Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Industri Gula (Studi Kasus PT PG Rajawali II Unit PG Subang)

(1)

THE POTENTION OF EMISSION GREEN HOUSE GAS REDUCTION

IN SUGAR INDUSTRY

(CASE STUDY PT PG RAJAWALI II UNIT PG SUBANG)

Siti Rida A. Br. Sihombing dan Mohamad Yani

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Email : ridaanugrah28@yahoo.com

ABSTRACT

Green house gasses (GHGs) are gasses in the atmosphere that potential caused global warming because its collect heat from the sun which could increase the earth temperature. The sugar industry is one of industry that generates GHG emission from production process especially CO2 emission. The

research’s purpose are identification of emission source, calculation of the consumption of energi and GHG emission. Potention GHG reduction is done by analysis of inventory material, calculation of the potention of CO2 emission reduction, the use of electricity and fuel. The CO2 emission is calculated from all activities of production process as carbon dioxide equivalent. The GHG emission in sugar industry resulted from boiler’s fuel combustion, electricity, diesel fuel and liquid petroleum gas (LPG) consumption, and solid waste treatment. The sugar industry studied used 101,273.90 ton bagasse, 174,258 liter Industrial Diesel Oil (IDO), 995,232 liter diesel fuel, 800 kg LPG and 6,508 MWh electricity, a sources of energy the CO2 emission is counted 104,786 tCO2 from fueland and 403 tCO2 equivalent from waste treatment. Recommended options to reduce GHG emission in the sugar industry are optimum the use of bagasse fuel for boiler’s combustion and the use of organic fertilizer from filter cake solid waste with composting process.


(2)

Siti Rida A. Br. Sihombing. F34080091. Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Industri Gula (Studi Kasus PT PG Rajawali II Unit PG Subang). Dibawah bimbingan Mohamad Yani. 2012.

RINGKASAN

Emisi gas rumah kaca (GRK) sektor industri yang mencapai 29,3% dari keseluruhan emisi GRK global merupakan penyumbang emisi terbesar. Keadaan tersebut berdampak pada kenaikan suhu bumi yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Maka dari itu perlu dilakukan penurunan emisi GRK, khususnya di sektor industri. Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi GRK sebesar 23-24 juta ton CO2 setara per tahun. Industri gula yang berada di Indonesia merupakan salah satu industri yang menghasilkan emisi GRK dari proses produksi, terutama emisi CO2. Tujuan dari penelitian ini adalah mengindentifikasi dan mengklasifikasikan potensi emisi GRK pada industri gula, menghitung konsumsi energi dan produksi emisi GRK (CO2, CH4, dan N2O) dari kegiatan pemanenan tebu sampai dengan hasil akhir produk gula kristal, memilih dan mengevaluasi peluang penurunan emisi GRK pada industri gula.

Penelitian ini dilakukan pada industri gula PT PG Rajawali II Unit PG Subang yang memproduksi gula SHS I A (Super High Sugar). Bahan baku yang digunakan berasal dari tebu dengan kapasitas giling 3.000 TCD (Ton Cane per Day). Proses produksi pada PG Subang dilakukan secara semi otomatis dengan menggunakan mesin dan peralatan yang dioperasikan oleh pekerja. Perhitungan emisi dilakukan dengan menggunakan formulasi yang ditetapkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2006 berupa perkalian data aktifitas dengan faktor emisi yang sebelumnya telah dikelompokkan terlebih dahulu berdasarkan sumber emisinya. Data aktifitas PG Subang berupa data energi yang dikonsumsi dalam musim giling (DMG) tahun 2011, seperti penggunaan bahan bakar boiler berupa bagas dan IDO (Industrial Diesel Oil), solar, listrik dan LPG. Setelah diketahui jumlah keseluruhan emisi yang dihasilkan, tahap selanjutnya adalah penentuan peluang penurunan emisi GRK.

Emisi GRK yang dihasilkan oleh PG Subang berasal dari penggunaan bahan bakar boiler, penggunaan listrik, solar, LPG, dan pengolahan padat. Penggunaan bahan bakar boiler PG Subang DMG 2011 sebesar 101.273,90 ton ampas dan 174.258 liter IDO untuk menghasilkan energi listrik. Kebutuhan listrik PG Subang selama produksi adalah ± 5.816,59 kWatt dengan rata-rata konsumsi listrik PG Subang sebesar 1.084.673 kWh per bulan. Kebutuhan solar PG Subang terdiri atas dua bagian yaitu solar mekanisasi dan solar pabrikasi. Kebutuhan solar mekanisasi sebesar 910.413 liter selama musim giling yang digunakan untuk pompa kebun, pemeliharaan tanaman, mesin las, traktor angkut tebu giling, traktor traksi dan tarikan dan alat berat. Kebutuhan solar pabrikasi sebesar 84.820 liter yang digunakan untuk mesin atau alat produksi berbahan bakar solar. Penggunaan LPG untuk pengelasan dan pemotongan besi sebesar 800 kg selama musim giling. Jumlah penggunaan LPG tidak terlalu besar karena LPG tidak digunakan dalam proses produksi.

Pembakaran yang terjadi pada bahan bakar yang digunakan saat proses produksi dapat menghasilkan keluaran berupa energi sebagai produk utama dan emisi sebagai produk samping. Emisi inilah yang nantinya berpotensi sebagai pencemar udara yang menyebabkan pemanasan global di atmosfer bumi. Emisi GRK yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar boiler sebesar 101.928 tCO2. Nilai emisi yang tinggi ini diakibatkan karena penggunaan bahan bakar berupa bagas dan IDO dalam jumlah yang besar untuk menghasilkan uap yang dibutuhkan selama proses produksi. Penggunaan solar dan LPG dalam jumlah besar juga berpotensi menghasilkan emisi GRK karena


(3)

merupakan bahan bakar fosil. Emisi CO2 yang dihasilkan dari penggunaan solar mekanisasi sebesar 2,61 x 103 tCO2, emisi dari solar pabrikasi sebesar 2,43 x 102 tCO2 dan emisi dari LPG sebesar 2,51 tCO2 . Emisi PG Subang tidak hanya sebatas penggunaan bahan bakar, pengolahan limbah padat yang tidak terkendali menyumbang 1.377,55 kg emisi N2O nilai ini setara dengan 403,62 tCO2 setara. Total emisi CO2 yang dihasilkan PG Subang dalam musim giling 2011 adalah 105.189,14 tCO2 setara. Dari jumlah keseluruhan emisi dan produk gula yang dihasilkan, maka PG Subang menghasilkan emisi sebesar 4.54 tCO2 setara/ton produk.

Dalam musim giling 2011 PG Subang memiliki target 400.597 ton tebu giling. Realisasinya hanya 343.646,90 ton tebu yang dapat digiling (85,78%). Hal ini menyebabkan tidak tercapainya produksi ampas yang dibutuhkan. Jumlah ampas yang ditargetkan pada tahun 2011 adalah 132.197 ton sementara realisasinya hanya 109.304 ton (82.68%). Tidak tercapainya jumlah ampas menyebabkan PG Subang perlu menggunakan tambahan bahan bakar berupa IDO agar tetap memenuhi kebutuhan energi untuk menghasilkan uap. Jumlah IDO yang digunakan untuk memenuhi energi pembakaran pada boiler sebesar 174.258 liter. Peluang pertama yang dapat diberikan untuk penurunan emisi industri gula PG Subang yaitu optimasi penggunaan bahan bakar bagas. Hal ini dapat dilakukan dengan konversi energi yang dihasilkan IDO menjadi energi dari pembakaran bagas. Penurunan emisi yang dihasilkan dari pengurangan 50 % konsumsi bahan bakar IDO sebesar 250 tCO2. Penggunaan peluang ini dapat menurunkan 0,02 tCO2/ton produk. Peluang kedua adalah pemanfaatan blotong menjadi pupuk kompos. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 1/3 bagian dari volume awal bahan. Emisi N2O yang hilang akibat pengomposan adalah sebesar 459,18 kg N2O atau setara dengan 134,54 tCO2 setara. Penerapan peluang kedua dapat menurunkan emisi sebesar 0,02 tCO2/ton produk.


(4)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Komoditi tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman yang sedang digalakkan oleh pemerintah karena permintaan gula yang terus meningkat setiap tahunnya. Pengembangan pabrik gula dan perkebunan tebu merupakan salah satu upaya pemerintah guna mencukupi swasembada gula Indonesia. Tebu tersedia dalam jumlah banyak sehingga dinilai lebih efektif dan efisien untuk dikembangkan secara komersial. Menurut Misran (2005) iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan dua musim terdiri dari musim hujan dan musim kemarau ini sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman tebu sehingga tebu tumbuh secara optimal. Dilihat dari sisi lain, berkembangnya isu tentang pemanasan global (Global warming) dari sektor industri saat ini mendapat perhatian yang serius dari pemerintah karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Proses produksi pada industri menggunakan sejumlah besar energi untuk menghasilkan produk. Penggunaan energi yang meningkat berdampak pada peningkatan emisi CO2 yang berpengaruh pada peningkatan suhu dan iklim bumi. Jika dilihat dari kondisi iklim saat ini maka setiap negara diwajibkan untuk melakukan penurunan emisi CO2 yang merupakan salah satu gas rumah kaca berbahaya (Hektor dan Berntsson 2009). Gas rumah kaca adalah penyebab terjadinya perubahan iklim di muka bumi. Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus bertambah di udara. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya CO2 yang timbul. Terjadinya emisi tersebut berawal dari beberapa partikel karbon dioksida dan metana. Gas CO2 yang dikeluarkan oleh industri dan kendaraan transportasi yang bertebangan tertahan di atmosfer, sehingga membentuk gas lapisan rumah kaca. Akibatnya suhu bumi semakin panas dan menyebabkan perubahan iklim bumi. Penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca adalah karbon dioksida yang mencapai sekitar 47 %. Dampaknya berpengaruh pada sektor pertanian dan perikanan. Menurut IPCC (2006) gas-gas utama yang dikategorikan sebagai gas rumah kaca dan mempunyai potensi menyebabkan pemanasan global adalah CO2, CH4, dan N2O. Rukaesih (2004) menambahkan bahwa gas CO2 mempunyai presentase sebesar 50 % dalam total gas rumah kaca sementara CH4 memiliki presentase sebesar 20 %.

Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dalam ratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 1998 dan tercatat sebagai salah satu negara non-Annex I. Negara non-Annex I dalam Protokol Kyoto tidak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang telah ditandatangani dalam Protokol Kyoto akan tetapi negara non-Annex I perlu melakukan penurunan emisi GRK dengan mekanisme Clean Development Mechanism (CDM). Mekanisme ini tercantum dalam Pasal 12 Protokol Kyoto. CDM merupakan salah satu mekanisme pada Protokol Kyoto yang mengatur negara maju yang tergabung dalam Annex I dalam upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme CDM ini merupakan satu-satunya mekanisme yang terdapat pada Protokol Kyoto yang mengikutsertakan negara berkembang dalam upaya membantu negara maju dalam menurunkan emisinya. Maka dari itu, industri harus melakukan penurunan rata-rata enam gas sumber emisi gas rumah kaca sebagaimana yang telah diratifikasi pada Protokol Kyoto dan disetujui pemerintah Indonesia dan industri gula merupakan salah satu industri yang perlu berpartisipasi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.


(5)

B.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengindentifikasi dan mengklasifikasikan potensi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada industri gula.

2. Menghitung konsumsi energi dan produksi emisi gas rumah kaca CO2 dan N2O dari kegiatan pemanenan tebu sampai dengan hasil akhir produk gula kristal.

3. Memilih dan mengevaluasi peluang penurunan emisi GRK pada industri gula.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Industri gula dapat melakukan pengurangan pengeluaran CO2 dan menghemat penggunaan energi, sehingga dapat menurunkan tingkat emisinya.

2. Industri gula dapat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan Protokol Kyoto dalam hal penurunan tingkat emisi gas rumah kaca yang sedang digalangkan.

D.

RUANG LINGKUP

Penelitian ini difokuskan pada perhitungan akumulasi emisi yang dihasilkan dari kegiatan produksi gula dari bahan baku tebu, berupa proses produksi, pengolahan limbah, dan pembangkit energi yang digunakan. Penelitian ini dilakukan di industri gula PT PG Rajawali II Unit PG Subang yang merupakan salah satu industri penghasil CO2. Data yang digunakan berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data hasil observasi lapangan, wawancara dan kuesioner oleh staf ahli PG Subang. Data sekunder berupa data penggunaan energi (bahan bakar dan listrik) dan data pengolahan limbah. Data aktivitas untuk perhitungan emisi diperoleh dari konsumsi energi dan pengolahan limbah industri, kemudian data aktivitas tersebut dikonversi menjadi nilai emisi dengan menggunakan perhitungan emisi yang telah disetujui oleh organisasi internasional. Keseluruhan nilai emisi tersebut akan disetarakan dengan nilai emisi berupa CO2.


(6)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

PEMANASAN GLOBAL

Pemanasan global (Global Warming) adalah kejadian meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan dataran bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0,18 ºC selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa,

“sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Peningkatan suhu global diperkirakan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain, seperti naiknya muka air laut dan meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim (Smart Click 2011).

Pemanasan bumi yang telah berlangsung selama ini sehingga memungkinkan untuk ditempati manusia terjadi karena adanya proses fisik dan kimia atmosferik yang kompleks. Sebagian panas sinar matahari yang diterima permukaan bumi dipantulkan kembali sebagai radiasi infra merah ke angkasa. Proses ini dikenal dengan efek rumah kaca, yaitu bahwa panas yang timbul di dalam lapisan atmosfer bawah, dekat dengan permukaan bumi akan terperangkap. Keseimbangan energi antara kedua proses tersebut menentukan suhu rata-rata di permukaan bumi. Proses ini telah terbukti merupakan akibat langsung terabsorpsinya sebagian radiasi infra merah oleh uap air, karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan gas-gas lainnya (Soedomo 2001).

Kenaikan suhu yang diprediksi oleh IPCC mencapai 1-3,5 ºC pada akhir tahun 2100 (IPCC 1992), disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca (CO2, N2O, CH4, dan CFCs) di atmosfer bumi sehingga menghambat pantulan radiasi matahari (inframerah) dari permukaan bumi ke luar angkasa. Diantara gas-gas rumah kaca tersebut, CO2, CH4 dan N2O memiliki sifat seperti efek rumah kaca yang meneruskan radiasi gelombang pendek atau cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan bumi bersifat panas sehingga suhu di atmosfer bumi makin meningkat (Setyanto 2004).

Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim telah menjadi perhatian masyarakat dunia. Agenda untuk menyelesaikan masalah ini diawali pada tahun 1992 dengan diadakannya Earth Summit di Rio de Jeneiro, Brazil yang menghasilkan Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) dan ditandatangani oleh 167 Kepala negara. Kerangka konvensi ini mengikat secara moral semua negara-negara industri untuk menstabilkan emisi CO2 (KLH 2007). Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 mengenai perubahan iklim dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang pengesahan Protokol Kyoto. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2 namun diharapkan untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan. Dalam kaitan ini, Indonesia telah menyampaikan kepada UNFCCC hasil penyusunan Komunikasi Nasional Pertama (First National Communication) pada tahun 1999 sebagai bukti keseriusannya dalam menangani perubahan iklim. Saat ini Indonesia sedang menyiapkan penyusun Komunikasi Nasional Kedua yang diharapkan dapat selesai pada tahun 2009. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) sebagai lembaga yang menjadi focal point dalam implementasi program-program yang berhubungan dengan perubahan iklim (KLH 2007).


(7)

B.

EMISI GAS RUMAH KACA (GRK)

Gas rumah kaca sudah ada sejak awal terbentuknya bumi. Gas ini masuk ke bumi melalui proses alamiah dan kegiatan manusia. Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang dapat membentuk suatu lapisan perangkap panas di atmosfer bumi yang dapat memantulkan kembali panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Penumpukan gas-gas ini menyebabkan sinar infra merah yang dipantulkan ke bumi semakin besar dan berakibat pada peningkatan suhu bumi. Fenomena terjadinya pemanasan global diakibatkan oleh semakin meningkatnya jumlah gas buang penyebab efek rumah kaca (Cicerone 1987). Efek rumah kaca (green house effect) merupakan suatu keadaan yang terjadi di atmosfer pada lapisan troposfer bumi yang timbul akibat semakin banyaknya gas buang ke lapisan atmosfer kita yang memiliki sifat penyerap panas yang ada, baik yang berasal dari pancaran sinar matahari maupun panas yang ditimbulkan akibat dari pendinginan bumi, radiasi solar dan radiasi panas tersebut kemudian dipancarkan kembali ke permukaan bumi. Panjang gelombang yang dapat diserap dan terperangkap oleh gas rumah kaca adalah untuk panjang gelombang yang lebih besar dari 1200A (sinar infra merah).

Gambar 1. Efek rumah kaca

Dalam rumah kaca radiasi solar gelombang pendek dari matahari ditangkap dan dipancarkan sebagai gelombang panjang infra merah, demikian halnya dengan radiasi panas dari tanah dan permukaan lainnya di bawah lapisan rumah kaca. Radiasi panas yang berasal dari bagian bawah lapisan rumah kaca ditangkap dan diserap dalam lapisan rumah kaca, yang tidak dapat mentransmisikan radiasi gelombang panjang ke bagian luar yang memiliki suhu yang lebih rendah daripada lapisan rumah kaca. Pada suhu rata-rata permukaan bumi sebesar 288 K (15 ºC), emisi gelombang panjang (infra merah) yang dipancarkan kembali oleh permukaan bumi adalah sebesar 390 W/m2, sedangkan pada lapisan terluar atmosfer emisi terukur hanya sebesar 236 W/m2. Perbedaan emisi yang terukur ini menunjukkan terjadinya perangkap panas dalam lapisan atmosfer atau terjadi efek rumah kaca. Adanya peningkatan emisi gas rumah kaca, keseimbangan antara radiasi yang datang dan radiasi yang dipantulkan kembali akan terjadi apabila suhu permukaan bumi dan bagian bawah atmosfer meningkat emisinya akan mengakibatkan terjadinya kecenderungan peningkatan suhu dari permukaan bumi dan atmosfer bagian bawah atau disebut juga pemanasan global (Soedomo 2001).


(8)

Peningkatan penggunaan energi yang diperlukan untuk kegiatan industrialisasi, intensifikasi budidaya tanaman dan kegiatan jasa komersial dan non komersial di perkotaan yang sangat pesat, telah menjadi ciri perkembangan dunia pada beberapa dasa warsa terakhir ini. Negara-negara berkembang seperti Indonesia memerlukan tingkat pembangunan yang tinggi untuk mengejar ketinggalan yang ada. Sementara itu negara maju tetap pula memerlukan tingkat pengembangan yang paling tidak setara dengan laju perkembangan yang telah mereka alami selama ini. Dapat diduga bahwa tingkat emisi gas-gas rumah kaca juga akan semakin meningkat dengan laju yang dipercepat (Rachman 2007).

Kontribusi gas rumah terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas rumah kaca yang penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluoro-carbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6). Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global (Global WarmingPotential / GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1. Semakin besar nilai GWP makin bersifat merusak (Sugiono 2006).

Gambar 2. Persentase emisi gas rumah kaca (Sumber : Putt del Pino dan Bhatia 2002)

a.

Emisi Karbondioksida (CO2)

Emisi CO2 dapat berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti: batubara, minyak bumi dan gas bumi, emisi dari industri semen dan konversi lahan. Berdasarkan data dari Carbon Dioxide Information Analysis Center tahun 2000 penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74 % dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24 % dan industri semen sebesar 3 %. Emisi CO2 merupakan bagian terbesar dari emisi GRK di Indonesia dengan pangsa sebesar hampir 70 % sedangkan gas lainnya sebesar 30 %. Berdasarkan laporan Komunikasi Nasional Pertama, sumber utama emisi GRK adalah sektor energi dan sektor kehutanan. Sektor energi mempunyai pangsa sebesar 46 % dari total emisi GRK yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil pada bermacam-macam aktivitas seperti: produksi energi, pengolahan energi dan juga pembakaran energi yang digunakan baik untuk pembangkit listrik maupun untuk keperluan industri lainnya (Anonim 2009).

Karbondioksida merupakan unsur gas rumah kaca yang paling berpengaruh. Sumber-sumber polusi terdiri atas pembakaran, proses industri, pembuangan limbah, perubahan tata guna lahan melalui pembukaan hutan secara besar-besaran dan lain-lain. Polutan utama adalah karbon yang


(9)

mencapai hampir setengahnya dari seluruh polutan udara yang ada. Peningkatan produksi dan pemakaian energi memberikan kenaikan emisi gas CO2 yang besar (Fardiaz 1992).

Terkait dengan emisi CO2 yang berasal dari lahan pertanian, Setyanto (2008) menyatakan karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Meskipun emisi CO2 sangat tinggi di lahan pertanian, tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman saat berlangsungnya proses fotosintesis dan dikonservasikan ke bentuk biomassa tanaman. Produksi CO2 dari tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik secara aerobik, respirasi akar tanaman dan mikroba.

b.

Emisi Metana (CH4)

Data dari World Meteorologycal Organization (2007) menunjukkan metana (CH4) berkontribusi sebanyak 18,6 % dari total radiasi yang diterima bumi. Metana secara tidak langsung dapat menimbulkan efek negatif pada iklim permukaan bumi dengan cara mempengaruhi ozon pada lapisan troposfer dan uap air pada lapisan stratosfer. Metana teremisikan ke atmosfer melalui proses alami (~40 %, contoh : lahan basah dan rayap) dan sumber-sumber antropogenik (~60 %, contoh : eksploitasi bahan bakar fosil, lahan sawah, ruminansia, pembakaran biomassa, dan pengolahan tanah). Metana dapat dihilangkan dari atmosfer melalui reaksi dengan senyawa OH dan mampu bertahan di atmosfer selama ~9 tahun. Sebelum era industri, kelimpahan metana di atmosfer adalah ~700 ppb. Sedangkan pada tahun 2006 rata-rata secara keseluruhan kelimpahan metana di atmosfer mencapai 1.782 ppb. Dengan demikian, semenjak era pra-industri sampai tahun 2006, konsentrasi metana di atmosfer meningkat sampai 155 %.

Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4 memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih besar dari CO2. Bakteri metanotrop pada lahan sawah adalah satu-satunya mikroorganisme yang dapat menggunakan CH4 sebagai bagian proses metabolismenya untuk kemudian diubah menjadi CO2. Dengan berat molekulnya yang ringan, gas CH4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfer dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B) (Setyanto 2008). Emisi metana merupakan gas emisi yang juga potensial mencemari lingkungan bahkan berkontribusi dalam pemanasan global. Walaupun gas karbodioksida merupakan gas yang paling berpengaruh terhadap pemanasan global, radiasi gas metana lebih tinggi dibandingkan karbondioksida. Pemanasan metana terhadap atmosfer meningkat 1 % setiap tahunnya, dan hewan ternak berkontribusi menghasilkan gas metana sebesar 3 % dari total gas rumah kaca (Tyler dan Ensminger 2006).

c.

Emisi Dinitrogen oksida (N2O)

Dinitrogen oksida (N2O) adalah gas rumah kaca utama yang berkontribusi menyebabkan pemanasan global kira-kira 6 %. Konsentrasi ini di atmosfer meningkat 0,25 % per tahun (IPCC 2001). Aktivitas mikrobiologi dalam tanah merupakan sumber utama N2O di atmosfer. Dalam kondisi kaya oksigen (aerobik) N2O terbentuk melalui proses nitrifikasi sedangkan dalam kondisi tanpa oksigen (anaerobik) N2O terbentuk melalui proses denitrifikasi. Kedua proses tersebut diatur oleh keadaan fisik tanah, faktor biologi dan kimia serta interaksi keseluruhan (Pihlatie Mari et al. 2004). Dinitrogen oksida adalah gas rumah kaca yang berpotensi menimbulkan pemanasan global secara siginifikan dan berdampak negatif pada lingkungan. Dinitrogen oksida (N2O) berkontribusi sebesar 6,5 % dari total radiasi yang diterima permukaan bumi. Kelimpahan N2O di atmosfer sebelum era industrialisasi adalah 270 ppb. Emisi N2O berasal dari berbagai sumber alami dan antropogenik termasuk laut, tanah, penggunaan bahan bakar, pembakaran biomassa, pemakaian pupuk, dan berbagai


(10)

proses yang terjadi di industri. Dari berbagai sumber emisi tersebut, kegiatan antropogenik merupakan penyumbang emisi N2O terbesar yaitu 1/3 bagian dari total emisi N2O. Emisi N2O dapat dihilangkan dari atmosfer melalui proses fotokimia di lapisan stratosfer. Secara keseluruhan, rata-rata kelimpahan N2O selama tahun 2006 sebanyak 320,1 ppb, meningkat 0,8 ppb dari tahun sebelumnya. Jadi bila dibandingkan dengan sebelum era industrialisasi, emisi N2O di atmosfer pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19 % (World Meteorologycal Organization 2007).

Menurut Robertson dan Grace (2004), secara umum hanya tiga GRK yang keberadaannya dipengaruhi oleh sektor pertanian: CO2, N2O dan CH4. Meskipun CH4 dan khususnya N2O konsentrasinya di atmosfer jauh lebih kecil dari CO2, nilai GWP (Global Warming Potential) dari kedua jenis GRK tersebut cukup tinggi sehingga adanya perubahan kecil tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan terhadap radiasi yang diterima bumi. GWP dari N2O adalah 293, yang artinya satu molekul N2O yang terbebaskan ke atmosfer menyebabkan dampak radiasi 293 kali lebih besar dari dampak yang ditimbulkan CO2 pada saat yang sama.

C.

POLUSI / PENCEMARAN UDARA

Fardiaz (1992) menyatakan bahwa udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk uap H2O dan karbon dioksida (CO2). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi tergantung dari cuaca dan suhu. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas seperti sulfur dioksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S), dan karbon monoksida (CO) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami. Partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin. Selain disebabkan oleh polutan alami, polusi udara juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia dan aktivitas industri.

Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukkannya.

Emisi merupakan zat atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang berpotensi sebagai unsur pencemar udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer. Sumber emisi berasal dari setiap usaha atau kegiatan yang menghasilkan emisi dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Sumber pencemar dapat merupakan kegiatan yang bersifat alami (natural) dan kegiatan antropogenik. Contoh sumber alami adalah akibat letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik, debu, spora tumbuhan dan lain sebagainya. Pencemaran udara akibat aktivitas manusia (kegiatan antropogenik), secara kuantitatif sering lebih besar. Untuk kategori ini sumber-sumber pencemaran dibagi dalam pencemaran akibat aktivitas transportasi, dari persampahan, dan industri (Soedomo 2001).

D.

CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM

(CDM)

Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akhirnya mulai berlaku sejak 16 Februari 2005. Sejak penandatangan Persetujuan Marrakesh tahun 2001, yang menetapkan aturan-aturan dasar


(11)

bagi mekanisme Kyoto-Clean Development Mechanism (CDM)/Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), Joint Implementation (JI) / Implementasi Bersama, dan Emission Trading (ET) / Perdagangan Emisi-CDM telah menjadi pelopor (Pembina Institute 2003). CDM adalah sebuah mekanisme dimana negara-negara yang bergabung di dalam Annex I, yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca sampai angka tertentu per tahun 2012 seperti yang telah diatur dalam Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex I untuk melaksanakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca. Negara-negara non-Annex I yang dimaksud adalah yang menandatangani Protokol Kyoto namun tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya. Satuan jumlah emisi gas rumah kaca yang bisa diturunkan dikonversikan menjadi sebuah kredit yang dikenal dengan istilah Certified Emmission Reduction (CERs)-satuan emisi yang telah disertifikasi (MOE 2005). CDM bertujuan membantu negara-negara Annex I memenuhi target penurunan emisi gas rumah kacanya dengan memanfaatkan CER atau dapat pula dengan menerapkan kegiatan-kegiatan pengurangan/penyerapan GRK di negara-negara non-Annex I dan menghitung nilai GRK yang berhasil dikurang/diserap sebagai “kredit” yang dapat diperjualbelikan (MOE 2005).

Tabel 1. Enam jenis gas rumah kaca berdasarkan Protokol Kyoto

Gas Rumah Kaca (GRK)

Global Warming Potential

(GWP)

Karbondioksida (CO2) 1

Metana (CH4) 23

Dinitrogen oksida (N2O) 293 Hidroflorokarbon (HFCs) 140-11.700 Perflorokarbon (PFCs) 6.500-9.200 Sulfur heksaflorida (SF6) 23.900 Sumber : MOE (2005)

Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto terutama karena ancaman pemanasan global yang berpengaruh langsung terhadap negara ini dan menyebabkan tekanan politis kepada para pengambil kebijakan yang telah berusaha keras untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Tujuan strategis dari Protokol Kyoto adalah mengurangi emisi gas-gas rumah kaca yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Untuk Indonesia, ratifikasi juga memberikan peluang ekonomi melalui penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih atau dikenal dengan CDM. Sebagai negara non-Annex I, Indonesia ingin menarik negara-negara Annex I untuk bekerja sama dalam proyek CDM. Berdasarkan kajian strategis nasional sektor kehutanan dan energi yang dilakukan pada tahun 2001/2002, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 23-24 juta ton CO2 setara per tahun. Potensi yang besar ini harus didukung sepenuhnya oleh pengaturan institusional yang kokoh (Yayasan Bina Usaha Lingkungan 2003).

Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 mengenai perubahan iklim dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang pengesahan Protokol Kyoto. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak berkewajiban untuk mengurangi emisi CO2 namun diharapkan untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang dihasilkan. Dalam kaitan ini, Indonesia telah menyampaikan kepada UNFCCC hasil penyusunan Komunikasi Nasional Pertama (First National Communication) pada tahun 1999 sebagai bukti keseriusannya dalam menangani perubahan iklim. Saat ini Indonesia sedang menyiapkan penyusun Komunikasi Nasional Kedua yang


(12)

diharapkan dapat selesai pada tahun 2009. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) sebagai lembaga yang menjadi focal point dalam implementasi program-program yang berhubungan dengan perubahan iklim (KLH 2006).

E.

POTENSI EMISI GRK PADA INDUSTRI GULA

Pemakaian energi (bahan bakar minyak dan fosil) dalam proses industri mengeluarkan emisi gas buang dalam bentuk gas dan partikulat, terutama SOx, NOx, CO, CO2. Jenis emisi ini terutama terdapat di daerah aglomerasi industri perkotaan. Sumber utama pencemar golongan ini di daerah industri adalah sektor transportasi kendaraan bermotor, emisi dari keluaran industri berupa cerobong asap, serta pemukiman. Pemakaian bahan bakar sebagai sumber energi dalam menunjang proses industri masih sangat mendominasi kegiatan industri di Indonesia, akibat belum mencukupinya energi listrik yang ada pemakaian bahan bakar fosil ini memberikan emisi pencemar udara konservatif, yang meliputi CO, Hidrokarbon, NOx, Partikulat (Total Tersuspensi) dan SOx. Unsur-unsur ini juga menjadi indikator utama pencemaran udara (Soedomo et al. 1993).

Sektor industri merupakan sektor utama dalam memberikan kontribusi NOx, partikulat, dan terbesar untuk CO2 dari pembakaran bahan bakar. Besarnya kontribusi terhadap unsur-unsur tersebut terutama disebabkan oleh pemakaian bahan bakar berat, seperti jenis residu, solar dan diesel. Gas alam hanya dipakai dalam persentase yang kecil dibandingkan dengan ketiga jenis bahan bakar lainnya, meskipun pada dasarnya gas alam memberikan kualitas emisi gas buang yang lebih baik dan efisiensi energi yang lebih tinggi (Soedomo et al. 1993).

Tiga gas rumah kaca utama yang terdiri dari CO2, CH4 dan N2O dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, kegiatan proses produksi pada industri, aktivitas pertanian, penanganan dan pengolahan limbah serta perubahan penggunaan lahan (Wei et al. 2008). Industri gula yang menggunakan energi berupa bahan bakar fosil maupun biomassa berpotensi menghasilkan emisi GRK dan turut berpartisipasi dalam terjadinya pemanasan global. Ditambah lagi potensi emisi GRK yang berasal dari pengolahan limbah.

F.

PERHITUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA

Perhitungan emisi dapat dilakukan dengan menghitung konsumsi energi. Menurut Laksamana (2007) konsumsi energi bertujuan untuk mengetahui dan memperkirakan besarnya energi yang dibutuhkan dalam proses produksi. Perhitungan tersebut dapat pula dipergunakan untuk mengukur tingkat efisiensi proses produksi serta tindakan-tindakan penghematan dan konservasi energi pada masing-masing bagian produksi. Menurut Goswani (1986) konservasi energi merupakan kegiatan pengurangan atau penghematan penggunaan energi melalui suatu cara peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi tanpa mengurangi produktivitas produksi. Studi yang dilakukan secara global sejak awal tahun 1970-an menunjukkan bahwa konservasi energi dapat dilakukan melalui penerapan manajemen energi.

Perhitungan emisi, dilakukan dengan menggunakan dasar perhitungan emisi yang telah diakui oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dalam laporan IPCC 2006, perhitungan emisi yang diakibatkan pembakaran bahan bakar adalah sebagai berikut :


(13)

Faktor emisi yag digunakan berdasarkan dari bahan bakar yang digunakan pada industri yang bersangkutan, nilai yang digunakan merupakan nilai-nilai konstanta yang telah ditentukan (default) oleh IPCC (Tabel 2).

Tabel 2. Faktor emisi pembakaran bahan bakar

Produk Faktor Emisi CO2

(kg/TJ)

Nilai Kalor Bersih

Bensin 69.300 9.766 kkal/L

Solar 74.100 9.063 kkal/L

Batu Bara 94.600 4.800 kkal/kg

LPG 63.100 11.220 kkal/kg

IDO 74.100 9.270 kkal/L

Kayu Bakar 112.000 4.302 kkal/kg

Limbah Industri 143.000 -

Sumber : IPCC (2006)

Perhitungan emisi yang dihasilkan dari pabrik gula memiliki faktor emisi yang berbeda dengan faktor emisi dari hasil pembakaran minyak bumi. Pabrik gula memakai bahan bakar berupa ampas tebu (bagasse) yang tidak tercantum pada IPCC (2006). Tabel 3 menunjukkan emisi faktor yang berlaku untuk pabrik gula dengan bahan baku ampas tebu.

Tabel 3. Faktor emisi untuk pabrik gula dengan bahan bakar ampas tebu

Nomor ID Tipe data Nilai Satuan

GWP CH4 Potensi pemanasan global 21 Faktor CH4 Faktor emisi rata-rata

(pembakaran biomassa i)

0,03 t/TJ EF CH4 Faktor emisi metan (pembakaran

biomassa i)

0,0000411 tCH4/GJ

Efy Faktor emisi CO2 0,485 tCO2e/MWh

EF AOM y Rata-rata nilai faktor emisi CO2 untuk setiap kenaikan

0,194 tCO2e/MWh Sumber : UNFCCC (2006)

a.

Penurunan Emisi

Emisi CO2 semakin menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga perlu adanya strategi dalam mengurangi emisinya. Salah satu strateginya adalah mengganti energi dengan energi terbarukan (renewable energi). Energi terbarukan merupakan salah satu cara untuk memperkecil tingkat emisi CO2 dengan cara mengganti energi yang berasal dari bahan bakar fosil menjadi energi yang berasal dari sumber lain, seperti angin, air, nuklir, biomassa, dan biobriket (Fiantisca 2002).

Penurunan emisi dapat dilakukan dengan menginventarisasi emisi karbon yang dihasilkan suatu perusahaan. Metode tersebut digunakan untuk mengestimasikan emisi karbon yang dapat diturunkan industri. Greenhouse Gas Inventory merupakan metode pendekatan yang digunakan dalam proses penurunan emisi gas rumah kaca (Putt del Pino dan Bhatia 2006). Ada beberapa hal yang dapat


(14)

dilakukan untuk mengurangi konsentrasi CO2 dari atmosfer, yaitu mengurangi produksi CO2 dengan dua cara berupa mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan dan mereboisasi hutan, serta menghilangkan sebagian CO2 dari atmosfer dengan teknologi terbarukan (Newman 1993).

Wardhana (2004) menyatakan emisi gas rumah kaca dari sektor industri dapat ditanggulangi atau dikurangi secara teknis dengan cara mengganti sumber energi yang digunakan, yaitu mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar LNG (Liquid Natural Gases) yang akan menghasilkan gas buang yang lebih bersih. Fiantisca (2002) juga menyatakan bahwa cara mereduksi emisi CO2 dari industri adalah dengan menggunakan bahan bakar bio, peralatan hemat energi, reboisasi, mengurangi penggunaan mesin produksi berumur tua, dan meminimalkan penggunaan material yang tidak ramah lingkungan.

Sumber-sumber metana mencangkup lahan persawahan, limbah pertanian, peternakan sapi, industri minyak dan gas, serta tempat-tempat pembuangan sampah (TPA). Besarnya efek rumah kaca gas metana, maka usaha-usaha penanggulangannya seharusnya diarahkan kepada pengendalian sumber-sumber emisi metana tersebut (Suprihatin et al. 2008). Dekomposisi limbah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik dapat mengakibatkan produksi gas bio. Teknik dekomposisi dengan menggunakan biodigester yang menghasilkan biogas. Pada dasarnya limbah cair yang dibiarkan begitu saja dalam beberapa waktu pada media biodigester membentuk gas metan yang dapat dimanfaatkan sebagai biogas. Pembuatan biogas mengurangi pencemaran lingkungan akibat bau dari limbah yang terkumpul. Dengan proses fermentasi biodigester, bau tak sedap dapat dihilangkan dan terbentuk gas metan yang bermanfaat. Gas yang dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan bahan bakar.

Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan untuk memasak (Andi dan Widyawati 2008). Pada Tabel 4 ditunjukkan kesetaraan 1 m3 biogas dengan sumber energi lain.

Tabel 4. Kesetaraan 1 m3 biogas dengan sumber energi lain.

Sumber Energi Kesetaraan

1 m3 biogas

Elpiji 0,46 kg

Minyak Tanah 0,62 liter Minyak Solar 0,52 liter

Bensin 0,80 liter

Gas Kota 1,50 m3

Kayu Bakar 3,50 kg

Sumber : Andi dan Widyawati (2008)

Limbah padat yang dihasilkan pabrik gula mempunyai volume yang cukup besar setiap harinya. Selama ini pabrik membuang limbahnya dengan cara penumpukan (open dumping). Penumpukan ini berpotensi mencemari lingkungan karena dengan penumpukan blotong tersebut emisi dinitrogen oksida dapat yang dihasilkan. Pabrik menyediakan sejumlah lahan besar kemudian digunakan sebagai tempat pembuangan limbah padat tersebut. Oleh masyarakat limbah blotong yang dibuang tersebut diambil secara cuma-cuma. Namun pengambilan tersebut tidak secara signifikan dapat mengurangi jumlah blotong di lahan pembuangan. Blotong ini masih mengandung sejumlah bahan organik yang masih dapat dimanfaatkan. Penurunan emisi gas dinitrogen oksida dari


(15)

penumpukan blotong di lahan dapat dilakukan dengan cara membuat pupuk organik dari limbah blotong melalui proses pengomposan. Kompos adalah bentuk dari bahan-bahan organik setelah mengalami pembusukan atau disebut pula dekomposisi. Pembusukan ini dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik dengan kelebihan dan kekurangannya. Selama proses pengomposan volume menyusut menjadi 1/3 bagian dari volume awal (Syafrudin dan Astuti 2007).

G.

STRATEGI PENURUNAN EMISI GRK

Emisi CO2 di permukaan bumi dari tahun ke tahun semakin menunjukkan peningkatan. Oleh karena itu, perlu adanya strategi dalam mengurangi emisi CO2. Adapun strategi yang dapat dilakukan antara lain renewable energi. Renewable energi (Energi terbarukan) merupakan salah satu cara untuk memperkecil tingkat emisi CO2 dengan cara mengganti energi yang berasal dari bahan bakar fosil menjadi energi yang berasal dari sumber lain. Contoh sumber energi yang berasal dari bahan bakar non-fosil adalah angin, air, nuklir, biomassa, dan briket. Reboisasi adalah usaha untuk mereduksi CO2 dengan cara penanaman kembali lahan yang telah mengalami penebangan. Reboisasi dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu kandungan dan penyerapan karbon pada lahan yang terabaikan, pengembangan hutan yang berkelanjutan untuk menggantikan bahan bakar fosil, dan penyediaan bahan serta memenuhi kebutuhan biomassa (Fiantisca 2002).


(16)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

PELAKSANAAN PENELITIAN

1.

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di PT PG Rajawali II Unit PG Subang, Kecamatan Purwadadi, Subang, Jawa Barat. Tempat penelitian merupakan industri gula yang merupakan suatu industri bergerak pada bidang agroindustri dengan bahan baku tebu (Saccharum officinarum). Waktu pelaksanaan dilakukan selama dua bulan terhitung mulai bulan Mei - Juni 2012.

2.

Jenis dan Sumber Data

Target pengambilan data adalah bagian-bagian dari industri gula yang diperkirakan menghasilkan emisi gas rumah kaca. Pengukuran emisi GRK dilakukan dengan pengumpulan data primer dan sekunder dari industri gula yang bersangkutan. Data primer merupakan data yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan orang yang ahli di bidang gula berbasis tebu dan penggunaan energi serta observasi lapang di beberapa industri gula tebu sementara data sekunder berupa data penggunaan energi seperti bahan bakar boiler, listrik, LPG, solar dan peralatan yang digunakan selama tahapan proses produksi.

3.

Metode Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data sekunder yang telah didapatkan dari pihak-pihak terkait, buku-buku acuan, jurnal, dan literatur lainnya. Selain itu, studi pustaka juga dilakukan untuk menunjang atau memenuhi data yang kurang dari observasi lapangan. Studi pustaka pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permodelan perhitungan emisi gas rumah kaca yang biasa dilakukan serta mengetahui dampak dari emisi dan cara penurunan emisi gas rumah kaca yang diakibatkan dari adanya proses produksi gula kristal.

b. Observasi Lapangan

Observasi dilakukan untuk mengidentifikasi serta mempelajari penggunaan energi yang dilakukan selama proses produksi untuk mendapatkan data primer. Observasi lapang dilakukan di beberapa lokasi terkait yaitu di pabrik pengolahan tebu menjadi gula kristal putih di PG Subang.

c. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan para ahli di bidang gula dan penggunaan energi serta para tim peneliti yang melakukan tahapan proses dalam menghasilkan gula tebu. Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder yang dibutuhkan dalam melakukan perhitungan emisi gas rumah kaca pada industri gula.

d.

Kuesioner

Tujuan menyebar kuesioner adalah mendapatkan data atau informasi berupa data sekunder yang dibutuhkan dalam menganalisis kebutuhan energi. Kuesioner yang dibuat untuk penelitian


(17)

berisi tentang informasi mengenai penggunaan listrik, bahan bakar dan pengolahan serta jumlah limbah yang dihasilkan dalam suatu proses produksi gula. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

B.

METODE PENGOLAHAN DATA

Penurunan emisi GRK pada suatu industri dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu mengidentifikasi sumber CO2 industri gula, mengklasifikasikan sumber emisi menjadi emisi langsung dan tidak langsung, mengidentifikasi data yang dibutuhkan, mengestimasikan faktor emisi, menghitung emisi yang dapat direduksi, dan menentukan target atau bagian yang dapat dilakukan penurunan emisi. Berikut ini adalah diagram metode yang dilakukan dalam penelitian ini (Gambar 3).

Gambar 3. Tahapan penelitian

a. Tahap Perencanaan dan Identifikasi (Plan and Identify)

Tahap perencanaan merupakan tahapan yang dilakukan untuk merencanakan kajian yang dilakukan. Komitmen dari manajemen puncak sangat dibutuhkan untuk menjalankan tahapan selanjutnya. Manajemen puncak dan tim harus sepakat dalam menentukan area atau bagian dari industri yang akan dilakukan efisiensi. Tahap identifikasi merupakan tahap mengidentifikasi bagian-bagian dari industri yang memiliki potensi menghasilkan emisi gas rumah kaca, khususnya CO2. Fokus dari tahap ini adalah sumber emisi atau energi yang digunakan dan jumlah yang dipergunakan pada industri tersebut.

b. Tahap Klasifikasi Sumber Emisi CO2 (Classification)

Tahap klasifikasi merupakan tahapan setelah tahap perencanaan dan identifikasi. Pada tahap ini dilakukan pengelompokan emisi CO2 berdasarkan sumbernya. Berdasarkan sumbernya emisi

Perencanaan dan identifikasi sumber emisi GRK

Klasifikasi sumber emisi CO2

Identifikasi data

Perhitungan emisi

Opsi penurunan emisi

Laporan prakiraan emisi yang dapat diturunkan


(18)

dibedakan menjadi dua bagian, yaitu emisi langsung (direct emissions) dan emisi tidak langsung (indirect emissions). Tahap klasifikasi ini diperlukan untuk membedakan perhitungan emisi CO2 yang dihasilkan dari sumber yang berbeda-beda pula.

c. Tahap Identifikasi Data (Gather Data)

Tahap identifikasi data merupakan tahap pengelompokan data menjadi dua bagian, yaitu data aktifitas dan faktor emisi. Dua bagian tersebut dibutuhkan untuk menghitung emisi CO2. Data aktifitas yang digunakan berupa data kuantitas yang berasal dari aktifitas yang menjadi sumber emisi secara langsung dan tidak langsung, sedangkan faktor emisi yang digunakan berdasarkan penggunaannya. d. Tahap Menghitung Emisi (Calculate the Emissions)

Tahap ini dilakukan setelah mengumpulkan semua data yang dibutuhkan berupa data aktifitas dan faktor emisi. Perhitungan emisi dilakukan dengan mengelompokan berdasarkan sumber emisi GRK tersebut dan mengkonversi nilai emisi GRK menjadi setara dengan emisi karbondioksida. Berikut adalah formulasi perhitungan emisi CO2 (Putt del Pino dan Bhatia 2002):

Data aktivitas industri gula berupa data energi yang dikonsumsi seperti data penggunaan listrik, solar, dan LPG. Perhitungan emisi dilakukan dengan mengelompokan berdasarkan sumber emisi GRK dengan tetapan faktor emisi dari laporan IPCC (2006). Perhitungan ini menghasilkan nilai dengan satuan kg CO2.

Menurut UNFCCC (2006), faktor emisi untuk pembakaran bagas pada pabrik gula adalah sebesar 0,485 tCO2/MWh. Biomassa digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik untuk ketel uap/boiler. Perhitungan emisi yang dikeluarkan dari penggunaan bahan bakar bagas adalah sebagai berikut :

Menurut (Putt del Pino dan Bhatia 2002), berikut adalah formulasi perhitungan emisi CO2 dari penggunaan listrik :

Perhitungan emisi selain dari sumber listrik menggunakan faktor emisi berdasarkan jenis bahan bakar yang telah ditentukan oleh IPCC. Faktor emisi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5 . Faktor emisi berdasarkan sumber emisinya

Sumber Emisi

Faktor Emisi (kg/TJ)

CO2 CH4 N2O

LPG 63.100 5 0,1

Solar 74.100 10 0,6


(19)

Emisi yang berasal dari penggunaan energi, dilakukan dengan cara mengkonversi nilai data aktivitas ke dalam satuan energi terlebih dahulu. Konversi satuan energi berdasarkan bahan bakar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Konversi satuan energi berdasarkan bahan bakar yang digunakan

Bahan Bakar Kalor Satuan

Solar 10,70 kWh/L

1.187,00 L/ton 12.668,00 kWh/ton

LPG 7,40 kWh/L

1.850,00 L/ton 13.721,00 kWh/ton Sumber : AZoCleantech (2007)

Perhitungan emisi metana (CH4) yang berasal dari limbah cair dapat dilakukan dengan perhitungan yang berasal dari jumlah COD yang dihasilkan. IPCC (2006) menyatakan bahwa emisi gas metan (CH4) yang berasal dari limbah cair industri dilakukan dengan perhitungan :

Ket : TOW : Total bahan organik yang terdegradasi pada limbah cair industri (kg COD/tahun) Si : Komponen bahan organik yang hilang sebagai lumpur atau padatan (kg COD/tahun) EFi : Faktor emisi untuk industri (kg CH4/kg COD)

Ri : Jumlah CH4 yang dapat dihasilkam kembali

Ket : EF : Faktor emisi dari setiap pengolahan limbah (kg CH4/ kg COD) Bo : Kapasitas maksimum produksi CH4 (0,25 kg CH4/ kg COD) MCF : Faktor koreksi metan untuk pengolahan secara aerobik (0,3)

Perhitungan emisi dinitrogen oksida (N2O) yang berasal dari limbah padat organik dapat dilakukan dengan perhitungan yang berasal dari jumlah kandungan nitrogen pada suatu bahan yang dikalikan dengan :

Ket : Emisi N2O : Emisi N2Oyang dihasilkan dari (Kg) FE : Faktor Emisi (0,01 kg N2O - N / Kg N)

Menurut IPCC (2002) gas metana memiliki nilai GWP sebesar 23 dan gas nitrooksida memiliki nilai GWP sebesar 293. GWP merupakan nilai yang relatif sama dengan CO2 maka konversinya sebagai berikut :

1 ton CH4 = 23 ton CO2 1 ton N2O = 293 ton CO2


(20)

Maka perhitungan emisi yang setara dengan emisi karbon adalah sebagai berikut : ECO2 CH4 = ECH4 x 23 ton CO2

ECO2 N2O = EN2O x 293 ton CO2

Total Emisi (tCO2e) = EEBiomassa + ECO2CH4 + ECO2N2O e. Tahap Penentuan Opsi Penurunan Emisi

Tahap penentuan opsi penurunan emisi merupakan tahap pemberian opsi-opsi yang dapat dilakukan perusahaan untuk menurunkan emisi karbon yang dihasilkan. Penentuan opsi ini dilakukan setelah sumber emisi dan jumlah emisi yang dihasilkan diketahui.

f. Tahap Penulisan Laporan Prakiraan Penurunan Emisi (Reporting)

Penulisan laporan prakiraan penurunan emisi merupakan laporan estimasi yang dibuat untuk membantu industri dalam mengimplementasikan penurunan emisi CO2. Laporan ini menjelaskan tahapan yang harus dilakukan pabrik gula dalam upaya penurunan emisi CO2, opsi yang dapat dipilih untuk mengimplementasikan program tersebut, dan keuntungan yang didapatkan industri jika melakukan program ini.

C.

ANALISA DATA

Analisis data dilakukan setelah pengolahan data selesai dikerjakan, yaitu setelah semua emisi GRK diketahui berdasarkan sumbernya. Analisis dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan mempertimbangkan opsi yang dapat diberikan kepada pabrik gula agar mudah diimplementasikan sehingga penurunan GRK dapat dilakukan.


(21)

IV.

TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

A.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN

Areal PT PG Rajawali II Unit PG Subang (Gambar 4) awalnya merupakan areal tanaman karet yang digunakan oleh PTP XXX. Konversi areal tersebut berdasarkan pada Instruksi Menteri Pertanian No.13/INS/UM/1970. Untuk merealisasikan SK Menteri tersebut maka PPIG (Proyek Pengembangan Industri gula) bekerja sama dengan PTP XXX untuk mengadakan penelitian penanaman tebu di areal PG Subang. Pada waktu itu tebu digiling ke PG Tersana Baru berdasarkan SK Menteri No.681/Menteri-X/1978 tanggal 14 Oktober 1978, pengelolaan PG Subang yang terdiri dari kebun Pasir Bungur, Pasir Muncang, dan Manyingsal sepenuhnya diserahkan kepada PTP XIV.

Pabrik gula Subang dibangun mulai tahun 1981 berdasarkan SK Menteri Pertanian No.667/KPIS/8/1981 tanggal 11 Agustus 1981 dan surat Direktur Jendral Moneter Dalam Negeri Departemen Keuangan No. S. 2892/MD/1982 pada tanggal 2 Juni 1982, dengan kontraktor pelaksana yaitu ‘Heavy Mechanical Complex’ (HMC) dari Pakistan. Pada tahun 1984 pembangunan fisik pabrik dengan fasilitasnya telah selesai dilaksanakan dan telah selesai tahap uji coba. Penggilingan pertama PG Subang adalah pada tanggal 3 Juli 1984 dan berakhir tanggal 8 Oktober 1984.

Pada tahun 1985 dilaksanakan penyerahan HMC dari pihak kontraktor kepada PTP XIV (Persero), Cirebon. Sejalan dengan pengalihan manajemen PTP XIV kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia berdasarkan SK Menteri Keuangan No.1326/MK.013/1988, maka pada tanggal 30 Desember 1988 pengelolaan PG Subang dilaksanakan oleh PT PG Rajawali II yang merupakan salah satu unit perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia berkantor pusat di Jakarta dan modal perusahaan berasal dari perusahaan itu sendiri.

PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu BUMN yang berada dalam lingkup Departemen Keuangan. Bidang usahanya mencakup perdagangan, ekspor-impor, produsen obat-obatan, pabrik kulit, dan pabrik gula. Perkembangan selanjutnya adalah perubahan anggaran dasar perseroan yang tercatat dalam akte No. 94 pada tanggal 28 Agustus 1996 yang dibuat oleh Notaris Achmad Abid, SH. Nama PT Perkebunan XIV kemudian digantikan menjadi PT Pabrik Gula Rajawali II yang merupakan anak perusahaan dari PT Rajawali Nusantara Indonesia. Saham perusahaan ini dimiliki seluruhnya bersama pabrik gula lainnya, yaitu PG Tersana Baru, PG Karangsuwung, PG Sindang Laut, PG Subang, dan Pabrik Spiritus dan Alkohol (PSA) Palimanan.


(22)

PT PG Rajawali II Unit PG Subang dalam pelaksanaan proses produksinya menggunakan jenis proses Sulfitasi Alkalis dengan jumlah produksi 23.194,68 ton SHS per musim giling. Rendemen yang terkandung pada tebu bernilai 7 dan memiliki kapasitas kualitas produk SHS IA, dengan hasil samping berupa tetes tebu (molases) sekitar lima persen tebu, blotong tiga persen tebu, dan ampas sekitar 30 % tebu. PG Subang memiliki kapasitas giling sekitar 3.000 ton tebu per hari.

a.

Struktur Organisasi Perusahaan

Struktur organisasi suatu perusahaan sangat dibutuhkan karena merupakan komponen yang dapat menjelaskan kedudukan bagi kelancaran hubungan diantara individu-individu di dalam organisasi dan administrasi menurut fungsi-fungsi, arus tanggung jawab dan wewenang masing-masing bagian. Diharapkan akan timbul kerjasama dan sinergi yang baik dalam menjalankan visi dan misi perusahaan.

PT PG Rajawali II Unit PG Subang dipimpin oleh seorang General Manager yang di dalam pelaksanaannya, tugas dibantu oleh Engineering Manager, Processing Manager, Plantation Manager, Financial and Administration Manager, dan Manajer Sumber Daya Manusia dan Umum. Struktur Organisasi PT PG Rajawali II Unit PG Subang dapat dilihat di Lampiran 2.

B.

KETENAGAKERJAAN

PT PG Rajawali II Unit PG Subang memiliki banyak tenaga kerja yang dibedakan berdasarkan sifat hubungan kerja dengan perusahaan menjadi karyawan tetap dan karyawan tidak tetap. Status karyawan tidak tetap mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan dengan jangka waktu yang tidak menentu, dengan terlebih dahulu pada saat mulai kerja didahului dengan masa percobaan maksimal 3 bulan. Karyawan tetap dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karyawan bulanan dan karyawan harian, sedangkan karyawan tidak tetap terdiri dari karyawan kampanye dan musiman.

Karyawan kampanye adalah karyawan yang berhubungan langsung dengan jalannya proses produksi, sedangkan karyawan musiman dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yaitu karyawan musiman tebang yang bertugas dari mulainya tebu ditebang sampai diangkut dan ditimbang, karyawan musiman tanaman yang bertugas dari pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tebu sampai siap ditebang, dan karyawan musiman lain-lain yaitu karyawan yang bekerja di sekitar emplasemen namun tidak berhubungan langsung dengan proses penggilingan tebu, seperti tenaga administrasi gudang. Selain memperoleh upah (harian/bulanan) karyawan juga menerima tunjangan-tunjangan baik untuk karyawan tetap maupun untuk karyawan tidak tetap. Karyawan tetap bulanan mendapat tunjangan dari perusahaan berupa rumah dinas beserta listrik dan air, jaminan kesehatan baik jasmani maupun rohani, asuransi tenaga kerja, sarana olahraga dan kesenian, kendaraan bermotor, pendidikan, cuti kerja, jaminan hari tua, serta hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perusahaan. Karyawan tetap harian tidak mendapatkan tunjangan perumahan. Karyawan kampanye mendapatkan pesangon giling, jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, dan untuk karyawan musiman tebangan dan karyawan musiman lainnya mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan keselamatan kerja.

Jam kerja yang diberlakukan di PG Subang bagi karyawan terdiri dari jam kerja harian dan shift. Jam kerja harian dilakukan pada luar masa giling atau pada masa perbaikan dan pemeliharaan.


(23)

Jam kerja shift diberlakukan selama masa giling dengan pertukaran shift dilakukan setiap tiga hari sekali. Dalam satu hari terdapat tiga shift dengan jam kerja selama 8 jam untuk tiap shift.

Untuk meningkatkan keterampilan setiap staf dan karyawan, PT PG Rajawali II Unit PG Subang mengadakan kerja sama dengan Depnaker, Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), dan Dewan Gula Indonesia (DGI). Kerja sama yang dilakukan adalah dengan mengadakan penelitian mengenai keselamatan dan keterampilan kerja, selain itu juga diadakan pelatihan kerja atau training di lokasi pabrik maupun di instansi-instansi.

Jumlah total tenaga kerja PG Subang yang tercatat pada tahun 2011 adalah sebanyak 932 orang. Jumlah tersebut terdiri atas tenaga kerja tetap dan tenaga kerja tidak tetap. Data jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rincian jumlah karyawan PG Subang DMG 2011

Jumlah (Orang) Luar Musim

Giling

Dalam Musim Giling

Karyawan Staf (Gol. IX-XVI) 43 43

Kayawan KNS (Gol. I-VIII) 261 261

PKTW Luar Pabrik 245 341

PKTW Dalam Pabrik 0 285

Harian Borong (Muat Gula) 0 0

Honorair 2 2

MPP 0 0

JUMLAH 551 932

C.

TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI

1.

Proses Persiapan

Tahapan proses persiapan tebu bertujuan untuk mempersiapkan bahan baku yang akan diproses. Kegiatan pada tahapan ini dimulai dari pintu gerbang keluar masuk kendaraan pembawa tebu hingga bahan baku diletakkan pada tempat khusus untuk diproses lebih lanjut. Bagian penting dalam tahapan proses persiapan adalah timbangan, cane yard, dan peletakan tebu berdasarkan kendaraan pengangkutnya yang dapat dilihat pada Gambar 5. Tebu dari lahan setelah ditebang, dibawa ke stasiun persiapan untuk ditimbang. Tempat penimbangan tebu di PG Subang terdapat dua jenis, yaitu penimbangan bruto dan penimbangan tarra. Tebu hasil tebangan yang masih di dalam truk atau trailer akan dibawa ke penimbangan bruto untuk di timbang bobotnya, kemudian tebu tersebut diletakkan dan disusun di cane yard. Setelah tebu diletakkan di cane yard, truk yang mengangkut tebu tadi ditimbang kembali di timbangan tarra. Hasil selisih dari timbangan bruto dan timbangan tarra adalah bobot tebu sebenarnya (netto).

Cane yard yang digunakan sebagai tempat penampung sementara tebu dibagi menjadi delapan petak, namun yang dipakai saat ini hanya empat petak. Kapasitas masing-masing petak sekitar 3.000 kwintal tebu dengan luas cane yard yaitu 1,23 Ha. Proses penyimpanan dan pengaturan tebu di cane yard memiliki aturan tersendiri. Tebu yang diangkat oleh truk setelah memasuki cane yard akan


(24)

dibongkar menggunakan sling (alat pengait dari kawat) yang terdapat di pinggir cane yard. Jika alat sling sedang digunakan maka truk yang mengangkut tebu dialihkan menuju alat hidrolik atau biasa disebut truck tipper. Tebu yang dibongkar dengan menggunakan sling akan diatur kembali penyimpanannya di cane yard dengan menggunakan cane stacker yang kemudian akan dimasukkan ke cane table, sedangkan tebu yang dibongkar menggunakan truck tipper langsung masuk ke side carrier yang fungsinya sama dengan cane table. Cane table dilengkapi dengan rantai.

Tebu yang diangkat oleh trailer tidak dibongkar di cane yard melainkan langsung dimasukkan ke cane table dengan menggunakan hillo. Jumlah hillo yang digunakan ada dua unit yaitu hillo A dan hillo B. Hillo A digunakan pada saat pabrik sedang melakukan proses giling, sedangkan hillo B digunakan saat proses giling tidak berjalan. Tebu yang dibongkar menggunakan hillo A langsung diletakkan di cane table, sedangkan tebu yang dibongkar menggunakan hillo B tidak langsung dimasukkan ke cane table tetapi ditampung dulu di cane yard dan kemudian akan diatur peletakannya di cane yard menggunakan cane stacker.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 5. Stasiun persiapan PG Subang : (a) timbangan tara, (b) timbangan bruto, (c) sling, (d) stasiun persiapan, dan (e) hillo.

Tebu yang masuk ke cane yard akan langsung digiling pada hari itu juga dengan sistem FIFO (First In First Out) tebu yang ditebang diawal akan digiling diawal pula. Sistem ini tidak digunakan pada tebu bakaran, tebu bakaran yang masuk ke cane yard akan langsung digiling tanpa menunggu antrian. Tebu bakaran harus segera digiling untuk mengurangi resiko kehilangan rendemen dalam jumlah besar. Proses memasukkan tebu bakaran ke cane table juga harus dicampur dengan tebu non bakaran agar tidak merusak rendemen.

Tebu yang telah disusun di cane yard kemudian di proses di stasiun gilingan. Pada stasiun gilingan akan dihasilkan nira dan ampas tebu atau biasa disebut bagas, yang dijadikan bahan bakar boiler. Nira mentah yang dihasilkan dari stasiun gilingan akan dialirkan melalui pipa-pipa nira ke stasiun pemurnian yang sebelumnya nira telah ditimbang terlebih dahulu. Pada stasiun pemurnian


(25)

dihasilkan blotong atau substrat hasil penyaringan dari nira kotor, sedangkan nira jernih hasil proses pemurnian yang masih banyak mengandung air akan dialirkan ke stasiun penguapan untuk dikentalkan dengan cara menguapkan air yang terkandung di dalam nira. Nira kental tersebut kemudian akan dikristalkan menjadi kristal-kristal gula lalu diproses dikeringkan, disaring, dan ditimbang sehingga didapatkan gula SHS yang diinginkan. Pada proses pengkristalan nira juga akan dihasilkan tetes atau molases (nira yang tidak dapat dikristalkan). Tetes merupakan bahan dalam pembuatan MSG (Monosodium Glutamat), alkohol, spirtus, dan bahan-bahan kimia. Diagram alir proses pembuatan gula kristal dapat dilihat pada Gambar 6.

Trace Vapor Trace Vapor Milling Purification Crystalization Sentrifugal Evaporation Scale Cane Yard BOILER - dryer - filter - scale SUGAR Molasses -MSG -Alcohol -Spirtus -chemistry material Bagasse Sugar cane Sugar Cake

- Organic Fertilizer - Paving block Imbibitions Water

SUGAR PRODUCTION PROCESS

Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan gula kristal

2.

Proses Ekstraksi

Dari cane table, tebu kemudian dimasukkan ke dalam cane carrier. Sebelum tebu digiling, tebu dicacah dulu dengan menggunakan alat cane cutter yang memotong-motong tebu menjadi potongan, kemudian tebu masuk ke unigrator yang akan membuat potongan tebu menjadi potongan, kemudian tebu masuk ke unigrator yang akan membuat tebu menjadi serabut. Cara kerja cane cutter dan unigrator berbeda, pada cane cutter tebu yang masuk dipotong-potong menjadi serabut kasar, sedangkan pada unigrator tebu hasil cacahan tadi dihantam-hantamkan dengan menggunakan hammer ke dinding unigrator sehingga serabut tebu yang dihasilkan menjadi lebih halus.

PG Subang memiliki empat unit mesin gilingan (Gambar 7) yang tersusun secara seri, satu unit mesin gilingan terdiri atas tiga buah roll yaitu, roll depan, roll atas, dan roll belakang dengan arah putar masing-masing roll berbeda. Untuk membantu mengarahkan tebu menuju roll gilingan ditambahkan feeding roll diantara roll. Roll gilingan digerakkan dengan turbin uap dengan kecepatan dan tekanan tiap unit gilingan diset berbeda. Keseluruhan proses produksi gula dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pertama tebu akan dibawa oleh cane elevator dari unigrator ke gilingan I. Hasil dari gilingan I adalah nira perahan pertama (NPP) dan ampas gilingan I. Ampas dari gilingan I akan digiling kembali di gilingan II dengan penambahan nira imbibisi hasil perahan gilingan III dan ampas yang tersaring oleh cush-cush screen (alat penyaring nira mentah berbentuk datar yang terbuat dari


(26)

lempengan stainless steel) dan DSM screen (alat penyaring nira mentah berbentuk lengkung yang terbuat dari stainless steel). Nira hasil perahan dari gilingan II disebut nira perahan lanjutan (NPL). NPP dan NPL kemudian dicampur menjadi nira mentah.

Gambar 7. Mesin gilingan PG Subang

Nira mentah hasil pencampuran nira hasil gilingan I dan II kemudian disaring dengan cush-cush screen untuk memisahkan nira dengan ampas atau kotoran lain yang terbawa. Nira mentah yang telah disaring oleh cush-cush screen kemudian dipompa dan disaring kembali di DSM screen. Ukuran lubang-lubang saringan pada DSM screen lebih kecil daripada cush-cush screen. Ampas hasil gilingan II kemudian akan ditambahkan nira imbibisi yang dihasilkan pada gilingan IV dan dibawa oleh intermediate carrier (alat yang berfungsi membawa ampas tebu antar gilingan) ke gilingan III. Nira hasil gilingan III kemudian disaring di cush-cush screen dan DSM screen yang kemudian digunakan sebagai nira imbibisi untuk campuran ampas hasil gilingan I.

Ampas hasil gilingan III sebelum masuk ke gilingan IV ditambahkan air imbibisi sebanyak 25-30 % dari berat tebu yang digiling dengan suhu air imbibisi 60-70 ºC. Nira yang dihasilkan dari gilingan IV akan ditambahkan ke gilingan III sebagai nira imbibisi, ampasnya dibawa oleh bagasse elevator untuk dijadikan bahan bakar boiler. Proses ekstraksi nira dapat dilihat pada Gambar 8.


(27)

2.

Proses Pemurnian

Proses selanjutnya setelah ekstraksi adalah pemurnian. Proses pemurnian yang digunakan adalah dengan metode sulfitasi menggunakan gas belerang. Tahapan awal proses pemurnian adalah penimbangan nira mentah yang dihasilkan dari proses gilingan. Penimbangan nira mentah ini menggunakan alat timbangan boulogne, yang mempunyai kapasitas 3 ton nira mentah. Setiap nira mentah terukur 3 ton maka timbangan ini akan menjatuhkan nira mentah tertimbang tersebut ke dalam bak penampung yang terdapat tepat di bawah timbangan, yang kemudian akan dipompa dan dialirkan untuk proses selanjutnya. Jika kadar fosfat dalam nira mentah kurang dari 250 ppm, maka ditambahkan ke dalamnya fosfat (P2O5) untuk membantu proses pengendapan. Penambahan fosfat ini untuk memudahkan terbentuknya endapan karena fosfat akan bereaksi dengan kapur (Ca(OH)2) membentuk kalsium fosfat (Ca3(PO4)2). Penggunaan kapur di stasiun pemurnian PG Subang adalah 0,13 ton/100 ton tebu.

Nira mentah yang telah ditambahkan fosfat tersebut kemudian dipompa ke juice heater I untuk dipanaskan mencapai suhu 75 ºC. Pemanasan ini bertujuan untuk memudahkan dan mempercepat jalannya reaksi yang akan terjadi. Sebagai sumber panas digunakan uap bekas, nira mentah akan mengalir dan bersirkulasi di dalam pipa-pipa tersebut sedangkan uap dialirkan diantara pipa-pipa pemanas.

Dari juice heater I, nira dimasukkan ke dalam tangki penampung/surge tank dari dalam tangki tersebut nira kemudian dipompa menuju sulfur tower melalui pipa. Ketika nira dilewatkan melalui pipa, dilakukan penambahan larutan kapur (Ca(OH)2) sampai pH berkisar antara 8,6-9,2. Proses pembuatan susu kapur menggunakan sebuah tromol putar tempat membuat emulsi kapur dari kaput tohor dan air. Pemberian susu kapur dilakukan secara otomatis melalui unit pH kontrol dan penjatah kapur. Tujuan penambahan susu kapur ini adalah untuk membentuk inti endapan dan menaikkan pH, sehingga dapat meminimalisir kerusakan nira karena kondisi asam. Selain itu, lingkungan basa juga dapat mempermudah koloid-koloid yang terkandung dalam nira untuk membentuk endapan-endapan.

Proses selanjutnya adalah sulfitasi. Pada proses sulfitasi ini menggunakan gas sulfur dioksida (SO2) dengan cara menghembuskan gas tersebut ke cairan nira dengan menggunakan pompa sirkulasi sehingga dalam tangki akan mengalami overflow. Untuk memudahkan dalam pemberian gas maka PG Subang menggunakan inverter karena penghitungan berdasarkan suhu dan tekanan dinilai sulit. Gas belerang yang ditambahkan dibuat dengan cara membakar belerang dalam suatu tabung dengan suhu mencapai 150 ºC. Penggunaan belerang di stasiun pemurnian PG Subang sebanyak 28 kg/100 ton tebu. Proses pembuatan gas belerang terbagi menjadi dua cara, yaitu cara pertama dengan membakar belerang langsung, sedangkan cara kedua yaitu dengan cara dilelehkan. Gas belerang yang terbentuk akan bereaksi dengan kelebihan susu kapur membentuk CaSO4 yang juga merupakan inti endapan. Gas belerang juga menurunkan pH dari suasana basa kembali ke suasana netral, karena jika nira tetap dalam suasana basa, nira akan berwarna coklat yang akan berdampak pada hasil akhir gula yang berwarna kemerahan. Warna coklat ini terbentuk karena pada nira terdapat glukosa yang akan rusak pada pH di atas 7,8. Nira yang jatuh kemudian dipompa ke juice heater II.

Nira mentah tersulfit dengan pH 7,0-7,2 kemudian dipanaskan lagi pada juice heater II sehingga mencapai 100 ºC. Tujuan pemanasan ini untuk mempercepat reaksi pengendapan yang akan terjadi pada proses selanjutnya di dorr clarifier, menurunkan viskositas, dan juga untuk membunuh mikroorganisme. Nira dari juice heater II kemudian dipompa ke dorr clarifier melewati flash tank. Flash tank berguna untuk membuang gas-gas yang terbawa pada nira yang dapat menghambat jalannya proses pengendapan, pembuangan gas langsung dialirkan melalui cerobong untuk


(28)

dikeluarkan ke udara bebas. Dorr clarifier yang digunakan merupakan alat pengendap tipe kontinyu. Pada proses pengendapan ini ditambahkan flokulan yang dipompakan menggunakan dossing pomp sebagai alat untuk penjatah flokulan. Flokulan berfungsi untuk mengikat koloid-koloid kecil pada nira sehingga menjadikan diameter koloid yang semakin besar dan kemudian membentuk endapan. Tangki dorr clarifier yang digunakan bertipe multiple tray berupa bejana silindris yang terbagi empat tingkatan dengan dasar miring dengan tinggi 6 meter dan diameter tangki 9.5 meter.

Nira jernih hasil pengendapan akan dikeluarkan dari tiap-tiap tingkatan kemudian dialirkan ke clear juice DSM screen untuk menyaring ampas halus yang masih tersisa dan kotoran yang terbawa dari dorr clarifier. Nira jernih kemudian ditampung di clear juice tank. Nira kotor hasil pengendapan ditampung di tangki nira kotor, kemudian dipompa ke mud feed mixer dan dicampur dengan ampas halus (bagacillo) yang berasal dari stasiun penggilingan.

Nira kotor yang telah dicampur ampas halus dialirkan ke penyaringan untuk memisahkan nira tersebut dengan kotorannya. Peralatan penyaringan yang digunakan adalah rotary vacum filter (RVF). RVF ini terdiri dari tromol yang dapat berputar pada jalur horizontal. Drum diletakkan diatas bak nira kotor sehingga sebagian drum terendam pada nira kotor. Drum terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bebas hampa, bagian hampa rendah, dan bagian hampa tinggi. Pada RVF disemprotkan air panas bersuhu 70 ºC sebanyak 2 % tebu untuk membantu proses penyaringan nira kotor dari blotong. Pada RVF ini nira kotor menempel pada sisi drum saat keadaan hampa tinggi, air panas ditambahkan pada saat hampa rendah dan hasil penyaringan atau blotong dilepaskan dari drum pada saat kondisi bebas hampa. Selanjutnya nira hasil penyaringan RVF ditampung di filtrat tank dan dimasukkan kembali sebagai nira tertimbang ke dalam bak penampungan nira mentah yang telah ditimbang, sedangkan kotoran yang tersaring yang biasa disebut blotong dilakukan pengkomposan untuk digunakan sebagai pupuk untuk tanaman tebu.

Clear juice (nira jernih) yang ditampung di clear juice tank merupakan nira jernih yang telah dilakukan dua kali penyaringan kembali. Pertama menggunakan DSM Screen yang berdiamaeter 0,35 mm dan kedua menggunakan saringan nilon 90 mesh. Nira jernih tersebut kemudian dipompa ke juice heater III. Di dalam juice heater III nira jernih akan mengalami pemanasan hingga suhu 105 ºC. Dari Juice heater III, nira jernih selanjutnya dipompa ke stasiun penguapan. Proses pemurnian gula dapat dilihat pada Gambar 9 dan stasiun proses pemurnian PG Subang dapat dilihat pada Gambar 10.


(29)

(a) (b) (c) (d)

Gambar 10. Stasiun pemurnian PG Subang : (a) juice heater, (b) clear juice tank, (c) sulfur tower, dan (d) rotary vacum filter (RVF).

3.

Proses Penguapan

Stasiun penguapan bertujuan untuk menguapkan air yang masih terkandung dalam nira jernih atau nira encer agar dapat menghasilkan nira dengan kepekatan mencapai 60-65 ºbrix. Dalam proses penguapan digunakan evaporator. Evaporator yang digunakan berbentuk silinder vertikal dengan konstruksi antara evaporator satu dengan lainnya hampir sama. Pada proses penguapan hanya evaporator I yang diberi pemanas oleh uap panas. Uap panas yang digunakan untuk memanaskan evaporator I berasal dari uap bekas (exhaust steam) dari stasiun penggilingan. Stasiun penguapan di PG Subang menggunakan empat unit evaporator dengan sistem penguapan empat tahap atau disebut quadruple effect evaporation. PG Subang memiliki lima buah evaporator yang disusun secara seri. Tetapi yang dioperasikan hanya empat buat dengan pemakaian secara bergantian apabila salah satunya harus dibersihkan. Pembersihan tangki evaporator dilakukan sekitar lima hari sekali. Hal ini dilakukan untuk membersihkan kerak yang menempel pada dinding evaporator ataupun pipa-pipa pemanas. Jika kerak atau kotoran ini tidak dibersihkan maka akan menghambat pindah panas dari pipa pemanas ke nira.

Nira jernih dari stasiun pemurnian dialirkan ke evaporator I. Nira yang masuk ke evaporator mengalir turun`melalui pipa-pipa pemanas membentuk climbing film sehingga uap nira dapat dengan mudah dipisahkan dari cairan nira. Uap panas yang masuk ke dalam evaporator I akan keluar dalam bentuk kondensat. Kondensat ini kemudian ditampung dan dialirkan untuk digunakan sebagai umpan pada boiler. Dari evaporator I akan dihasilkan nira I dan uap panas. Uap I akan digunakan sebagai uap panas pada evaporator II. Nira dari evaporator I diuapkan kembali ke evaporator II. Hasil dari evaporator II adalah nira II dan uap panas II. Nira dari evaporator II dipekatkan kembali di evaporator III sedangkan uap II digunakan sebagai uap panas pada proses penguapan di evaporator III. Nira III akan dipekatkan kembali pada evaporator IV. Uap panas yang dihasilkan di evaporator IV akan dialirkan ke kondensor untuk dicairkan kembali dan menjadi air jatuhan. Selanjutnya air dari kondensor dialirkan ke cooling tower untuk didinginkan dan digunakan kembali.

Di bagian tengah evaporator terdapat pipa jiwa yang berfungsi untuk terjadinya sirkulasi nira dan tempat mengalirnya nira ke badan berikutnya. Nira akan bergerak turun melalui pipa jiwa. Ketinggian permukaan nira di dalam evaporator diharapkan sekitar sepertiga dari tinggi pipa pemanas. Sirkulasi nira dari satu badan penguapan ke badan penguapan yang lainnya terjadi karena adanya perbedaan tekanan (driving force). Tekanan pada evaporator I sampai evaporator IV semakin kecil dan akhirnya vacum pada badan terakhir. Begitu juga dengan suhu, dari evaporator I ke evaporator IV juga semakin menurun berdasarkan tekanan yang digunakan. Nilai brix nira sebelum


(30)

masuk evaporator berkisar antara 12 ºbrix, nira yang masuk ke evaporator II berkisar 15 ºbrix, nira yang masuk ke evaporator III berkisar 20 ºbrix, nira yang masuk ke evaporator IV berkisar 35 ºbrix dan nira hasil proses dari stasiun penguapan berkisar antara 60-65 ºbrix disebut nira kental. Nira kental masih berwarna gelap, maka perlu dilakukan pemucatan pada proses pemurnian yang kedua atau sulfitasi 2. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan warna gula yang putih bersih, proses pemucatan ini menggunakan gas belerang. Nira kental tersulfitasi kemudian dipompa ke stasiun kristalisasi. Proses penguapan pada PG Subang dapat dilihat pada Gambar 11 dan stasiun penguapan PG Subang dapat dilihat pada Gambar 12.

4.

Proses Kristalisasi

Proses kristalisasi dilakukan di stasiun masakan (Gambar 13). Proses ini akan terus berlangsung sampai kadar gula atau sukrosa dalam larutan nira menjadi rendah. Stasiun masakan di PG Subang menggunakan proses ACD pan masakan yang digunakan di PG Subang ada 7 buah. Pan masakan 1, 2, 3, dan 4 digunakan untuk masakan A. Pan masakan 5 digunakan untuk masakan C, sedangkan pan masakan 6 dan 7 digunakan untuk masakan D.

Proses kristalisasi dimulai dengan membuat semua pan masakan menjadi vakum (hampa) sekitar 60 cmHg dengan begitu proses kristalisasi dapat dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi hanya sekitar 60 ºC sehingga tidak akan merusak gula yang dihasilkan. Pan masakan dijalankan dengan tenaga uap bekas pakai (exhaust steam) dari stasiun gilingan dengan suhu uap sekitar 100 ºC - 120 ºC.

Gambar 11. Diagram alir proses penguapan (Evaporasi)


(1)

L ampiran 5c, Total emisi GRK dari penggunaan bahan bakar boiler

Tahun Bulan Emisi CO2

Ampas

Emisi CO2

IDO

Total Emisi (tCO2)

2011 Mei 8.589,35 322,97 8.912,32

Juni 18.139,00 121,09 18.260,09

Juli 28.280,35 - 28.280,35

Agustus 20.806,50 55,95 20.862,45

September 23.212,10 - 23.212,10

Oktober 2.400,27 - 2.400,27


(2)

64 Lampiran 6a, Perhitungan emisi untuk bahan bakar LPG

Tahun Bulan

Konsumsi

LPG Faktor Emisi (kg/TJ)

Konversi F, Emisi

(ton/MWh) Emisi GRK (ton) CO2 equiv (ton) Total

Emisi (tCO2)

Kg MWh CO2 CH4 N2O

CO2

(10-1)

CH4

(10-5)

N2O

(10-6)

CO2

(10-1)

CH4

(10-5)

N2O

(10-6)

CH4

(10-1)

N2O

(10-1)

2011 Mei 150 2,06 63.100 5 0,10 2,270 1,800 3,600 4,672 3,705 7,409 0,009 0,022 0,470

Juni 100 1,37 63.100 5 0,10 2,270 1,800 3,600 3,115 2,470 4,940 0,006 0,014 0,313

Juli 100 1,37 63.100 5 0,10 2,270 1,800 3,600 3,115 2,470 4,940 0,006 0,014 0,313

Agustus 350 4,80 63.100 5 0,10 2,270 1,800 3,600 10,901 8,644 17,288 0,020 0,051 1,097 September 50 0,69 63.100 5 0,10 2,270 1,800 3,600 1,557 1,235 2,470 0,003 0,007 0,157 Oktober 50 0,69 63.100 5 0,10 2,270 1,800 3,600 1,557 1,235 2,470 0,003 0,007 0,157

Total 2,508

Lampiran 6b, Perhitungan emisi untuk bahan bakar solar mekanisasi

Tahun Bulan

Konsumsi Solar pada

Bagian Mekanisasi Faktor Emisi (kg/TJ)

Konversi Faktor Emisi

(ton/MWh) Emisi GRK (ton)

Equivalen CO2

(ton) Total

Emisi (tCO2)

Liter MWh CO2 CH4 N2O

CO2

(10-1) CH4

(10-5)

N2O

(10-6)

CO2

(10-1)

CH4

(10-5)

N2O

(10-6)

CH4

(10-1)

N2O

(10-1)

2011 Mei 38.600 413,02 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 1.101,524 1.486,872 892,123 3,420 2,614 110,55 Juni 123.880 1.325,52 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 3.535,151 4.771,858 2.863,115 10,975 8,389 355,45 Juli 168.255 1.800,33 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 4.801,476 6.481,183 3.888,710 14,907 11,394 482,78 Agustus 165.000 1.765,50 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 4.708,589 6.355,800 3.813,480 14,618 11,173 473,44 September 191.625 2.050,39 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 5.468,383 7.381,395 4.428,837 16,977 12,976 549,83 Oktober 223.052 2.386,66 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 6.365,213 8.591,963 5.155,178 19,762 15,105 640,01

Total 2.612,06


(3)

Lampiran 6c, Perhitungan emisi untuk bahan bakar solar pabrikasi

Tahun Bulan

Konsumsi Solar Pada

Bagian Pabrikasi Faktor Emisi (kg/TJ)

Konversi Faktor Emisi

(ton/MWh) Emisi GRK (ton)

Equivalen CO2

(ton) Total

Emisi (tCO2)

Liter MWh CO2 CH4 N2O

CO2

(10-1)

CH4

(10-5)

N2O

(10-6)

CO2

(10-1)

CH4

(10-5)

N2O

(10-6)

CH4

(10-1)

N2O

(10-1)

2011 Mei 7.410 79,287 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 211,458 285,433 171,260 0,656 0,502 21,27 Juni 17.540 187,678 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 500,537 675,641 405,384 1,554 1,188 50,33 Juli 20.695 221,437 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 590,571 797,171 478,303 1,833 1,401 59,38 Agustus 17.340 185,538 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 494,830 667,937 400,762 1,536 1,174 49,75 September 19.435 207,955 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 554,615 748,636 449,182 1,722 1,316 55,77 Oktober 2.400 25,680 74.100 10 0,6 2,667 3,600 2,160 68,489 92,448 55,469 0,213 0,163 6,89

Total 243,39

Lampiran 6d, Perhitungan total emisi untuk bahan bakar solar

Tahun Bulan

Konsumsi Solar Emisi GRK Total

Emisi CO2

(ton)

Mekanisasi Pabrikasi Mekanisasi Pabrikasi

2011 Mei 38.600 7.410 110,55 21,27 131,83

Juni 123.880 17.540 355,45 50,33 405,78

Juli 168.255 20.695 482,78 59,38 542,16

Agustus 165.000 17.340 473,44 49,75 523,19

September 191.625 19.435 549,83 55,77 605,60

Oktober 223.052 2.400 640,01 6,89 646,89


(4)

66 Lampiran 7, Total emisi GRK PG Subang dari penggunaan energi DMG 2011

Tahun Bulan Emisi

Ampas Emisi IDO LPG

Emisi Solar pabrikasi

Emisi Solar Mekanisasi

Total Emisi (tCO2)

2011 Mei 8.589,35 322,97 0,47 110,55 21,27 9.044,61

Juni 18.139,00 121,09 0,31 355,45 50,33 18.666,18

Juli 28.280,35 - 0,31 482,78 59,38 28.822,82

Agustus 20.806,50 55,95 1,10 473,44 49,75 21.386,74

September 23.212,10 - 0,16 549,83 55,77 23.817,86

Oktober 2.400,27 - 0,16 640,01 6,89 3.047,32

Total Emisi dari penggunaan energi 104.785,52


(5)

Lampiran 8a, Perhitungan emisi GRK dari pengolahan limbah padat

Tahun Bulan Produksi Blotong Emisi Faktor

(kg N2O-N/kg N)

Emisi Kg N2O-N

Emisi (kg N2O)

Emisi CO2 setara

(ton)

Kg kg N

2011 Mei 1.270.145,30 9.653,10 0,01 96,53 151,69 44,45

Juni 2.609.647,26 19.833,32 0,01 198,33 311,67 91,32

Juli 2.923.251,50 22.216,71 0,01 222,17 349,12 102,29

Agustus 2.182.692,23 16.588,46 0,01 165,88 260,68 76,38

September 2.347.996,99 17.844,78 0,01 178,45 280,42 82,16

Oktober 200.785,03 1.525,97 0,01 15,26 23,98 7,03


(6)