8
tanaman pangan adalah lahan yang dipilih tersebut merupakan lahan yang mempunyai kelas kesesuaian S1, S2 dan S3 serta lahan tersebut bukan lahan yang
telah diusahakan dan diutamakan lahan yang memiliki potensi Peraturan Menteri Pertanian No. 41 Tahun 2009.
Permentan No. 50 Tahun 2012 tentang pedoman pengembangan kawasan pertanian yang merupakan pengembangan dari Permentan No. 41 Tahun 2009
tentang kriteria teknis kawasan peruntukan pertanian menyatakan bahwa pola dasar pengembangan kawasan pertanian dikelompokkan menjadi dua pola, yaitu
pola pengembangan kawasan yang sudah ada dan pola pengembangan kawasan baru. Pola pengembangan kawasan yang sudah ada ditujukan bagi kawasan
pertanian yang sudah ada dan berkembang, untuk memperluas skala produksi, serta melengkapimemperkuat simpul-simpul agribisnis yang belum berfungsi
optimal. Luasan kawasan dapat bertambah sesuai dengan daya dukung. Kawasan yang telah mandiri diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi daerah
sekitarnya trickle down effect. Pola pengembangan kawasan baru ditujukan untuk kawasan komoditas unggulan pada wilayah barupotensial yang belum
dikembangkan. Ada dua pendekatan pengembangan kawasan yang digunakan untuk kawasan baru, yaitu dengan memperluas skala dan mengadakan kegiatan
yang belum terlaksana danatau dengan membangun kawasan baru di kawasan potensial secara bertahap hingga mencapai skala minimum kawasan.
Penentuan kawasan baru dapat didasarkan pada komoditas yang potensial dan ketersediaan lahan yang sesuai untuk mendukung pengembangan komoditas
tersebut commodity driven. Ada kalanya lokasi potensial sudah ada, namun belum terdapat komoditas yang layak untuk dikembangkan. Dalam
pengembangan kawasan pertanian harus ditentukan terlebih dahulu komoditas yang tepat berdasarkan potensi pasar dan wilayah Permentan No. 50 Tahun
2012.
2.5 Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Ketersediaan
Sumberdaya Lahan
Setyowati 2007 melakukan penelitian mengenai kajian evaluasi kesesuaian lahan permukiman dengan teknik sistem informasi geografis SIG. Inventarisasi
data yang akurat tentang identifikasi kelayakan suatu lahan untuk permukiman sangat diperlukan, namun pada kenyataannya data tersebut sulit diperoleh.
Teknologi Sistem Informasi Geografis sangat membantu dalam upaya inventarisasi dan penyajian data dalam bentuk peta. Hasil inventarisasi dan
evaluasi kesesuaian lahan untuk keperluan kawasan permukiman sangat diperlukan. Data ini akan memberikan sumbangan pemikiran bagi instansi terkait
maupun masyarakat pengguna lahan dalam rangka pembangunan permukiman sehingga terjadi keselarasan dengan lingkungan alam.
Ramli dan Baja 2005 menyatakan bahwa pemanfaatan SIG sangat efektif dalam evaluasi kesesuaian lahan yang melibatkan volume data yang besar dan
format yang rumit, terutama dalam hal proses integrasinya. Dengan basis data yang terformat secara standar dalam SIG, hasil penelitian ini dapat menjadi input
ke sistem aplikasi lain yang areanya sama. SIG memberikan fleksibilitas dalam
9
pengelolaan basis data hingga pada penyajian output dengan format yang mudah dimengerti oleh pengguna dan mudah dimutakhirkan.
Teknik SIG dapat digunakan sebagai metode pengambilan keputusan dalam penelitian yang berkaitan dengan analisis tutupan lahan dan kesesuaian lahan.
Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis tutupan lahan dan kesesuaian lahan dapat dilakukan analisis ketersediaan sumberdaya lahan untuk berbagai tipe penggunaan
lahan tersedia.
2.6 Analisis Terrain dalam Penyusunan Peta Satuan Lahan
Analisis terrain memperhatikan karakteristik lahan yaitu relief, lereng, proses geomorfologi, litologibahan induk dan hidrologi sebagai parameter
analisis Van Zuidam 1983. Kegiatan ini dapat dilaksanakan melalui interpretasi potret udara, citra satelit atau analisis dari peta rupabumi. Karakteristik terrain
mempunyai kaitan erat dengan tingkat kesesuaian lahan, sehingga delineasi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai satuan dasar dalam evaluasi lahan.
Metode pemetaan sumberdaya tanah dengan menggunakan pendekatan land unit atau physiographic approach melalui analisis terrain
memberikan hasil yang lebih efisien untuk tujuan evaluasi lahan Van Zuidam 1983. Delineasi land unit
dari hasil analisis citra penginderaan jauh foto udara, Landsat, SPOT dan Radar dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun satuan peta lahan. Oleh karena
itu, peranan citra penginderaan jauh sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi hasil survei dan pemetaan tanah. Pendekatan land unit
tersebut diterapkan dalam pemetaan sumberdaya lahan tingkat tinjau Pulau Sumatera dan telah dimodifikasi pada pemetaan tanah tingkat semi detil skala
1:50.000 dari proyek LREP II Marsoedi et al. 1997. Pendekatan land unit lebih praktis untuk pelasanaan survei dan pemetaan tanah semi detil skala 1:50.000
serta untuk tujuan evaluasi lahan.
Karakteristik lahan seperti land form, relief, lereng, litologi, landuse, dan hidrologi, yang dikenal sebagai atribut lahan, mempunyai kaitan erat dengan
kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian, sehingga digunakan sebagai parameter dalam evaluasi lahan. Peta land unit yang berisi tentang informasi land
form, relieflereng, batuan induk, land use dan hidrologi dapat didelineasi dari citra landsat, sehingga sebagian besar informasi awal sumberdaya lahan sudah
dapat diketahui sebelum penelitan di lapangan. Dengan demikian, pelaksanaan survei dan pemetaan sumberdaya lahan di lapangan dapat dilakukan dengan
efisien Van Zuidam 1983.
Analisis terrain dari citra Landsat untuk identifikasi dan delineasi land unit skala 1:50.000 merupakan pilihan yang cukup baik untuk diterapkan di Indonesia,
karena lebih efisien, cepat dan relatif murah. Hasil analisis terrain, berupa peta satuan lahan, dapat digunakan sebagai dasar dalam evaluasi lahan untuk
penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian skala 1:50.000 BPTP Kep. Babel.
10
2.7 Analytical Hierarchy Process AHP dalam Penentuan Prioritas