2.2.4 Pemanenan Kokon
Pemanenan baik dilakukan pada hari ke enam dan ke tujuh setelah mulai mengokon dengan suhu lingkungan berkisar 24 - 27°C. Pada saat
dipanen pupa telah terbentuk dengan warna coklat dan kulitnya telah cukup keras sehingga tidak mudah pecah Atmosoedarjo et al. 2000.
Untuk pemanenan kokon pada tempat pengokonan berputar dilakukan dengan melepas tempat pengokonan dan bagian-bagiannya diperiksa dengan
arah melihat melawan cahaya. Kokon yang kotor dan pupa yang mati dibuang. Kokon yang baik dipanen dengan menggunakan alat pelepas kokon. Kokon
yang telah dipanen dibersihkan dari serabut serat sutera floss yang dapat mengadopsi air dari udara dan menurunkan mutu kokon dengan alat pembersih
serabut kokon floss removal yang dapat digerakkan dengan tangan, kaki atau motor listrik Atmosoedarjo et al. 2000.
2.2.5 Penyakit dan Hama
Penyakit yang biasanya menyerang ulat sutera disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa, dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, antara
lain penyakit Grasserie Borcelia virus, penyakit Cytoplasmic Polyhedrosis Virus atau CPV Smithia virus, dan penyakit Infectious Flacherie Morator
virus. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan, antara lain penyakit Aspergillus Aspergillus oryzae dan penyakit Muscardine Beauveria
bassiana, Spicaria prasina, dan Isaria farinosa. Penyakit protozoa disebabkan oleh patogen Microsparidia jenis Nosema bombycis. Dan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri terjadi kalau kondisi pemeliharaan buruk sehingga ketahanan ulat sutera terhadap bakteri akan lemah dan metabolism menurun
Hama yang menyerang ulat sutera, yaitu semut, tikus, cicak, tokek, dan kadal Ahdiat 2007.
2.3 Penelitian Terdahulu
Afrilia 2004 meneliti tentang kelayakan pendirian usaha ternak ulat sutera di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan mengetahui kelayakan usaha ternak ulat. Indikator kelayakan usaha ulat sutera menggunkan nilai NPV, IRR, dan BCR dengan suku
bunga tabungan sebesar 12 persen. Peternak ulat sutera di kecamatan ini dibagi dalam tiga kelompok menurut rata-rata luas lahan yang digunakan untuk usaha
ternak ulat sutera, yaitu rata-rata luas lahan 0,06 hektar 0,09 hektar; 0,15 hektar 0,09 - 0,20 hektar; dan 0,4 hektar 0.2 hektar. Umur usaha ulat sutera
dianalisis selama 10 tahun didasarkan pada pertimbangan umur teknis tanaman murbei.
Nilai NPV masing-masing adalah Rp. 747.653,39; Rp. 6.117.546,15 dan Rp. 11.443.982,51 menunjukan bahwa nilai NPV 0, jadi kriteria kelayakan nilai
NPV telah terpenuhi. Nilai BCR yang diperoleh masing-masing usaha ternak ini layak secara finansial untuk diusahakan BCR1. Nilai BCR pada rata-rata luas
lahan usaha ternak 0,06 hektar; 0,15 hektar dan 0,4 hektar masing-masing adalah 1,16 hektar; 1,60 hektar dan 1,51 hektar. Nilai IRR yang diperoleh juga
menunjukan bahwa usaha ternak ini layak untuk diusahakan. Nilai IRR pada rata- rata luas lahan 0,06 hektar; 0,15 hektar dan 0,4 hektar masing-masing adalah
21,42 persen; 41,15 persen; dan 44,74 persen. Usaha ulat sutera tetap layak secara finansial untuk diusahakan pada sensitivitas harga input variabel naik 10 persen
dan harga kokon turun 10 persen. Sensitivitas harga kokon turun 10 persen lebih berpengaruh pada indikator kelayakan usaha ternak ulat sutera. Usaha ulat sutera
yang paling layak secara finansial untuk diusahakan adalah usaha ternak dengan luas lahan rata-rata 0,40 hektar.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada aspek kajian. Selain nilai NPV, IRR, BCR, dan sensitivitas, peneliti juga
memperhitungkan payback period sehingga diketahui waktu pengembalian investasi dari proyek yang dijalankan. Penelitian ini dilakukan di tempat yang
berbeda, yaitu daerah Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat sehingga diketahui kelayakan usaha budidaya ulat
sutera di daerah tersebut.
BAB III KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN