Budidaya Ulat Sutera Bombyx mori Linnaeus

2.2 Budidaya Ulat Sutera Bombyx mori Linnaeus

2.2.1 Biologi Ulat Sutera

Ulat sutra Bombyx mori L. merupakan larva kupu-kupu yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai penghasil serat atau benang sutra. Ia berasal dari utara Tiongkok. Telur ulat sutra membutuhkan waktu sekitar 10 hari untuk menetas. Ulat sutra menghasilkan kepompong sutra mentah, yang setelah dipintal bisa menghasilkan benang sutra sepanjang 300 hingga 900 m per kepompong. Seratnya berdiameter sekitar 10 mikrometer. Sebagaimana umumnya larva atau ulat, ulat sutra sangat rakus yang makan sepanjang siang dan malam sehingga tumbuh dengan cepat Wikipedia 2006 . Adapun klasifikasi ulat sutera sebagai berikut: Kerajaan : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Familia : Bombycidae Genus : Bombyx Spesies : Bombyx mori Linnaeus Telur ulat pada umumnya berbentuk bulat pipih dengan lebar 1 mm, panjang 1,3 mm, tebal 0,5 mm, dan berat sekitar 0,5 mg. Ukuran dan berat telur sedikit bervariasi berdasarkan ras dan lingkungan pemeliharaan induk. Satu induk menghasilkan sekitar 500 butir dengan warna kuning muda yang akan berubah menjadi warna abu-abu atau kehijauan. Warna telur tergantung ras atau galur Atmosoedarjo et al. 2000. Larva sutera yang baru menetas memiliki seta yang banyak, umumnya berwarna hitam, dan panjang 3 mm. Satu hari kemudian, panjang tubuh menjadi 7 mm dan permukaan kulit mengkilap. Seta terlihat kurang jelas pada umur 2 hari. Setelah itu ulat berhenti makan selama 24 jam dan berganti kulit ekdisi. Pergantian kulit larva berlangsung 4 kali dengan 5 periode makan disebut instar. Panjang larva maksimum mencapai 70 mm pada instar V. Pada instar ini, larva banyak makan. Larva yang telah berkembang penuh, berhenti makan, dan kulit menjadi transparan diletakkan pada alat pengokonan. Larva berhenti mengeluarkan serat sutera dalam 2 hari dan berubah menjadi pupa 24 jam kemudian. Kupu dewasa keluar setelah melalui tahap stadia pupa selama 3 hari dan masa dewasa awal selama 5 hari Tajima 1978 dalam Atmosoedarjo et al. 2000. 2.2.2 Pemeliharaan Ulat Sutera 2.2.2.1 Pemeliharaan Ulat Kecil Suhu dan kelembaban nisbi di dalam ruangan pemeliharaan pada instar I berkisar 27 – 28°C dan 90 . Pada instar II dan II, suhu ruangan diusahaan sekitar 26 – 27°C dan 25°C. Sedangkan kelembaban nisbi untuk instar II dan III berkisar 85 dan 80 JOCV 1975 dalam Atmosoedarjo et al. 2000. Ruangan memiliki kualitas udara dan aliran udara yang baik serta pencahayaan yang cukup. Metode pemeliharaan ulat kecil menurut Atmosoedarjo et al. 2000 diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Pemeliharaan dalam kotak dan pemeliharaan tertutup dengan kertas kedap, tergantung pada cara penutupan tempat pemeliraan, 2. Pemeliharaan dengan daun ranjang, tunas yang dirajang, tergantung pada cara persiapan pakan, 3. Pemeliharaan dalam rak, papan gantung, dan pemeliharaan mekanis, tergantung padatipe tempat pemeliharaan yang dipakai, dan 4. Pemeliharaan oleh perorangan atau bersama-sama. Kesehatan ulat sutera pada instar 1 hingga instar III sangat diperhatikan dengan pemberian daun murbei yang berkualitas dengan nilai gizi yang baik. Oleh karena itu, pembuatan kebun murbei khusus ulat kecil perlu dilakukan. Pemetikan pucuk daun murbei pada tunas muda sampai daun kelima dan ke enam cocok dikonsumsi oleh instar I, sampai daun ke enam dan ke tujuh untuk instar II, dan sampai daun ke tujuh dan ke delapan untuk instar III. Pemungutan dilakukan pada pagi hari, disimpan di tempat yang sejuk, dan dibasahi dengan air Atmosoedarjo et al. 2000. Nafsu makan ulat pada permulaan instar tidak begitu tinggi, meningkat dalam pertumbuhan selanjutnya, dan menurun pada akhir setiap instar. Pemberian pakan ulat disesuaikan dengan perkembangan ini. Rata- rata jumlah daun yang dibutuhkan untuk satu kotak berisi 20.000 telur, yaitu sebanyak 2,080 gr untuk instar I; 5,600 gr untuk instar II, dan 10,800 gr untuk instar III AICAF 1995 dalam Atmosoedarjo et al. 2000.

2.2.2.2 Pemeliharaan Ulat Besar

Instar IV dan V termasuk dalam fase ulat besar tetapi berbeda secara fisiologis. Pada instar IV, kesehatan sangat diperhatikan seperti pada instar sebelumnya. Pemeliharaan lingkungan dilakukan agar ulat tidak terkena penyakit dengan suhu dan kelembaban yang cocok dan kesediaan pakan yang bergizi tinggi. Sedangkan instar V merupakan fase yang penting dalam produksi ulat sutera. Kelenjar sutera cepat bertambah hingga 40 Atmosoedarjo et al. 2000. Pemanfaatan daun murbei dilakukan secara efisien dan tenaga kerja dihemat untuk kegiatan panen daun dan pemberian pakan. Ulat sutera tidak tahan terhadap suhu dan kelembaban yang tinggi serta peredaran udara yang buruk. Cairan tubuh berkurang bersamaan dengan nafsu makan yang luar biasa. Oleh karena itu, ventilasi yang baik diperlukan untuk membuang uap air dan gas-gas berbahaya yang ditimbulkan dari kotoran. Metode pemeliharaan ulat besar menurut Atmosoedarjo et al. 2000, di antaranya: 1. Pemeliharaan dengan tunas, 2. Pemeliharaan dengan daun utuh tanpa dicacah, 3. Pemeliharaan dengan potongan tunas yang tergantung pada: a. Pakan yang diberikan, b. Pemeliharaan dalam rak shelf rearing, c. Pemeliharaan mendatar, d. Pemeliharaan mekanis dan lain sebagainya.

2.2.3 Pengokonan

Atmosoedarjo et al. 2000 menyatakan bahwa pengokonan yang dilakukan pada sesaat belum dewasa atau sesaat lewat matang membuat daya pintal dan panjang filamen yang didapat menjadi berkurang. Jika ulat sutera yang lewat masa dewasa maka kokon yang dibuat menjadi rangkap kokon yang dibuat oleh dua ulat. Fase yang cocok untuk pengokonan, yaitu pada saat ulat mencapai dewasa sempurna. Pencapaian masa ini ditandai dengan berkurangnya ukuran tubuh ulat, kotoran yang menjadi lunak, ulat berhenti makan, dan mulai berputar-putar dengan mengangkat kepala dan badannya. Ulat mulai naik vertikal dengan geotropisme yang negatif. Badan ulat tampak transparan. Badan mulai berwarna kuning atau kecoklatan pada ulat sutera multivoltin Atmosoedarjo et al. 2000. Material dan struktur tempat pengokonan mempengaruhi kualitas kokon, filamen, dan tenaga kerja untuk mengokonkan dan panen kokon. Tempat pengokonan yang baik memenuhi persyaratan, di antaranya kuat, struktur cocok untuk pengokonan, mampu mengontrol kelembaban, memberi kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokon, dan mudah dalam proses pemanenaan kokon. Tempat pengokonan diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan strukturnya, yakni yang berputar rotary, yang berombak, bambu spiral, yang terbuat dari plastik, dan lainnya Atmosoedarjo et al. 2000. Metode mengokonkan mounting dilakukan dengan cara yang berbeda- beda. Cara yang selama ini digunakan, yaitu pemungutan langsung menggunakan tangan, guncangan tunas, maupun guncangan tunas yang diikuti dengan pengokonan alami. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan Atmosoedarjo et al. 2000.

2.2.4 Pemanenan Kokon

Pemanenan baik dilakukan pada hari ke enam dan ke tujuh setelah mulai mengokon dengan suhu lingkungan berkisar 24 - 27°C. Pada saat dipanen pupa telah terbentuk dengan warna coklat dan kulitnya telah cukup keras sehingga tidak mudah pecah Atmosoedarjo et al. 2000. Untuk pemanenan kokon pada tempat pengokonan berputar dilakukan dengan melepas tempat pengokonan dan bagian-bagiannya diperiksa dengan arah melihat melawan cahaya. Kokon yang kotor dan pupa yang mati dibuang. Kokon yang baik dipanen dengan menggunakan alat pelepas kokon. Kokon yang telah dipanen dibersihkan dari serabut serat sutera floss yang dapat mengadopsi air dari udara dan menurunkan mutu kokon dengan alat pembersih serabut kokon floss removal yang dapat digerakkan dengan tangan, kaki atau motor listrik Atmosoedarjo et al. 2000.

2.2.5 Penyakit dan Hama

Penyakit yang biasanya menyerang ulat sutera disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa, dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, antara lain penyakit Grasserie Borcelia virus, penyakit Cytoplasmic Polyhedrosis Virus atau CPV Smithia virus, dan penyakit Infectious Flacherie Morator virus. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan, antara lain penyakit Aspergillus Aspergillus oryzae dan penyakit Muscardine Beauveria bassiana, Spicaria prasina, dan Isaria farinosa. Penyakit protozoa disebabkan oleh patogen Microsparidia jenis Nosema bombycis. Dan penyakit yang disebabkan oleh bakteri terjadi kalau kondisi pemeliharaan buruk sehingga ketahanan ulat sutera terhadap bakteri akan lemah dan metabolism menurun Hama yang menyerang ulat sutera, yaitu semut, tikus, cicak, tokek, dan kadal Ahdiat 2007.

2.3 Penelitian Terdahulu

Dokumen yang terkait

Pertumbuhan dan Produktivitas Ulat Sutera Bombyx Mori L. (Lepidoptera : Bombicidae) yang Diberi Vitamin B1 Pada Daun Murbei Morus sp.

2 30 91

Efisiensi Konsumsi Pakan Dan Laju Respirasi Ulat Sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombicidae) Yang Diberi Daun Murbei (Morus sp.) Yang Mengandung Vitamin B1 (TIAMIN)

4 76 78

Perubahan Fenotipe Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Yang Diinduksi Dengan Sinar Ultraviolet (UV) Dan Kariotipe Kromosom

3 59 67

Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin

0 7 250

Analisis kebutuhan pelatihan peternak sapi potong di Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat

1 3 122

Analisis kelayakan fiannsial budidaya ulat sutera (studi kasus pada koperasi petani pengrajin ulat sutera sabilulungan III, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

0 6 67

Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin

0 4 120

Analisis kelayakan usaha peternakan ulat sutera (studi kasus pada peternakan ulat sutera Bapak Baidin, Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor)

1 26 158

Analisis kelayakan usaha budidaya krisan potong di Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur

4 26 119

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) 2.1.1. Klasifikasi Ulat Sutera (Bombyx mori L.) - Pengaruh Kualitas Daun Murbei Morus cathayana Terhadap Indeks Nutrisi Ulat Sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera:Bombicidae)

0 2 10