Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) Gula Pada PT PG Rajawali II Unit PG Subang

(1)

ii

LIFE CYCLE ASSESSMENT OF SUGAR AT PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG

Ikawati Purwaningsih

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, West Java, Indonesia.

Email: iko.koi0509@gmail.com

ABSTRACT

National sugar industry holds an important role to meet the growing demand for sugar. Along with economic growth and technological progress, the activities of sugar production can cause an impact on the environment. Identification life cycle of sugar production process involves the use of raw materials and energy are needed to determine the efficiency of production and then analyzed for the environmental impact. Based on inventory data from sugar plant, the productivity of sugar cane as raw material was 787 tons of cane / hectare, but its realization was only 690 tons of cane / hectare or 87.67% of the target. The use of energy in the steam plant from bagasse combustion, the energy generated by bagasse of 2.83 x 1011 kcal, but the realization of 1.94 x 1011 kcal or 68, 55% of the target. It indicates that the efficiency of steam decreased. Effluent of liquid waste at sugar plant exceeds the quality standard that has been established, it is associated with efficiency in production processes that less optimal. Based on the inventory analysis showed that efficiency in the use of raw materials and energy are influenced by the life cycle starting from the gardens until sugar processing in the factory which will have implications on the environmental impact.


(2)

iii

Ikawati Purwaningsih. F34080053. Penilaian daur Hidup (Life Cycle Assessment) Gula Pada PT PG Rajawali II Unit PG Subang. Dibawah bimbingan Mohamad Yani. 2012

RINGKASAN

Industri gula nasional memegang peranan penting untuk dapat memenuhi tingkat permintaan gula yang terus meningkat dengan kualitas yang baik untuk dapat bersaing dengan gula impor yang saat ini membanjiri pasaran di Indonesia. Permasalahan yang sedang dihadapi pabrik gula di Indonesia adalah tidak terpenuhinya produksi gula sesuai dengan kapasitas produksinya yang disebabkan karena terjadinya inefisiensi, baik di luar maupun di dalam pabrik. Oleh karena itu, pemerintah menuntut industri gula untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja dari industri gula tersebut. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, kegiatan produksi gula dapat menyebabkan dampak terhadap lingkungan. Untuk mengurangi dampak lingkungan yang timbul pada proses produksi gula, perlu dilakukan analisa daur hidup gula agar lebih efisien. Alat pengelolaan lingkungan yang dapat menghitung beban lingkungan dan dampak potensialnya di dalam seluruh daur hidup produk, proses atau kegiatannya adalah metode Life Cycle Assessment (LCA).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi siklus hidup gula di PG Subang, menginvetarisasi konsumsi bahan tambahan dan energi pada tiap tahapan proses, dan mengidentifikasi limbah dan dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan. Metode LCA dalam penelitian ini terdiri atas 4 fase utama, yaitu definisi tujuan dan ruang lingkup (goal and scope definition), menginventarisasi input dan output (life cycle inventory), perkiraan dampak lingkungan dari semua input dan output (life cycle assessment), dan interpretasi hasil yang disebut improvement analysis. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi lapang di PG Subang, serta data sekunder yang berupa data penggunaan bahan tambahan, dan energi di PG Subang.

Siklus hidup gula di PG Subang dimulai dari proses ekstraksi tebu hingga menghasilkan produk gula SHS. Dalam tiap tahapan proses produksinya dihasilkan limbah dan produk samping. Limbah yang dihasilkan berdasarkan siklus hidup gula di PG Subang berupa limbah padat, limbah cair, dan limbah udara, namun limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Untuk limbah padat, ampas tebu digunakan untuk bahan bakar boiler yang akan menghasilkan gas CO2 yang kemudian

akan diserap kembali oleh tanaman tebu, sedangkan blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk tanaman tebu. Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi gula dapat berupa uap air hasil proses penguapan, dimana uap air tersebut akan digunakan kembali sebagai air umpan untuk boiler, serta limbah cair lainnya yang berasal dari limbah proses produksi akan diolah di IPAL sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengairan tebu.

Analisis inventori yang dilakukan meliputi input dan output bahan baku, bahan tambahan, energi, limbah, dan produk samping yang dihasilkan selama siklus daur hidup gula. Dengan dilakukan analisis inventori dapat diketahui terjadinya inefisiensi yang ditunjukkan berdasarkan loss yang ditimbulkan. Berdasarkan analisis inventori yang dilakukan, menunjukkan bahwa loss yang dihasilkan di PG Subang pada tahun 2011 sebesar 11.734,52 ton yang berasal dari loss tiap tahapan proses. Di stasiun gilingan loss yang dihasilkan sebesar 3.490,25 ton, hal ini disebabkan karena pol tebu < 10 %, kotoran tebu > 5 %, pol ampas > 2 %, dan penambahan air imbibisi yang terlalu kecil yaitu 24,84 %. Loss yang dihasilkan di stasiun pemurnian sebesar 2.516,11 ton, hal ini disebabkan karena % pol blotong > 2 % sehingga zat gula (pol) yang terbawa pada blotong semakin banyak.


(3)

iv

Untuk penggunaan belerang dan kapur tohor sudah tepat, hanya saja untuk penggunaan flokulan terlalu banyak yaitu 5 ppm sehingga biaya produksi semakin meningkat. Di stasiun penguapan tidak terjadi loss, namun brix nira kental yang dihasilkan masih rendah yaitu 52,88 %, hal ini mengakibatkan nira yang dihasilkan tidak maksimal. Loss yang dihasilkan di stasiun kristalisasi dan sentrifugasi sebesar 5.728,16 ton, hal ini disebabkan karena banyaknya nira yang belum terkristalkan dan rendahnya pol dalam pan masakan, hal ini dipengaruhi oleh keakuratan dalam proses kristalisasi terhadap suhu dan waktu yang kurang optimal.

Penggunaan energi pada proses produksi gula berasal dari bahan bakar, listrik, dan uap. Kendala yang dihadapi diantaranya terjadinya berhenti giling yang mengakibatkan pasokan ampas untuk bahan bakar boiler menjadi berkurang sehingga diperlukan suplesi bahan bakar tambahan yaitu IDO (Industrial Diesel Oil) yang biayanya lebih besar sehingga biaya produksi meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh pol dan kadar air ampas yang masih tinggi yaitu 2,66 % dan 52,08 % sehingga nilai kalor ampas menjadi rendah dan tidak mencukupi untuk kebutuhan pembakaran di boiler. Untuk penggunaan listrik dan uap juga dipengaruhi oleh pasokan ampas dari stasiun gilingan, efisiensi listrik di PG Subang sebesar 18,94 %, dan efisiensi uap sebesar 58,94 %. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja di stasiun gilingan serta terjadinya pemborosan energi yang ditunjukkan dengan masih banyaknya uap yang terbuang dan kebocoran pada saluran uap.

Dampak yang terjadi akibat adanya loss yang dihasilkan diantaranya: produk gula SHS yang dihasilkan menjadi lebih sedikit, banyaknya zat gula (pol) yang terbawa pada limbah maupun produk samping seperti pada ampas tebu dan blotong, sanitasi yang kurang baik sehingga memungkinkan timbulnya mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan, terjadinya jam berhenti giling yang mengakibatkan rendemen menurun dan limbah yang dihasilkan semakin meningkat, serta emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pemakaian IDO semakin tinggi. Selain itu, banyaknya ampas yang dihasilkan tidak seluruhnya digunakan untuk pembakaran di boiler yang mengakibatkan banyaknya ampas yang diletakkan di luar gudang ampas yang dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena banyaknya partikel ampas yang beterbangan, hal ini juga dapat mempengaruhi kualitas ampas untuk pembakaran di boiler karena kadar air dalam ampas dapat menurun akibat terkena hujan jika ampas diletakkan di luar gudang ampas.

Dalam pelaksanaan proses produksi gula, diperlukan analisis pendahuluan yang tepat khususnya terhadap kualitas tebu yang akan digiling, serta kualitas mesin dan peralatan yang akan digunakan selama periode giling. Analisa mutu tebu yang mencakup pol tebu, kotoran tebu, dan HK nira mentah sangat menentukan jumlah gula yang akan dihasilkan serta kebutuhan bahan tambahan yang akan digunakan. Sanitasi di lingkungan pabrik sangat penting karena dapat mempengaruhi kualitas gula yang dihasilkan, selain itu untuk mengurangi biaya bahan bakar tambahan untuk IDO, dapat digunakan alternatif bahan bakar lain seperti penggunaan LNG (Liquified Natural Gas) yang harganya lebih murah serta emisi yang rendah. Pemanfaatan limbah seperti ampas tebu dapat dilakukan dengan memanfaatkannya sebagai arang aktif dan gasifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan keutungan bagi perusahaan.


(4)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Sebagai negara agraris, Indonesia mengupayakan untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu komoditi yang dikembangkan adalah tebu. Komoditi tebu merupakan salah satu tanaman penghasil gula yang di dalamnya terkandung sukrosa yang kemudian dikristalkan menjadi gula kristal. Pemanfaatan gula tidak hanya terbatas untuk bahan konsumsi langsung tetapi juga digunakan sebagai bahan pembantu di berbagai industri makanan, minuman, kosmetik dan farmasi. Saat ini tingkat konsumsi gula dalam negeri belum bisa sepenuhnya dipenuhi oleh industri gula dalam negeri, oleh karena itu impor gula masih diberlakukan. Industri gula nasional memegang peranan penting untuk dapat memenuhi tingkat permintaan gula yang terus meningkat dengan kualitas yang baik untuk dapat bersaing dengan gula impor dari luar negeri yang saat ini membanjiri pasaran di Indonesia.

Permasalahan yang sedang dihadapi pabrik gula di Indonesia adalah tidak terpenuhinya produksi gula sesuai dengan kapasitas produksinya, hal ini disebabkan karena terjadinya inefisiensi baik di luar maupun di dalam pabrik. Terjadinya inefisiensi di pabrik gula dipengaruhi oleh produktivitas pabrik gula, salah satu faktor penyebabnya adalah teknologi yang digunakan sudah tua dan masih ada yang berasal dari peninggalan Belanda. Oleh karena itu, pemerintah menuntut industri gula untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja dari industri gula tersebut dengan peningkatan penggunaan bahan baku, energi, mesin dan peralatan, serta sumber daya lain, hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen perusahaan yang baik.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi, kegiatan produksi gula dapat menyebabkan dampak terhadap lingkungan. Untuk mengurangi dampak lingkungan yang mungkin timbul pada proses produksi gula, perlu dilakukan analisis daur hidup gula agar lebih efisien. Analisis yang dilakukan yaitu dengan menghitung kebutuhan dan penggunaan bahan baku, bahan tambahan, dan energi dengan mempertimbangkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Hal ini dapat dilakukan pengkajian menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA). Metode LCA dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan yang terjadi pada seluruh siklus hidup pada gula, hal ini akan berdampak positif karena dapat mengetahui sumber-sumber pencemaran pada industri gula sehingga kinerja pabrik dapat optimal dan efisien.

Menurut Mattson (2003), LCA adalah suatu metoda yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk selama proses produksi atau aktivitas selama siklus hidupnya dan aliran bahan yang terjadi di dalam proses produksi tersebut. Data yang dibutuhkan dalam melakukan LCA terdiri dari dampak lingkungan, hasil samping, konsumsi energi dan bahan yang digunakan pada setiap tahapan proses. Menurut Schempf (1999) dan Curran (1996), LCA dapat menyediakan kerangka kerja untuk menganalisa dampak lingkungan, memetakan dampak selama siklus hidup suatu produk, acuan dalam mengembangkan target lingkungan untuk pengembangan produk selanjutnya, menyediakan pengukuran kinerja yang berlangsung untuk mengkaji konsep desain serta dampaknya terhadap lingkungan, membantu tim pengembangan produk dalam menentukan material dan komponen yang akan dipakai, dan mengidentifikasi dampak yang sebelumnya tidak diketahui. Dengan menggunakan metode LCA diharapkan dapat membantu industri gula dalam menerapkan industri yang berwawasan lingkungan.


(5)

2

B.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi siklus hidup gula pada industri gula tebu.

2. Menginventarisasi konsumsi bahan tambahan dan energi pada setiap tahapan proses.

3. Mengidentifikasi limbah yang dihasilkan dan dampak terhadap lingkungan yang ditimbulkan.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam menganalisis penggunaan bahan tambahan dan energi sesuai dengan metode LCA (Life Cycle Assessment) agar dalam proses produksi gula tebu berjalan secara efisien dan dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

D.

RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini difokuskan pada analisis terhadap data kebutuhan bahan tambahan dan konsumsi energi pada setiap tahapan proses, serta potensi limbah dari proses produksi gula di pabrik dengan mengevaluasi dampak lingkungan yang mungkin timbul selama siklus hidup gula.


(6)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

TANAMAN TEBU

Bahan baku dalam proses produksi gula adalah tanaman tebu. Komoditas tebu (Saccharum officinarum L.) adalah tanaman industri yang tergolong musiman dan termasuk keluarga rumputan (Graminae). Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim dimana di dalam batangnya terdapat suatu cairan yang memiliki rasa manis yang disebut nira. Nira inilah yang kemudian akan diolah menjadi gula. Saccharum officinarum adalah spesies tebu yang banyak digunakan untuk produksi gula, kelebihannya adalah mengandung banyak sukrosa, kandungan sabut rendah, daunnya lebih lebar, dan berbatang besar. Selain itu, Saccharum officinarum berdaya tunas tinggi pada keadaan tanah dan iklim yang cocok, dan umumnya beradaptasi dengan baik di daerah tropis. Komponen yang terdapat di dalam batang tebu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen-komponen dalam batang tebu

Sumber: Misran (2005)

Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula (PG). Dalam proses produksi di pabrik gula, ampas tebu (bagasse) yang dihasilkan sebesar 35 - 40 % dari setiap tebu yang diproses, namun yang termanfaatkan hanya 5%, sisanya berupa tetes tebu (molasses), blotong, dan air. Selama ini, produk utama yang dihasilkan dari tebu adalah gula, sementara hasil samping yang lain tidak begitu diperhatikan, kecuali tetes tebu yang sudah lama dimanfaatkan untuk pembuatan etanol dan bahan pembuatan monosodium glutamate (MSG), serta ampas tebu yang dimanfaatkan untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Pemanfaatan limbah dan produk samping masih terbatas dan nilai ekonomi yang diperoleh juga belum tinggi, sedangkan limbah dalam proses produksi gula seperti blotong dan abu ketel banyak yang terbuang percuma, bahkan untuk pembuangan limbahnya masih menimbulkan pencemaran lingkungan sehingga dapat menambah pengeluaran di pabrik gula (Misran 2005).

Tanaman tebu dapat menghasilkan berbagai produk yang bermanfaat bagi manusia. Secara keseluruhan, pemanfaatan hasil samping industri gula tebu dapat dilihat pada Lampiran 1. Selama ini pemanfaatan tebu selalu diidentikan dengan industri gula, sudah saatnya paradigma tersebut bergeser menjadi industri tebu. Dengan paradigma baru ini, diharapkan dapat memacu petani untuk kembali mengusahakan perkebunan tebu, disamping dapat menambah pendapatan di pabrik gula, juga dapat menambah kesempatan kerja sehingga pengangguran dapat dikurangi (Misran 2005).

Komponen Jumlah (%)

Monosakarida Sukrosa Zat-zat organik Zat-zat anorganik Sabut

Air Bahan lain

0,5 – 1,5 11 - 19 0,5 – 1,5

0,15 11 - 19 65 - 75


(7)

4

B.

GULA

Gula merupakan salah satu bahan pemanis yang dapat dihasilkan dari berbagai jenis bahan seperti tebu, bit, jagung, kelapa, dan bahan lainnya. Gula pasir merupakan jenis yang paling banyak diproduksi di Indonesia yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan pemurnian dari tanaman tebu (Moerdokusumo 1993). Gula termasuk golongan karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi aktivitas manusia, ada dua jenis gula yaitu monosakarida dan disakarida. Monosakarida adalah bentuk paling sederhana dari karbohidrat, contohnya glukosa dan fruktosa, sedangkan disakarida tersusun dari dua atau lebih monosakarida, contohnya sukrosa.

Sukrosa merupakan disakarida yang tersusun dari monomer-monomer berupa unit glukosa dan fruktosa dengan rumus molekul C12H22O11. Sukrosa adalah senyawa yang mudah larut dalam air,

faktor yang mempengaruhi daya larutnya antara lain: suhu, zat lain yang terlarut, serta sifat zat tersebut. Semakin tinggi suhu dalam air, maka semakin tinggi pula sukrosa tersebut. Kelarutan sukrosa dalam nira tebu tidak hanya dipengaruhi oleh suhu, namun dipengaruhi pula oleh kemurnian dan sifat bahan bukan sukrosa (Paryanto et al. 1999). Struktur molekul sukrosa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul sukrosa (Anonim 1992)

Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk dari sebuah molekul α-D-glukosa dan molekul β

-D-fruktosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4-glikosidik. Ketika ikatan α-1,4-glikosidik terputus oleh reaksi hidrolisis, maka akan terbentuk campuran glukosa dan fruktosa. Sukrosa dapat dihidrolisis dengan bantuan enzim invertase. Reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dengan bantuan enzim invertase dapat dilihat pada Gambar 2.

enzim invertase

+ H2O +

sukrosa air glukosa fruktosa

Gambar 2. Reaksi hidrolisis sukrosa dengan bantuan enzim invertase (Anonim 1992)

C.

PROSES PRODUKSI GULA

Proses produksi gula dari tebu adalah proses pemisahan sukrosa yang terdapat dalam batang tebu dari zat-zat lain seperti air, zat organik, dan sabut. Proses pemisahan dilakukan dengan cara menggiling tebu pada mesin penggiling sehingga diperoleh cairan yang disebut nira. Nira yang diperoleh dari mesin penggiling dibersihkan dari zat-zat bukan gula dengan pemanasan dan penambahan zat kimia. Secara umum proses produksi gula dilakukan dengan proses berikut ini :


(8)

5

1.

Ekstraksi Nira

Nira tebu yang mengandung sukrosa diperoleh dari tebu yang diperah dalam mesin penggiling setelah melalui proses pra-pengolahan dalam crusher atau unit pencacah tebu yang berfungsi untuk mempermudah proses ekstraksi berikutnya. Semua zat yang larut dalam air tebu akan terperah keluar dan yang tersisa adalah ampas (Moerdokusumo 1993).

2.

Pemurnian Nira

Pelaksanaan pemurnian dalam pembuatan gula dibedakan menjadi 3 macam yaitu:

a. Proses Defekasi

Pemurnian cara defekasi adalah cara pemurnian yang paling sederhana, bahan pembantu yang digunakan hanya berupa kapur tohor. Kapur tohor digunakan untuk menetralkan asam-asam yang terdapat dalam nira. Nira yang telah diperoleh dari mesin penggiling diberi kapur hingga diperoleh nilai pH sedikit alkalis (pH 7,2). Nira yang telah diberi kapur kemudian dipanaskan sampai mendidih, kemudian endapan yang terjadi dipisahkan.

b. Proses Sulfitasi

Proses pemurnian dengan cara sulfitasi dilakukan dengan pemberian kapur secara berlebihan. Kelebihan kapur ini dinetralkan kembali dengan gas sulfit (SO2). Penambahan gas SO2 menyebabkan

SO2 bergabung dengan CaO membentuk CaSO3 yang mengendap. Gas SO2 dapat memperlambat

reaksi antara asam amino dan gula reduksi yang dapat mengakibatkan terbentuknya zat warna gelap pada nira. Gas SO2 dalam larutan asam dapat mereduksi ion ferri sehingga menurunkan efek oksidasi.

Pelaksanaan proses sulfitasi adalah sebagai berikut: - Sulfitasi dingin

Nira mentah disulfitasi sampai pH 3,8 kemudian diberi kapur sampai pH 7. Setelah itu dipanaskan sampai mendidih dan kotorannya diendapkan.

- Sulfitasi panas

Pada proses sulfitasi terbentuk garam CaSO3 yang lebih mudah larut dalam keadaan dingin

sehingga ketika dipanaskan akan terjadi endapan pada pipa pemanas. Untuk mencegah hal ini, pelaksanaan proses sulfitasi dimodifikasi dengan cara nira mentah dipanaskan sampai 70 – 80 oC, disulfitasi, ditambahkan kapur, dipanaskan hingga mendidih kemudian diendapkan.

- Pengapuran sebagian dan sulfitasi

Apabila pada proses sulfitasi panas tidak dapat memberikan hasil yang baik maka dilakukan modifikasi, yaitu dengan cara pengapuran pertama sampai pH 8,0 dan pemanasan sampai 50 - 70 oC, sulfitasi sampai pH 5,1 - 5,3 dan pengapuran kedua sampai pH 7,0 - 7,2 kemudian dilanjutkan dengan pemanasan sampai mendidih sampai terjadi pengendapan (Hugot 1960).

Pelaksanaan sulfitasi dipandang dari sudut kimia dibagi menjadi 3 yaitu : - Sulfitasi Asam

Nira mentah disulfitasi dengan SO2 sehingga dicapai pH nira 3,2 kemudian ditambahkan

larutan kapur hingga pH 7,0 – 7,3. - Sulfitasi Alkalis

Pemberian larutan kapur hingga pH nira 10,5 kemudian ditambahkan SO2 hingga pH nira


(9)

6

- Sulfitasi Netral

Pemberian larutan kapur hingga pH nira 8,5 kemudian ditambahkan gas SO2 sehingga pH nira

menjadi 7,0 – 7,3 (Halim 1973).

c. Proses Karbonatasi

Proses karbonatasi merupakan metode yang paling baik dibandingkan dengan proses defekasi dan sulfitasi. Bahan pembantu yang digunakan pada proses pemurnian nira dengan karbonatasi adalah susu kapur dan gas CO2. Setelah ditambahkan susu kapur secara berlebihan, kemudian ditambahkan

gas CO2 yang berfungsi untuk menetralkan kelebihan susu kapur sehingga kotoran-kotoran yang

terdapat dalam nira akan diikat, reaksinya adalah sebagai berikut : Ca(OH)2 + CO2 CaCO3_ + H2O

Terbentuknya endapan CaCO3 yang banyak, mengakibatkan endapan dapat dengan mudah

dipisahkan (Hugot 1960).

3.

Penguapan

Nira yang telah mengalami proses pemurnian masih mengandung air, air ini harus dipisahkan dengan menggunakan alat penguap. Penguapan adalah suatu proses menghilangkan zat pelarut dari dalam larutan dengan menggunakan panas. Zat pelarut dalam proses penguapan nira adalah air, apabila nira dipanaskan maka akan terjadi penguapan molekul air. Akibat penguapan ini, nira akan menjadi kental. Sumber panas yang digunakan adalah uap panas (Soejardi 1977).

4.

Kristalisasi

Proses kristalisasi adalah suatu proses dimana dilakukan pengkristalan gula dari larutan yang mengandung gula. Dalam larutan encer, jarak antara molekul satu dengan yang lain masih cukup besar, kemudian pada proses penguapan jarak antara masing-masing molekul dalam larutan tersebut saling mendekat, apabila jaraknya sudah cukup dekat maka masing-masing molekul dapat saling tarik menarik. Apabila di sekitarnya terdapat sukrosa yang menempel, keadaan ini disebut sebagai larutan jenuh. Pada tahap selanjutnya, bila kepekatan naik maka molekul-molekul dalam larutan akan dapat saling bergabung dan membentuk rantai-rantai molekul sukrosa, sedangkan pada pemekatan lebih tinggi maka rantai-rantai sukrosa tersebut akan dapat saling bergabung pula dan membentuk suatu kerangka atau pola kristal sukrosa.

5.

Pengeringan

Gula yang keluar dari proses kristalisasi akan masuk ke stasiun putaran dengan menggunakan sentrifuge, selanjutnya gula yang keluar dari sentrifuge ditampung dalam alat getar (talang goyang). Talang goyang ini selain berfungsi sebagai alat pengangkut, juga sebagai alat pengering gula. Pengeringan ini menggunakan udara yang dihembuskan dari bawah, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kadar air dalam gula. Setelah pengeringan, gula dimasukkan dalam karung atau kemasan dan disimpan di gudang untuk kemudian dipasarkan.


(10)

7

D.

SUMBER DAN DAMPAK PENCEMARAN DI PABRIK GULA

Pabrik gula merupakan salah satu industri yang mengolah bahan pertanian menjadi produk jadi berupa gula SHS (Super High Sugar) atau GKP (Gula Kristal Putih). Proses produksi gula tidak terlepas dari limbah (waste) dan produk samping (by-product) yang dihasilkan selama proses berjalan. Limbah yang dihasilkan pabrik gula merupakan limbah yang didominasi oleh bahan-bahan organik, walaupun tidak menutup kemungkinan menghasilkan limbah anorganik (persentasenya kecil). Limbah yang dihasilkan di pabrik gula terbagi menjadi beberapa jenis dan dilakukan penanganan yang berbeda antara satu jenis limbah dengan limbah yang lainnya. Jenis limbah yang dihasilkan pada produksi gula ini berupa limbah cair, limbah padat, limbah udara, dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Limbah udara yang dihasilkan berasal dari pembakaran boiler serta dari alat transportasi. Emisi partikulat dihasilkan dari gas buang boiler karena bahan bakar yang digunakan berupa padatan (ampas). Selain itu, beberapa pabrik gula juga mengalami masalah dengan debu ampas yang cukup halus, sedangkan limbah gas, yakni SO2, NOx, dan CO2 umumnya tidak melebihi ambang batas.

Limbah selanjutnya adalah limbah B3 yang terdiri dari oli bekas, aki bekas, lap majun, dan lampu TL yang disimpan di tempat penyimpanan sementara limbah B3. Oli bekas dan aki bekas berasal dari stasiun gilingan, mesin-mesin produksi, genset dan workshop (operasional kendaraan dan alat berat). Lap majun diperoleh dari lap bekas pembersihan mesin, pompa, oli, dan lain-lain. Lampu TL diperoleh dari lampu yang sudah rusak atau mengalami gangguan sehingga tidak bisa digunakan kembali.

Limbah padat yang dihasilkan diantaranya, abu, blotong, dan ampas. Abu merupakan limbah yang dihasilkan dari pembakaran boiler, blotong merupakan limbah padat dari proses penyaringan (Rotary Vacuum Filter), dan ampas yang merupakan limbah hasil pemerahan nira pada stasiun gilingan. Limbah cair yang dihasilkan terbagi menjadi dua bagian, yaitu limbah cair berat dan limbah cair ringan. Limbah cair berat merupakan limbah cair dengan kadar organik tinggi sedangkan limbah cair ringan merupakan limbah cair yang mengandung kadar organik rendah (LPP 2006). Walaupun menghasilkan limbah padat, cair, gas, dan B3, masalah lingkungan utama yang dihadapi pabrik gula adalah yang berkaitan dengan limbah cair, baik karena volume maupun konsentrasi polutannya. Pengolahan tebu menjadi gula dapat menghasilkan limbah cair sebanyak 1-2 m3/ton tebu. Daftar limbah cair pabrik gula dan sifatnya dapat dilihat pada Tabel 2. Limbah padat pabrik gula berupa ampas, blotong, dan sisa ampas yang tidak habis dipakai sebagai bahan bakar. Penanganan limbah padat relatif lebih mudah dibandingkan limbah yang lain (LPP 2006). Sumber limbah di pabrik gula dapat dilihat pada Lampiran 2.

Limbah pabrik gula dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan jika tidak ditangani secara tepat karena mengandung sejumah besar karbohidrat, protein, lemak, dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan baik dalam pengolahan dan pembersihan. Masalah-masalah yang mungkin timbul dalam operasi pabrik gula (LPP 2006) adalah :

1. Polusi pada badan air akibat kontaminasi dan deoksigenisasi oleh efluen limbah cair 2. Pabrik gula yang langsung dibuang atau tidak ditangani secara memadai

3. Bau menyengat akibat biodegradasi limbah dalam bentuk gas hidrogen sulfida (H2S)

4. Suburnya tumbuhan ganggang sepanjang aliran sebagai akibat banyaknya sisa-sisa nutrien seperti phospor dan nitrogen

5. Terganggunya fotosintesis pada ekosistem air karena tumpahan minyak ke badan utama air 6. Efek hujan asam akibat emisi gas SO2

7. Menurunnya kualitas udara karena emisi asap dan gas buang hasil pembakaran ampas pada boiler


(11)

8

Tabel 2. Limbah cair di pabrik gula dan sifat-sifatnya

Sumber Pencemar Potensi Pencemaran Sifat

Stasiun gilingan - Minyak - Nira

- Air pendingin

tinggi tinggi rendah

mengapung larut, pH < 5,5 suhu normal Stasiun Pemurnian

- Nira

- Pendingin vacuum filter - Pendingin sublimator

tinggi rendah

tinggi

larut, pH < 6,5 suhu normal suhu 60 – 70 oC Stasiun Penguapan

- Nira - Soda

- Pendingin kondensor

tinggi tinggi rendah

pH netral basa

suhu > 40 oC Stasiun Kristalisasi

- Larutan gula

- Pendingin kondensor

tinggi rendah

pH < 6 suhu > 40 oC Palung Pendingin

- Air

- Larutan gula

rendah tinggi

suhu normal pH < 6 Laboratorium

- Nira - Larutan gula - Bahan kimia lain

tinggi tinggi rendah

pH < 6 pH < 7 bervariasi, Pb Boiler

- Air kurasan - Abu dalam air

rendah rendah

suhu > 90 oC pH > 8, mengendap Stasiun Pembangkit Listrik

- Minyak tinggi mengapung

Sumber : LPP (2006)

E.

LIFE CYCLE ASSESSMENT

(LCA)

Penilaian daur hidup (Life Cycle Assessment/LCA) adalah suatu metode pengukuran dampak suatu produk tertentu terhadap ekosistem yang dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengukur, menganalisis, dan menakar besarnya konsumsi energi, bahan baku, emisi serta faktor-faktor lainnya yang berkaitan dengan produk tersebut sepanjang siklus hidupnya (Curran 1996). Siklus hidup suatu produk dimulai dari bahan baku yang diambil dari alam, diproses di pabrik, digunakan oleh konsumen sampai menjadi limbah yang dibuang kembali ke alam. Pada setiap tahapan siklus hidup akan mengkonsumsi sumber daya dan menghasilkan emisi atau limbah, dan dampak lingkungan tiap tahapan dalam siklus hidup produk tersebut perlu diketahui. Dalam suatu sistem industri terdapat input dan output, input dalam sistem berupa material-material yang diambil dari lingkungan dan outputnya akan dibuang ke lingkungan kembali. Input dan output sistem industri ini akan menghasilkan dampak terhadap lingkungan. Pengambilan input material yang berlebihan akan mengakibatkan semakin berkurangnya persediaan di alam, sedangkan hasil keluaran dari sistem industri yang berupa limbah (padat, cair, dan udara) akan memberi dampak negatif terhadap lingkungan. Dengan menerapkan metode LCA diharapkan dapat dilakukan evaluasi untuk meminimalkan pengambilan material dari lingkungan dan limbah industri yang dihasilkan (Megasari et al. 2008).


(12)

9

LCA dapat digunakan untuk menangani dampak lingkungan dari produk, proses atau aktifitas dalam seluruh siklus hidup mulai dari ekstraksi material mentah, proses produksi, transportasi, penggunaaan, dan pembuangan akhir. Manfaat penerapan konsep LCA (Megasari et al. 2008) adalah: 1. Perbaikan produk: LCA dapat mengidentifikasi pilihan biaya paling efisien dan efektif bagi pengurangan dampak lingkungan dari produk atau jasa. Perbaikan ini dapat membuat produk lebih diinginkan oleh konsumen.

2. Perbaikan proses: LCA dapat diterapkan untuk mengevaluasi operasi atau proses produksi perusahaan. Hal ini merupakan metode yang berguna untuk menghitung sumber daya dan penggunaan energi. Manfaat LCA dapat menawarkan pilihan bagi perbaikan efisiensi seperti meminimalkan limbah, penggunaan sumber daya lebih sedikit, dan memperbaiki kualitas proses. 3. Perencanaan strategis: LCA dapat digunakan sebagai perencanaan strategis. Jika peraturan

lingkungan dan harapan lingkungan meningkat, akan mengakibatkan peningkatan tekanan terhadap perusahaan untuk memperbaiki kinerja operasinya.

Komponen utama LCA dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. Tujuan dan cakupan (Goal and Scoping)

Tujuan dan cakupan perlu dilakukan untuk dilakukan inventarisasi kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting yang ditimbulkan oleh proses atau produk tertentu terhadap lingkungan.

2. Analisis inventori (Inventory Analysis)

Analisis inventori merupakan bagian LCA yang berisi inventori input yang berupa energi maupun bahan baku, dan output emisi maupun limbah. Pada proses ini dilakukan pengumpulan data kuantitatif untuk menentukan level atau tipe input energi maupun material pada suatu sistem industri dan hasil yang dilepaskan ke lingkungan.

3. Penakaran dampak (Impact Assessment)

Penakaran dampak digunakan untuk menganalisis dampak suatu proses terhadap lingkungan dan kesehatan manusia yang telah didata secara kuantitatif pada penakaran inventori. Dalam proses klasifikasi, data inventori yang dihubungkan dengan efek potensi terhadap ekologi dan kesehatan manusia ditempatkan dalam kategori khusus.

4. Interpretasi atau analisis perbaikan (Improvement Analysis)

Pada tahapan ini dilakukan interpretasi hasil, evaluasi, dan analisis terhadap usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk perbaikan (Curran 1996).

Setiap produk mempunyai daur hidup (life cycle), mulai dari perancangan atau pengembangan produk, diikuti oleh ekstraksi sumber daya, proses produksi, konsumsi, dan aktivitas akhir (pengumpulan, penyortiran, pemanfaatan kembali, daur ulang, dan pembuangan limbah). Semua aktivitas ini akan menghasilkan dampak lingkungan karena pengaruh konsumsi sumber daya, emisi dari bahan-bahan yang digunakan ke lingkungan alam, dan perubahan lingkungan lainnya. Pembangunan yang berkelanjutan yang baik memerlukan metode dan alat yang membantu menghitung dan membandingkan dampak lingkungan dari barang dan jasa itu ke masyarakat (Rebeitzer et al. 2004). Alat pengelolaan lingkungan yang dapat menghitung beban lingkungan dan dampak potensialnya di dalam seluruh daur hidup produk, proses atau kegiatannya adalah Life Cycle Assessment (Azapagic 1999).

LCA merupakan kerangka metodologi untuk memperkirakan dan menilai dampak lingkungan yang dikaitkan dengan daur hidup suatu produk, seperti perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, penciptaan troposfir ozon, eutrofikasi, asidifikasi, keracunan pada manusia dan ekosistem, penipisan sumber daya, penggunaan air, penggunaan lahan, kebisingan, dan lainnya (Rebitzer et al. 2004).


(13)

10

Variabel LCA yang dikaji diantaranya teknologi proses, kapasitas pabrik, jenis bahan baku, energi, dan lokasi pabrik. Variabel tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi hasil dari analisis LCA.

Siklus hidup (life cycle) suatu produk menitikberatkan pada faktor mengumpulkan informasi dan menganalisis dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk. Pada LCA dibutuhkan data mengenai input dan output secara lengkap meliputi bahan baku, proses pembuatan, distribusi, transportasi, konsumsi, hasil samping, dan dampak lingkungan. LCA terdiri dari beberapa elemen antara lain: (1) identifikasi dan mengukur faktor-faktor yang terlibat, (2) evaluasi faktor-faktor yang berpotensi berdampak terhadap lingkungan, (3) analisis untuk mengurangi dampak lingkungan (Mattson dan Sonesson 2003).

Sektor industri saat ini dituntut untuk lebih serius dalam memperhatikan dampak lingkungan akibat aktivitasnya. Hal ini seiring bertambah buruknya kualitas lingkungan baik itu udara, air, tanah, dan sebagainya. LCA merupakan sebuah metode yang tepat untuk mengetahui seberapa besar dampak lingkungan yang disebabkan pada tahap daur hidup mulai dari pengambilan material sampai dengan produk itu selesai digunakan oleh konsumen. Upaya untuk mencegah dan mengurangi timbulnya limbah, dimulai sejak pemilihan bahan, teknologi proses, penggunaan material dan energi, serta pemanfaatan produk samping pada suatu sistem produksi. Minimalisasi limbah dapat dilakukan dengan cara reduce, reuse, recycle, dan recovery.

Reduce merupakan upaya untuk mengurangi pemakaian atau penggunaan bahan baku seefisien mungkin di dalam suatu proses produksi, serta memperhatikan agar limbah yang terbuang menjadi sedikit. Reuse merupakan upaya penggunaan limbah untuk digunakan kembali tanpa mengalami proses pengolahan atau perubahan bentuk. Reuse dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses produksi yang bersangkutan. Recycle merupakan upaya pemanfaatan limbah dengan cara proses daur ulang melalui pengolahan fisik atau kimia, baik untuk menghasilkan produk yang sama maupun produk yang berlainan. Daur ulang dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses produksi yang bersangkutan. Recovery adalah upaya pemanfaatan limbah dengan jalan memproses untuk memperoleh kembali materi atau energi yang terkandung di dalamnya.

Dalam melakukan pengolahan data pada metode LCA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Menghitung input dan output dari setiap unit proses

2. Analisa dampak lingkungan yang meliputi: klasifikasi, karakterisasi, normalisasi, pengelompokan atau pembobotan

3. Identifikasi input dan output yang mengakibatkan dampak-dampak lingkungan pada kategori yang sudah ditetapkan dalam LCA

4. Analisis semua kategori dampak sesuai metoda LCA

5. Mencari kategori dampak yang paling signifikan terhadap lingkungan dari hasil perbandingan diantara kategori dampak

6. Analisa perbandingan dampak yang dihasilkan pada setiap siklus hidup untuk mengidentifikasi siklus hidup pada bagian mana yang paling signifikan terhadap lingkungan

7. Analisis dampak lingkungan dengan menggunakan beberapa skenario yang berbeda untuk melihat perubahan dampaknya.


(14)

11

III.

METODE PENELITIAN

A.

TAHAPAN PENELITIAN

Tahap penelitian yang dilakukan terdiri dari studi pustaka, observasi lapang, wawancara, serta pengolahan data. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Tahap-tahap dalam melakukan analisis dampak lingkungan dengan menggunakan metode Life Cycle Assessment (LCA) terdiri atas 4 fase utama, yaitu definisi tujuan dan ruang lingkup (goal and scope definition), menginventarisasi input dan output (life cycle inventory), perkiraan dampak lingkungan dari semua input dan output (life cycle assessment), dan interpretasi hasil yang disebut improvement analysis (Mattson dan Sonesson 2003).

Goal and scope definition merupakan proses pertama dalam LCA yang berfungsi untuk menentukan ruang lingkup dan batasan sistem yang akan dikaji. Life cycle inventory merupakan satu set data dan perhitungan aliran bahan dan energi yang mengkuantifikasikan input dan output dari daur hidup suatu produk. Dalam penelitian ini, data yang digunakan berasal dari data sekunder berupa data kebutuhan energi, bahan baku, dan jumlah limbah yang dihasilkan. Diagram alir penelitian mengenai LCAproduksi gula tebu dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir metode penelitian penilaian daur hidup (Life Cycle Assessment) gula

Data primer merupakan data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan orang yang ahli di bidang proses pengolahan tebu menjadi gula dan LCA, serta observasi lapang di PT PG Rajawali II Unit PG Subang, sedangkan data sekunder berupa data penggunaan bahan tambahan, energi, dan peralatan di PG Subang pada tiap tahapan proses produksi, serta deskripsi mengenai proses pengolahan tebu menjadi gula dan dampak terhadap lingkungan.

OBSERVASI

Industri Gula PT PG Rajawali II Unit PG

Subang

STUDI PUSTAKA

Tebu, Proses Produksi Gula, Energi, Limbah, LCA

WAWANCARA

Ahli Proses Produksi Gula dan LCA

PENILAIAN DAUR HIDUP (LIFE CYCLE ASSESSMENT) KAJIAN


(15)

12

B.

METODE PENGUMPULAN DATA

1. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder yang telah didapatkan dari pihak-pihak terkait, buku-buku acuan, jurnal, dan literatur lainnya. Selain itu, studi pustaka juga dilakukan untuk menunjang atau memenuhi data yang kurang dari observasi lapangan. Studi pustaka pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permodelan LCA yang biasa dilakukan serta mengetahui dampak lingkungan yang dapat diakibatkan pada proses produksi gula.

2.

Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi serta mempelajari siklus hidup dari pabrik gula di PT PG Rajawali II Unit PG Subang untuk mendapatkan data primer.

3.

Kuesioner

Tujuan pembuatan kuesioner adalah mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder yang dibutuhkan dalam menganalisis kebutuhan bahan baku dan energi. Kuesioner yang dibuat pada penelitian ini berisi tentang informasi mengenai kebutuhan bahan baku, tambahan, energi, serta penanganan limbah pada industri gula. Kuesioner data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.

Wawancara

Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang ahli di bidang proses produksi gula tebu. Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder yang dibutuhkan dalam melakukan LCA pada industri gula di PT PG Rajawali II Unit PG Subang.

C.

PENILAIAN DAUR HIDUP (

LIFE CYLE ASSESSMENT

)

Metode LCA yang digunakan adalah prosedur LCA menurut ISO 14040 yang terdiri atas empat fase, yaitu penentuan tujuan dan ruang lingkup, analisis persediaan, analisis dampak, dan interpretasi. Tujuan dan ruang lingkup yang telah ditetapkan dalam penelitian ini menjadi dasar dalam penggunaan LCA. Bagian-bagian yang dikaji dalam penelitian ini adalah penggunaan bahan dan energi selama tahapan proses serta dampak lingkungan yang terjadi akibat proses produksi gula.

1.

Penggunaan Bahan

Penggunaan bahan-bahan selama proses produksi gula dikaji menggunakan analisis inventori sesuai dengan metode LCA. Dampak yang ditimbulkan selama kegiatan berlangsung dianalisis menggunakan analisis dampak.


(16)

13

2. Penggunaan Energi

Energi yang digunakan selama proses produksi berasal dari tenaga uap, listrik, dan bahan bakar. Metode LCA yang digunakan untuk mengetahui besar energi yang dibutuhkan selama proses produksi gula adalah dengan menggunakan analisis inventori. Dampak yang ditimbulkan dianalisis menggunakan analisis dampak.

3. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan yang dianalisis adalah dampak dari limbah padat, cair, B3, dan udara yang dilepaskan selama proses produksi gula berlangsung. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dianalisis secara kualitatif menggunakan analisis dampak pada metode LCA. Penelitian dengan metode LCA di pabrik gula sebelumnya sudah pernah dilakukan, hanya saja ruang lingkup yang dikaji berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosmeika et al. (2009), dilakukan pengkajian daur hidup ampas tebu di Pabrik Gula Maduksimo Yogyakarta menggunakan metode LCA. Metode penelitian yang digunakan terdiri dari empat komponen, yaitu: mendefinisikan tujuan dan ruang lingkup kegiatan, analisis inventarisasi, analisis dampak, dan mengkaji perbaikan (interpretasi). Pada penelitian tersebut ditentukan batasan permasalahan, antara lain: 1) proses kegiatan yang dilakukan hanya terbatas pada satu pabrik gula tebu, 2) Life Cycle Assessment pada industri pengolahan tebu hanya dibatasi sampai pada ampas tebu sebagai hasil samping dari stasiun gilingan dan pemanfaatannya untuk bahan bakar boiler, 3) analisis emisi dibatasi hanya pada emisi udara (gas) yang dihasilkan dari cerobong asap boiler (tanpa menganalisis emisi padat dan cair) dan parameter yang dianalisis dibatasi hanya pada emisi CO2, NO2, dan SO2, 4) analisis dampak dibatasi hanya

sampai pada tahapan karakterisasi untuk potensi terjadinya efek rumah kaca, acidification, dan eutrophication.

Selain itu, penelitian LCA pada pabrik gula juga dilakukan oleh Renouv dan Wegener (2007) dengan melakukan LCA pada produksi dan pengolahan tebu di Australia. Metode LCA yang digunakan meliputi: ruang lingkup kegiatan, analisis inventori, analisis dampak, dan evaluasi hasil (interpretasi). Ruang lingkup pada penelitian tersebut mulai dari budi daya tebu hingga pengolahan tebu menjadi gula. Analisis dampak lingkungan yang dilakukan meliputi: penggunaan energi, eutrofikasi, penggunaan air, dan emisi gas rumah kaca. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis dampak yang ditimbulkan dari perbandingan antara tebu dengan tanaman penghasil gula yang lain, seperti bit dan jagung.


(17)

14

IV. KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

A.

SEJARAH PERUSAHAAN

Areal PT PG Rajawali II Unit PG Subang pada tahun 1812-1833 pada awalnya merupakan areal tanaman karet milik swasta asing (Inggris) yang kemudian pada tahun 1834-1957 dikuasai

perusahaan swasta asing (Belanda) bernama “Pamanoekan and Tjiasem Land”. Pada tahun 1958 -1967 dikuasai Perusahaaan Perkebunan Negara (PPN) dengan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda dan pada tahun 1968 menjadi PTP XXX dengan PP No. 14 Tahun 1968. Berdasarkan instruksi Menteri Pertanian No.13/INS/UM/1979 dilakukan konversi lahan dari tanaman karet ke tanaman tebu dengan mengadakan uji coba penanaman tebu bersama PPIG. Penanaman tebu pertama seluas 800 ha dan digiling di PTP XIV, PG Tersana Baru. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.681/MENTERI.X/1978 tanggal 14 Oktober 1978, pengelolaan PG Subang sepenuhnya diserahkan ke PTP XIV yang meliputi kebun Pasir Bungur, Pasir Muncang dan Manyingsal.

Pabrik Gula Subang (Gambar 4) dibangun mulai tahun 1981 berdasarkan SK Menteri Pertanian No.667/KTPS/8/1981 dan surat Dirjen Moneter Departemen Keuangan No. 2892/MD/1982 dengan kontraktor Heavy Mechanical Complex (HMC) Pakistan. Pada tahun 1984 pembangunan fisik pabrik dengan fasilitasnya telah selesai dilaksanakan. Penggilingan pertama dimulai tanggal 3 Juli 1984 dan berakhir tanggal 18 Oktober 1984.

Gambar 4. Pabrik Gula Subang

Pada tahun 1985 dilaksanakan penyerahan pabrik gula subang dari pihak kontraktor ke PTP XIV. Pada tahun 1989, pengelolaan PTP XIV berpindah dari Departemen Pertanian ke Departemen Keuangan. Berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/013/1988 dilakukan pengalihan manajemen PTP XIV kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia. Pada tanggal 30 Desember 1988 pengelolaan PG Subang dilaksanakan oleh PT PG Rajawali II yang merupakan salah satu unit perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT RNI).


(18)

15

B.

VISI DAN MISI PERUSAHAAN

Visi : Menjadi unit usaha agroindustri berbasis tebu yang handal (reliable) di lingkungan PT RNI

Misi : Menjadi perusahaan yang mampu tumbuh dan berkembang dengan kinerja yang sehat, siap menghadapi kompetensi pasar bebas dan mampu memenuhi harapan stake

holders

C.

LOKASI DAN TATA LETAK PERUSAHAAN

Pabrik gula Subang terletak di desa Pasir Bungur, Kecamatan Purwadadi, Kabupaten Subang, Jawa Barat dengan jarak sekitar 22 km ke arah utara kota Subang, 25 km dari kota Subang ke arah barat dan 12 km ke arah selatan Kecamatan Sukamandi. Secara geografis kedudukan PG Subang dan areal perkebunannya terletak antara 107o41’ 61’’ BT sampai 107o41’ 18’’ BT dan 6o24’ 46’’ LS sampai 6o24’48’’LS.

PT PG Rajawali II unit PG Subang memiliki luas areal Hak Guna Usaha sebesar 5.669,4 ha. Untuk tanaman tebu 5.275 ha sedangkan untuk pabrik gula, jalan dan perumahan sekitar 405 ha. Areal perkebunan tebu PG Subang terbagi dalam tiga rayon. Rayon 1 meliputi wilayah Pasir Bungur, Cihambulu dan Kalijati dengan luas 1.413,34 ha. Rayon 2 meliputi wilayah Pasir Muncang dengan luas 2.879,19 ha, sedangkan Rayon 3 meliputi wilayah Manyingsal dengan luas 1.249,31 ha. Tiap kebun dibagi menjadi petak-petak berukuran 4 ha kecuali petak pinggir. Masing-masing petak dipisahkan oleh jalan kebun.

PG Subang mempunyai lahan dengan jenis tanah latosol merah, alluvial kelabu, alluvial coklat kelabu, podsolik plintik, lateritik air tanah, glei humus rendah, hidromorf kelabu, dan lateritik. Dari jenis yang ada sebagian besar jenis tanah di PG Subang adalah jenis tanah latosol dan podzolik merah dengan struktur porus. Suhu udara di PG Subang berkisar antara 22–31,4 oC, kelembaban nisbi adalah 81,2 % dengan curah hujan 1.200 – 2.000 Nm/tahun. Jenis tanah per rayon dan kriterianya dapat dilihat pada Tabel 3 .

Tabel 3. Jenis tanah di PG Subang

No. Jenis Tanah Kriteria Rayon

1. Latosol a. pH tanah 4,5 – 6,5

b. Drainase baik

c. Kesuburan rendah

d. Permeabilitas tinggi

Pasir Bungur dan Pasir Muncang

2. Podzolik a. pH tanah 4,5 – 6,5

b. Kesuburan tanah rendah c. Permeabilitas rendah

Manyingsal

Sumber : Data PG Subang (2011)

Keadaan topografi areal PG Subang berupa daerah datar hingga bergelombang dengan kemiringan 3 - 8 % dan ketinggian rata-rata 33 m di atas permukaan laut untuk wilayah Pasir Bungur dan Pasir Muncang, sedangkan untuk wilayah Manyingsal memiliki kemiringan 8 - 15 % dengan ketinggian rata-rata 45 m di atas permukaan laut.


(19)

16

D.

STRUKTUR ORGANISASI

PT PG Rajawali II unit PG Subang dipimpin oleh seorang General Manager yang di dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Engineering Manager, Processing Manager, Administration and Financial Manager, Plantation Manager, dan Manager Sumber Daya Manusia dan Umum. Struktur organisasi PT PG Rajawali II unit PG Subang dapat dilihat pada Lampiran 4.

E. KETENAGAKERJAAN

Status karyawan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang dibedakan berdasarkan sifat hubungan kerja dengan perusahaan menjadi karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. Karyawan tetap dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karyawan bulanan dan karyawan harian, sedangkan karyawan tidak tetap terdiri dari karyawan kampanye dan musiman. Karyawan kampanye adalah karyawan yang berhubungan langsung dengan jalannya proses produksi, sedangkan karyawan musiman dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yaitu karyawan musiman tebang yang bertugas dari mulainya tebu ditebang sampai diangkut dan ditimbang. Karyawan musiman tanaman yang bertugas dari pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tebu sampai siap ditebang, dan karyawan musiman lain-lain yaitu karyawan yang bekerja di sekitar emplasemen namun tidak berhubungan langsung dengan proses penggilingan tebu, seperti tenaga administrasi gudang.

Selain memperoleh upah (harian/bulanan) karyawan juga menerima tunjangan-tunjangan baik untuk karyawan tetap maupun untuk karyawan tidak tetap. Karyawan tetap bulanan mendapat tunjangan dari perusahaan berupa rumah dinas, jaminan kesehatan, asuransi tenaga kerja, sarana olahraga dan kesenian, kendaraan bermotor, pendidikan, cuti kerja, jaminan hari tua, serta hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perusahaan. Karyawan tetap harian tidak mendapatkan tunjangan perumahan. Karyawan kampanye mendapatkan pasokan giling, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, dan untuk karyawan musiman tebangan dan karyawan musiman lain-lain hanya mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

Jam kerja yang diberlakukan di PG Subang bagi karyawan terdiri dari jam kerja harian dan shift. Jam kerja harian dilakukan pada luar masa giling atau pada masa perbaikan dan pemeliharaan. Jam kerja shift diberlakukan selama masa giling dengan pertukaran shift dilakukan setiap tiga kali sehari. Dalam satu hari terdapat tiga shift dengan jam kerja selama 8 jam untuk masing-masing shift. Untuk meningkatkan keterampilan setiap staf dan karyawan, PG Subang mengadakan kerjasama dengan Depnaker (Departemen Tenaga Kerja), Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), dan Dewan Gula Indonesia (DGI). Kerja sama yang dilakukan adalah dengan mengadakan pelatihan mengenai keselamatan dan keterampilan kerja, selain itu juga dilakukan pelatihan kerja di lokasi pabrik. Data tenaga kerja tahun 2011 di PG Subang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Data tenaga kerja PG Subang tahun 2011

Status tenaga kerja Jumlah tenaga kerja (orang)

Karyawan staff ( Gol. IX – XVI) Karyawan KNS (Gol. I- VIII) PKWT luar pabrik

PKWT dalam pabrik Harian borong Honorair MPP Total

43 261 341 285 0 2 0 932 Sumber : Data PG Subang


(20)

17

F.

PROSES PRODUKSI GULA

Pabrik gula adalah pabrik yang mengelola gula (sukrosa) dan gula reduksi (glukosa dan fruktosa) yang terkandung dalam tebu. Sifat sukrosa adalah tidak tahan asam, bila sukrosa pada kondisi asam maka akan rusak karena adanya inversi. Hasil kerusakan gula (sukrosa) adalah gula reduksi yaitu glukosa dan fruktosa. Sifat gula reduksi tidak tahan terhadap basa akan tereduksi menjadi asam-asam, dan asam-asam ini akan memicu kerusakan pada sukrosa. Kerusakan inversi sukrosa dan destruksi dari monosakarida akan lebih besar pada kondisi suhu yang tinggi dan waktu yang lama. Reaksi pada kerusakan gula bersifat irreversible (searah), sehingga sukrosa yang sudah menjadi gula reduksi tidak bisa kembali lagi menjadi bahan semula (sukrosa). Untuk itu perlu dikendalikan melalui 3 variabel, yaitu pH stabil, suhu optimal, dan waktu yang singkat.

Proses produksi gula dari tebu pada hakekatnya hanyalah memisahkan gula melalui pemerahan, penyaringan, penguapan, pemutaran, dimana yang dipisahkan adalah air, kotoran, dan zat bukan gula. Kelemahan pengelolaan gula secara kimia adalah berubah-ubahnya kandungan sukrosa selama proses akibat suhu, pH, waktu dan aktivitas mikroba. Reaksi perubahan tidak dapat dibolak-balik sehingga sekali tereduksi tidak dapat kembali, dan yang dapat terkristalkan hanyalah sukrosa (Soebekti 2001). Proses produki gula di PG Subang dilakukan melalui beberapa proses, yaitu : proses persiapan, proses ekstraksi nira, proses pemurnian, proses penguapan, proses kristalisasi, proses pendinginan, proses pemisahan gula, dan proses penyelesaian.

1.

Proses Persiapan

Tebu yang terdapat di lahan sebelum diolah menjadi gula, terlebih dahulu ditebang dan dibawa ke stasiun persiapan. Stasiun persiapan terdiri dari daerah ketika tebu masuk hingga tebu sebelum masuk ke stasiun gilingan. Komponen yang terdapat di stasiun persiapan meliputi : meja tebu, tipper (derek feeding), hillo (hidrolik feeding), cane cutter (pisau pemotong tebu), dan unigrator, serta dilengkapi dengan penggerak-penggeraknya yaitu cane carrier dan cane elevator. Tebu yang masuk ke areal pabrik terlebih dahulu ditimbang pada jembatan timbang. Timbangan yang digunakan ada dua jenis yaitu timbangan bruto dan timbangan tarra. Fungsi timbangan bruto adalah untuk mengetahui berat bruto yang terdiri dari berat truk atau trailler dan berat tebu. Setelah melewati timbangan bruto, angkutan tebu kemudian masuk ke cane yard. Setelah tebu dibongkar di cane yard kemudian truk atau trailler ditimbang kembali ke timbangan tarra. Fungsi timbangan tarra adalah untuk mengetahui berat tarra yaitu berat truk atau trailer yang kosong tanpa tebu. Hasil selisih dari timbangan bruto dan timbangan tarra adalah bobot tebu yang sebenarnya (netto).

Cane yard di Pabrik Gula Subang merupakan tempat pembongkaran tebu dari kebun, tempat penyediaan tebu yang akan digiling dan tempat pemasukan (feeding) tebu ke dalam pabrik. Luas cane yard PG Subang 2.230 ha yang terbagi menjadi 8 petak. Petak I – IV terletak di sebelah Timur cane carrier dan petak V – VIII terletak di sebelah barat cane carrier. Kapasitas tampung cane yard 5.600 TCD, padahal untuk kapasitas pabrik 2.800 TCD yang ditampung di cane yard hanya 1.113,2 ton sehingga dengan luas yang tersedia sangat cukup bahkan berlebih untuk menampung tebu. Atas dasar pertimbangan itu, dan juga karena cane table berada di sebelah timur (petak I – IV ) maka cane yard yang digunakan adalah petak I – IV.

Tebu yang diangkut oleh truk setelah memasuki cane yard akan dibongkar menggunakan sling (alat pengait dari kawat) yang terdapat di pinggir cane yard. Jika alat sling sedang digunakan maka truk yang mengangkut tebu dialihkan menuju alat hidrolik yang disebut truck tipper. Tebu yang dibongkar dengan menggunakan sling akan diatur kembali penyimpanannya di cane yard dengan


(21)

18

menggunakan cane stacker yang kemudian akan dimasukkan ke cane table, sedangkan tebu yang dibongkar menggunakan truck tipper langsung masuk ke side carrier yang fungsinya sama dengan cane table yang dilengkapi dengan rantai.

Tebu yang diangkut oleh trailler tidak dibongkar di cane yard melainkan langsung dimasukkan ke cane table dengan menggunakan hillo. Jumlah hillo yang digunakan ada dua buah yaitu hillo A

dan hillo B. Hillo A digunakan pada saat pabrik sedang melakukan proses giling, sedangkan hillo B digunakan saat proses giling tidak berjalan. Tebu yang dibongkar menggunakan

hillo A langsung diletakkan di cane table, sedangkan tebu yang dibongkar menggunakan hillo B tidak langsung dimasukkan ke cane table tetapi ditampung dulu di cane yard dan kemudian akan diatur peletakkannya di cane yard menggunakan cane stacker.

Tebu yang telah disusun di cane yard kemudian diproses di stasiun gilingan. Dari cane table, tebu dimasukkan ke dalam cane carrier. Sebelum tebu digiling, tebu dicacah menggunakan cane cutter yang akan memotong tebu menjadi potongan tebu, kemudian tebu masuk ke unigrator yang akan membuat potongan tebu menjadi serabut. Cara kerja cane cutter dan unigrator berbeda, pada cane cutter, tebu yang masuk dipotong-potong menjadi serabut kasar, sedangkan pada unigrator, tebu hasil cacahan dihantam-hantamkan dengan menggunakan hammer ke dinding unigrator sehingga serabut tebu yang dihasilkan menjadi lebih halus.

Tebu yang masuk ke cane yard akan langsung digiling pada hari itu juga dengan sistem FIFO (First In First Out), tebu yang ditebang di awal akan digiling di awal pula. Sistem ini tidak digunakan pada tebu bakaran, tebu bakaran yang masuk ke cane yard akan langsung digiling tanpa menunggu antrian untuk mengurangi resiko kehilangan rendemen dalam jumlah besar. Proses memasukkan tebu bakaran ke cane table juga harus dicampur dengan tebu non bakaran agar tidak menurunkan rendemen. Pada setiap akhir shift dilakukan taksasi tebu di cane yard dengan metode penghitungan volume tebu yang tersisa. Berat tebu taksasi diperoleh dengan mengalikan volume dengan bulk density tebu sebesar 2,5 m3/ton.

Manfaat dari adanya taksasi sisa tebu diantaranya :

1. untuk menentukan perencanaan sasaran berapa tebu yang harus digiling 2. untuk mengetahui apakah tebu cukup

3. sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan bagi Chemiker jaga

4. sebagai bahan pertimbangan untuk rapat tebangan menentukan berapa tebu yang akan ditebang. Tebu sisa pagi pukul 06.00 disarankan sekitar 250 ton, sehingga proses giling bisa berlanjut karena pukul 08.00 truck dan trailer dari kebun sudah berdatangan. Untuk membedakan tebu sisa pagi dengan yang baru datang ditancapkan bendera dengan ketentuan sebagai berikut :

Bendera Hijau : tebu hari ke-1 Bendera Kuning : tebu hari ke-2 Bendera Merah : tebu hari ke-3 Bendera Hitam : tebu lebih dari 3 hari

Setelah menghitung berat tebu taksasi, dilakukan analisa pendahuluan yaitu menghitung pol tebu, brix tebu, kotoran pada tebu untuk menghitung potensi rendemen dan efisiensi sehingga dapat memprediksi besarnya perolehan hasil gula yang diproduksi. Analisa pendahuluan yang dilakukan menghasilkan HPG (Harga Pemerahan Gula) sebagai efisiensi gilingan dan BHR (Boiling House Recovery) sebagai efisiensi proses.


(22)

19

2.

Proses Ekstraksi

Proses ekstraksi bertujuan untuk mengambil nira sebanyak-banyaknya yang berasal dari tebu maupun ampas. PG Subang memiliki empat unit mesin gilingan yang tersusun secara seri, satu unit mesin giling terdiri atas tiga buah roll yaitu roll depan, roll atas, dan roll belakang dengan arah putar yang berbeda-beda ditambah feed roll untuk membantu mengarahkan tebu atau ampas yang akan digiling oleh roll gilingan. Roll gilingan digerakkan dengan turbin uap dengan kecepatan dan tekanan uap tiap unit gilingan diatur berbeda.

Pertama-tama tebu akan dibawa ke unit gilingan I. Hasil perahan gilingan I yaitu nira perahan pertama (NPP) dan ampas gilingan I. Ampas dari gilingan I akan digiling kembali di gilingan II dengan penambahan air imbibisi dari hasil perahan gilingan III. Ampas hasil gilingan II kemudian akan ditambahkan air imbibisi yang berasal dari nira hasil perahan gilingan IV dan dibawa oleh intermediate carrier (alat yang berfungsi untuk membawa ampas tebu antar gilingan) ke gilingan III untuk diperah kembali. Nira hasil gilingan III kemudian disaring di cush-cush screen dan DSM screen yang kemudian digunakan sebagai air imbibisi untuk campuran dengan ampas hasil gilingan I. Nira hasil gilingan III akan dipompakan ke ampas gilingan I sebagai nira imbibisi. Ampas hasil gilingan III sebelum masuk ke gilingan IV ditambahkan air imbibisi sebanyak 25 - 30 % dari berat tebu yang digiling dengan suhu air imbibisi 60 – 70 oC. Nira yang dihasilkan dari gilingan IV akan ditambahkan ke gilingan III sebagai air imbibisi sedangkan ampasnya dibawa oleh bagasse elevator untuk dijadikan bahan bakar pada boiler. Hasil perahan unit gilingan II disebut nira perahan lanjut (NPL), NPP dan NPL kemudian dicampur menjadi nira mentah (NM).

Nira mentah kemudian disaring dengan cush-cush screen untuk memisahkan nira dengan ampas atau kotoran lain yang terbawa. Nira mentah yang telah disaring oleh cush-cush screen kemudian dipompa untuk kembali disaring di DSM screen. Ukuran lubang-lubang saringan DSM screen lebih kecil daripada cush-cush screen. Nira mentah yang telah disaring kemudian ditampung di tangki penampung sebelum dipompa di stasiun pemurnian.

3. Proses Pemurnian

Proses pemurnian yang dilakukan oleh PG Subang adalah sulfitasi alkalis yang menggunakan gas belerang. Tahapan proses pemurnian diawali dengan penimbangan nira mentah yang dihasilkan dari proses gilingan. Nira ditimbang dengan menggunakan timbangan boulogne, yang mempunyai kapasitas 3 ton nira mentah. Setiap nira mentah terukur 3 ton maka timbangan ini akan menjatuhkan nira mentah tertimbang tersebut ke dalam bak penampungan yang tepat berada di bawah timbangan, yang kemudian akan dipompa dan dialirkan untuk proses selanjutnya. Jika kadar fosfat (P2O5) dalam

nira mentah kurang dari 250 ppm, maka ditambahkan fosfat ke dalamnya untuk membantu proses pengendapan. Nira mentah yang telah ditambahkan fosfat tersebut kemudian dipompa ke juice heater I untuk dipanaskan dengan suhu 70 - 75 oC. Pemanasan ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat jalannya reaksi yang akan terjadi. Sebagai sumber panas digunakan uap sisa dari roll gilingan, nira mentah akan mengalir dan bersirkulasi di dalam pipa-pipa tersebut sedangkan uap dialirkan di antara pipa-pipa pemanas.

Dari juice heater I, nira dimasukkan ke tangki untuk proses defekasi dengan ditambahkan susu kapur sampai mencapai pH 8,5. Proses pembuatan susu kapur menggunakan sebuah tombol putar tempat membuat emulsi kapur dari kapur tohor dan air. Pemberian susu kapur dilakukan secara otomatis melalui unit pH kontrol dan panjatah kapur. Tujuan penambahan susu kapur ini adalah untuk membentuk inti endapan dan menaikkan pH sehingga dapat meminimalisir kerusakan nira karena


(23)

20

kondisi asam. Selain itu, lingkungan basa juga dapat mempermudah koloid-koloid yang terkandung dalam nira untuk membentuk endapan-endapan.

Proses selanjutnya setelah defekasi adalah sulfitasi di sulfur tower. Pada proses sulfitasi ini menggunakan gas sulfit (SO2) atau gas belerang dengan menghembuskan gas tersebut ke cairan nira

dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam tangki akan mengalami overflow. Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 200 oC. Proses pembuatan gas belerang terbagi menjadi dua cara, yaitu cara pertama dengan membakar belerang langsung, sedangkan cara kedua yaitu dengan melelehkan belerang tersebut. Gas belerang yang terbentuk akan bereaksi dengan kelebihan susu kapur membentuk CaSO4

yang juga merupakan inti endapan. Gas belerang juga menurunkan pH dari suasana basa kembali ke suasana netral, karena jika nira tetap dalam suasana basa, nira akan berwarna coklat yang berdampak pada hasil akhir gula yang kemerahan. Warna coklat ini terbentuk karena pada nira terdapat glukosa yang akan rusak pada pH di atas 7,8.

Nira mentah tersulfitir dengan pH 6,8 – 7,2 kemudian dipompa untuk dipanaskan lagi pada juice heater II sehingga mencapai suhu 100 oC. Tujuan pemanasan ini untuk mempercepat reaksi pengendapan yang akan terjadi pada proses selanjutnya di door clarifier dan juga untuk membunuh mikroorganisme. Nira dari juice heater II kemudian dipompa ke door clarifier melewati flash tank yang sebelumya ditambahkan flokulan terlebih dahulu untuk membantu proses pengendapan nira. Flash tank berguna untuk membuang gas-gas yang terbawa pada nira yang dapat menghambat proses pengendapan, sedangkan door clarifier merupakan alat pengendap tipe kontinu. Pada proses pengendapan ini ditambahkan flokulan sebanyak 3 ppm pada snow balling chamber untuk mengikat koloid-koloid pada nira dan membentuk endapan. Tangki door clarifier yang digunakan bertipe multiple tray berupa bejana silindris yang terbagi empat tingkatan dengan dasar miring.

Nira jernih hasil pengendapan akan dikeluarkan dari tiap-tiap tingkatan kemudian dialirkan ke clear juice DSM screen untuk menyaring ampas halus yang masih tersisa dan kotoran yang terbawa dari door clarifier. Nira jernih kemudian ditampung di clear juice tank. Clear juice (nira jernih) yang ditampung di clear juice tank selanjutnya dipompa ke stasiun penguapan. Nira kotor hasil pengendapan ditampung di tangki nira kotor, kemudian dipompa ke mud feed mixer dan dicampur dengan ampas halus (bagacillo) yang berasal dari stasiun penggilingan.

Nira kotor yang telah dicampur ampas halus dialirkan ke penyaring untuk memisahkan nira tersebut dengan kotorannya. Peralatan penyaringan yang digunakan adalah rotary vacuum filter (RVF). RVF yang digunakan ada dua buah, RVF ini terdiri dari tromol yang dapat berputar pada as horizontal. Drum diletakkan di atas bak nira kotor sehingga sebagian drum terendam pada nira kotor. Drum terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bebas hampa, bagian hampa rendah, dan bagian hampa tinggi. Pada rotary vacuum filter disemprotkan air panas bersuhu 70 oC sebanyak 2 % tebu untuk membantu proses penyaringan nira kotor dari blotong. Pada RVF ini nira kotor menempel pada sisi drum saat keadaan hampa tinggi, air panas ditambahkan pada saat hampa rendah dan hasil penyaringan atau blotong dilepaskan dari drum saat kondisi bebas hampa. Selanjutnya nira hasil penyaringan RVF ditampung di filtrat tank dan dimasukkan kembali sebagai nira tertimbang ke dalam bak penampung nira mentah yang telah ditimbang, sedangkan kotoran yang tersaring yang biasa disebut blotong digunakan sebagai pupuk tanaman tebu yang ditampung di tempat penampungan blotong yang dibawa oleh truk khusus pembawa blotong.


(24)

21

4. Proses Penguapan

Stasiun penguapan bertujuan untuk menguapkan air yang masih terkandung dalam nira jernih atau nira encer agar dapat menghasilkan nira dengan kepekatan mencapai 60 - 65 brix. Dalam proses penguapan digunakan evaporator. Evaporator yang digunakan berbentuk silinder vertikal dengan konstruksi antara evaporator satu dengan yang lainnya hampir sama. Pada proses penguapan hanya evaporator I yang diberi pemanasan oleh uap panas. Uap panas yang digunakan untuk memanaskan evaporator I berasal dari uap bekas (exhaust steam) dari stasiun gilingan. Stasiun penguapan di PG Subang menggunakan empat unit evaporator dengan sistem penguapan empat tahap atau disebut quadruple effect evaporation, maksudnya setiap 1 kg uap bisa menguapkan 4 kg air. PG Subang memiliki lima buah evaporator yang disusun secara seri, tetapi yang dioperasikan hanya empat buah dengan pemakaian secara bergantian apabila salah satunya harus dibersihkan. Pembersihan tangki evaporator dilakukan sekitar lima hari sekali. Hal ini dilakukan untuk membersihkan kerak yang menempel pada dinding evaporator ataupun pipa-pipa pemanas. Jika kerak atau kotoran ini tidak dibersihkan maka akan dapat menghambat pindah panas dari pipa pemanas ke nira.

Nira jernih dari stasiun pemurnian dialirkan ke evaporator I. Nira yang masuk ke evaporator mengalir turun melalui pipa-pipa pemanas membentuk climbing film sehingga uap nira dapat dengan mudah dipisahkan dari cairan nira. Uap panas yang masuk ke dalam evaporator I akan keluar dalam bentuk kondensat. Kondensat ini kemudian ditampung dan dialirkan untuk digunakan sebagai umpan pada boiler. Dari evaporator I akan dihasilkan nira I, dan uap panas. Uap I akan digunakan sebagai uap panas pada evaporator II. Nira dari evaporator I diuapkan kembali pada evaporator II. Hasil dari evaporator II adalah nira II dan uap panas II. Nira dari evaporator II dipekatkan kembali di evaporator III sedangkan uap II digunakan sebagai uap panas pada proses penguapan di evaporator III. Nira III akan dipekatkan kembali pada evaporator IV. Uap panas yang dihasilkan di evaporator IV akan dialirkan ke kondensor untuk dicairkan kembali dan menjadi air jatuhan. Selanjutnya air dari kondensor dialirkan ke cooling tower untuk didinginkan dan digunakan kembali.

Di bagian tengah evaporator terdapat pipa yang berfungsi untuk terjadinya sirkulasi nira dan tempat mengalirnya nira ke badan berikutnya. Nira akan bergerak turun melalui pipa. Ketinggian permukaan nira di dalam evaporator diharapkan sekitar sepertiga dari tinggi pipa pemanas. Sirkulasi nira dari satu badan penguapan ke badan penguapan lainnya terjadi karena adanya perbedaan tekanan (driving force). Tekanan pada evaporator I sampai evaporator IV semakin kecil dan akhirnya vakum pada bahan terakhir. Begitu juga dengan suhu, dari evaporator I ke evaporator IV juga semakin menurun berdasarkan tekanan yang digunakan. Nira dari evaporator I hingga evaporator IV makin kental karena ada vacuum sekitar 60 cmHg untuk menurunkan titik didih nira atau cairan. Nilai brix nira sebelum masuk evaporator berkisar antara 12 – 14brix. Nira hasil proses dari stasiun penguapan berkisar antara 60 - 65 brix disebut nira kental. Nira kental masih berwarna gelap, maka perlu dilakukan pemucatan pada proses pemurnian yang kedua atau sulfitasi 2. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan warna gula yang putih bersih, proses pemucatan ini menggunakan gas belerang. Nira kental tersulfitasi kemudian dipompa ke stasiun masakan (kristalisasi).

5. Proses Kristalisasi

Proses kristalisasi dilakukan di stasiun masakan, proses ini akan terus berlangsung sampai kadar gula atau sukrosa dalam larutan nira menjadi rendah. Stasiun kristalisasi di PG Subang menggunakan proses ACD. Pan masakan (alat untuk kristalisasi) yang digunakan di PG Subang ada 7 buah. Pan masakan 1,2,3, dan 4 digunakan untuk masakan A. Pan masakan 5 digunakan untuk


(25)

22

masakan C, sedangkan pan masakan 6 dan 7 digunakan untuk masakan D. Proses kristalisasi dimulai dengan membuat semua pan masakan menjadi vakum (hampa) sekitar 60 cmHg, dengan begitu proses kristalisasi dapat dilakukan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi hanya sekitar 60 oC sehingga tidak akan merusak gula yang dihasilkan. Pan masakan dijalankan dengan tenaga uap bekas pakai (exhaust steam) dari stasiun gilingan dengan suhu uap sekitar 100 - 120 oC. Uap panas dan uap larutan sukrosa yang terbentuk dicairkan dalam kondensor dan menjadi air jatuhan.

Setelah pan masakan dalam keadaan vakum, cairan nira yang menjadi bahan pembuatan gula ditarik ke pan masakan. Cairan nira dikentalkan sampai kejenuhan tertentu (70 - 74 brix). Gula dari cairan nira tidak bisa berubah menjadi kristal tanpa penambahan bibit. Pada proses pengkristalan ini akan menghasilkan magma, klare, dan stroop. Magma adalah gula kristal yang telah terbentuk yang telah dicampur dengan air untuk menjalani proses selanjutnya pada pan berikutnya. Klare adalah cairan nira yang belum terkristalkan, dan stroop sama dengan klare namun klare hanya terdapat pada masakan D. Bibit gula FCS (Fine Crystal Seed) ditambahkan pada masakan D. Pada pan masakan D, FCS dicampurkan dengan klare D dan stroop C akan menghasilkan tetes dan magma D1. Selanjutnya gula D1 akan dikristalkan kembali pada putaran D2 yang akan dihasilkan gula D2 dan klare D. Tetes merupakan hasil samping dari produksi gula. Klare D adalah cairan nira pada masakan D yang belum terkristalkan tetapi masih dapat dikristalkan, oleh karena itu klare D kemudian dialirkan kembali ke pan masakan D sedangkan magma D dialirkan ke pan C untuk dibentuk kristal yang lebih besar.

Pada pan masakan C, magma masakan D dicampurkan dengan stroop A dan menghasilkan stroop C dan magma C. Stroop C dimasukkan ke pan masakan D untuk dicampurkan dengan FCS dan klare D, sedangkan magma C dimasukkan ke pan masakan A. Di pan masakan A, magma C dicampurkan dengan nira kental sehingga dihasilkan stroop A dan gula SHS. Stroop A dimasukkan kembali ke pan masakan C untuk diubah menjadi magma C dengan bantuan magma D, sedangkan gula SHS akan diproses menjadi gula produk.

Ukuran kristal yang dihasilkan masing-masing pan masakan berbeda. Ukuran kristal dari pan masakan D sampai masakan A semakin besar ukurannya. Ukuran kristal D adalah 0,1 mm. Pada masakan C adalah 0,3 mm, sedangkan pada masakan A adalah 0,9 – 1,1 mm. Lamanya waktu pemasakan masing-masing pan berbeda. Pada masakan A membutuhkan waktu selama 2 - 3 jam, pada masakan C membutuhkan selama 4 - 5 jam, dan pada masakan D membutuhkan waktu selama 6 -8 jam.

6. Proses Pendinginan

Gula yang keluar dari pan masakan masih dalam keadaan jenuh dan pada suhu yang relatif tinggi yaitu sekitar 70 oC. Dari pan masakan, gula kemudian dialirkan ke dalam palung pendingin untuk proses pendinginan. Proses pendinginan dapat mencapai suhu 50 oC bahkan di palung pendingin masakan D, suhu bisa mencapai 38 – 48 oC. PG Subang memiliki 11 unit palung pendingin. Empat unit palung pendingin untuk masakan A, satu unit palung pendingin untuk masakan C, dan enam unit palung pendingin untuk masakan D. Pada palung pendingin masakan A dan C proses pendinginan hanya dilakukan oleh udara, sedangkan pada palung pendingin untuk masakan D selain dilakukan oleh udara juga dilakukan dengan bantuan air dingin. Palung pendingin masakan D sebanyak enam unit disusun secara seri. Hasil masakan D sebelum ke palung pendingin 1, mengalir secara berurutan sampai ke palung pendingin 6. Untuk hasil masakan A dan C tidak didinginkan secara bertahap seperti hasil masakan D. Lama waktu pendinginan masakan A dan C hanya sekitar 2-3 jam tetapi untuk masakan D proses pendinginan dapat memakan waktu hingga 24 jam.


(1)

3

Lampiran 6. Diagram alur limbah PG Subang

DIAGRAM ALUR LIMBAH DI PG SUBANG

Kerak nira / gula

Pembuatan MSG, alkohol

Buang ke lebung

Kembali ke pabrik untuk proses

IPAL Menjadi bahan bakar boiler Pupuk

organik, campuran pupuk kompos tetes Iimbah

proses

Limbah abu ketel

Limbah kondensor

Limbah gabungan

Pembakaran boiler

Tangki penampun g

IPA L

Air bak penampung abu boiler

WTP IPAL

Genset listrik

Pengontrolan dan pengujian kualitas emisi udara

Tempat pembua ngan Dikumpul

kan menjadi pupuk

Tempat penyimpanan sementara limbah B3 Ditampung

dan dibuang Dikirim

ke stasiun boiler Ditampung di Tempat pembua-ngan

Ditampung dan dibakar

Oli bekas Sisa

pucuk& daun tebu

abu Lampu

TL Lap

majun aki

bekas ampas

blotong Limbah

domestik PG SUBANG

Limbah padat

Limbah udara Limbah B3

Limbah cair


(2)

Lampiran 7. Diagram neraca bahan pada proses produksi gula

NERACA BAHAN PADA PRODUKSI GULA DI PG SUBANG

Air imbibisi 24,84 % 85.362,30 ton

Unit Gilingan Ampas 31,81 %

109.303,6 ton

SO2

11.164,5 ton blotong Flokulan

1.816 ton

Nira Kotor RVF

Nira Tapis

Sulfitir II (pH : 5,6)

6,0 % Air Jatuhan Tebu

Penguapan 23.623,44 ton air

Nira Kental

343.646,88 ton

304,814.80 ton

Nira Mentah

Pemanas I (750 C)

464,08 ton kapur tohor

Defekator (pH : 8,5)

GULA SHS Sulfitir I (pH : 7,2)

Pemanas II (1000 C)

Flash Tank

Door Clarifier

Nira Jernih

Unit masakan dan sentrifugasi SO2

316.215,33 ton

68.191,36 ton

16.887 ton molasses 22.990,50 ton


(3)

3

Lampiran 8. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan bahan tambahan

Stasiun Losses Penyebab Dampak Interpretasi hasil

Ekstraksi /gilingan

3.490,25 ton atau 1,01 %

*Tebu tidak layang untuk digiling (pol tebu < 10 %)

* Tebu masih dalam keadaan kotor (0,3)

* Jumlah penambahan air imbibisi terlalu sedikit

* Kinerja mesin giling yang belum optimal

* Banyaknya zat gula (pol) yang ikut terbawa ampas

* Banyaknya oli yang berceceran

* Zat gula atau nira yang dihasilkan lebih sedikit

* Mesin bekerja lebih maksimal untuk memisahkan nira dan kotoran

* Perlu bahan tambahan yang lebih banyak untuk memurnikan nira

* Ekstraksi nira tidak maksimal karena penambahan air imbibisi yang terlalu sedikit * Adanya zat gula yang terbawa ampas akan

menghambat kinerja boiler

* Lantai menjadi licin, sanitasi kurang baik

* Perlu analisis pendahuluan yang baik terhadap kualitas tebu sebelum digiling * Optimalisasi mesin gilingan dengan

pembenahan yang maksimal saat maintenance

* Perlu perhitungan yang cermat dalam penambahan air imbibisi

* Perlu alat penampung oli yang berukuran lebih besar dan diperbanyak agar tidak terjadi tumpahan oli dari mesin gilingan Pemurnian 2.516,11 ton

atau 0,79 %

* Kandungan gula ( pol) pada blotong yang tinggi ( > 2%) * Penggunaan flokulan yang

berlebihan (5 ppm)

* Nira encer/ nira jernih yang dihasilkan menjadi lebih sedikit karena banyaknya zat gula yang ikut terbawa blotong

* Perlu biaya yang lebih tinggi untuk pembelian flokulan

* Optimalisasi mesin pada stasiun pemurnian * Lebih teliti dalam pengaturan suhu, pH dan

waktu di stasiun pemurnian

* Penggunaan bahan tambahan seperti belerang, kapur tohor, serta flokulan yang tepat

Penguapan brix nira kental tidak optimal

* Pengontrolan kinerja evaporator belum maksimal

* Aliran air injeksi yang terlalu cepat dan tidak optimum * Banyaknya pipa pelapis pada

badan evaporator yang terbuka * Banyaknya kerak pada badan

evaporator

* Brix nira kental belum memenuhi aturan standar yaitu 60 - 64 %, sehingga nira kental yang dihasilkan tidak maksimal

* Kurangnya jumlah steam untuk menguapkan nira encer di evaporator

* Kondisi vakum pada evaporator tidak optimal * Mekanisme pindah panas pada evaporator

tidak efisien

* Menyediakan sarana untuk mendaur ulang nira kental agar dapat diuapkan kembali * Pengontrolan kondisi dan kinerja mesin

evaporator secara optimal

* Perlu optimalisasi di stasiun pemurnian terutama dalam pembentukan inti endapan agar tidak terjadi penempelan kerak pada pipa uap di badan evaporator


(4)

Lampiran 8. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan bahan baku dan bahan tambahan (lanjutan)

Stasiun Losses Penyebab Dampak Interpretasi hasil

Kristalisasi dan sentrifugasi

5.728,16 ton atau 8,4 %

* Rendahnya zat gula (pol) dalam brix pada proses kristalisasi dalam pan masakan

* Kinerja mesin yang kurang optimal

* Sanitasi yang kurang baik * Keakuratan dalam proses

masakan/ kristalisasi terhadap suhu dan waktu yang kurang optimal

* Banyaknya zat gula dalam nira yang belum terkristalkan

* Gula SHS yang dihasilkan menjadi lebih sedikit

* Adanya gula yang masih tercecer

* Kristal gula yang dihasilkan tidak homogen * HK pada tiap masakan tidak optimal

* Para chemiker dituntut menguasai perhitungan cepat pada setiap kondisi yang selalu berubah

* Petugas dalam masakan harus selalu mengikuti perkembangan HK bahan yang ada di stasiun masakan, untuk stroop dan klare harus tahu HK bahan yang ada di tiap peti stroop dan klare

* Optimalisasi perbaikan mesin pada saat maintenance


(5)

3

Lampiran 9. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan energi

Sumber energi

Bentuk

Inefisiensi Penyebab Dampak Interpretasi hasil

Bahan bakar

Penggunaan IDO, pol ampas > 2 %, kadar air > 50 %,

* Penggunaan ampas tebu tidak mampu mencukupi kebutuhan pembakaran pada boiler

* Adanya zat gula yang terbawa pada ampas

* Nilai kalor ampas yang rendah * Ampas yang dihasilkan tidak

seluruhnya digunakan untuk pembakaran sehingga masih ada sisa di gudang ampas

* Diperlukan bahan bakar tambahan lain seperti IDO yang biayanya sangat tinggi dibandingkan ampas tebu yang diperolah secara gratis dari hasil ekstraksi tebu

* Timbulnya kerak (inkrustasi) pada pipa boiler sehingga menghambat heat transfer pada boiler

* Nilai kalor ampas menjadi rendah karena kadar air ampas yang tinggi sehingga pembakaran tidak optimal

* Kadar air ampas tinggi karena adanya ampas yang masih diletakkan di ruang terbuka sehingga bisa terkena air hujan sehingga tidak optimal untuk digunakan pembakaran di boiler * Banyaknya ampas yang beterbangan di sekitar gudang ampas karena gudang ampas tidak dalam keadaan tertutup sehingga timbul penyakit pada saluan pernafasan

* Emisi gas rumah kaca lebih besar dengan penggunaan IDO

* Penggunaan bahan bakar full ampas atau bahan bakar tambahan lain, misalnya dengan bahan bakar gas (Liquified Natura Gas/LNG) yang biayanya dan emisi lebih rendah dibandingkan dengan IDO

* Optimalisasi stasiun gilingan agar pol ampas rendah sehingga tidak ada zat gula yang ikut terbawa dalam ampas

* Gudang ampas diusahakan dalam keadaan tertutup agar tidak menurunkan kualitas ampas tebu yang akan digunakan untuk pembakaran di boiler

* Pemakaian masker di sekitar gudang ampas * Usahakan tidak terjadi berhenti giling * Optimalisasi mesin boiler agar kebutuhan

uap terpenuhi untuk proses produksi di pabrik

* Pemanfaatan ampas untuk bubur pulp, particle board, arang aktif, dan gasifikasi


(6)

Lampiran 9. Penilaian daur hidup gula di PG Subang tahun 2011 berdasarkan analisis inventori terhadap penggunaan energi (lanjutan)

Sumber energi

Bentuk

Inefisiensi Penyebab Dampak Interpretasi hasil

Listrik dan Uap

Efisiensi listrik > 15 % yaitu 18,94 %, Efisiensi uap > 45 % yaitu 58,94 %

* Kinerja di stasiun boiler tidak optimal

* Kualitas tebu yang digiling yang

kurang optimal serta

penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai

*Kurang efektif dalam

pelaksanaan proses pengolahan tebu di tiap stasiun

* Kinerja mesin- mesin produksi yang kurang optimal seperti efisiensi mesin dan spesifikasi dari mesin tersebut

* Adanya kebocoran pada sistem uap

* Heat transfer menurun karena adanya uap yang terbuang yang disebabkan sistem uap yang bocor dan adanya kerak pada badan uap *Tingginya kebutuhan uap yang diperlukan

pada tiap stasiun dalam proses produksi gula karena mesin dituntut bekerja lebih maksimal

dalam menghasilkan nira, memisahkan nira dari kotoran atau zat bukan gula, memurnikan nira, menguapkan nira dan menghasilkan kristal gula

* Dapat terjadi berhenti giling karena uap yang dihasilkan boiler untuk proses produksi gula di pabrik tidak terpenuhi

* Optimalisasi stasiun gilingan dan boiler * Menghindari terjadinya kebocoran uap * Dilakukan sistem bleeding

* Optimalisasi penggunaan peralatan dalam pelaksanaan proses produksi gula di pabrik yaitu dengan mengaktifkan alat pada kapasitas optimalnya dan menon-aktifkan alat ketika alat sedang tidak digunakan * Optimalisasi saat maintenance dengan

melakukan perawatan, perbaikan, modofikasi, atau pergantian mesin dan peralatan

* Penggunaan kontrol otomatis untuk memastikan uap hanya digunakan ketika dibutuhkan

* Pembenahan pada turbin dengan pengujian kinerja dan pembersihan turbin secara teratur untuk meningkatkan efisiensi