BAB IV YURISDIKSI
EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS TERKAIT IMPLEMENTASI PUTUSANNYA DI INGGRIS MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL
A. Bentuk-Bentuk Yurisdiksi Europen Court of Human Rights terkait Imple-
mentasi Putusannya di Inggris
Berdasarkan Paragraf 2 Pasal 46, Komite Menteri adalah organ CoE yang bertanggung jawab dalam pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan.
198
Manifestasi dari suatu hukum harus mempunyai bentuk suatu putusan.
199
Putusan pengadilan adalah produk hukum pengadilan, termasuk ECtHR. Putusan
pengadilan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional disebutkan sebagai sumber hukum tambahan subsidiary bagi sumber-sumber hukum diatasnya
200
Seperti yang telah dibahas di atas, ECtHR memiliki yurisdiksi atas Inggris dan dalam hal ini, ECtHR mengambil peran terkait pelaksanaan putusannya melalui
putusannya sendiri yang dapat berbentuk : pelaksanaan penebusan setimpal, petunjuk kemungkinan langkah pelaksanaan dalam putusan, putusan kedua dari
permasalahan yang sama, dan Pilot-Judgment Procedure atau Putusan Perintis. oleh karena sumber hukum ini tidak dapat berdiri sendiri sebagai dasar putusan
yang diambil oleh hakim.
198
Déborah Forst, The Execution of Judgments of the European Court of Human Rights :Limits and Ways Ahead, ICL Journal Verlag Österreich vol.7, hlm. 3, diunduh dari
https:www.icl-journal.comdownloadf1527ce403500a9ec58b82ICL_Thesis_Vol_7_3_13.pdf hlm.17
199
Achmad Ali, op.cit, hlm. 46
200
Sefriani, op.cit, hlm.50
1. Pelaksanaan Just Satisfaction
Pada pertengahan 1990an, Pengadilan secara tidak langsung mengawasi pelaksanaan putusannya melalui praktik penyerahan
penebusan setimpal berdasarkan Pasal 41. Pada satu sisi, Pengadilan dapat memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemeriksaan dari penyerahan
penebusan setimpal dalam dua putusan yang berbeda. Jadi hal ini menunggu Negara mengambil langkah realisasi restitutio in integrum
untuk tunduk pada putusan pertama, dan menyusul menganilsis mereka pada putusan kedua. Pada sisi lainnya, Pengadilan dapat menganalisis
pemeriksaan dan just satisfaction dalam satu putusan. Oleh karena itu ECtHR memproses secara de facto pengawasan dari pelaksaaan langkah
yang diambil untuk memenuhi restitutio in integrum. Setelah itu, pilihan kedua adalah melakukan pemeriksaan bersamaan dengan penebusan
setimpal dalam satu putusan dimana berbeda dengan Pasal 41, namun hal ini telah lebih sering dilakukan. Praktik ini, membuat Pengadilan dapat
menangani kasus dengan lebih cepat. Selain itu, praktik Pengadilan saat ini untuk mengambil putusan
berdasarkan Paragraf 1 Pasal 46 dan Pasal 41 secara bersamaan menunjukkan bahwa pelunasan penebusan setimpal tidak dapat menjadi
dasar perbaikan pelanggaran, dan merubah putusan yang berupa uang ke dalam bentuk hukuman. Perkembangan ini, merupakan upaya menjamin
bahwa pemohon akan menerima sejumlah uang.
2. Petunjuk Kemungkinan Langkah Pelaksanaan dalam Putusan
Secara sederhana, Pengadilan menolak untuk mengusulkan petunjuk atau membuat keputusan Negara untuk mengadopsi langkah individual
atau umum dalam melaksanakan putusan. Pengaduan menunjukkan pandangan bahwa hal itu hanya untuk mengembangkan perintah
pemberian kompensasi. Meskipun demikian, pengadilan akan secara progresif lebih aktif dan dalam keadaan khusus memberikan petunjuk
berdasarkan Pasal 46 pada langkah individual atau umum. Selain itu, Pengadilan tidak hanya mengusulkan petunjuk
kemungkinan langkah perbaikan yang dapat diambil, dan lebih jauh lagi dapat memerintahkan mereka dalam kasus-kasus tertentu. Pengadilan
menggunakan kekuasaan ini untuk memerintahkan pertama kalinya dalam kasus properti.
Selanjutnya, pengadilan telah mengumpukan perintah untuk langkah individual dan umum disamping untuk melunasi penebusan setimpal.
Meskipun begitu, praktik ini lebih bertujuan untuk memerintahkan langkah individual dan umum yang telah dibatasi pada kasus ketika sifat
pelanggaran seperti itu tidak memberikan pilihan pada langkah lain yang diwajibkan untuk memperbaikinya.
Pengadilan mengusulkan petunjuk danatau memerintahkan langkah individual dan umum dalam beberapa kasus dengan sejumlah kasus yang
terbatas, adalah ketika teridentifikasi suatu langkah yang akan
membenarkan satu-satunya jalan untuk memberlakukan restitutio in integrum atau untuk mengakhiri pelanggaran yang berlanjut atau sistemik,
dan menindak lanjuti hak-hak yang dilanggar tersebut, termasuk keadaan yang mendesak dan serius.
Sebaliknya, hal itu dapat disimpulkan bahwa ketika terdapat banyak solusi muncul, maka tidak ada ruang bagi Pengadilan untuk
memerintahkan langkah yang lebih spesifik lagi. Keaktifan dari Pengadilan ini, dikembangkan lagi oleh lembaga lain dari CoE, dan telah
membenarkan beberapa argumen, seperti peran konstitusional dari Pengadilan atau syarat berdasarkan hukum HAM internasional untuk
menyediakan akses untuk individual pada perbaikan yang efektif setelah terjadiya pelanggaran HAM. Contoh peran ini di Inggris adalah melalui
putusan Irlandia melawan Inggris.
201
3. Putusan Kedua dari Permasalahan yang Sama
Sebagai tambahan pada proses pilot judgement dalam kasus yang mengungkapkan sebuah masalah yang struktural, pengadilan juga telah
memulai untuk aktif dalam pengawasan putusannya yaitu dengan pengecualian kontrol dalam putusan kedua serta langkah penggunaan
putusan sebelumnya yang berhubungan dengan masalah yang sama. Meskipun faktanya Pengadilan menolak untuk menyalahkan Negara
terkait kegagalan dalam implementasi yang tepat terhadap putusan sebelumnya, berdasarkan Pasal 46 hal tersebut tidak mencegahnya dari
201
Ireland v The UK, Appl No. 531071 18 January 1978 Series A no 25.
kegiatan memeriksa kasus yang memunculkan permasalahan yang baru yang belum diputuskan pada putusan sebelumnya.
Ini memaksa sebuah kewajiban pada Pengadilan dalam negeri untuk menjamin penyesuaiannya dengan perintah konstitusional mereka dimana
hal yang berkaitan dengan prinsip kepastian hukum dan efek penuh dari standar konvensi, sebagaimana ditafsirkan oleh Pengadilan. Dengan kata
lain, Pengadilan turun tangan dalam Komite Menteri, untuk menjamin bahwa hakim dalam negeri menjalankan dengan benar putusan yang
sebelumnya. Pengadilan harus spesifik dalam putusannya, karena terdapat negosiasi
politik dalam Komite Menteri yang dapat menimbulkan dinamika tertentu, selain itu hal tersebut bertujuan agar dapat membuat proses penerapan
lebih mudah untuk diawasi oleh Komite Menteri.
202
202
Steven Greer, op.cit, hlm.160-161.
Pada hal ini, tampak peran Pengadilan dalam menerbitkan putusan baru untuk mengumumkan
apakah Negara termohon telah memenuhi kewajibannya berdasarkan Paragraf 1 Pasal 46 atau belum. Tujuan dari prosedur baru ini adalah untuk
mengisi celah antara jalan halus penyelesaian sementara dan nuklir pengusiran dari CoE pada penyelesaian di Komite Menteri ketika Negara
tidak ingin mematuhi putusan, dan mengizinkan ECtHR untuk membantu Komite Menteri ketika keadaan terhambat. Selain itu, prosedur ini harus
menciptakan kedua efek tersebut sebagai tindakan pencegahan terhadap Negara, melalui ancaman penggunaannya, dan ECtHR harus menerbitkan
putusan yang lebih rinci berkaitan dengan langkah umum dan individual yang harus diadopsi Negara.
203
Ketika resolusi hanya dapat mengikat pihak yang dituju, hal itu tidak dapat berdampak kecuali kehendak
konstitusional dalam negerinya mengizinkan untuk memperoleh dampak tersebut.
204
4. The Pilot-Judgment Procedure
Contoh dari yurisdiksi ini adalah dalam putusan Hirst No. 2 melawan Inggris. Serta kasus Greens dan M.T. melawan Inggris yang
telah dibahas di atas, bahwa ECtHR dalam putusannya mengatakan dengan jelas dalam bagian putusannya bahwa pelanggaran baru telah
berpangkal pada kegagalan Negara termohon Inggris untuk menerapkan putusan pada kasus sebelumnya.
Partisipasi Pengadilan dalam penerapan putusannya melalui jalan yang paling aktif adalah ketika ia melaksanakan prosedur putusan pilot Pilot-
Judgment Procedure. Pembentukan prosedur ini sebenarnya adalah dikarenakan fakta bahwa jumlah kasus yang berulang di Pengadilan
bertambah pada akhir 1980an. Maka selama beberapa tahun, Pengadilan telah mengembangkan prosedur baru yang dikenal sebagai prosedur
perintis, sebagai cara untuk berhubungan dengan banyaknya kelompok kasus identik atau sama yang berakar dari permasalahan pokok yang sama.
Pengadilan memiliki kasus yang tertunda yang akan ditetapkan sebagai kasus yang berulang. Mereka mewakili proporsi signifikan dari beban
203
Ibid
204
C.F. amerasinghe, op.cit, hlm.172
kerja Pengadilan dan oleh karena kasus-kasus itu berkontribusi pada penghambatan proses Pengadilan.
Cara dalam prosedur ini beroperasi adalah ketika pengadilan menerima jumlah pengaduan yang signifikan yang berakar dari penyebab kasus yang
sama, Pengadilan boleh memutuskan untuk memilih satu atau lebih pengaduan untuk diperiksa sebagai yang utama. Dalam berurusan dengan
kasus atau kasus-kasus yang telah dipilih, Pengadilan akan mencari jalan untuk mencapai solusi yang diperluas melampaui kasus atau kasus kasus
tertentu untuk mengatasi semua kasus yang sama yang timbul dari masalah yang sama. Hasil dari putusan inilah yang disebut Pilot Judgement. Dalam
putusan ini Pengadilan melakukan kegiatan : a.
Menentukan apakah telah ada pelanggaran Konvensi pada kasus-kasus Tertentu. Hal ini dilakukan dalam proses pemeriksaan oleh Pengadilan.
b. Mengidentifikasi suatu disfungsi dibawah pemerintah dengan putusan
perintis, Pengadilan dapat memeriksa disfungsi ini. c.
Menciptakan hasil perbaikan di dalam negeri berkaitan dengan kasus yang sama termasuk yang kasusnya telah ditangguhkan di Pengadilan
menunggu keluarnya putusan perintis, atau setidaknya akan memberikan penyelesaian atau solusi pada kasus-kasus sejenisnya ke
Pengadilan. Putusan Perintis merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pengadilan
dalam membantu otoritas nasional untuk memeriksa masalah struktural atau sistemik penting, sembari menekan perkembangan pada kasus-kasus
yang berulang. Dalam melakukan hal ini, Pengadilan juga membantu Komite Menteri yang berperan dalam menjamin bahwa setiap putusan
yang dikeluarkan oleh Pengadilan nantinya, diterapkan dengan baik oleh negara termohon.
Ciri khas yang penting dari prosedur ini adalah kemungkinan Pengadilan untuk menangguhkan atau “membekukan” pelaksanaan dari
kasus-kasus lain yang terkait dalam waktu tertentu. Cara ini digunakan sebagai tambahan untuk mendorong otoritas nasional untuk mengambil
langkah yang diperlukan. Penangguhan seperti itu, yang mana biasanya akan diatur dalam waktu tertentu, dapat menjadi subjek apakah Negara
termohon berlaku baik dan dengan efektif menarik kesimpulan yang terdapat dalam putusan perintis tersebut.
Dalam keadaan dimana kasus-kasus tersebut ditangguhkan dalam cara ini, maka hal penting yang dilakukan Pengadilan adalah menjaga para
pemohon untuk mendapatkan informasi atas setiap perkembangan dalam prosedur. Dalam keadaan tertentu, Pengadilan dapat kapanpun
menyimpulkan pelaksanaan kasus apapun yang telah ditangguhkan, jika hal ini merupakan kewajibannya atas nama kepentingan keadilan,
contohnya dimana keadaan tertentu dari pemohon membuatnya merasa tidak adil atau keadaan yang tidak masuk akal untuk mengharuskan
mereka menunggu terlalu lama mendapatkan perbaikan atau ganti rugi. Ide pokok dibalik putusan perintis ini adalah bahwa dimana terdapat
sejumlah kasus pengaduan yang besar berkaitan dengan masalah yang
sama, pemohon akan memperoleh perbaikan lebih cepat jika perbaikan tersebut dinilai lebih efektif dibentuk pada tingkat nasional daripada ketika
kasus-kasus mereka diproses pada prosedur individual yang biasanya di Strasbourg. Dalam pandangan Pengadilan saat ini jumlah kasus berat yang
masuk dan banyaknya sumber permintaan yang dibuat pada kasus-kasus yang mendesak dan kasus-kasus yang memunculkan pertanyaan mengenai
kepentingan hukum yang lebih besar, pengulangan pengaduan seperti ini lebih banyak tertunda selama bertahun-tahun sebelum mereka diadili.
Pengadilan telah menggunakan prosedur flexibilitas sejak menyampaian putusan perintis ini pertama kali di tahun 2004. Hal ini
bukan berarti setiap kategori dari kasus-kasus yang berulang nantinya akan disesuaikan untuk prosedur putusan perintis dan tidak semua putusan
perintis akan menuju pada penundaan kasus-kasus, khususnya dimana masalah sistemik menyentuh pada hak-hak manusia yang paling mendasar
dalam Konvensi seperti hak untuk hidup. Prosedur putusan perintis tidak dapat dituntut menjadi solusi dari
semua kesulitan yang diakibatkan beban kerja Pengadilan yang berlebihan, melainkan dapat dilihat sebagai sesuatu yang menawarkan pembersihan
dari banyak permasalahan mengakar yang mana mendasari pengaduan yang berulang sembari membentuk perbaikan untuk mereka yang terkena
dampak kasus-kasus tersebut. Selain itu, langkah umum yang harus diambil oleh Negara untuk
mengimplementasikan putusan kasus perintis ini adalah termasuk
mengatur perbaikan dalam negeri yang retroaktif untuk berurusan dengan kasus yang sama. Dengan kata lain, semua kasus yang berulang dalam
kenyataannya dikirim balik pada tingkat nasional sesuai prinsip subsidiaritas tanpa melihat waktu pengaduan dengan syarat kasus tersebut
belum diselesaikan oleh Pengadilan. Konsekuensinya Pengadilan bekerja dalam kasus yang sama sebagai pengadilan konstitusional yang berperan
mengontrol pematuhan perintah hukum dalam negeri dengan konstitusi.
205
Berdasarkan prosedur ini, peran pengadilan dalam pengawasan bertambah dua kali lipat. Pertama, pengadilan mengidentifikasi penyebab
pelanggaran sistemik serta memerintahkan langkah umum. Meskipun demikian, Negara pemohon memberikan tanggungjawab untuk
mengidentifikasi praktik dan rincian langkah untuk mengimplementasikan putusan. Kedua, pengadilan secara tidak langsung mengontrol bagaimana
negara telah mengimplementasikan putusan perintis melalui perlakuan untuk membuka kembali kasus yang dibekukan. Secara umum prosedur
putusan perintis telah muncul untuk memperbaiki pelanggaran konvensi yang disebabkan oleh sifat praktik legislatif dan administratif, telah
diakhiri.
205
Markus Fyrnys, Expanding Competences by the Judicial Lawmaking: The Pilot- Judgment Procedure of The European Court of Human Rights, Colandrea: German Law Journal,
2011, hlm. 403
B. Penolakan Pematuhan Putusan European Court of Human Rights oleh