Development of Premium Quality Rice as a Strategy to Increase Rice Farmers’ Income: Case Study on Development of Organic Rice in Klaten Regency, Central Java

(1)

MUHAMMAD SURYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

MUHAMMAD SURYADI. Development of Premium Quality Rice as a Strategy to Increase Rice Farmers’ Income: Case Study on Development of Organic Rice in Klaten Regency, Central Java (M. PARULIAN HUTAGAOL as Chairman and NUNUNG NURYARTONO as Member of the Advisory Committee).

Development of medium quality rice as a homogeneous and generic product on the rice self-sufficiency program leads this rice to the perfect competition market and has not been able to generate rice farmers’ welfare. Development of premium quality rice as a heterogeneous and specific product, and leads this rice to the monopolistic competition market, and believes as an effective policy to generate rice farmers’ welfare. This study aims on evaluating potencies and constraints on development of organic rice as a strategy to increase rice farmers' income with case study on development of organic rice in Klaten Regency, Central Java Province. This study used Cobb Douglass production function and descriptive analysis. Results showed that organic rice productivity and farm income are higher than non-organic rice and almost all of production inputs have significant effect on organic rice production. Development of organic rice has high potencies and also has various constraints including wrong perceptions about organic rice, low financial capability of farmers, scarcity of organics’ fertilizer and pesticide, lack of organic rice processing equipments, low extension and assistance of technology, and weak standards and quality certification system implementation of organic rice. This research concluded that development of organic rice as one of the types of premium quality of rice could be an effective strategy to increase farmers’ income and since organic rice productivity can be equal to the non-organic rice; this will not disturb the rice self-sufficiency program. The government needs to encourage the development of organic rice through increasing the utilization of development potency and handling the various constraints of organic rice development. Government should implement the comprehensive policy especially by increasing the promotion and dissemination of organic rice, providing the capital and improving access of organic rice farmers, improving the ability of farmers in producing organic fertilizers and pesticides, providing post harvesting and equipment organic rice processing, increasing the number of extension workers and intensity of the extension and assistance, providing certification institution, quality assessors, and improving farmers' access to quality certification institution.

Keywords: Premium Quality, Organic Rice, Farm Income, Cobb-Douglass Production Function, Descriptive Analysis


(3)

(4)

MUHAMMAD SURYADI. Pengembangan Beras Kualitas Premium

sebagai Strategi Peningkatan Pendapatan Petani Padi: Studi Kasus Pengembangan Beras Organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (M. PARULIAN HUTAGAOL sebagai Ketua dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Beras merupakan komoditas pangan pokok terbesar dan merupakan komoditas yang memiliki peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Namun dibalik peran strategis beras tersebut, ternyata tantangan pengembangan beras semakin berat. Selain laju pertumbuhan produksi beras yang semakin kecil, usahatani padi ini terbukti belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani padi yang terlibat didalamnya. Salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani padi adalah masalah pasar atau harga gabah/beras. Saat ini pemerintah lebih terfokus pada pengembangan beras kualitas medium yang bersifat homogen dan generik. Sifat produk tersebut pasar beras yang terjadi cenderung bersifat pasar persaingan sempurna, dimana pada pasar tersebut, posisi tawar petani cenderung rendah. Kondisi tersebut akan berulang terus menerus sehingga pendapatan petani padi tetap akan rendah.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan petani adalah dengan menghasilkan produk yang bersifat tidak generik sehingga dimungkinkan peluang pasar lebih terbuka dan posisi tawar petani menjadi lebih besar, antara lain dengan pengembangan beras kualitas premium. Berbeda dengan negara-negara lain, pada kenyataannya tidak banyak petani yang menghasilkan padi kualitas premium ini dan sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan beras kualitas premium masih dipenuhi dari impor, terutama dari Thailand, China dan India. Persepsi di masyarakat bahwa gabah/beras premium mempunyai produktivitas yang rendah, membutuhkan biaya produksi yang lebih besar, serta sulit dalam memasarkan hasil produksi gabah/beras premium diduga merupakan beberapa hambatan dalam pengembangan beras kualitas ini. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menelaah produktivitas dan pendapatan usahatani beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium dan beras non organik, (2) menelaah pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan oleh petani dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium, (3) menelaah hambatan dan peluang bagi petani dalam pengembangan beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium beras kualitas premium, dan (4) merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan beras kualitas premium.

Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus pada salah satu lokasi penghasil beras kualitas premium, yaitu Beras Organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Pengumpulan data primer penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010. Jenis data yang digunakan dalam kajian ini adalah cross section dan time series. Sampel petani dipilih dari dua lokasi yang berdekatan yang menanam padi organik dan non organik secara random sampling. Untuk menganalisis sistem


(5)

pemasaran, digunakan metode snow ball sampling dengan menelusuri pelaku pemasaran yang berkaitan. Dalam penelitian pengembangan beras premium ini, analisis data diawali dengan menelaah faktor-faktor yang berpengaruh pada aspek usahatani padi penghasil beras premium yaitu beras organik dengan menggunakan metode OLS. Pendapatan usahatani padi dihitung dengan analisis pendapatan dan analisis R/C pada kedua kelompok petani, dan untuk melihat aspek pemasarannya dilakukan analisis marjin pemasaran. Analisis kuantitatif tersebut, diharapkan dapat saling melengkapi analisis deskriptif yang dilakukan sehingga rekomendasi kebijakan berkaitan potensi dan hambatan pengembangan beras organik yang akan disusun lebih lengkap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) produktivitas padi organik lebih tinggi dari padi non organik tetapi tidak berbeda nyata secara statistik, (2) pendapatan petani padi organik lebih tinggi dari petani non organik dan berbeda nyata secara statistik, (3) jumlah benih, pupuk, pestisida, tenaga dalam dan luar keluarga, dan sumber benih secara nyata berpengaruh terhadap produksi padi organik, (4) potensi pengembangan beras organik diantaranya adalah tingginya permintaan pasar, luasnya potensi areal pengembangan, tersedianya benih varietas unggul, berbasis sumberdaya keluarga dan input lokal, memiliki persentase harga yang diterima petani relatif tinggi, memiliki rantai saluran tataniaga yang relatif pendek, dan harga beras organik yang relatif tinggi, (5) kendala pengembangan beras organik diantaranya adalah persepsi yang masih keliru mengenai sistem pertanian organik, lemahnya kemampuan permodalan petani, terbatasnya jumlah pupuk dan pestisida organik, terbatasnya peralatan pengolahan padi menjadi beras organik, kurangnya bimbingan dan penyuluhan, dan lemahnya penerapan standar dan sistem sertifikasi mutu beras organik. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pengembangan beras organik yang merupakan salah satu jenis beras premium dinilai sebagai salah strategi yang tepat dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi dan kebijakan pengembangan ini dinilai tidak mengganggu program swasembada beras karena produktivitas padi organik dapat menyamai padi non organik.

Pemerintah perlu mendorong pengembangan padi organik melalui peningkatan pemanfaatan potensi yang tersedia dan mengatasi berbagai kendala yang dihadapi. Alternatif kebijakan yang dapat ditempuh antara lain adalah melakukan peningkatan promosi dan sosialisasi beras organik, menyediakan permodalan dan peningkatan akses petani untuk pengembangan beras organik, meningkatkan kemampuan petani dalam memproduksi pupuk dan pestisida organik, menyediakan alsintan pengolah beras organik, menambah jumlah penyuluh dan meningkatkan intensitas bimbingan dan pendampingan bagi petani, menyediakan lembaga sertifikasi, asesor mutu, serta meningkatkan akses petani terhadap lembaga sertifikasi mutu tersebut. Saran untuk penelitian sejenis adalah kajian lebih diperluas, sehingga potensi-potensi beras premium yang lain dapat diketahui.

Kata Kunci: Kualitas Premium, Beras Organik, Pendapatan usahatani, Analisis Deskriptif, Fungsi Produksi Cobb Douglass


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

MUHAMMAD SURYADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Suharno, M.S.

(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian, Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.S.

(Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian, Bogor)


(9)

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “ Pengembangan Beras Kualitas Premium sebagai Strategi Peningkatan Pendapatan Petani Padi: Studi Kasus Pengembangan Beras Organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini membahas peluang dan hambatan pengembangan beras premium dalam rangka meningkatkan pendapatan petani padi.

Penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.S. selaku

ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A. selaku koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 2. Dr. Ir. Suharno, M.S., dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.S., selaku Penguji Luar

Komisi dan Penguji yang mewakili Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian serta Pimpinan Sidang pada Ujian Tesis, yang telah memberikan masukan bagi perbaikan tesis ini.


(11)

3. Kepala Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian dan Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk kuliah sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijkan Pertanian, terutama Adi Setiyanto,SP, M.Si. serta Dr. Ir. Sumaryanto, M.S., yang telah memberikan bantuan dan menumbuhkan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

4. Rekan-rekan Angkatan 2007 Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB dan rekan-rekan dari mayor lain, atas kebersamaan dan kerjasamanya selama mengikuti perkuliahan.

5. Seluruh staf Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian (Mbak Ruby, Mbak Yani, Ibu Kokom, dan Pak Husien) yang senantiasa sabar dan membantu penulis selama perkuliahan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.

6. Kelompok tani “Balak Gumregah”, para responden penelitian ini, serta pihak-pihak lain yang namanya tidak mungkin kami sebutkan satu per satu yang telah memberikan informasi yang berguna bagi penyusunan tesis ini.

Secara khusus dan penuh rasa hormat dan cinta, penulis mengucapkan terima kasih atas segala doa dan dukungan dari Ibunda Sunarni dan Elly darwani, Ayahanda Suyono, Istriku Vera Atriyani, Gadis kecilku Naila Nur Fadhilah, serta kakak dan adikku semuanya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan, namun penulis berharap semoga tesis ini banyak memberikan manfaat bagi banyak pihak. Terima kasih.

Bogor, September 2011 Muhammad Suryadi


(12)

Penulis dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 10 Mei 1973 dari pasangan Ibu Hj. Sunarni dan Bapak Sumardi Mardi Siswanto (alm). Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara.

Pendidikan SD sampai SMTA penulis diselesaikan di Klaten. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA N I Klaten pada tahun 1991, dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian UGM Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian melalui jalur UMPTN. Penulis dinyatakan lulus dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan magister pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, IPB pada Agustus 2007.

Sejak 31 Desember 2001 sampai sekarang penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ( pada waktu itu bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.


(13)

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 8

1.4. Hasil yang Diharapkan………. 8

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

1.6. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

1.7. Keterbatasan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Kesejahteraan Petani Padi ………... 12

2.2. Upaya-Upaya Untuk Menghasilkan Beras Kualitas Premium ... 15

2.2.1. Penggunaan Varietas, Perlakukan Budidaya dan Pemilihan Wilayah Pengembangan Secara Tepat …... 15

2.2.2. Kualitas dan Penanganan Pasca Panen ……...……... 18

2.3. Padi atau Beras Organik Sebagai Beras Kualitas Premium …… 20

2.4. Peluang dan Kendala Pengembangan Beras Premium ……….. 22

2.4.1. Areal Pengembangan, Varietas dan Ketersediaan Teknologi………...…… 22

2.4.2. Produktivitas Padi Organik …………. ………... 24

2.4.3. Potensi dan Peluang Pasar padi Organik ……….… 27

2.4.4. Potensi Pengembangan Padi Organik dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani ………..…. 28

2.4.5. Kendala Pengembangan ……….…. 30

2.5. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ……….….. 31


(14)

Monopolistik ……….. 35

2.6.2. Pemasaran Produk Pertanian ……….…... 37

III. KERANGKA PEMIKIRAN ……… 39

3.1. Kerangka Analisis ……….. 39

3.2. Hipotesis………...….... 43

IV. METODE PENELITIAN ………... 44

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………..… 44

4.2. Jenis dan Macam Data ……….………... 44

4.3. Metode Pengambilan Sampel ………....…. 44

4.4. Metode Analisis Data ………...… 47

V. KONDISI UMUM DAERAH ………..… 57

5.1. Lokasi dan Topografi ……….. 57

5.2. Keadaan Penduduk ………..………….... 58

5.3. Kondisi Sosial Ekonomi ………..… 59

5.3.1. Keadaan Pendidikan ……….... 60

5.3.2. Komposisi Penduduk Menurut Lapangan Usaha Utama. 60 5.3.3. Sarana Ekonomi …………..……….….. 61

5.4. Keadaan Pertanian ………...… 63

5.4.1. Penggunaan Tanah ………... 63

5.4.2. Produksi Pertanian Tanaman Pangan ……….…... 63

5.4.3. Produksi Pertanian Tanaman Hortikultura ………….… 65

5.4.4. Produksi Peternakan dan Perikanan………..….. 66

5.4.4.1. Ternak Besar dan Kecil ………. 67

5.4.4.2. Ternak Unggas ………. 67

5.4.4.3. Produksi Perikanan ……….. 68

5.5. Keadaan Sarana Transportasi………... 69

VI. DESKRIPSI SAMPEL PENELITIAN ……….……… 71

6.1. Profil Petani ……….……….... 71

6.1.1. Komposisi Petani Berdasarkan Umur …………...……… 71


(15)

6.1.3. Sumber-Sumber Pendapatan Rumah Tangga Petani …. 73

6.2. Keadaan Umum Pertanian ………..………... 74

6.2.1. Pengelolaan Usahatani ……….……….….. 74

6.2.2. Luas Pemilikan Tanah Garapan ……….….…... 78

VII. ANALISIS EKONOMI BERAS ORGANIK ………..………... 79

7.1. Produktivitas Usahatani Padi Organik ……….. 79

7.2. Analisis Pendapatan Usahatani ………..……….… 84

7.2.1. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Organik ………… 84

7.2.2. Analisis Pendapatan Beras Organik ……… 88

7.3. Pemasaran Beras ……….. 90

7.3.1 Struktur dan Perilaku Pasar Beras ……….... 90

7.3.2. Saluran Pemasaran ………..……….…. 94

7.3.3. Margin Pemasaran Beras Organik …………..………….. 99

VIII. PROSPEK DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BERAS ORGANIK ……….……….. 101

8.1. Prospek Pengembangan Beras Organik ………. 101

8.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Beras Organik ……….... 105

8.3. Kendala Pengembangan Beras Organik ……….... 116

8.3.1. Aspek Budidaya……… 117

8.3.2. Aspek Sosial Ekonomi ……….… 119

8.3.3. Aspek Pasca Panen dan Pengolahan Hasil …………..…. 120

8.3.4. Aspek Pemasaran ………. …….… 120

8.3.5. Aspek Kelembagaan ……….… 121

8.4. Kebijakan Pengembangan ………. 122

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ……….... 126

9.1. Kesimpulan ……….……….. 126

9.2. Saran ……… 127

DAFTAR PUSTAKA ……… …..… 130


(16)

Bahan Organik dan Kimia, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai,

Thailand, MH1999-2001 ………..………... 25 2. Perbandingan Produktivitas Delapan Varietas Padi yang Ditanam

Secara Organik, Kimia, dan Tanpa Masukan, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai, Thailand, MH 2003……….... 26 3. Perkembangan Penduduk di Kabupaten Klaten Tahun 2004-2008..…. 58 4. Komposisi Penduduk Menurut Umur di Kabupaten Klaten Tahun

2007 ………..…… 59

5. Jumlah Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Tingkat

Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Klaten Tahun 2008 ……. 60 6. Jumlah Penduduk usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut

Lapangan Pekerjaan Utama di Kabupaten Klaten Tahun 2008 ……... 61 7. Jumlah Sarana Ekonomi di Kabupaten Klaten Tahun 2007 …………. 62 8. Penggunaan Tanah di Kabupaten Klaten Tahun 2007 ….. ………..… 63 9. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Pangan di

Kabupaten Klaten Tahun 2009 ………. 64 10. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Sayuran di

Kabupaten Klaten Tahun 2008 ………...… 65 11. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Tanaman Buah-buahan di

Kabupaten Klaten Tahun 2008 ………...….. 66 12. Perkembangan Ternak Besar dan Kecil di Kabupaten Klaten Tahun

2004-2008 ………... 67

13. Perkembangan Jumlah Unggas di Kabupaten Klaten Tahun 2005

-2008 ………. 68

14. Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Darat di Kabupaten Klaten

Menurut Tipe Budidaya Tahun 2007-2008 ………..…… 69 15. Panjang Jalan Berdasarkan Jenis Permukaan, Kondisi Jalan, dan

Status Jalan di Kabupaten Klaten Tahun 2008 ………... 69 16. Komposisi Petani Sampel Penelitian Berdasarkam Umur Tahun 2010. 72 17. Komposisi Petani Sampel Penelitian Berdasarkan Tingkat


(17)

18. Komposisi Pendapatan Rumah Tangga Pertanian Tahun 2010..…….. 74 19. Komposisi Rumah Tangga Petani Sampel Penelitian yang Memiliki

Ternak Tahun 2010 ………...………... 77 20. Luas Pemilikan dan Garapan Lahan Sawah Petani Sampel

Penelitian Tahun 2010 ……….. 78 21. Rata-rata Produktivitas Padi Organik dan Non Organik pada MH

2009/2010 dan MK 2009 di Lokasi Penelitian ……….... 79 22. Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Non Organik

per Hektar pada MH 2009/2010 dan MK 2009 Lokasi Penelitian .…. 86 23. Perbandingan Pendapatan Beras Organik dan Non Organik per

Hektar di Lokasi Penelitian Tahun 2010 ………... 89 24. Analisis Margin Pemasaran Beras Organik di Lokasi Penelitian

Tahun 2010 ... 99 25. Proporsi Persepsi Petani Sebagai Produsen Terkait Peluang dan

Minat untuk Mengembangan Beras Organik di Lokasi Penelitian

Tahun 2010 ………..…. 104 26. Proporsi Persepsi Responden terhadap Faktor Utama yang

Mendorong Pengembangan Beras Organik di Lokasi Penelitian

Tahun 2010………... 106 27. Proporsi Persepsi Responden terhadap Faktor-Faktor Yang

Menghambat Pengembangan Beras Organik di Lokasi Penelitian

Tahun 2010 ……….………..… 109 28. Hasil Analisis Estimasi Fungsi Produksi Padi Organik dan Padi Non

Organik di Lokasi Penelitian, Musim Tanam MK 2009 dan MH

2009/ 2010 ………..….. 114 29. Matriks Kendala dan Kebijakan Pengembangan Beras Organik…... 123


(18)

2. Kondisi Pasar Persaingan Monopolistik Dalam Jangka Panjang …... 37

3. Kerangka Analisis Penelitian ………... 41

4. Pola Pergiliran Tanaman Daerah Sampel Penelitian ……… 75

5. Saluran Pemasaran Beras Organik di Lokasi Penelitian ... 95


(19)

(20)

2. Data Input Output Produksi Padi Non Organik Sampel

Penelitian ………. 137

3. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Padi Organik ……….. 139 4. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Padi Non Organik ……….. 140


(21)

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan. Beras merupakan bahan pangan pokok dan dikonsumsi oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Dalam kaitannya dengan itu, produksi dan konsumsi beras selalu menjadi isu sentral pembangunan. Pada tahun 2009 luas panen padi nasional mencapai 12.88 juta hektar dengan produksi padi 64.40juta ton (BPS, 2010a). Pada tingkat produksi sebesar itu, kebutuhan konsumsi beras nasional belum juga tercukupi dan hampir setiap tahun impor beras selalu terjadi.

Disamping isu impor yang terjadi setiap tahun, beras senantiasa menjadi penyumbang inflasi terbesar di Indonesia dari tahun ke tahun. Gejolak harga beras mempunyai pengaruh yang besar terhadap stabilitas ekonomi, karena pengeluaran untuk konsumsi beras rumah tangga masyarakat Indonesia sangat besar. Di sisi lain, produsen beras juga merupakan bagian penduduk terbesar di Indonesia, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi pada harga beras juga akan mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat secara luas. Sensus Pertanian 2003 menunjukkan usahatani padi masih diusahakan oleh lebih dari 24 juta rumah tangga, dan dari jumlah tersebut lebih dari 18 juta juta rumah tangga mengelola usahatani padi sebagai usaha utama dan mereka menggantungkan hidupnya hanya dari usahatani padi (BPS, 2007). Kondisi-kondisi di atas menunjukkan padi dan beras memiliki peran yang sangat besar dan strategis bagi perekonomian Indonesia.


(22)

Peranan strategis beras menyebabkan pemerintah terus mempertahankan swasembada beras. Namun dibalik peran strategis beras tersebut, ternyata tantangan pengembangan beras semakin berat. Selain laju pertumbuhan produksi beras yang semakin kecil yaitu rata-rata hanya mencapai 0.29 persen per tahun, sementara konsumsi beras meningkat rata-rata 0.75 persen per tahun (Setiyanto, 2011), usahatani padi ini terbukti belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani padi yang terlibat di dalamnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya permasalahan pasar beras yang tidak menguntungkan petani padi sebagai produsen beras.

Selama ini arah kebijakan pemerintah lebih tertuju pada pengembangan beras kualitas medium, dimana jumlah produksi beras untuk memenuhi jumlah kebutuhan konsumsi menjadi fokus perhatian utama. Arah kebijakan tersebut menyebabkan sebagian besar beras yang diproduksi masyarakat adalah beras kualitas medium yang cenderung bersifat homogen dan generik, sehingga menggerakkan pasar beras menuju ke arah pasar persaingan sempurna. Pada pasar persaingan sempurna, jumlah produsen beras sangat banyak dengan ukuran masing-masing produsen beras tersebut relatif kecil dibanding pasar beras itu sendiri, sehingga masing-masing produsen beras tidak mampu mengontrol harga beras dan sebagai penerima harga (price taker) dengan posisi tawar yang relatif lemah. Pada pasar semacam ini, pesaing baru dapat masuk dan keluar dengan bebas, dimana apabila tingkat terdapat keuntungan tinggi, banyak produsen beras masuk ke pasar dan produsen akan keluar dari pasar beras pada saat keuntungan turun. Hal ini berarti apabila seorang produsen beras menetapkan harga di atas harga yang berlaku, maka produk orang tersebut tidak akan laku di pasaran,


(23)

karena tersedianya subsitusi-subsitusi sempurna atas beras yang diperdagangkan tersebut. Keterbatasan dalam mengontrol harga inilah yang diduga menyebabkan petani hanya mendapatkan keuntungan normal (normal profit) dan tidak mendapatkan keuntungan ekonomi (economic profit) yang memadai sehingga pendapatannya rendah.

Berdasarkan kondisi pasar beras tersebut, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pendapatan petani adalah dengan membuat kondisi dimana petani mempunyai kontrol harga terhadap produk yang dihasilkan. Cara tersebut dapat dilakukan bila petani mampu menghasilkan beras kualitas premium sehingga dengan sifat premium beras tersebut, konsumen rela membayar dengan harga lebih tinggi.

Beras kualitas premium pada umumnya dicirikan: (1) cita rasa yang tinggi (warna putih, pulen atau pera) dan kualitas fisik (tekstur) yang baik (kadar pecahnya maksimal 10 persen), dan (2) dihasilkan dengan proses produksi tertentu dengan tujuan khusus. Beberapa contoh beras kualitas premium antara lain adalah Rojolele, Pandan Wangi, Cianjur Kepala, Ramos, IR 64 Kualitas I, Bunga Lowe Merah, Aroma Indah, Rambutan, Bumiayu, Mentik Wangi, Siam Unus, Padi Karya, beras organik, dan beras-beras aromatik lain, baik varietas unggul maupun varietas unggul lokal.

Pada kesempatan ini, penelitian dilakukan pada beras kualitas premium yang dihasilkan dari budidaya organik atau beras organik. Dasar pertimbangannya adalah bahwa pada beras kualitas premium yang bukan dari budidaya organik, umumnya diperoleh dengan cara pengolahan tertentu dan nilai tambah dan harga tinggi diperoleh oleh para pedagang dan pengolah beras


(24)

medium non organik menjadi Beras Kepala, Beras Kualitas I, Beras Kristal dan Ramos. Pada beras kualitas premium kelompok ini, petani tidak menikmati harga tinggi, karena para pedagang dan pengolah padi membeli dengan harga padi yang rendah atau sesuai harga yang berlaku dan selanjutnya mereka mengolah dan menjual dalam bentuk beras kualitas premium. Berbeda dengan beras organik, harga dan nilai tambah yang tinggi dimulai dari tingkat usahatani, sehingga petani organik menerima harga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani non organik atau petani biasa.

Strategi pengembangan beras kualitas premium yang berasal dari budidaya organik dan selanjutnya disebut beras organik ini diduga layak sebagai strategi untuk meningkatkan pendapatan petani padi. Inisiatif pengembangan beras organik telah dilakukan petani dan kelompok tani di beberapa Kabupaten di Indonesia, diantaranya adalah Magelang, Sragen, Boyolali dan Klaten. Kabupaten Klaten dipilih sebagai lokasi penelitian didasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Klaten merupakan salah satu dari lima sentra produksi beras terbesar di Propinsi Jawa Tengah dan merupakan salah satu penghasil beras kualitas premium yang sudah lama dikenal masyarakat luas. Beras kualitas premium dari Kabupaten Klaten yang sangat dikenal masyarakat luas adalah Rojolele. Namun demikian, selain Rojolele, di wilayah ini juga berkembang varietas lainnya seperti Mentik Wangi, Sintanur, Pandan Wangi dan lain-lain sehingga wilayah ini berkembang menjadi salah penghasil beras kualitas premium di Jawa Tengah maupun di Indonesia. Sebagai salah satu kabupaten sentra produksi beras, wilayah ini memproduksi beras kualitas premium organik dan non organik, sehingga relatif mudah untuk memperoleh perbandingan tingkat


(25)

pendapatan petani antara yang melakukan melakukan budidaya organik maupun yang melakukan budidaya non organik atau konvensional. Pada tahun 2009, dengan luas panen 61 543 hektar, produksi padi di Kabupaten Klaten mencapai 383 930 ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan dengan sekitar 250 000 ton beras, diantara jumlah produksi tersebut sekitar 4.82 persen (sekitar 12 ribu ton) merupakan beras organik dan sekitar 33.92 persen (sekitar 85 ribu ton) merupakan beras kualitas premium bukan organik.

Pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten dimulai sejak tahun 2005. Pengembangan ini diawali sebagai sebuah kesadaran untuk mengatasi penurunan kualitas tanah yang menurun drastis akibat pola tanam yang dilakukan masyarakat sangat intensif sehingga unsur organik tanah terkuras terus-menerus, dan aplikasi pestisida kimia atau anorganik yang berlebihan sehingga tingkat resistensi organisme pengganggu tanaman meningkat dari tahun ke tahun. Pengembangan padi organik dipandang sebagai sebuah cara yang tepat untuk mengembalikan kesuburan lahan pertanian dan meningkatkan pendapatan petani karena harga beras organik relatif tinggi dan permintaan pasarnya terus meningkat. Kabupaten Klaten yang secara geografis berada di tengah tiga kota besar, yaitu Solo, Semarang, dan Yogyakarta memberikan keuntungan tersendiri bagi pemasaran beras organik. Dalam kenyataannya, produksi beras organik di wilayah ini terus berkembang sekalipun mengalami pasang surut dan dinamika. Dengan melakukan penelitian tentang tingkat produktivitas dan pendapatan usahatani, karakteristik pelaku usahatani dan pemasaran, dan berbagai faktor pendorong dan penghambat pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten diharapkan mampu memberikan penjelasan dan pembuktian yang memadai


(26)

tentang peluang pengembangan beras kualitas premium sebagai strategi peningkatan pendapatan petani. Meskipun tidak sepenuhnya dapat menggeneralisasi permasalahan pengembangan beras premium secara nasional, namun kajian ini sedikit banyak diharapkan mampu mengidentifikasi berbagai permasalahan utama yang terjadi dalam pengembangan beras kualitas ini.

1.2.Perumusan Masalah

Potensi produksi dan peluang pasar untuk pengembangan kualitas premium di Indonesia relatif besar, namun pada kenyataannya tidak banyak petani yang menghasilkan padi kualitas premium ini dan pemerintah belum berminat untuk memanfaatkan potensi dan peluang tersebut. Padahal, sampai saat ini volume impor beras kualitas premium Indonesia terutama dari China dan Thailand masih cukup besar. Data BPS menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan mengenai perkembangan impor beras premium Indonesia. Pada periode 2004 – 2009, rata-rata jumlah impor beras premium (kategori beras Kepala/Utuh, Basmati, Japonica, Thom Mali, Parboiled/Kesehatan, Jasmine dan Fargrant) adalah sekitar 135.39 ribu ton per tahun dan meningkat rata-rata 26.61 persen per tahun. Mengacu pada angka peningkatan ini, maka dapat diperkirakan impor beras premium Indonesia akan terus meningkat pesat pada tahun-tahun mendatang.

Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab petani dan pemerintah kurang berminat mengembangkan beras kualitas premium, yaitu: (1) berkembang persepsi di masyarakat bahwa beras kualitas premium mempunyai produktivitas rendah sehingga pendapatan yang diterima petani rendah, (2) usahatani beras kualitas premium merepotkan, (3) usahatani beras organik


(27)

membutuhkan biaya tinggi. (4) saluran pemasaran beras premium terbatas, (5) pengembangan beras medium mendapatkan dukungan subsidi input dan sarana prasarana yang besar dari pemerintah, serta (6) pemerintah dan berbagai pihak sangat khawatir bahwa pengembangan beras kualitas premium akan mengganggu ketahanan pangan dan swasembada beras.

Berdasarkan studi kasus pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang komprehensif tentang beras premium sehingga mampu menjelaskan dengan baik potensi dan hambatan pengembangannya, serta memberikan pembuktian yang cukup atas persepsi yang berkembang di masyarakat. Sehubungan dengan itu, secara spesifik permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Benarkah produktivitas padi organik yang menghasilkan beras kualitas premium lebih rendah dari produktivitas padi kualitas medium?,

2. Apakah tingkat pendapatan usahatani padi organik yang menghasilkan beras kualitas premium lebih rendah daripada pendapatan usahatani padi non organik yang menghasilkan beras kualitas medium?,

3. Bagaimanakah pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan oleh petani organik dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium?,

4. Apa hambatan, peluang dan kendala pengembangan beras kualitas premium? 5. Dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi, alternatif kebijakan apa


(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kesadaran dan minat pemerintah dan petani untuk mengembangkan beras kualitas premium, dalam rangka meningkatkan pendapatan petani padi. Petani dan pemerintah tentunya akan lebih berinisiatif untuk mengembangkan beras organik apabila sejumlah kekhawatiran yang diuraikan dalam perumusan masalah tersebut ternyata tidak terbukti. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji pengembangan beras kualitas premium sebagai alternatif strategi peningkatan pendapatan petani padi dengan studi kasus pengembangan beras organik di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menelaah produktivitas dan pendapatan usahatani penghasil beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium,

2. Menelaah pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan oleh petani dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium;

3. Menelaah hambatan dan peluang bagi petani dalam pengembangan beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium beras kualitas premium;

4. Merumuskan bahan rekomendasi kebijakan pengembangan beras kualitas premium.

1.4. Hasil yang Diharapkan

Hasil atau keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Hasil telaahan produktivitas dan pendapatan usahatani penghasil beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium;


(29)

2. Hasil telaahan pemasaran dan pola kerjasama atau kemitraan yang dilakukan oleh petani dengan pihak lain dalam pemasaran beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium;

3. Hasil telaahan hambatan dan peluang bagi petani dalam pengembangan beras organik sebagai salah satu jenis beras kualitas premium beras kualitas premium;

4. Rumusan alternatif kebijakan pengembangan beras premium

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat :

1. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan beras kualitas premium dalam rangka peningkatan pendapatan petani padi dan ketahanan pangan.

2. Bagi penulis kegiatan dan hasil penelitian menambah pengetahuan tentang pengembangan beras kualitas premium sebagai alternatif strategi peningkatan pendapatan petani padi

3. Bagi masyarakat umum dan kalangan ilmiah hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber data dan informasi tambahan untuk penelitian yang sejenis pada bidangnya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1.6.Ruang Lingkup Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah untuk merumuskan alternatif kebijakan pengembangan beras kualitas premium dalam rangka peningkatan pendapatan


(30)

petani padi. Jenis beras kualitas premium di lapangan sangat banyak, namun dengan berbagai pertimbangan, sampel kajian dibatasi pada salah satu jenis beras premium, yaitu beras organik . Penelitian ini dilakukan pada rumah tangga petani padi, baik rumah tangga petani yang menanam padi organik beras kualitas premium maupun kualitas medium. Dengan melakukan analisis usahatani pada kedua kelompok petani tersebut diharapkan diperoleh gambaran tingkat produktivitas, tingkat pendapatan dan persepsi lebih lengkap dan seimbang terhadap pengembangan beras premium.

Analisis data dilakukan dalam kurun waktu yang sama, pada tipe lahan yang sama, lokasi berdampingan antara lokasi penghasil beras kualitas premium dan lokasi penghasil beras kualitas medium. Studi kasus lokasi penghasil beras kualitas premium yaitu beras organik di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Adapun penghasil beras organik di kecamatan tersebut adalah Paguyuban Beras Organik “Balak Gumbregah”. Cakupan penelitian ini meliputi karakteristik rumah tangga petani, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan beras kualitas premium, tingkat produktivitas padi organik, pendapatan usahatani, tingkat harga yang terjadi, dan pola kerjasama yang dilakukan para petani penghasil beras organik, serta potensi pasar beras kualitas premium itu sendiri.

1.7. Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan ruang lingkup kajian yang dilakukan maka berbagai keterbatasan dalam penelitian ini antara lain adalah:

1. Jenis beras premium yang dianalisis hanya terbatas pada jenis beras organik. Untuk selanjutnya, dalam tulisan ini istilah beras atau gabah premium


(31)

merujuk pada beras atau gabah organik, sedangkan istilah beras medium merujuk pada beras non organik. Kajian difokuskan pada beras organik yang dihasilkan oleh kelompok agar berbagai informasi terkait aspek kelembagaan petani dapat digali dengan baik.

2. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang pengembangan beras premium, seharusnya kajian juga membahas bagaimana bentuk pengembangan beras organik yang dilakukan oleh swasta atau perusahaan, namun karena kajian ini lebih melihat bagaimana peranan pengembangan beras premium ini dalam rangka peningkatan pendapatan petani dan pengaruh kelembagaan organisasi petani maka sampel diambil pada beras premium yang dihasilkan oleh kelompok petani.

3. Bentuk kerjasama yang dikaji dalam penelitian dibatasi pada bentuk kerjasama yang paling menonjol atau paling efektif yang terjadi di lokasi penelitian, walaupun sebenarnya pola atau bentuk kerjasama atau kemitraan yang ada di lokasi penelitian cukup beragam.


(32)

dan selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian. Komoditas ini sangat berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, sehingga berbagai permasalahan yang terkait dengan komoditas ini rawan sekali untuk dipolitisi. Pengalaman di banyak negara termasuk Indonesia, menunjukkan krisis pangan terbukti dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa (Hardinsyah et al., 1996).

Tantangan berat yang harus dijawab pemerintah terkait dengan perberasan ini adalah bahwa ketika swasembada beras sebagai bagian pemantapan ketahanan pangan ternyata belum menciptakan kesejahteraan pelakunya. Tingkat keuntungan usahatani padi relatif masih kecil sehingga kesejahteraan petani yang terlibat relatif rendah. Sumaryanto (2004) menunjukkan, usahatani padi dengan status garapan milik, rata-rata keuntungan atas biaya tunai pada musim hujan, musim kemarau I, dan musim kemarau II berturut-turut adalah Rp 2.70 juta, Rp 2.60 juta, dan Rp 2.30 juta per hektar. Pada usahatani padi dengan status garapan sewa, keuntungan atas biaya tunai untuk usahatani padi pada musim hujan hanya sekitar Rp 1.00 juta per hektar. Pada musim kemarau I keuntungan menjadi lebih rendah dan bahkan pada musim kemarau II keuntungan kurang dari Rp 500.00 ribu per hektar. Pada persil garapan sakap (bagi hasil), pendapatan usahatani padi lebih tinggi dari usahatani garapan sewa. Pada musim hujan, rata-rata keuntungan atas biaya tunai sekitar Rp 1.15 juta per hektar, sedangkan pada musim kemarau I meningkat menjadi Rp 1.35 juta per hektar.


(33)

Berbagai program sebenarnya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani padi ini. Perbaikan teknik produksi, subsidi input, perbaikan infrastruktur, dan kelembagaan meskipun secara nyata mampu meningkatkan produksi padi nasional, namun belum secara signifikan mampu mengeluarkan pelaku usahatani padi ini dari kemiskinan. Misalnya dari aspek harga jual gabah, pemerintah telah menetapkan semacam harga dasar untuk mengontrol gejolak harga gabah dan beras ini, bahkan menurut Malian et al. (2003), kebijakan semacam harga dasar tersebut telah ada sejak musim tanam 1969/1970, namun ternyata kebijakan tersebut juga belum banyak membantu kesejahteraan petani. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah terpaksa mencabut unsur-unsur penopang kebijakan harga dasar tersebut sehingga kebijakan tersebut tidak efektif.

Semakin lemahnya peran pemerintah dalam mengontrol harga dasar gabah disadari atau tidak juga terlihat dari perubahan konsep harga dasar gabah (HDG) menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Ada dua hal penting yang perlu dicermati perubahan kebijakan tersebut. Pertama, dengan kebijakan HPP maka pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban dan tanggung jawab formal atau yuridis untuk menjamin harga gabah. Pemerintah hanya berjanji akan membeli gabah pada tingkat harga tertentu, bukan menjamin harga gabah minimum di tingkat petani sebagaimana lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Kedua, HPP berlaku di gudang Bulog bukan di tingkat petani seperti lazimnya pada kebijakan HDG. Dengan kebijakan HPP tersebut pemerintah tidak wajib membeli gabah dari petani. Bulog yang menjadi lembaga pemerintah pelaksana pembelian gabah hanya pasif menunggu di gudangnya, tidak membeli gabah langsung dari petani.


(34)

Dengan demikian HPP yang ditetapkan bukanlah harga dasar gabah yang diterima petani, melainkan harga dasar gabah yang diterima pedagang rekanan Bulog, sehingga secara formal yuridis, kebijakan HDG di tingkat petani sesungguhnya sudah tidak ada lagi. Bulog hanya membeli gabah untuk memenuhi kebutuhannya pada harga sesuai HPP. Bahwa harga gabah anjlok di bawah HPP adalah masalah lain di luar tanggung jawab formal Bulog. Secara formal yuridis argumen ini benar, namun secara moral dan misi keberadaan lembaga argumen tersebut sangat keliru.

Lemahnya kontrol pemerintah terhadap harga dasar gabah di tingkat petani ini dapat dilihat dari fenomena insiden harga gabah di bawah harga dasar yang terus berulang setiap tahun, terutama saat panen raya. BPS (2010b) mencatat, pada tahun 2008 dari observasi yang dilakukan, kasus harga GKG di bawah HPP sebanyak 20.34 persen, GKP di tingkat petani 12.88 persen, dan GKP di tingkat penggilingan sebanyak 13.80 persen.

Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa diperlukan alternatif strategi dalam memecahkan rendahnya pendapatan petani padi. Dengan berbagai keterbatasan yang ada pemerintah kurang efektif dalam mengontrol pasar beras atau gabah, maka pemerintah perlu mendorong terciptanya harga beras yang layak di tingkat petani. Dengan mengembangkan pasar beras kualitas premium, petani akan mempunyai kontrol harga terhadap beras tersebut sehingga meningkatkan posisi tawar petani. Dalam jangka panjang, seiring dengan berkembangnya preferensi masyarakat terhadap kualitas beras, pasar beras yang tersegmentasi ini akan membawa pasar beras kualitas premium ke arah persaingan monopolistik sehingga petani mendapatkan harga yang tinggi dan mampu meningkatkan


(35)

pendapatannya. Disisi lain, tingginya harga beras premium akan memberikan tekanan pada pasar beras non premium sehingga harga beras non premium terdorong naik dan pendapatan petani non premium ikut meningkat.

2.1. Upaya-upaya untuk Menghasilkan Beras Kualitas Premium.

Pengembangan beras kualitas premium dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain (1) penggunaan varietas, perlakukan budidaya dan pemilihan wilayah pengembangan, dan (2) penanganan pasca panen. Upaya penggunaan varietas, perlakuan budidaya dan wilayah pengembangan, dalam pengembangan beras kualitas premium dapat dilakukan melalui praktek pertanian yang baik

(Good Agricultural Practice atau GAP) yang secara langsung diarahkan pada sistem pertanian organik. Sedangkan penanganan pasca panen diarahkan pada perbaikan penanganan pasca panen untuk menghasilkan beras dengan kualitas tinggi.

2.2.1. Penggunaan Varietas, Perlakukan Budidaya dan Pemilihan Wilayah Pengembangan Secara Tepat

Salah satu upaya menghasilkan beras premium dengan penggunaan varietas, perlakuan budidaya dan pemilihan wilayah pengembangan secara tepat dapat dilakukan melalui pengembangan sistem pertanian organik. Dalam prakteknya, pertanian organik dilakukan dengan cara, antara lain (1) menghindari penggunaan bibit/benih hasil rekayasa genetika, (2) menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis, (3) pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis dan rotasi tanaman, (4) menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetis, (5) kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan mengembalikan residu


(36)

tanaman, pupuk kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legume dan rotasi tanaman, dan (6) menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak

Berdasarkan praktek pertanian organik tersebut di atas, dari aspek varietas maka pengembangan padi organik pada umumnya menggunakan varietas-varietas unggul lokal yang mempunyai produktivitas sedang sampai rendah, namun mempunyai cita rasa yang tinggi. Rendahnya produktivitas padi organik selain dipengaruhi oleh varietas, juga sangat dipengaruhi oleh perlakuan budidaya yang dilakukan. Padi organik pada umumnya ditangani secara tradisional dan tidak memakai bahan-bahan anorganik untuk merangsang pertumbuhan dan produksinya.

Dengan kondisi tersebut maka dari perspektif wilayah dan ketahanan pangan, pengembangan beras kualitas premium harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Pengembangan tersebut sebaiknya dilakukan pada daerah-daerah yang bukan merupakan wilayah sentra produksi beras. Pada wilayah sentra beras, sejak tahun 1960-an telah dibudidayakan varietas unggul yang memiliki respons tinggi terhadap masukan berupa pupuk kimia, hama dan penyakit utama dikendalikan secara kimiawi atau dengan ketahanan varietas, ditanam secara monokultur, tersedia insentif berupa subsidi dan dukungan dengan sistem irigasi yang baik. Pengembangan beras premium melalui pengembangan pertanian organik di wilayah sentra padi bila tidak dilakukan dengan hati-hati dikhawatirkan dapat mengancam kemampuan produksi dan ketahanan pangan nasional. Seperti dikemukakan oleh Syam (2008) bahwa upaya peningkatan produksi beras yang sekarang dicanangkan oleh pemerintah perlu dilihat secara


(37)

terpisah dengan pengembangan padi organik, artinya peningkatan produksi padi nasional tidak dapat hanya mengandalkan bahan organik sebagai masukan, karena selain karena kandungan haranya rendah, bersifat ruah (bulky) dan kurang ekonomis juga akan berdampak terhadap penurunan produksi, minimal pada tahun-tahun awal implementasi.

Pengembangan beras kualitas premium perlu diarahkan pada daerah-daerah yang bukan merupakan daerah-daerah sentra produksi padi. Wilayah-wilayah tersebut pada umumnya masih belum banyak disentuh oleh teknologi produksi padi konvensional (intensif) dan belum banyak berkembang baik dari sisi infrastruktur maupun kelembagaannya. Meskipun pengembangan beras membutuhkan energi yang besar, namun potensi pengembangannya relatif besar. Baik di Jawa maupun di luar Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) masih cukup luas potensi pengembangan padi organik, terlebih lagi jika pengembangan padi premium tersebut mengedepankan pemberdayaan kearifan lokal. Kearifan lokal seperti sosial budaya dan adat istiadat setempat dan indikasi geografis, yang selama ini masih membudidayakan padi secara tradisional dapat berpotensi untuk dijadikan branded bagi pengembangan beras kualitas premium. Tentunya dari sudut sosial ekonomi, jika wilayah tersebut yang dipilih, maka perbedaan karakteristik antara beras premium dan medium sangat berpengaruh terhadap pengembangan kedua jenis beras tersebut. Karakteristik beras tersebut mempengaruhi produksi dan produktivitas, harga beras/gabah, dan pendapatan petani.


(38)

2.2.2. Kualitas dan Penanganan Pasca Panen

Selain dari varietas, teknik budidaya dan areal pengembangan, beras kualitas premium dapat dihasilkan melalui perbaikan kualitas dan penanganan pasca panen. Pengolahan padi menjadi beras yang siap dikonsumsi harus melalui beberapa proses pasca panen, yaitu: perontokan, pengangkutan, pengeringan, penyimpanan sementara, penggilingan, penyimpanan, pengangkutan dan pengemasan. Setiap proses tersebut, jumlah dan tingkat teknologinya berkembang seiring dengan perkembangan produktivitas padi di Indonesia. Namun disadari bahwa perkembangan teknologi pengolahan padi di Indonesia tidak seperti halnya di negara-negara produsen beras di Asia, misalnya Thailand, Jepang, China dan Vietnam. Pengolahan padi di Indonesia masih menggunakan teknologi yang relatif sederhana. Sebagai akibatnya, beras yang dihasilkan memiliki kualitas dan rendemen beras yang lebih rendah. Selain itu produk samping berupa beras patah, menir, dedak dan sekam belum mendapat perhatian yang serius sehingga nilai tambah yang dapat diperoleh dari pemanfaatan hasil samping dari pengolahan padi di Indonesia belum maksimal.

Dalam rangka pengembangan beras premium dipandang sangat perlu dilakukan perbaikan rendemen dan mutu beras antara lain melalui perbaikan pada setiap tahapan proses pasca panen tersebut. Proses pasca panen yang baik akan menghasilkan beras yang mempunyai cita rasa tinggi, tingkat patahan yang rendah, putih, cemerlang, namun tetap mempunyai nilai gizi yang tinggi sehingga layak sebagai beras premium.

Proses pengeringan perlu mendapat perhatian dalam rangka menghasilkan beras premium. Proses penjemuran gabah dapat menghasilkan beras giling dengan mutu yang baik sepanjang tidak terganggu oleh hujan, menggunakan alas,


(39)

dan dilakukan pembalikan setiap 2 jam. Cara ini menghasilkan rendemen beras 57-60 persen dengan kandungan beras kepala 84 persen (Islam et al., 2003; Thahir dan Santosa, 1978; Soetoyo dan Sumardi, 1980).

Perbaikan sistem penggilingan padi juga menjadi faktor penting dalam penanganan pasca panen, karena penggilingan padi menjadi muara antara produksi, pengolahan primer, dan pemasaran beras. Bahkan pada proses ini, nilai tambah dari gabah ke beras giling mencapai 400-600 persen (Rachmat et al., 2006). Perbaikan sistem penggilingan padi dapat dilakukan antara lain dengan perbaikan teknik penyosohan dengan mengombinasikan sistem aberasif dan friksi serta sistem penyosohan bertahap. Kombinasi sistem aberasif dan friksi meningkatkan volume beras kepala menjadi 86 persen dan menekan jumlah beras patah menjadi 13 persen (Thahir, 1996; Setiawati 1999; van Ruiten 1981; Sudaryono et al., 2005). Penggunaan nozzle pengabut pada penyosohan dengan pelembutan aleuron dapat digunakan untuk perbaikan mutu beras giling. Melalui sistem pengabut, perlakuan pengayaan mutu (fortifikasi) dapat diberikan terhadap beras giling untuk menghasilkan beras kepala beraroma tertentu, seperti aroma varietas Pandanwangi atau dimanfaatkan untuk fortifikasi bahan pangan fungsional, seperti unsur yodium untuk pencegahan gondok (Lubis et al., 2007).

Berdasarkan uraian penanganan pasca panen tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketersediaan teknologi dan tingkat pengetahuan pasca panen untuk menghasilkan beras premium dalam negeri sebenarnya telah cukup tersedia, namun belum dimanfaatkan dengan baik, terutama karena ongkos produksinya tinggi.


(40)

2.3. Padi atau Beras Organik sebagai Beras Kualitas Premium

Padi atau beras organik adalah padi atau beras yang dihasilkan dari pertanian organik. Pertanian organik di banyak tempat dikenal dengan istilah yang berbeda- beda. Ada yang menyebut sebagai pertanian lestari, pertanian ramah lingkungan, dan sistem pertanian berkelanjutan. Sutanto (2002) mendefinisikan pertanian organik sebagai suatu sistem produksi pertanian yang berasaskan daur ulang secara hayati. Menurut para pakar pertanian Barat, sistem pertanian organik merupakan ”hukum pengembalian (law of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberikan makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberikan makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman ( feeding the soil that feeds the plants) dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistis dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan.

Menurut International Federation of Organic Agriculture Movement

(IFOAM), pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang berkelanjutan (sustainable), pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial. Pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistis


(41)

yang mendukung dan mempercepat biodiversity, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

Adapun tujuan pengembangan padi organik adalah (1) meningkatkan pendapatan petani padi karena adanya efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan nilai tambah produk, (2) menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani padi, (3) meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian padi, (4) menjaga dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian padi dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, (5) menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan sosial pedesaan, dan (6) menghasilkan pangan berupa beras yang cukup aman, berkualitas sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat dan sekaligus meningkatkan daya saing produk agrobisnis padi.

Syam (2008) menyebutkan bahwa sampai saat ini Thailand dikenal sebagai negara yang paling banyak memasok padi dan beras organik untuk pasar tertentu di Uni Eropa. Harga beras organik jauh lebih mahal daripada beras biasa disebabkan oleh keyakinan segolongan masyarakat bahwa beras organik baik untuk kesehatan karena bebas dari bahan kimia toksin yang kemungkinan besar berasal dari pestisida dan pupuk kimia.

Perkembangan pertanian padi organik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utama pertanian organik domestik adalah karena tingginya permintaan pertanian organik di negara-negara maju. Menurut Hamm (2000) dalam Agus, et al. (2006), tingginya permintaan pertanian organik di negara-negara maju dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2)


(42)

dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar non konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik, dan (7) adanya kampanye nasional pertanian organik secara gencar.

Kelangkaan barang dalam ilmu ekonomi akan diikuti dengan kenaikan harga. Produk pertanian organik sekarang menjadi produk tergolong masih langka dan eksotis yang banyak dicari, terutama di negara-negara maju. Adanya kelangkaan barang dibandingkan dengan banyaknya permintaan menyebabkan nilai jual ekonomis produk pertanian organik termasuk diantaranya beras organik ikut naik. Adanya keraguan bahwa pertanian organik tidak menguntungkan secara ekonomis, dapat direntas dengan adanya premium price di tingkat konsumen. Berlakunya premium price bagi beras organik ini menyebabkan beras organik dikenal sebagai beras premium. Saat ini, telah mulai bermunculan pengusaha pertanian organik skala besar di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang merupakan pemain asing seperti Forest Trade (Amerika) di Sumatera dan Maharishi Global Trading (Belanda) di Sulawesi.

2.4. Peluang dan Kendala Pengembangan Beras Premium 2.4.1. Areal Pengembangan, Varietas dan Ketersediaan Teknologi

Peluang pengembangan padi organik masih sangat luas. Pada lahan Sawah non rawa pasang surut terdapat seluas 13.26 juta hektar lahan yang sesuai untuk dikembangkan padi. Dari 13.26 juta hektar lahan sawah yang ada, baru 6.86 juta hektar yang dimanfaatkan. Pengembangan padi organik di lahan rawa dan pasang surut juga masih luas, yaitu sebesar 3.51 juta hektar dan baru digunakan


(43)

untuk sawah sekitar seluas 1.00 juta hektar. Peluang pengembangan padi organik di lahan kering juga relatif besar, yaitu mencapai 25.33 juta hektar.

Sejak dicanangkan pengembangannya pada tahun 2001, pengembangan padi organik sebagai salah satu kategori beras premium mengalami perkembangan yang sangat pesat. Lembaga Penelitian, baik Perguruan Tinggi, Badan Litbang Pertanian dan juga Lembaga Swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat telah banyak melakukan dan menghasilkan berbagai terobosan peningkatan produktivitas padi dengan sistem budidaya organik. Disamping penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, berbagai paket komponen teknologi perbenihan dan budidaya yang mendukung pengembangan beras organik maupun beras kualitas premium telah dikembangkan seperti diantaranya Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT), Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT),

System of Rice Intensification (SRI) dan pengembangan peralatan dan pengolahan pasca panen mulai dari perontokkan, pengeringan, penggilingan, penyosohan, pengayaan atau penyaringan untuk pemisahan beras kepala dan menir hingga teknologi pengemasan dan penyimpanan.

Dari segi varietas, selain varietas unggul lokal seperti Pandan Wangi, Rojo Lele, Mentik Wangi dan Siam Unus, banyak varietas unggul yang sesuai untuk lahan sawah irigasi, lahan tadah hujan, lahan pasang surut dan lahan kering atau padi gogo telah banyak dilepas dan dihasilkan. Sementara itu, dilihat dari sisi perbaikan teknologi, teknologi pengolahan primer (pengeringan, penyimpanan dan penggilingan), alat dan mesin pengolahan, standarisasi mutu produk, informasi pasar, dan pengaturan tata niaga (pengendalian atau pengaturan impor, insentif harga, bea masuk), telah menjadi perhatian serius sejak tahun 2001,


(44)

sekalipun dalam penerapannya masih belum sesuai harapan. Dalam upaya peningkatan nilai tambah beras dikembangkan pula teknologi agroindustri pengolahan melalui Sistem Manajemen Mutu (SMM) dan Stratifikasi Mutu serta perbaikan sistem promosi.

2.4.2. Produktivitas Padi Organik

Salah satu hambatan pengembangan beras premium adalah berkembang persepsi bahwa pengembangan budidaya padi organik memiliki produktivitas yang rendah. Hal ini disebabkan lambatnya penyediaan hara makro bagi tanaman dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah yang cukup, terutama bagi varietas unggul baru yang berpotensi hasil tinggi (Fagi dan Las, 2007). Beberapa hasil penelitian menunjukkan produktivitas padi organik lebih rendah dibanding non organik, namun beberapa penelitian yang lain menunjukkan produktivitas padi organik dibanding non organik tidak banyak berbeda, bahkan produktivitasnya semakin meningkat seiring perbaikan unsur hara dalam tanah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan persepsi bahwa produktivitas padi organik selalu rendah tidak sepenuhnya benar, produktivitas tersebut sangat tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas padi.

Hasil penelitian di Thailand terhadap uji varietas selama tiga tahun (1999-2001) di kebun percobaan Phan, Chiengrai, menunjukkan bahwa beberapa varietas cocok dikembangkan sebagai padi organik, sementara varietas yang lain cocok dikembangkan sebagai padi non organik (Tabel 1). Varietas lokal aromatik yang peka terhadap foto periodisitas lebih cocok dikembangkan sebagai padi organik, varietas lainnya dari golongan Indika yang terdiri atas varietas unggul berdaya hasil tinggi, padi golongan Japonika, dan varietas lokal yang tidak peka


(45)

fotoperiodisitas memberikan hasil yang lebih rendah bila ditanam sebagai padi organik.

Tabel 1. Produktivitas Empat Kelompok Varietas Padi dengan Masukan Bahan Organik dan Kimia, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai, Thailand, MH 1999-2001

Kelompok varietas Tahun

Produktivitas Cbd-organik

(ton/ha)

Cbd-kimia (ton/ha)

1. Lokal aromatik, 1999 3.09 2.86

peka fotoperiode 2000 3.24 3.51

2001 3.24 3.33

Rata-rata 3.19 3.23

2. Lokal aromatik, 1999 4.11 4.54

tidak peka foto periode 2000 3.44 4.19

2001 3.63 4.32

Rata-rata 3.73 4.35

3. Varietas unggul 1999 3.96 5.34

2000 4.37 5.26

2001 4.45 4.61

Rata-rata 4.26 5.07

4. Padi Japonika 1999 2.61 2.41

2000 2.29 3.56

2001 1.51 2.85

Rata-rata 2.14 2.94

Kelompok varietas no. 1, 2, dan 3 adalah golongan padi Indika; Cbd-organik = cara budi daya menggunakan pupuk organik; Cbd-kimia = cara budi daya menggunakan pupuk kimia Sumber: Varinruk (2005) dalam Syam (2008)

.

Dalam kajian lainnya, produktivitas beberapa varietas yang ditanam dengan menggunakan masukan kimia, pupuk organik, dan tanpa masukan menunjukkan bahwa varietas unggul (yaitu varietas Suphan Buri) juga mampu memberikan hasil yang tetap tinggi meski dikelola secara organik (Tabel 2), sehingga persepsi masyarakat salah jika berpendapatn bahwa varietas padi organik selalu merupakan varietas tidak unggul.

Kajian lain tentang produktivitas padi organik dilakukan oleh Hapsari (2006). Penelitian Hapsari di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur menunjukkan menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata pada pertanian organik sebesar 5.47


(46)

ton per hektar, sedangkan pada pertanian konvensional sebesar 6.40 ton per hektar, artinya produktivitas pertanian organik lebih rendah. Kesimpulan berbeda diperoleh Mutakin (2010) yang melakukan penelitian di Garut, Jawa Barat terhadap varietas padi unggul dan Suwantoro (2008) yang melakukan penelitian di Magelang, Jawa Tengah dengan varietas lokal Mentik Wangi, keduanya menunjukkan bahwa produktivitas padi organik pada musim tanam pertama lebih rendah dari padi konvesional, namun pada musim berikutnya menunjukkan peningkatan hingga menyamai pada musim tanam ke empat dan setelah itu produktivitas padi lebih tinggi dari produktivitas padi konvensional. Perbaikan produktivitas antar musim padi organik juga ditunjukkan oleh Suhartini (2006) yang melakukan pengamatan produktivitas dalam 3 musim tanam tahun 2003 – 2004 dan menunjukkan bahwa produksi dan produktivitas` padi organik setiap musim tanam di Kecamatan Sambung Macan dan Sambirejo Kabupaten Sragen, secara signifikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi non organik.

Tabel 2. Perbandingan Produktivitas Delapan Varietas Padi yang Ditanam Secara Organik, Kimia, dan Tanpa Masukan, Kebun Percobaan Padi Phan, Chiengrai, MH 2003

Varietas Produktivitas Cara Budidaya Rata-rata (ton/ha) Kimia (ton/ha) Organik (ton/ha)

Tanpa masukan (ton/ha)

Varietas Lokal

ƒ KDML 105 3.71a 3.83ab 3.01b 3.52

ƒ Khaoí Hawm Daeng 4.04a 4.11a 3.14b 3.76

ƒ Hawn Pitsanulok 1 3.96a 3.88a 3.33b 3.72

ƒ RD6 4.28a 4.09a 3.68b 4.01

Varietas Unggul

ƒ Suphan Buri 1 5.03a 4.58ab 3.86b 4.49

ƒ Pathumthani 1 4.66a 3.98b 3.66b 4.10

ƒ Sakolnakron 3.98a 3.36b 3.23b 3.52

ƒ Sanpathong 1 5.15a 4.24b 3.84b 4.41

Rata-rata budi daya 4.35 4.01 3.47 - Sumber: Varinruk (2005) dalam Syam (2008)


(47)

2.4.3. Potensi dan Peluang Pasar Padi Organik

Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature”

telah menjadi tren baru masyarakat dunia. Masyarakat dunia semakin menyadari bahwa penggunaan bahan kimia anorganik seperti: pupuk anorganik, pestisida anorganik, dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Akibatnya, masyarakat semakin selektif dalam memilih pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan. Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan teknologi pertanian organik (Deptan, 2005). Pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai 15-20 persen per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0.5-2 persen dari keseluruhan produk pertanian. Meskipun di Eropa penambahan luas areal pertanian organik terus meningkat dari rata-rata di bawah 1 persen (dari total lahan pertanian) pada tahun 1987, menjadi 2-7 persen di tahun 1997, namun tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2000 dalam Agus et al., 2006). Inilah kemudian yang memacu permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Internasional Federation Organik Agriculture Movement (IFOAM), Indonesia baru memanfaatkan 40 000 hektar (0.09 persen) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program yang saling sinergis untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara produsen organik di dunia. Berdasarkan luas penggunaan lahan, Indonesia merupakan negara ketiga di Asia dalam pengembangan pertanian organik setelah China dan India (Siahaan, 2009).


(48)

Padi merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang prospektif untuk dikembangkan secara organik karena permintaan beras organik baik dalam negeri maupun luar negeri terus meningkat. Dewasa ini pertanian padi organik telah menjadi kebijakan pertanian unggulan di beberapa kabupaten seperti: Sragen, Klaten, Magelang, Sleman, dan Bogor. Kebijakan ini didasarkan oleh (1) padi organik hanya memakai pupuk dan pestisida organik sehingga mampu melestarikan lingkungan hidup, (2) beras organik lebih sehat karena tidak menggunakan pupuk dan pestisida anorganik sehingga aman dan sehat untuk dikonsumsi, dan (3) segmen pasar beras organik umumnya merupakan masyarakat kelas menengah ke atas sehingga harga jualnya lebih mahal daripada beras anorganik

2.4.4. Potensi Pengembangan Padi Organik Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Petani

Pengembangan padi organik juga berpotensi meningkatkan pendapatan petani terutama karena: (1) penerapan padi organik memungkinkan petani menghemat biaya operasional karena petani mampu mencukupi dan mengolahnya sendiri sarana produksi pertanian yang digunakan, dan (2) karena sifat premium padi organik, harga padi atau beras yang dihasilkan lebih mahal sehingga pendapatan yang diterima petani lebih besar.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Marhamah (2007) di Situgede, Kota Bogor dapat diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan oleh petani anorganik untuk membeli pupuk anorganik mencapai Rp 905 170 per musim per hektar. Sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh petani organik untuk membeli pupuk organik lebih murah, yaitu Rp 672 583 per musim per hektar sehingga


(49)

terdapat selisih biaya sebesar Rp 232 587. Menurut Mutakin (2010) keuntungan usahatani konvensional pada kasus Kabupaten Garut adalah Rp 5 175 000 per hektar, sedangkan dengan menggunakan budidaya organik metode SRI mencapai Rp 14 145 000 per hektar. Hasil penelitian Junaidi (2008) di Desa Sumber Ngepoh Kecamatan Lawang Kabupaten Malang menunjukkan penerimaan usahatani padi organik sebesar Rp 17 930 629.63 per hektar. Dari hasil penelitian di Desa Sumber Ngepoh diketahui bahwa R/C rasio = 3.70, karena R/C rasio lebih dari 1 (satu) maka usahatani padi organik efisien untuk diusahakan. Pendapatan usahatani padi organik sebesar Rp 12 991 787.04 per hektar. Alasan petani tetap berusahatani padi organik adalah biaya usaha yang relatif kecil sedangkan pendapatannya cukup besar.

Penelitian Hapsari (2006) di Kabupaten Ngawi menunjukkan pada pengujian biaya sarana produksi menunjukkan bahwa biaya sarana produksi rata-rata pada pertanian padi organik sebesar Rp 1 540 568 per hektar, sedangkan pada pertanian padi konvensional sebesar Rp 2 108 854.43 per hektar dan secara statistik tidak berbeda nyata. Pendapatan rata-rata pada pertanian organik sebesar Rp 5 496 178 per hektar, sedangkan pendapatan rata-rata pada pertanian konvensional sebesar Rp 3 669 938 per hektar, hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata pertanian padi organik besar dari pada pertanian konvensional. Beberapa hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wijayanti (2005) di Kabupaten Sleman yang menunjukkan bahwa usahatani padi organik memberikan manfaat ekonomi sebesar 235 persen, berupa peningkatan pendapatan masyarakat sekitar dan kesehatan masyarakat pada umumnya.


(50)

2.4.5. Kendala Pengembangan

Berdasarkan perkembangan pertanian organik pada periode 2001-2007, tahapan pengembangan yang telah direncanakan tidak sepenuhnya terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan timbulnya permasalahan dalam budidaya, sarana produksi, pengolahan hasil, pemasaran, sumberdaya manusia, kelembagaan, dan regulasi (Deptan, 2007b). Menurut Suwantoro (2008), pengembangan pertanian organik yang selama ini masih sulit dilakukan karena berbagai kendala sebagai berikut: (1) pertanian organik dipandang sebagai sistem pertanian yang merepotkan, (2) keterampilan petani masih kurang, (3) persepsi yang berbeda mengenai hasil, (4) petani mengalami saat kritis karena biasanya terjadia penurunan pada masa awal dimulainya budidaya organik, (5) lahan pertanian organik belum terlindungi, (6) pembangunan pertanian belum terintegrasi dengan pembangunan peternakan, (7) kegagalan menjaga kepercayaan pasar, dan (8) dukungan pemerintah masih kurang.

Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian organik di Kabupaten Magelang menurut Mawarni (2008), diidentifikasi adanya hal-hal sebagai berikut : (1) kesulitan dalam pemasaran dan mendapatkan sertifikasi, (2) kurang mampu memelihara kepercayaan pasar, misalnya beras organik dicampur dengan beras anorganik untuk mengejar keuntungan yang tinggi, (3) belum mampu menjaga ketersediaan produk pertanian organik sesuai dengan permintaan pasar, (4) banyak petani sistem konvensional masih meragukan keberhasilan dari pertanian organik, (5) kurangnya pengalaman dalam mengusahakan pertanian organik, dan (6) turunnya minat generasi muda untuk menekuni bidang pertanian.


(51)

Meskipun ada banyak kendala dalam pengembangan pertanian organik tetapi tetap ada harapan yang besar akan berkembang dan berhasilnya pertanian organik. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan banyaknya kelompok tani yang masih memiliki idealisme yang tinggi untuk mengembangkan pertanian organik di tengah berbagai kendala yang dihadapi.

2.5. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu

Pertanian organik umumnya mendaur ulang unsur hara di lahan organik, kontrol hayati pada lahan organik, menghindari penggunaan pupuk dan pestisida anorganik. Tujuan utama pertanian organik adalah mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas makhluk hidup dalam tanah, tumbuhan, hewan, dan manusia (Deptan, 2007a), sehingga identifikasi faktor yang mempengaruhi beras organik juga bersumber dari unsur-unsur atau pelaku yang terlibat dalam pertanian organik itu sendiri.

Hasil penelitian Hapsari (2006) menunjukkan bahwa variabel luas lahan, biaya benih, biaya pupuk organik, dan biaya tenaga kerja secara nyata tidak berpengaruh terhadap jumlah penerimaan. Variabel biaya pestisida organik berpengaruh negatif terhadap jumlah produksi yang dihasilkan. Sedangkan usahatani padi sistem konvensional, variabel luas lahan secara nyata berpengaruh positif terhadap jumlah produksi. variabel biaya pestisida kimia (cair), dan biaya tenaga kerja secara nyata tidak berpengaruh terhadap jumlah produksi. Variabel biaya benih, biaya pupuk kimia (padat), biaya pestisida kimia (padat) berpengaruh negatif terhadap jumlah penerimaan.

Rustiono (2010) yang melakukan penelitian pemberdayaan petani oleh penyuluh untuk pengembangan usaha tani padi organik di Desa Pondok,


(52)

Kecamatan Nguter, di Kabupaten Sukoharjo menunjukkan bahwa terdapat ragam kecenderungan keterkaitan antar variabel terkait model penyuluhan dan kedudukan petani dalam kelompok petani organik, apakah sebagai inovator, pelopor, atau petani biasa. Purwaningsih (2009) yang melakukan penelitian di Kabupaten Boyolali mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pola perilaku konsumen beras organik (studi eksploratif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pola perilaku konsumen beras organik di Surakarta) menunjukkan bahwa perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar keluarga yaitu pendapatan, pendidikan, pengetahuan akan kesehatan, kebutuhan, persepsi, sikap dan gaya hidup keluarga dan kelompok acuan.

Penelitian Anggoro (2003) tentang pengembangan pertanian organik (kasus penerapan pupuk organik pada padi sawah di Kecamatan Arga Makmur; Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu) menyimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab penerapan pupuk organik pada usaha tani padi sawah antara lain adalah pengetahuan petani, proses pembuatan pupuk organik, dan motivasi petani. Sementara itu, Suprapto (2010) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani padi organik di Kabupaten Sragen menunjukkan bahwa (1) luas lahan, biaya pupuk, modal, penyuluhan terbukti berpengaruh terhadap pendapatan petani, dan (2) biaya tenaga, biaya bibit, biaya pestisida tidak terbukti berpengaruh terhadap pendapatan petani. Di Kabupaten yang sama, yaitu Sragen penelitian Yanti (2005) mengenai aplikasi teknologi pertanian organik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam penerapan teknologi padi organik oleh petani adalah: (1) motivasi dan persepsi petani tentang


(53)

keuntungan, kemudahan dalam aplikasi, kesesuaian budaya lokal, dan (2) Keberpihakan pemda dan lembaga pemasaran.

Hasil penelitian Windani (2009) mengenai preferensi konsumen terhadap beras organik di kota Yogyakarta menunjukkan bahwa (1) faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen terhadap beras organik adalah harga beras organik, tingkat pendidikan istri, pendapatan per kapita rumah tangga dan jumlah anggota keluarga, (2) atribut beras organik yang mempunyai korelasi positif terhadap preferensi konsumen adalah kemasan beras organik, dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras organik adalah pendapatan rumah tangga, jumlah anggota keluarga, harga beras organik, harga beras non organik dan jenis pekerjaan kepala keluarga.

Gustarini (2006) melakukan penelitian mengenai proses Komunikasi Dan Hubungan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Dengan Tingkat Adopsi Petani Dalam Usahatani Padi Organik (Kasus di Desa Ngadirejo Kecamatan Kepanjen kidul Kotamadya Blitar) menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor-faktor sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pendidikan, luas lahan garapan, tingkat komersialisasi, pendapatan rumah tangga per tahun, dan frekuensi hubungan petani dan penyuluh dengan tingkat adopsi petani dalam usahatani padi organik di Desa Ngadirejo Kecamatan Kepanjen kidul Kotamadya Blitar kasus pada kelompok tani “Setia Kawan”.

Maryana (2006), melakukan Analisis Pendapatan Petani dan Margin Pemasaran Beras Organik di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Cianjur. Metode yang digunakan terdiri dari analisis pendapatan, rasio R/C, rasio B/C, regresi linear berganda dengan Ordinary Least Square (OLS), saluran


(54)

pemasaran, dan margin pemasaran. Hasil penelitian menyatakan bahwa petani padi organik pendapatannya lebih besar daripada petani anorganik. Faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan yakni saluran pemasaran, status petani, dan kepemilikan lahan. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah petani-pedagang-pengumpul- pengecer-konsumen, karena memiliki margin terkecil dan

farmer share tertinggi.

Fitri (2006) melakukan penelitian tentang Strategi Pengembangan Usaha Sayuran Organik pada Kelompok Tani Usahatani Bersama di Sumatera Barat menunjukkan bahwa perbaikan sistem manajemen untuk meningkatkan profesionalisme dan kemampuan manajerial serta meningkatkan kemampuan teknis dan pengetahuan pertanian organik untuk anggota dan pekerja melalui pelatihan sebagai prioritas utama. Dengan menggunakan metode yang sama, Rohmiyatin (2006) melakukan penelitian di Kabupaten Bogor, mengenai ”Strategi Pengembangan Usaha Beras Organik Lembaga Pertanian Sehat (LPS)” menunjukkan bahwa strategi yang paling tepat untuk dilaksanakan adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Beberapa alternatif strategi yang dapat dilakukan adalah (1) membantu proses sertifikasi produk organik bagi petani binaan, (2) meningkatkan mutu dan kemasan produk agar sulit dipalsukan, (3) menjalin kerjasama dengan kelompok tani sehat dan dinas pertanian daerah dalam sosialisasi dan promosi produk, dan (4) meningkatkan kualitas produksi beras organik dengan penambahan sarana dan prasarana yang mendukung.

Dudiagunoviani (2009), melakukan penelitian tentang ”Analisis Strategi Pengembangan Usahatani Beras Organik Kelompok Tani Ciberureum”dalam


(55)

rangka pengembangan usahatani beras organik disarankan ada enam yaitu: memperluas jaringan pasar, meningkatkan kualitas produk melalui kemasan, meningkatkan promosi mengenai beras organik kepada masyarakat melalui penyuluhan ataupun media lain, mengembangkan produksi dengan menggunakan bibit organik unggul, memperkuat modal melalui pengembangan kerjasama dengan pihak swasta, pemerintah atau masyarakat setempat, dan perbaikan sistem manajemen.

2.6. Kerangka Teoritis

2.6.1. Pasar Persaingan Sempurna dan Persaingan Monopolistik

Kerangka teoritis dari penelitian ini didasari pada prilaku harga komoditas beras dan gabah di pasar, dimana bila diamati pasar beras medium yang ada menggambarkan mekanisme pasar persaingan sempurna. Jumlah produsen yang relatif banyak, produk yang homogen, perusahaan bisa keluar masuk pasar dengan bebas, membuat posisi tawar petani rendah sehingga tidak mampu menaikkan pendapatan mereka. Dalam pasar persaingan sempurna untuk memaksimumkan laba kondisi yang harus dicapai adalah bila harga mampu mencerminkan pendapatan marginal dan biaya marginal dari produk tersebut. Kemudahan masuk dan keluar sebagai akibat transparansi informasi produk menyebabkan keseimbangan akan terjadi pada saat harga produk sama dengan biaya rata-rata total minimum, atau dengan kata lain perusahaan hanya mendapat keuntungan normal atau zero profit. Sebagai ilustrasi, Gambar 1 menunjukkan kondisi pasar persaingan sempurna dimana produsen tidak mendapatkan keuntungan ekonomi, dan kondisi dimana tingkat harga jual tertentu


(1)

1 900.00 7.00 310.22 434.00 1.78 14.00 20.65 1 0 2 900.00 7.00 322.33 437.50 1.77 14.00 20.57 1 1 3 900.00 7.00 322.44 437.50 1.79 14.00 20.90 1 1 4 600.00 5.00 198.53 315.00 1.20 10.00 11.89 1 0 5 800.00 6.00 300.11 402.50 1.65 12.00 18.71 1 1 6 900.00 7.00 320.22 437.50 1.78 14.00 21.32 1 1 7 700.00 6.00 274.06 350.00 1.34 12.00 17.05 1 0 8 800.00 5.00 284.72 350.00 1.40 12.00 17.86 1 1 9 850.00 6.00 302.33 385.00 1.47 12.00 18.57 1 1 10 850.00 6.00 312.37 385.00 1.48 14.00 19.00 1 1 11 950.00 8.00 329.06 448.00 1.85 15.00 21.46 1 0 12 800.00 7.00 303.34 385.00 1.65 12.00 18.70 1 0 13 700.00 6.00 276.67 381.50 1.33 12.00 16.77 1 1 14 700.00 6.00 275.89 385.00 1.36 12.00 17.25 1 0 15 650.00 5.00 256.22 367.50 1.37 11.00 16.37 1 0 16 1 000.00 7.00 359.90 497.00 1.90 15.00 24.43 1 1 17 400.00 4.00 150.11 210.00 1.02 8.00 9.44 1 0 18 850.00 7.00 304.56 367.50 1.73 14.00 19.41 1 1 19 500.00 5.00 161.22 280.00 1.10 9.00 9.99 1 0 20 900.00 7.00 328.40 420.00 1.77 14.00 20.21 1 1 21 900.00 7.00 328.40 441.00 1.78 14.00 19.85 1 0 22 600.00 5.00 211.67 245.00 1.28 10.00 13.88 1 1 23 900.00 8.00 323.33 420.00 1.79 15.00 20.58 1 1 24 800.00 6.00 312.28 392.00 1.61 14.00 18.70 1 1 25 1 100.00 9.00 389.00 507.50 2.18 16.00 26.13 1 1 26 1 000.00 8.00 362.33 472.50 1.94 15.00 23.45 1 1 27 800.00 7.00 292.69 367.50 1.62 12.00 18.58 1 1 28 1 000.00 9.00 379.44 479.50 1.90 16.00 22.62 1 0 29 1 150.00 10.00 396.33 497.00 2.16 17.00 25.48 1 0 30 950.00 8.00 324.12 472.50 1.83 15.00 21.51 1 1

Keterangan :

QPR : Produksi Padi Organik ( kg) IQLI : Jumlah TK Dalam Keluarga (HKSP) IQS : Jumlah Benih (kg) IQLO : Jumlah TK Luar Keluarga (HKSP) IQFL : Jumlah Pupuk Cair (liter) DS : Dummy Musim

IQFS : Jumlah Pupuk Padat (kg) DSS : Dummy Sumber Benih IQP : Jumlah Pestisida (liter)


(2)

Lampiran 1. Lanjutan

No QPR IQS IQFL IQFS IQP IQLI IQLO DS DSS 31 1 000.00 7.00 343.24 490.00 1.93 15.00 23.47 0 1 32 1 000.00 8.00 356.67 483.00 1.95 15.00 23.65 0 1 33 900.00 8.00 322.22 437.50 1.80 14.00 20.66 0 1 34 600.00 5.00 196.81 315.00 1.25 10.00 14.12 0 1 35 800.00 6.00 301.24 367.50 1.65 14.00 18.18 0 1 36 900.00 8.00 323.53 416.50 1.83 14.00 20.96 0 1 37 750.00 6.00 277.94 353.50 1.60 12.00 17.90 0 1 38 850.00 7.00 312.48 402.50 1.70 11.00 19.43 0 1 39 850.00 7.00 323.03 367.50 1.71 11.00 18.85 0 1 40 880.00 7.00 326.44 385.00 1.75 12.00 19.88 0 1 41 900.00 8.00 331.35 409.50 1.82 14.00 21.36 0 1 42 850.00 7.00 318.46 367.50 1.73 12.00 20.30 0 1 43 700.00 5.00 266.67 367.50 1.33 12.00 17.10 0 1 44 700.00 5.00 255.89 357.00 1.34 12.00 17.27 0 1 45 800.00 6.00 312.75 385.00 1.66 12.00 18.49 0 1 46 1 040.00 8.00 389.34 483.00 1.96 15.00 24.12 0 1 47 480.00 4.00 160.11 210.00 1.04 9.00 9.05 0 1 48 800.00 6.00 312.79 385.00 1.70 12.00 18.48 0 1 49 500.00 4.00 167.89 245.00 1.05 9.00 10.11 0 1 50 920.00 7.00 328.34 385.00 1.81 12.00 20.38 0 1 51 900.00 7.00 312.89 385.00 1.81 14.00 19.83 0 1 52 600.00 5.00 208.89 245.00 1.20 10.00 14.85 0 1 53 1 000.00 8.00 356.67 472.50 1.93 15.00 23.29 0 1 54 800.00 6.00 313.39 385.00 1.63 14.00 18.37 0 1 55 1 215.00 10.00 392.89 560.00 2.24 16.00 29.20 0 1 56 1 100.00 9.00 334.56 507.50 2.12 16.00 25.66 0 1 57 800.00 7.00 306.68 367.50 1.66 12.00 18.68 0 1 58 1 000.00 8.00 383.33 472.50 1.93 16.00 23.59 0 1 59 1 150.00 10.00 397.61 497.00 2.16 17.00 26.21 0 1 60 950.00 8.00 329.06 437.50 1.83 15.00 21.11 0 1 Keterangan :

QPR : Produksi Padi Organik ( kg) IQLI : Jumlah TK Dalam Keluarga (HKSP) IQS : Jumlah Benih (kg) IQLO : Jumlah TK Luar Keluarga (HKSP) QFL : Jumlah Pupuk Cair (liter) DS : Dummy Musim

QFS : Jumlah Pupuk Padat (kg) DSS : Dummy Sumber Benih IQP : Jumlah Pestisida (liter)


(3)

.

1 700.00 8.00 62.50 0.84 16.00 13.00 1 0 2 870.00 10.50 62.71 1.05 17.00 18.00 1 0 3 945.00 10.00 92.60 1.19 18.00 21.00 1 0 4 840.00 8.50 82.50 0.98 18.00 15.00 1 0 5 800.00 8.50 51.00 0.98 16.00 21.00 1 1 6 880.00 9.00 75.00 1.05 19.00 19.00 1 1 7 985.00 10.50 77.00 1.18 20.00 21.00 1 0 8 1 095.00 11.50 68.00 1.25 22.00 23.00 1 0 9 910.00 9.50 59.88 1.20 19.00 20.00 1 0 10 915.00 9.00 75.00 1.03 19.00 21.00 1 0 11 865.00 9.00 63.92 1.04 19.00 18.00 1 0 12 1 085.00 12.00 88.50 1.28 20.00 23.00 1 0 13 590.00 6.50 45.42 0.68 13.00 15.00 1 0 14 980.00 10.50 82.50 1.14 19.00 22.00 1 1 15 1 020.00 11.00 92.75 1.28 21.00 23.00 1 0 16 1 165.00 12.50 107.50 1.36 19.00 25.00 1 1 17 1 015.00 10.50 81.00 1.15 19.00 23.00 1 0 18 875.00 8.50 70.00 1.03 18.00 21.00 1 0 19 605.00 7.00 85.00 0.73 15.00 14.00 1 0 20 875.00 9.50 72.50 1.07 18.00 20.00 1 0 21 985.00 11.50 70.00 1.23 21.00 21.00 1 1 22 940.00 9.50 76.00 1.10 17.00 17.00 1 0 23 1 060.00 11.00 82.50 1.21 19.00 23.00 1 1 24 1 085.00 11.50 111.50 1.28 22.00 22.00 1 0 25 980.00 9.50 75.00 1.19 19.00 22.00 1 0 26 1 045.00 11.50 95.00 1.24 20.00 20.00 1 1 27 990.00 10.50 72.50 1.15 21.00 21.00 1 0 28 225.00 3.00 11.50 0.28 7.00 3.00 1 1 29 890.00 9.00 61.00 1.01 18.00 18.00 1 1 30 835.00 8.50 80.00 0.98 16.00 20.00 1 1

Keterangan :

QMR : Produksi Padi Non Organik ( kg) IQLI : Jumlah TK Dalam Keluarga (HKSP) IQS : Jumlah Benih (kg) IQLO : Jumlah TK Luar Keluarga (HKSP) IQFS : Jumlah Pupuk Padat (kg) DS : Dummy Musim


(4)

Lampiran 2. Lanjutan No

. QMR IQS IQF IQP IQLI IQLO DS DSS 31 750.00 9.00 72.50 0.88 16.00 15.00 0 1 32 890.00 11.00 67.71 1.04 17.00 18.00 0 0 33 925.00 10.00 90.25 1.10 18.00 19.00 0 1 34 840.00 8.50 90.00 0.98 17.00 15.00 0 1 35 800.00 8.50 51.00 0.95 16.00 19.00 0 0 36 895.00 9.50 73.50 1.06 19.00 18.00 0 1 37 1020.00 11.00 82.25 1.20 21.00 20.00 0 0 38 1095.00 11.00 70.00 1.25 22.00 21.00 0 1 39 895.00 9.00 58.50 1.04 19.00 18.00 0 0 40 930.00 9.00 77.50 1.04 19.00 21.00 0 1 41 880.00 9.50 71.42 0.98 19.00 16.00 0 0 42 1070.00 11.00 85.00 1.27 21.00 22.00 0 1 43 625.00 7.00 55.42 0.70 13.00 13.00 0 1 44 1000.00 11.00 85.00 1.14 20.00 20.00 0 0 45 1020.00 10.50 92.60 1.20 21.00 22.00 0 0 46 1145.00 12.00 112.50 1.35 19.00 25.00 0 0 47 980.00 10.00 78.50 1.13 19.00 21.00 0 1 48 890.00 9.00 75.00 1.05 18.00 19.00 0 0 49 620.00 7.00 72.50 0.74 14.00 12.00 0 1 50 895.00 10.00 77.50 1.05 18.00 19.00 0 1 51 985.00 11.50 70.00 1.16 20.00 19.00 0 0 52 955.00 10.00 81.00 1.11 17.00 20.00 0 1 53 1065.00 11.00 82.50 1.21 19.00 21.00 0 0 54 1055.00 11.00 107.50 1.30 22.00 20.00 0 0 55 980.00 10.00 76.00 1.16 19.00 20.00 0 1 56 1045.00 11.50 97.50 1.22 20.00 19.00 0 1 57 1005.00 11.00 75.00 1.18 21.00 19.00 0 0 58 245.00 3.00 45.00 0.29 9.00 4.00 0 1 59 910.00 9.50 63.50 1.03 18.00 16.00 0 1 60 850.00 9.00 82.50 1.01 16.00 16.00 0 1

Keterangan :

QMR : Produksi Padi Non Organik ( kg) IQLI : Jumlah TK Dalam Keluarga (HKSP) IQS : Jumlah Benih (kg) IQLO : Jumlah TK Luar Keluarga (HKSP) IQFS : Jumlah Pupuk Padat (kg) DS : Dummy Musim


(5)

Date: 09/29/11 Time: 03:45 Sample: 1 60

Included observations: 60

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance LNQPR=C(1)+C(2)*LNIQS+C(3)*LNIQFL+C(4)*LNIQFS+C(5)*LNIQP+C(6) *LNIQLI+C(7)*LNIQLO+C(8)*DS+C(9)*DSS

Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C(1) 3.513264 0.560810 6.264624 0.0000

C(2) 0.120939 0.067412 1.794023 0.0787

C(3) 0.189411 0.082225 2.303572 0.0254

C(4) 0.129813 0.069518 1.867330 0.0676

C(5) 0.283663 0.128787 2.202570 0.0322

C(6) 0.121875 0.067635 1.801947 0.0775

C(7) 0.219159 0.094629 2.315984 0.0246

C(8) 0.002643 0.008938 0.295738 0.7686

C(9) 0.026101 0.015830 1.648762 0.1053

R-squared 0.980666 Mean dependent var 6.714290 Adjusted R-squared 0.977633 S.D. dependent var 0.223536 S.E. of regression 0.033431 Akaike info criterion -3.821180 Sum squared resid 0.057000 Schwarz criterion -3.507028 Log likelihood 123.6354 Hannan-Quinn criter. -3.698298 F-statistic 323.3520 Durbin-Watson stat 1.357211

Prob(F-statistic) 0.000000

Keterangan :

C(1) : Parameter konstanta

C(2) : Parameter Jumlah benih (IQS) C(3) : Parameter Jumlah pupuk cair (IQFL) C(4) : Parameter Jumlah pupuk padat (IQFS) C(5) : Parameter Jumlah pestisida (IQP)

C(6) : Parameter Jumlah TK Dalam K eluarga (IQLI) C(7) : Parameter Jumlah TK Luar Keluarga (IQLO) C(8) : Parameter Dummy musim (DS)


(6)

Lampiran 4. Hasil Estimasi Fungsi Produksi Padi Non Organik

Dependent Variable: LNQMR Method: Least Squares Date: 07/29/11 Time: 14:12 Sample: 1 60

Included observations: 60

White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance LNQMR=C(1)+C(2)*LNIQS+C(3)*LNIQF+C(4)*LNIQP+C(5)*LNIQLI+C(6) *LNIQLO+C(7)*DS+C(8)*DSS

Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C(1) 5.639894 0.372969 15.12161 0.0000

C(2) 0.182150 0.080537 2.261689 0.0279

C(3) 0.002239 0.019431 0.115225 0.9087

C(4) 0.625029 0.126466 4.942284 0.0000

C(5) 0.125291 0.063104 1.985472 0.0524

C(6) 0.118175 0.041099 2.875389 0.0058

C(7) -0.017233 0.007329 -2.351318 0.0225

C(8) 0.008845 0.008222 1.075737 0.2870

R-squared 0.992208 Mean dependent var 6.777187 Adjusted R-squared 0.991159 S.D. dependent var 0.288673 S.E. of regression 0.027143 Akaike info criterion -4.251847 Sum squared resid 0.038310 Schwarz criterion -3.972601 Log likelihood 135.5554 Hannan-Quinn criter. -4.142619 F-statistic 945.9352 Durbin-Watson stat 2.272122

Prob(F-statistic) 0.000000

Keterangan :

C(1) : Parameter konstanta

C(2) : Parameter Jumlah benih (IQS) C(3) : Parameter Jumlah pupuk padat (IQFS) C(4) : Parameter Jumlah pestisida (IQP)

C(5) : Parameter Jumlah TK Dalam K eluarga (IQLI) C(6) : Parameter Jumlah TK Luar Keluarga (IQLO) C(7) : Parameter Dummy musim (DS)