46
D. PELUANG PENURUNAN EMISI GRK PG SUBANG
Industri gula memiliki beberapa peluang untuk melakukan penurunan emisi GRK yang dihasilkan. Opsi yang dapat diberikan sebagai upaya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca PG
Subang dapat berupa pengurangan penggunaan bahan bakar IDO dan pemanfaatan limbah padat blotong sebagai pupuk kompos.
1. Pengurangan Bahan Bakar Industrial Diesel Oil IDO
Secara umum industri merupakan sektor yang akan menghasilkan emisi gas CO
2
terbesar. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang besar untuk kebutuhan energi di industri.
Emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat menyebabkan pemanasan global. Untuk itu perlu dilakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan
melalui berbagai cara, antara lain penghematan energi dan diversifikasi energi. Diversifikasi energi atau penggantian bahan bakar dengan jenis energi lain, bertujuan untuk mengurangi penggunaan
bahan bakar yang mempunyai kandungan karbon tinggi dengan jenis energi yang mempunyai kandungan karbon rendah atau tanpa kandungan karbon. Subtitusi energi adalah upaya untuk
mengganti energi yang ada dengan jenis energi lain yang lebih murah, mudah secara teknis dan tanpa mengurangi kinerja alat. Salah satunya adalah penggunaan bahan bakar dari biomassa. Bahan bakar
biomassa walaupun mempunyai kandungan karbon yang cukup tinggi, tetapi CO
2
yang dihasilkan dianggap dihisap kembali oleh tanaman yang sedang tumbuh sehingga emisinya dianggap 0 atau tanpa
emisi. Hal ini disebabkan pohon dianggap merupakan zink atau penyerap CO
2
hanya pada masa pertumbuhan 0 sampai 12 tahun. Pemanfaatan teknologi rendah karbon sebagai pengganti bahan
bakar fosil secara drastis akan mengurangi pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer Boedoyo 2008. Limbah bagas merupakan salah satu biomassa yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan energi
dari limbah biomassa yang saat ini sedang dikembangkan sangat diperlukan oleh industri-industri yang suplai energinya bergantung pada bahan bakar minyak BBM. Pemanfaatan limbah bagas
sebagai bahan bakar dilaksanakan oleh keseluruhan pabrik gula di Indonesia. Mengingat begitu banyak limbah bagas yang dihasilkan, maka ampas tebu akan memberikan nilai tambah tersendiri bagi
pabrik gula karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembangkit bakar ketel uap. Kebutuhan limbah bagas ini digunakan sebagai bahan bakar boiler penghasil uap air steam untuk proses penggilingan
gula dan pembangkit listrik untuk kebutuhan pabrik. Beberapa tanaman berpotensi menghasilkan limbah biomassa yang dapat dimanfaaatkan sebagai bahan bakar alternatif Tabel 19.
Tabel 19. Jenis tanaman dan limbah biomassa
Jenis Tanaman Jenis Limbah Biomassa
Kelapa sawit Tandan kosong, cangkang, dan fibre
Tebu Ampas tebubagas
Karet Kulit batang
Kelapa Tempurung, sabut
Kayu Kulit kayu, serbuk kayu
Padi Sekam padi
Ketela pohon Batang, daun, ranting, kulit umbi
Jagung Tongkol jagung, daun, batang
Sumber : Bahrin et al. 2011
47 PG Subang menggunakan ampas sebagai bahan bakar boiler yang merupakan biomassa dari
hasil penggilingan. Pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif baik pencemaran udara akibat partikulat yang berterbangan
maupun emisi yang dihasilkan. Pada tahun 2011 PG Subang memiliki target ampas sebesar 132.197,00 ton namun pada realisasinya hanya 101.273,90 ton ampas yang dihasilkan. Energi yang
diperlukan untuk proses produksi gula PG Subang tahun 2011 adalah 181,62 x 10
9
kkal namun realisasi energi yang dihasilkan oleh pembakaran ampas hanya 180 x 10
9
kkal. PG Subang kekurangan 1,62 x 10
9
kkal untuk memproduksi gula. Ketidaktercapaian tersebut menyebabkan PG Subang memerlukan bahan bakar tambahan berupa IDO untuk memenuhi energi yang dibutuhkan.
Jumlah IDO yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Data PG Subang DMG 2011
Uraian Satuan
Target Realisasi
Tebu giling ton
400.597,00 343.646,88
Ampas tebu ton
132.197,00 101.273,90
Uaptebu 45,00
58,94 Uap dihasilkan
ton 180.269,00
202.547,80 Uap digunakan
ton 180.269,00
207.519,70 IDO
L 174.258,00
IDO merupakan bahan bakar minyak yang digunakan untuk jenis mesin diesel putaran sedang atau lambat dengan kecepatan 300-1000 rpm, atau dapat juga digunakan sebagai bahan bakar
pada pembakaran langsung di dalam dapur furnace boiler. IDO yang digunakan pada sektor industri hampir setara dengan solar yang digunakan untuk motor-motor diesel, maka dari itu potensi sebagai
penghasil emisi CO
2
terhitung besar. Tahun 2011 PG Subang menggunakan bahan bakar IDO untuk memenuhi kebutuhan energi
sebanyak 174.258 liter. Jika dikonversi menjadi CO
2
, maka dihasilkan 500 ton CO
2
. Pengurangan penggunaan bahan bakar IDO akan menurunkan emisi CO
2
dari penggunaan bahan bakar boiler. Bila diasumsikan penurunan penggunaan IDO sebesar 50 dapat digantikan dengan penggunaan bagas,
maka emisi yang turun adalah sebesar 250 ton CO
2
dari emisi bahan bakar fosil yang akan digantikan dengan bahan bakar biomassa. Energi yang dihasilkan dari penggunaan IDO akan diganti dengan
energi yang berasal dari bahan bakar bagas sehingga emisi yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Emisi keseluruhan yang berkurang jika peluang ini digunakan adalah 0,02 tCO
2
ton produk. Upaya penurunan ini dapat dilakukan dengan pengendalian dan optimalisasi penggilingan
tebu pada stasiun gilingan. Proses penggilingan yang optimum dapat menghasilkan ampas tebu bagas yang memiliki kadar air yang rendah sehingga bagas yang dihasilkan tidak basah. Bagas
kering lebih mudah terbakar dibandingkan bagas yang basah dengan nilai kalor yang lebih tinggi. Selain itu upaya pengendalian dapat dilakukan dari penambahan air imbibisi. Air imbibisi yang
ditambahkan pada saat proses penggilingan akan tergabung bersama nira untuk kemudian didistribusikan ke stasiun berikutnya. Penambahan air imbibisi yang berlebihan akan memberatkan
beban kerja pada stasiun penguapan dimana air tersebut harus dihilangkan untuk menaikkan kadar brix nira. Untuk menguapkan air banyak terkandung dalam nira dibutuhkan uap dalam jumlah yang
besar. Hal ini berdampak pula pada kerja boiler sebagai mesin penghasil uap. Kebutuhan uap yang besar menjadikan boiler membutuhkan konsumsi bahan bakar yang besar pula. Maka dari itu efisiensi
penggunaan uap berpotensi pada pengurangan bahan bakar boiler yaitu bagas dan IDO. Jumlah bagas
48 yang dibutuhkan untuk menggantikan bahan bakar tambahan IDO sebesar 466,03 ton. Penghematan
biaya produksi yang didapatkan dari penghilangan pemakaian IDO untuk bahan bakar boiler adalah sebesar Rp 848.636.460 per tahun dengan harga IDO untuk PG Subang sebesar Rp 9.740 per liter.
Emisi gas CO
2
dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara merupakan parameter terbesar yang bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global. Sehingga perlu upaya yang
nyata bagaimana mengurangi jumlah emisi gas rumah kaca CO
2
salah satunya adalah menggunakan bahan bakar alternatif seperti biomassa ampas tebu. Menurut Bahrin et al. 2011 potensi energi
terbarukan yang cukup besar dan belum banyak dimanfaatkan adalah biomassa. Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Sebagian besar biomassa berasal dari
tumbuhan yang mengandung energi tersimpan dari matahari yang diserap pada waktu tanaman tumbuh dalam proses yang disebut fotosintesis.
2. Pemanfaatan Limbah Padat sebagai Pupuk Kompos
Limbah padat blotong merupakan hasil endapan limbah pemurnian gula sebelum dikristalkan menjadi gula pasir. Bentuknya seperti tanah berpasir berwarna hitam, memiliki bau tak
sedap jika dalam kondisi basah. Bila tidak segera dikeringkan akan menimbulkan sejumlah panas dan bau yang menyengat Hamawi 2005. Limbah padat yang dihasilkan pabrik gula mempunyai volume
yang cukup besar tiap harinya berupa blotong yang dihasilkan sejumlah 3 tebu. Selama ini pabrik membuang limbahnya dengan cara penumpukan di lahan terbuka open dumping. Pembuangan
secara penumpukan tanpa pengelolaan lebih lanjut dapat menyebabkan gangguan lingkungan dan bau tidak sedap. PG Subang menyediakan sejumlah lahan kosong sebagai tempat pembuangan limbah
padat blotong. Oleh masyarakat sekitar limbah blotong yang dibuang diambil secara cuma-cuma digunakan untuk keperluan lain. Jumlah blotong yang tertumpuk makin hari makin meluas sehingga
berpotensi sebagai penghasil emisi N
2
O yang berdampak pada pemanasan global. Maka dilakukan alternatif lain untuk menangani limbah padat yaitu dengan pengomposan blotong.
Firmansyah 2010 menyatakan bahwa pengomposan adalah proses pelapukan dekomposisi sisa-sisa bahan organik secara biologi yang terkontrol menjadi bahan-bahan yang terhumuskan. Proses
pengomposan membutuhkan beberapa kondisi terkontrol, salah satunya adalah CN rasio. Nilai CN rasio yang ideal untuk pembuatan kompos adalah sebesar 25-35 : 1 nilai C sebesar 25-35 dan N
sebesar 1. Blotong merupakan salah satu bahan yang dapat dibuat kompos dengan nilai kandungan nitrogen sebesar 0,76 . Komposisi kimia blotong dapat dilihat pada Tabel 21.
Tablel 21. Komposisi kimia blotong
Kandungan
Kadar Air 47,33
Carbon C 10,68
Nitrogen N 0,76
N-NO
3
6,14 N-NO
2
0,49 Rasio CN
0,08 Sumber : Agastirani 2011
Jumlah blotong yang dihasilkan PG Subang Tabel 19 dari proses pemurnian terhitung banyak, namun pihak PG Subang belum memanfaatkan blotong tersebut dengan baik. Jumlah limbah
49 yang tidak diolah lama kelamaan jumlahnya akan semakin meningkat dan berpotensi mencemari
lingkungan sekitar. Jumlah limbah padat dalam musim giling 2011 dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah limbah padat blotong PG Subang DMG 2011
Bulan Blotong Kwintal
Mei 12.701,45
Juni 26.096,47
Juli 29.232,52
Agustus 21.826,92
September 23.479,97
Oktober 2.007,85
Total 115.345,18
Pemanfaatan blotong sebagai kompos sejalan dengan pemanfaatan limbah pabrik gula yang dihasilkan dari pengolahan tebu dan dibuang begitu saja. Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa bahan. Volume blotong yang dihasilkan dapat menyusut menjadi 13 bagian dari volume awal. Hal tersebut menyebabkan penyusutan pula pada material yang
dikandung di dalamnya, termasuk kandungan nitrogen pada blotong. Secara rinci, Isroi 2008 menjelaskan bahwa proses pengomposan sederhana terbagi menjadi
dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos
akan meningkat dengan cepat. Hal yang sama terjadi pada perubahan pH kompos yang semakin meningkat. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-70 ÂșC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu
tertentu dan mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Setelah sebagian besar bahan organik terurai, suhu akan mengalami penurunan
secara bertahap. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan.
Pengurangan ini dapat mencapai 30-40 dari volumebobot awal bahan Isroi 2008. Hasil samping padat pabrik gula yang memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber
bahan organik yaitu blotong. Blotong sangat berguna dalam usaha memperbaiki sifat fisik tanah, sehingga daya menahan airnya meningkat. Jumlah blotong berkisar antara 4-5 berat tebu dan untuk
tiap ton blotong berkadar air 70 mengandung hara setara dengan 28 kg ZA, 22 kg TSP, dan 1 kg KCl Suhadi et al. 1988.
Hasil penelitian Mulyadi 2000 menyatakan bahwa pemberian blotong nyata meningkatkan tinggi tebu, diameter tebu, diameter batang, jumlah tanaman per rumpun, dan bobot kering tebu
bagian atas berumur 4 bulan dengan dosis efektif 40 tonha. Parinduri 2005 menyatakan pemberian dosis 20 tonha blotong saja dapat meningkatkan jumlah anakan, luas daun, bobot kering tajuk, dan
bobot kering tanaman tebu terhadap control pada umur 3,5 bulan berturut-turut 11,02 , 20,43 , 8,43 , dan 5,33 . Fathir 2007 menambahkan bahwa penggunaan kompos blotong belum nyata
meningkatkan serapan hara pada tanaman. Namun, pemberian kompos blotong dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Pemberian kompos blotong tidak nyata meningkatkan sifat kimia tanah tetapi
meningkatkan unsur N dalam tanah dan basa Ca dibandingkan tanpa kompos blotong. Dosis 7,5 tonha sampai 10 tonha kompos blotong menghasilkan sifat kimia tanah optimum bagi ketersediaan
hara dalam tanah. Apabila merujuk pada kajian-kajian tersebut dan ketersediaannya, blotong memiliki potensi yang besar sebagai sumber bahan organik tanah.
50 Jumlah blotong yang dihasilkan PG Subang selama 2011 sebesar 11.534,52 ton dengan asumsi
massa jenis blotong 1,50 tonm
3
maka diperoleh volume blotong sebesar 7.689,68 m
3
. Penyusutan volume setelah pengomposan adalah sebesar 3.844,85 ton. Emisi N
2
O yang hilang akibat pengomposan adalah sebesar 459,18 kg N
2
O atau setara dengan 134,54 ton CO
2
setara. Emisi N
2
O yang tersisa karena pengolahan blotong menjadi kompos sebesar 269,08 ton CO
2
setara. Jika peluang ini digunakan oleh perusahaan maka emisi yang dihasilkan akan berkurang menjadi 4.52 tCO
2
setaraton gula. Pengurangan emisi keseluruhan yang dihasilkan sebesar 0,02 tCO
2
setaraton gula.
51
VI. KESIMPULAN DAN SARAN