan oleh lembaga internasional. Permohonan juga akan ditolak jika itu nyata melanggar atau menyalahgunakan hak permohonan. Adapun permohonan akan ditolak jika menyalahgunakan hak permohonan misalnya dengan tujuan penghinaan, menggunakan bahasa yang povokatif, merugikan, atau sekedar propaganda politik. 151 Adapun prosedur permohonan perseorangan dapat di gambarkan melalui skema berikut : 151 Ibid hlm. 165 Skema 1 : Prosedur Permohonan Perseorangan 152 Exhaustion of Domestic Court Proceedings Before The European Court Of Human Rights Admissibility Criteria 152 Sumber skema diunduh dari httpswww.echr.coe.int tanggal 11 Januari 2015 Decision of The Highest Domestic Court Application to The Court 4 Month deadline for Applying to The Court from the final domestic judicial decision Applicant has Suffered a significant disadvantage Complaints to be based on the European Convention Exhaustion of Domestic Remedies Initial Analysis Inadmissibility Decision = Case Conclude Admissibillity Decision Examination of The Admissibility and Merits Judgement Finding No Violation Judgement Finding a Violation Request for Re- Examination of The Case Request Accepted Referral to The Grand Chamber Request Dismissed=Case Conclude Judgement Finding No Violation=Case Conclude Final Judgement Finding a Violation 2. Inter-States Application Permohonan Antar-Negara ECHR tidak memiliki prosedur pelaporan oleh Negara, namun memiliki prosedur permohonan perseorangan dan antar-Negara untuk perbaikan dan pengaduan. 153 Dalam hal ini, Pengadilan pertama-tama mencoba memastikan fakta-fakta dan mempertimbangkan jika syarat admissibility penerimaan telah terpenuhi, yang mana merupakan pemeriksaan yang kurang ketat daripada yang berkaitan dengan permohonan perseorangan Dalam menjalankan fungsi peradilan HAM regional, ECHR mengizinkan Negara-negara untuk mengadukan dugaan adanya pelanggaran terhadap konvensi dan protokol yang dilakukan dalam yurisdiksi Negara- negara Pihak lainnya. Sebagai hasil dari Protokol 11, maka ECtHR memberikan hak kepada Negara-negara Pihak untuk menunjukkan dugaan- dugaan pelanggaran ketentuan dalam konvensi dan protokol tambahannya oleh Negara-negara Pihak lainnya. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 33 ECHR : “Any High Contracting Party may refer to the Court any alleged breach of the provisions of the Convention and the Protocols thereto by another High Contracting Party.” 154 153 Javaid rehman, Ibid, hlm.158 termasuk beberapa dugaan pelanggaran Konvensi, dan tidak ada syarat-syarat seperti “kegagalan upaya dalam Negeri”, untuk menciptakan victim-hood, untuk menyampaikan permohonan dalam 4 bulan sejak putusan final dari Pengadilan dalam Negeri, juga biasanya tidak menghasilkan bukti berkenaan dengan kasus yang lebih dulu terjadi. Lebih jauh lagi, dalam kasus antar-Negara putusan admissibility 154 S. C. Prebensen, Inter-State Complaints under Treaty Provisions : The Experience under the European Convention on Human Rights, Human Rights Law Journal 20, 1999, hlm. 448-449 tidak termasuk pertimbangan pendahuluan dari proses peradilan, juga tidak seperti yang digambarkan saat permohonan dinyatakan inadmissible tidak dapat diterima seperti yang akan terjadi pada permohonan perseorangan jika mereka secara substansial memiliki kasus yang sama dengan yang telah diuji di ECtHR. 155 Peraturan ini juga menunjukkan bahwa kasus antar-Negara tidak menerapkan prinsip pembalasan atau timbal balik. Oleh karena itu suatu Negara tidak akan dilarang untuk mengajukan permohonan kepada Negara lain walaupun telah memberlakukan reservasi 156 pada ketentuan tertentu atau tidak meratifikasi ketentuan pelanggaran yang diduga dari Protokol. 157 Sejak Protokol Nomor 11 berlaku, jika syarat admissibility terpenuhi, Komisi mengundang pihak-pihak untuk mencapai penyelesaian secara damai atau Friendly Settlement yang mana harus dilakukan secara rahasia. Frienini berdasarkan Paragraf 1 Pasal 39 yang berbunyi : Hal ini dapat terjadi dalam permohonan antar-Negara dimana negara pemohon bertindak atas kepentingan perseorangan tertentu atau perseorangan yang terkena dampak dari dugaan yang telah dinyatakan oleh Negara pemohon diluar yurisdiksinya. “At any stage of the proceedings, the Court may place itself at the disposal of the parties concerned with a view to securing a friendly settlement of 155 Ibid. Negara Pemohon harus menghasilkan bukti prima facie pada tahap admissibility ketika dugaan praktek berkenaan dengan pelanggaran konvensi oleh Negara termohon 156 Vienna Convention 1969 on The Law of Treaties, Pasal 2 huruf d. Reservation berarti sebuah pernyataan sepihak, bagaimanapun frasa atau namanya, dibuat oleh Negara ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, mengesahkan, atau menyetujui perjanjian, dengan jalan itu bermaksud untuk pengecualian atau perubahan efek hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian dalam penerapannya pada Negara tersebut. 157 Javaid Rehman, op.cit, hlm. 159 the matter on the basis of respect for human rights as defined in the Convention and the Protocols thereto.” Paragraf dua Pasal ini mengatakan bahwa jika Friendly Settlement tersebut berhasil, maka Pengadilan harus menutup kasusnya dan membuat putusan tentang hal tersebut dan selanjutnya dilimpahkan kepada Komite Menteri untuk melaksanakan putusan tersebut. Jika ini gagal maka persiapan laporan yang menyusun fakta-fakta dan menggambarkan opini yang tidak mengikat tentang apakah konvensi telah dilanggar atau tidak, akan digelar. Jika setelah 3 bulan, kasus tidak diserahkan kepada Pengadilan, masalah tersebut selesai dengan Putusan Mengikat dari Komite Menteri termasuk perwakilan Negara pemohon dan termohon. Hak dalam pengaduan untuk Negara dianggap sebuah karakter dari action popularis 158 dari Negara anggota manapun yang memiliki hak untuk mengajukan pengaduan tentang setiap dugaan pelanggaran konvensi tanpa memperhatikan apakah terdapat hubungan antara hak-hak dan kepentingan dari pemohon dan pelanggaran yang diduga. 159 Dalam penerapannya seperti halnya prosedur antar-Negara yang berdasarkan perjanjian treaty-based, prosedur ini tidak secara luas digunakan, walaupun telah banyak yurisprudensi. Sejumlah alasan dapat diajukan atas ketidakpopuleran prosedur antar-negara ini salah satunya adalah karena dalam praktiknya, hal ini sering dipandang sebagai motif politis dan 158 Menurut HI Publik action popularis adalah sebuah tindakan yang dibawa untuk membuktikan kepentingan bahwa itu adalah kepentingan umum pada komunitas internasional, sebagaimana dipisahkan dari kepentingan pribadi secara khusus dalam Negara yang menghendaki kepada lembaga pemeriksa. Dikutip dari Jonathan Law, A Dictionary of Law, 8 th Ed, Oxford: Oxford University Press, 2015, hlm. 12 159 Chittharanjan F. Amerasinghe, op.cit, hlm.348 menekankan pada ketegangan hubungan atau sebuah hasil dari ketegangan hubungan diantara Negara. Selain itu, hal tersebut tidak dirasa sebagai metode yang paling efisien dalam menyelesaikan sengketa. 160 Adapun contoh- contoh kasus antar-Negara ini adalah kasus Georgia melawan Federasi Rusia yang diputus pada 3 Juni 2014 lalu serta kasus Cyprus melawan Turki yang diputus tanggal 12 Mei 2014. 161 b. Yurisdiksi Penafsiran Interpretation Selain yurisdiksi permohonan, ECtHR memiliki yurisdiksi dalam penafsiran Interpretation Konvensi. Paul Mahoney mengatakan bahwa ”tekstur yang terbuka dari Konvensi meninggalkan kesempatan pada Pengadilan untuk memilih interpretasi: dan melakukan pilihan tersebut, khususnya ketika menghadapi perubahan keadaan dan tingkah laku dalam masyarakat, pengadilan membuat hukum baru.” 162 Sejalan dengan hal tersebut, ketentuan yang paling substantif dari Konvensi dapat meninggalkan ruang untuk penafsiran yang berbeda. Oleh karena itu mereka merupakan sumber diskresi yudisial. Selain itu, Pengadilan memiliki resiko dalam legitimasi yudisial kapanpun mereka meninggalkan interpretasi berdasarkan maksud dari para pembuat Konvensi. 163 160 Javaid Rehman, op.cit, hlm.160 161 Inter-States Application diunduh dari httpswww.echr.coe.int, hlm.2 162 Helfer, Consensus, Coherence and the European Convention on Human Rights, 26 Cornell International Law Journal 1993 135 dikutip dari George Letsas, The Truth in Autonomous Concepts : How to Interprets the ECHR, EJIL 2004, Vol.15 No.2, 279-005 hlm. 280 163 George Letsas, Ibid, hlm.280 Yurisdiksi ini dicantumkan dalam Pasal 28 ECHR yang menyatakan bahwa Komite dapat menyatakan penerimaan dan memberikan putusan pada saat yang bersamaan pada pemeriksaan, jika pertanyaan mendasar terhadap kasus, berkaitan dengan penafsiran atau penerapan Konvensi atau Protokol tambahan, telah menjadi subjek atau telah menjadi kasus hukum Pengadilan. Hal ini berarti ECtHR hanya dapat memberikan interpretasi jika terdapat pertanyaan mendasar mengenai implementasi tersebut. Selanjutnya jika muncul pertanyaan serius mengenai penafsiran Konvensi ataupun resolusi pertanyaan di Chamber dapat menyebabkan inkonsistensi dengan putusan sebelumnya yang disampaikan oleh Pengadilan, maka Chamber boleh menyerahkan yurisdisinya pada Grand Chamber, kapanpun sebelum kasus tersebut diputuskan, kecuali salah satu pihak menolak. Setelahnya dibentuklah 5 hakim Grand Chamber untuk memberikan interpretasi Konvensi atau masalah serius mengenai Kepentingan Umum. Grand Chamber dapat menerima yurisdiksi Chamber dengan syarat adanya kasus tertunda yang memunculkan pertanyaan mengenai penafsiran Konvensi atau Protokol Tambahan atau ketika resolusi pertanyaan Chamber dapat menghasilkan ketidakkonsistenan dengan putusan sebelumnya yang disampaikan oleh Pengadilan. Ketentuan ini dapat dilihat dari Pasal 30 Paragraf 1 : “Where a case pending before a Chamber raises a serious question affecting the interpretation of the Convention or the Protocols thereto, or where the resolution of a question before the Chamber might have a result inconsistent with a judgment previously delivered by the Court, the Chamber may, at any time before it has rendered its judgment, relinquish jurisdiction in favour of the Grand Chamber, unless one of the parties to the case objects.” Alasan mengenai pentingnya penafsiran ini adalah banyaknya hak-hak dalam Konvensi yang diungkapkan dalam istilah yang abstrak dan universal, namun belum begitu jelas terdapat penafsiran yang benar mengenai bagaimana hal tersebut dapat diartikan di setiap waktu yang relevan, dan dalam tempat yang relevan. Tugas penafsiran untuk hakim bersifat konseptual dan konsitusional. Konseptual berarti bahwa penafsiran Konvensi termasuk mendefinisikan arti dari hak-hak dalam Konvensi dan bagaimana mereka terhubung satu sama lain dan pada kepentingan umum yang mana mereka terbatas, dengan jelas dan lengkap. Bersifat konstitusional berarti penafsiran Konvensi termasuk mendefinisikan arti Konvensi itu sendiri dengan lengkapnya menganjurkan bahwa kedua proses ini dan hasilnya harus sama baik di tingkat transnasional maupun tingkat nasional. 164 Prinsip yang digunakan dalam penafsiran konvensi ini adalah interpretasi yang berkembang. Prinsip interpretasi yang berkembang ini diperoleh dari fakta bahwa Konvensi dipandang sebagai living instrument yang harus dapat beradaptasi pada realita dan sikap baru daripada hanya standar yang tetap. 165 Pengadilan melakukan interpretasi terhadap Konvensi dalam kondisi informasi masa kini dan norma sosial, daripada terbebani pada maksud dari pembuat Kovensi 60 tahun lalu. 166 164 Steven Greer, op,cit, hlm.354 Contohnya adalah, Pengadilan mengatakan bahwa 165 Marie-Be´ Ne´ Dicte Dembour, Who Believes in Human Rights? Reflections on the European Convention, Cambridge: Cambridge University Press, 2006, hlm.21 166 Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit, hlm 18 Pasal 1 ECHR harus dipertimbangkan untuk mencerminkan sifat esensial dari wilayah atau konsep yurisdiksi teritori dalam HI publik. 167 c. Yurisdiksi Pendapat Nasihat Advisory Opinion Selain melalui putusannya, Pengadilan memiliki yurisdiksi dalam memberikan pendapat nasihat. Dalam teori, pendapat nasihat bersifat otoritatif namun biasanya merupakan pernyataan yang tidak mengikat atau merupakan penafsiran dari HI oleh sebuah pengadilan internasional atau badan arbitrasi 168 Secara keseluruhan, pendapat nasihat dapat dikatakan sebagai “soft law” atau hukum yang lunak karena tidak mengikat. Ketiadaaan kewajiban mengikat membuat pendapat nasihat harus lebih ditingkatkan, namun tidak memaksa Negara untuk bertindak dalam sikap tertentu. Dalam ECHR sifat dasar adivisory opinion ini tampak pada Pasal 5 yakni hal ini tidak bersifat mengikat “advisory opinion shall not be binding.” Adapun untuk misalnya ICJ International Court of Justice dan ITLOS International Tribunal on The Law of The Sea. Oleh karena pendapat nasihat tidak mengikat Negara, badan internasional dalam menerbitkan pendapat yang berkaitan dengan urusan dalam negeri suatu Negara dapat melakukannya tanpa memperoleh izin Negara. Dalam teori mereka juga tidak saling bertentangan karena Negara bukan merupakan pihak dan tidak harus membela diri mereka melawan dakwaan formil. 167 Patrick Capps, Malcolm Evans, Stratos Konstadinidis, op.cit, hlm. 166 168 Penafsiran dari Peace Treaties dengan Bulgaria, Hungary, and Romania, Advisory Opinion, 1950 I.C.J., dikutip dari Julie C. Schmid, Advisory Opinions on Human Rights: Moving Beyond a Pyrrhic Victory, 16 Duke Journal of Comparative International Law hlm. 415 2006 diunduh dari http:scholarship.law.duke.edudjcilvol16iss24 tanggal 2 Februari 2015 melaksanakannya, ECHR diwakili oleh komponen terbesarnya yakni Grand Chamber. Pasal 31 huruf c ECHR memberikan kewenangan tambahan pada Grand Chamber yaitu “consider requests for advisory opinion submitted under Article 47.” Pasal 47 Paragraf 1 berisi ketentuan batasan keadaan kapan Pengadilan dapat memberikan pendapat nasihat yaitu, terlebih dahulu atas permintaan Komite Menteri. Pengadilan memiliki yurisdiksi untuk memberikan pendapat nasihat pada pertanyaan hukum yang berkaitan dengan penafsiran Konvensi dan Protokol tambahan. Tujuan dari prosedur ini adalah memfasilitasi penerapan konvensi oleh Pengadilan nasional ketika kasus hukum ECtHR tidak berhubungan dengan mereka, atau ketika masalah tersebut belum pernah sampai pada ECtHR. Syarat lain yakni terdapat dalam Paragraf 2 yang menyatakan bahwa Pendapat tersebut harus tidak berhubungan dengan pertanyaan apapun yang berkaitan dengan konten atau ruang lingkup hak-hak dan kebebasan yang ditetapkan pada Bagian I Konvensi dan Protokol Tambahan, atau dengan pertanyaan lain yang mana pengadilan atau Komite Menteri dapat mempertimbangkan mengenai konsekuensi dari proses semacamnya yang kemudian dapat diadakan penyesuaian dengan konvensi. Paragraf 3 memberi batasan bahwa keputusan Komite Menteri untuk meminta pendapat nasihat kepada ECtHR harus mewajibkan mayortias suara dari perwakilan yang berhak duduk di Komite tersebut, jika tidak, maka permintaan pendapat nasihat tidak akan dibentuk. ECtHR harus mempertimbangkan hal-hal tersebut sebagai syarat untuk melakukan pendapat nasihat sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 48 ECHR : “The Court shall decide whether a request for an advisory opinion submitted by the Committee of Ministers is within its competence as defined in Article 47.” Hal ini akan membuat Pengadilan mengatur pokok-pokok hukum dengan jalan yang lebih umum daripada ketika Pengadilan menerbitkan sebuah putusan yang diberikan, dan hal itu hanya untuk kasus hukum yang sistematis dan rasional. 169 Pendapat nasihat tidak akan berlaku mengikat Negara, namun ini diharapkan agar selanjutnya menjadi opini sebagai bentuk bagian dari yurisprudensi Pengadilan, dimana opini akan memiliki otoritas res interpretata. 170 Pasal 1 mengatakan bahwa Pengadilan tertinggi atau tribunal dari Negara- Negara Pihak, khususnya menurut Pasal 10 dari Protokol 16, dapat meminta Pengadilan memberikan pendapat nasihat pada pertanyaan prinsipil yang berkaitan dengan penafsiran atau pengaduan hak-hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Konvensi dan Protokolnya. Pasal 10 menyatakan bahwa dengan adanya kewenangan ini maka Negara-negara anggota harus menunjuk pengadilan atau tribunalnya untuk berkomunikasi langsung dengan ECtHR. Sasaran dari prosedur ini adalah memfasilitasi penerapan Konvensi oleh Pengadilan nasional ketika kasus hukum ECtHR tidak jelas atau ketika permasalahan tersebut belum pernah diajukan kepada ECtHR. 169 Nicholas A. J. Croquet, The European Court of Human Rights Norm-Creation And Norm-Limiting Processes: Resolving A Normative Tension, 2 nd Ed, 17 Columbia Journal of European Law 2011 hlm. 370. 170 Draft explanatory report to Protocol No. 16’, DH-GDR 2013R3 Addendum I n 318, para.27 Hal ini bertujuan untuk menegakkan dialog lebih jauh lagi antara Pengadilan dan sistem yudisial dalam negeri. 171 Setelah pendapat nasihat ditetapkan, maka peran terakhir ECtHR adalah harus menyampaikan hasilnya pada pengadilan atau tribunal yang meminta dan harus mempublikasikannya untuk kepentingan transparansi publik. 171 Committee of Ministers of the Council of Europe, Steering Committee for Human Rights, Committee of experts on the reform of the Court, ‘Draft explanatory report to Protocol No. 16’, DH-GDR2013 R3 Addendum I, para 15, dikutip dari http:www.coe.inttdghlstandardsettingcddhreformechrDHGDR_en.asp, terahir diakses tanggal 15 Februari 2015 BAB III IMPLEMENTASI PUTUSAN EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS PADA NEGARA-NEGARA ANGGOTA

A. Bentuk-Bentuk Umum Implementasi Putusan European Court of Human