Tabel 6 Karakteristik petani sutera
Karakteristik Skala Usaha
I II
III III
Lokasi Desa Sukamekar
Sukamekar Sukanagara
Sukalaksana Sukamekar
Sukamekar Luas Lahan
Murbei ha 1
1,5 2
2 Jumlah Ulat
boksth 12
20 12
24 Usia tahun
a. 21-30
1 -
- -
b. 31-40
- -
- -
c. 41-50
- 3
1 1
Tingkat Pendidikan
a. SD
- 1
1 1
b. SMP
1 2
- -
Sifat Pekerjaan a.
Utama 1
2 -
- b.
Sampingan -
- 1
1 Pelatihan
a. Mengikuti
1 3
1 1
b. Tidak
Mengikuti -
- -
-
Keterangan: = skala usaha III dalam skenario pengembangan
6.2 Analisis Aspek Non Finansial 6.2.1 Aspek Pasar
Permintaan kokon berasal dari dari CV Batu Gede. Berdasarkan kesepakatan tidak tertulis, CV Batu Gede bersedia menampung seluruh hasil
kokon petani sekaligus sebagai pemasok bibit ulat sutera instar III ke pada petani sutera. Produsen dapat memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki
Herlianto Pujiastuti 2009. Adanya kemitraan dengan CV Batu Gede bukan berarti menutup kemungkinan untuk membuka jalur pemasaran kepada yang lain
bila sudah mampu memenuhi seluruh permintaan dari CV Batu Gede. Permintaan kokon dari pihak lain dengan harga yang lebih bersaing tidak ditanggapi oleh
petani sutera karena takut mengecewakan pihak CV Batu Gede selaku pemasok bibit ulat sutera. Sedangkan permintaan stek murbei dari konsumen lain dipenuhi
agar mendapat nilai tambah. Dengan permintaan yang tinggi dan dengan adanya jaminan pasar kokon, usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan di Kecamatan
Sukanagara Kabupaten Cianjur layak dilaksanakan.
Produk yang ditawarkan oleh petani sutera di Kecamatan Sukanagara berupa kokon. Jumlah produksi kokon baru mencapai 174,5 kilogram per bulan.
Kualitas kokon yang dihasilkan secara umum berada pada kualitas sedang sehingga harga jual kokon dari CV Batu Gede sebesar Rp 23.000 per kilogram.
Harga bibit ulat sutera per kilogramnya mencapai Rp 130.000. Secara visual, kokon berkualitas sedang atau kelas B merupakan kokon dengan berat berkisar
1,5 gram hingga 1,9 gram, persentase cacat kokon mencapai 1,1 persen hingga 4 persen, dan persentase kulit kokon mencapai 20 persen hingga 24,9 persen.
Tabel 7 Kelas kualitas kokon secara visual
Kriteria Kelas Kualitas
A B
C D
berat gram
≥ 2 1,5 – 1,9
1 – 1,4
≤ 0,9
cacat
≤ 1 1,1 – 4
4,1 – 8
≥ 9
kulit kokon
25 20 – 24,9
15 – 19,9
≥ 14,9
Sumber: Santoso 1997 dalam Atmosoedarjo 2000
Terdapat tiga kelompok dalam memenangkan persaingan pasar, yaitu keunggulan operasional operational excellence, kepemimpinan produk product
leadership, dan keakraban dengan pelanggan customer intimacy Treacy Wiersema 1995 dalam Tjiptono 2008. Petani budidaya ulat sutera memiliki
konsumenpelanggan tetap dan produk yang dihasilkan bukan bersifat operasional sehingga petani sutera dapat memilih perluasan pangsa pasar dengan cara
mengembangkan dan menginovasi produk yang dihasilkan. Strategi ini tepat ditujukan pada pelanggan yang mengutamakan keunikan produk. Untuk
meningkatkan profitabilitas, produk yang dijual bukan hanya berupa kokon namun dapat berupa benang dan kerajinan tangan yang dibuat dari kokon yang
tidak layak jual. Dana operasional akan meningkat dengan adanya pengadaan benang. Untuk meminimalkan dana tersebut, pengadaan benang dapat dilakukan
secara berkelompok.
6.2.2 Aspek Pemasaran
Produk merupakan suatu nilai yang didapat oleh konsumen sebagai pelaku pengambil keputusan pembelian. Dalam hal ini, kokon merupakan produk yang
diperjualbeliakan antara petani sutera dan CV Batu Gede. Harga jual kokon ditetapkan sebesar Rp 23.000 merupakan harga standar yang sesuai untuk kokon
berkualitas B sedang meskipun kualitas kokon yang dihasilkan oleh petani sutera bervariasi. Penetapan harga jual kokon ini dilakukan agar mempermudah
proses transaksi penjualan. Harga jual kokon sebesar Rp 23.000 memiliki keuntungan dan kerugian
baik pada pihak CV Batu Gede maupun pada petani sutera. Keuntungan penetapan harga jual kokon sebesar Rp 23.000 bagi CV Batu Gede selain
mempermudah transaksi penjualan, yaitu mempersingkat waktu penjualan sehingga kokon kering yang telah dibeli dapat langsung dibawa ke tempat
pemintalan CV Batu Gede di Kecamatan Ciapus, Bogor. Kerugian yang dialami CV Batu Gede, yaitu kemungkinan kokon berkualitas C dan D banyak diperoleh
dan petani tidak termotivasi menghasilkan kokon berkualitas baik. Keuntungan penetapan harga ini bagi petani sutera, yaitu kepastian harga yang menguntungkan
pada saat kualitas kokon yang dihasilkan berada pada kualitas C dan D. Sedangkan kerugiaan yang diterima oleh petani sutera, yaitu tidak mendapat harga
kokon yang sesuai pada saat kualitas harga kokon yang dihasilkan mencapai kelas grade A.
Untuk meningkatkan nilai tambah, stek murbei dijual ke konsumen yang membutuhkan. Selain kokon, kepompong ulat sutera dan buah murbei mulberry
dicari oleh konsumen lain namun tidak ditanggapi oleh petani sutera meskipun dapat menambah peningkatkan pendapatan dari budidaya ulat sutera. Untuk
meningkatkan nilai tambah budidaya murbei, petani sutera dapat mengusahakan pembuatan teh murbei yang dijadikan minuman antioksidan atau mengolah
limbah ulat sutera menjadi pupuk organik. Kegiatan promosi untuk meningkatkan penjualan tidak dilakukan oleh
petani karena telah mendapat jaminan pasar internal. Oleh karena itu, biaya promosi tidak dikeluarkan oleh petani sutera. Konsumen lain mengetahui adanya
kegiatan budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dari mulut ke mulut
word of mouth melalui jejaring petani. Pemasaran kokon dilakukan secara langsung oleh petani sutera ke pihak CV Batu Gede sehingga hanya memerlukan
biaya distribusi kokon.
6.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi 6.2.3.1 Lokasi Usaha
Penempatan lokasi usaha berpengaruh terhadap biaya operasional dan biaya investasi
sehingga perlu dilakukan sebaik mungkin dengan mempertimbangkan berbagai faktor Suliyanto 2010. Lokasi pemeliharaan ulat
secara umum berdekatan dengan tempat tinggal sehingga memudahkan pemeliharaan dan pengawasan. Rumah ulat petani skala usaha I berjarak 30
meter dari tempat tinggal. Jarak rumah ulat skala usaha II dari tempat tinggal bervariasi antara 30 meter hingga 150 meter. Sedangkan jarak rumah ulat skala
usaha III dari tempat tinggal, yaitu 50 meter. Selain memudahkan pemeliharaan ulat dan pengawasan, pemilihan lokasi pemeliharaan ulat sutera berdasarkan
pada letak kebun murbei, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan sumber air dan energi, serta fasilitas transportasi.
Letak kebun murbei dengan rumah ulat secara umum berdekatan, yaitu di sekitar rumah ulat hingga berjarak sekitar 300 meter. Kebun murbei dibuat
dalam bentuk petak-petak atau gawang. Satu gawang memiliki luas sekitar 0.2 hektar hingga 0,3 hektar tergantung luasan lahan yang tersedia. Gawang yang
satu dan lainnya sekitar 30 meter hingga 250 meter. Jarak ini tergantung dengan luasan lahan yang tersedia sehingga tidak dapat dikumpulkan menjadi satu.
Namun demikian, pada skala usaha II ada petani yang lokasi lahan murbeinya berjarak sekitar 250 meter hingga ± 1,3 kilometer dari rumah ulat. Hal ini
mengakibatkan biaya operasional yang lebih besar dari pada petani sutera lainnya. Ahdiat 2007 menyatakan jarak kebun murbei yang berjauhan dengan
rumah ulat mengakibatkan daun murbei sedikit layu sehingga kurang baik untuk perkembangan ulat sutera.
Tenaga kerja di sekitar tempat pemeliharaan ulat sutera tersedia cukup banyak. Pekerjaan pemeliharaan kebun murbei dan ulat sutera dilakukan sendiri
beserta keluarga maupun mengupah orang lain. Tenaga kerja dibutuhkan pada
saat pembuatan kebun murbei, pemangkasan, pengendalian gulma, pemanenan murbei, pengangkutan, pemberian pakan, pengendalian hama ulat, pemeliharaan
kandang penjemuran, dan pemanenan kokon. Tenaga kerja diperoleh dari masyarakat yang memiliki latar belakang sebagai petani teh maupun petani
hortikultura. Tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja tidak tetap. Tenaga kerja tetap diperluan dari pemeliharan kebun murbei hingga
pemeliharaan ulat. Sedangkan tenaga kerja tidak tetap diperlukan pada saat pembuatan kebun murbei dan pemanenan kokon. Jumlah tenaga kerja borongan
disesuaikan dengan luasan kebun murbei yang dibuat dan produksi kokon yang dihasilkan.
Lokasi pemeliharaan ulat sutera dan lahan murbei berada pada tempat yang datar hingga landai. Ketersediaan air diperoleh dari aliran anak sungai
yang berada di sekitarnnya sehingga mempermudah pemeliharaan ulat sutera maupun murbei. Energi listrik yang digunakan sebagai penerangan rumah di
malam hari diperoleh dari PLN. Penggunaan energi dilakukan oleh seorang petani pada skala usaha II dan petani skala usaha III.
Kecamatan Sukanagara dilalui oleh jalur kabupaten beraspal sehingga mobilitas kendaraan hampir terjadi di setiap waktu. Banyaknya kendaraan
mempermudah penjualan kokon ke Kecamatan Cibeber. Penjualan kokon di Kecamatan Cibeber dilakukan untuk meminimalkan pengeluaran biaya
operasional antara petani sutera dan CV Batu Gede. Waktu tempuh dari Kecamatan Sukanagara ke Kecamatan Cibeber, yaitu sekitar 1 jam 45 menit
perjalanan atau 3 jam 30 menit per ritperjalanan pergi pulang. Sedangkan waktu tempuh dari Bogor ke Kecamatan Cibeber ditempuh selama ± 2 jam 45 menit.
6.2.3.2 Skala Produksi
Jumlah produk yang diproduksi oleh perusahaan dalam periode tertentu harus direncanakan dengan matang agar keuntungan dapat dioptimalkan
Suliyanto 2010. Jumlah ulat sutera yang dipelihara per tahun pada ketiga skala usaha, yaitu 12 boks pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II dan 12 boks
pada skala usaha III. Skala usaha I memelihara 1 boks ulat dalam satu periode pemeliharaan. Skala usaha I memiliki satu hektar lahan murbei yang seharusnya
dapat memenuhi kebutuhan pakan 1 boks ulat sutera. Karena pemeliharaan
murbei yang kurang maksimal, skala usaha I membeli daun murbei ke petani lain skala usaha III untuk memenuhi kebutuhan pakan ulat sutera sehingga
diperlukan biaya pembelian murbei yang dapat menambah biaya operasional. Skala usaha II memiliki lahan murbei seluas 1,5 hektar. Satu orang
petani skala usaha II hanya memelihara 1 boks ulat per periode pemeliharaan. Sedangkan dua petani lainnya memelihara 2 boks ulat per periode pemeliharaan.
Pemeliharaan murbei yang kurang optimal mengharuskan petani yang memelihara 2 boks ulat membeli daun murbei ke petani lainnya. Hal ini
membuat petani mengeluarkan biaya operasional yang lebih. Petani membeli daun murbei ke petani sutera yang sudah tidak lagi memelihara ulat sutera
karena terlanjur mengubah sebagian lahan murbei menjadi lahan pertanian lainnya dan rumah ulat sutera sudah dibongkar.
Skala usaha III hanya memelihara ulat 1 boks per periode pemeliharaan. Padahal skala usaha III memiliki lahan murbei seluas 2 hektar. Dua hektar
murbei dengan pemeliharaan yang cukup dapat memenuhi pakan 2 boks hingga 3 boks ulat sutera. Jika pemeliharaan murbei dilakukan secara maksimal maka
petani sutera dapat memelihara 4 boks per periode pemeliharaan. Biaya pemeliharaan kebun murbei berdasarkan luasannya bukan pada jumlah ulat
sutera yang dipelihara. Oleh karena itu, petani skala usaha III perlu melakukan penambahan ulat sutera yang dipelihara menjadi 2 boks hingga 3 boks. Selain
itu, rumah ulat yang dibuat dapat memelihara ulat sutera maksimal 3 boks per periode pemeliharaan.
6.2.3.3 Budidaya Murbei
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan, pengolahan tanah, dan pemupukan. Pembersihan lahan dilakukan secara manual, yaitu
dengan melakukan pembabatan semak, ilalang, dan penebangan pohon yang dapat mengganggu perkembangan murbei. Semak, ilalang, dan ranting pohon
dikumpulkan dan dibakar sedangkan kayu pohon dimanfaatkan sebagai kayu bakar maupun keperluan lainnya. Kemudian dilakukan pengolahan tanah
dengan cara pencangkulan.
Ahdiat 2007 menyatakan jarak tanam murbei pada penanaman monokultur yaitu 100 cm x 50 cm dan jarak tanam murbei untuk penanaman
secara tumpang sari yaitu 150 cm x 50 cm. Petani sutera menanam murbei dalam larikan yang membujur dari utara ke selatan. Ini dimaksudkan agar
penyinaran matahari lebih merata ke seluruh tanaman murbei. Larikan dibuat lebih tinggi dari sekitarnya agar tanaman mendapat asupan oksigen yang cukup.
Jarak antara barisan satu dengan barisan lainnya, yaitu 120 sentimeter. Di dalam satu barisan, terdapat rorak atau lubang tanam yang dalamnya ± 50 sentimeter.
Jarak antara rorak yang satu dengan rorak lainnya sekitar 40 sentimeter. Dalam satu petak atau gawang, tanaman murbei dibagi per blok tanaman untuk
mempermudah pemanenan. Pada saat pemanenan, daun murbei ditumpuk di antara blok satu dengan lainnya. Jarak antara satu tumpukan dengan tumpukan
lainnya, yaitu sekitar 4 hingga 5 meter. Hasil panenan daun murbei dimasukkan ke dalam karung untuk dibawa ke rumah ulat sutera. Tanaman hortikultura yang
ditumpangsarikan dengan tanaman murbei ditanam di antara larikan sehingga tidak terlalu mengganggu tanaman murbei.
U
Keterangan: tanaman murbei tanaman hortikultura
Gambar 3 Layout lahan murbei.
Dua minggu kemudian dilakukan pemupukan berupa pupuk kandang dan pupuk kimia yang disertai dengan pengadukan dengan lapisan top soil, ditimbun
dengan lapisan sub soil dan diberi tanda ajir. Pemberian tanda ajir hanya dilakukan pada rorak di tepi lahan penanaman. Sedangkan penanaman pada
rorak di tengah lahan mengikuti jalur ajir yang berada di tepi lahan. Pupuk dasar yang digunakan pada skala usaha I, yaitu 1.000 kilogram pupuk kandang, 50
kilogram KCl, 50 kilogram SP, dan 75 kilogram pupuk urea. Skala usaha II menggunakan pupuk dasar berupa 527,8 kilogram pupuk kandang; 52,9
kilogram KCl; 36,3 kilogram SP; 43,1 kilogram urea, dan 50 gram pupuk NPK. Sedangkan skala usaha III menggunakan pupuk dasar berupa 250 kilogram
pupuk kandang, 50 kilogram urea, 50 kilogram NPK, dan 100 kilogram pupuk ZA.
Dua minggu kemudian dilakukan penanaman stek murbei dengan panjang ± 25 sentimeter dengan diameter ± 1 sentimeter hingga 1,5 sentimeter.
Jenis tanaman murbei yang ditanam oleh skala usaha I, yaitu Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus cathayana. Skala usaha II menanam jenis murbei Morus
alba, Morus multicaulis, Morus cathayana, dan Morus nigra. Sedangkan skala usaha III menanam jenis murbei Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus
cathayana. Pemeliharaan yang dilakukan setiap tahunnya berupa penyiangan,
penyulaman, pemangkasan, dan pemupukan. Pada tahun pertama dilakukan pendangiran untuk menjaga asupan oksigen di dalam tanah. Penyiangan
dilakukan untuk membuang gulma tanaman sehingga tidak terjadi persaingan unsur hara di dalam tanah. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman
yang mati atau yang terserang hama dan penyakit agar tidak menular ke tanaman yang sehat. Pemangkasan berguna untuk membentuk tajuk maupun
menghilangkan bagian tanaman yang terkena hama maupun penyakit. Pemupukan tiap tahunnya dilakukan untuk memberikan asupan hara pada
tanaman murbei maupun tanaman hortikultura.
Penyakit yang menyerang murbei, yaitu penyakit tepung, karat, bintik daun, dan bercak daun. Murbei yang terkena penyakit tepung ditandai dengan
adanya bintik-bintik berwarna putih yang kemudian menjadi bercak-bercak kuning, dan menghitam. Kandungan gizi dan air pada daun murbei berkurang.
Tanaman murbei dipupuk dengan pupuk organik atau dilakukan fungisida. Penyakit karat yang menyerang murbei ditandai dengan adanya bercak kuning
pada kuncup atau tunas muda. Kuncup murbei yang terserang dibuang sebelum musim hujan. Selain itu, jarak tanaman tidak boleh terlalu rapat. Permukaan
murbei yang terkena bintik daun menjadi hitam dan kotor seperti terkena jelaga. Daun yang terserang penyakit ini dibuang. Pemupukan dengan pupuk organik
perlu dilakukan agar pertumbuhan murbei tetap baik. Bintik-bintik penyakit ditemukan di kedua sisi daun yang berwarna coklat gelap. Selain menjaga aerasi
dan drainase, penyemprotan fungisida dapat dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini.
Hama yang menyerang tanaman murbei petani yakni kutu daun dan penggerek batang. Gejala tanaman murbei terserang kutu daun yaitu timbulnya
bercak-bercak hitam di daun muda, daun mengkerut, dan ruas pada daun menjadi pendek. Pangkas ulang tanaman murbei, penyiangan rumput, dan
insektisida harus dilakukan untuk menanggulangi serangan hama ini. Gejala murbei yang terserang hama penggerek batang yakni murbei melemah
kemudian mati. Tanaman murbei harus dipotong dan dibakar. Skala usaha II menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma tanaman. Sedangkan Skala
usaha III menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Gambar 4 Tanaman murbei yang terkena hama dan penyakit.
6.2.3.4 Budidaya Ulat Sutera
Desain layout sebaiknya mempertimbangkan efisiensi biaya, efektivitas ruangan, keselamatan kerja, dan keindahan Suliyanto 2010. Pemeliharaan ulat
sutera kecil instar III dan ulat sutera besar instar IV dan V dilakukan di rumah ulat sutera yang terbuat dari dinding bambu, tiang kayu atau bambu, dan
beratapkan genteng atau asbes. Luas rumah ulat sutera tiap skala usaha, yaitu 45 m
2
pada skala usaha I; 104,7 m
2
pada skala usaha II, dan 98 m
2
pada skala usaha III. Rumah ulat sutera merupakan tempat pemeliharaan ulat yang di dalamnya
terdapat rak pemeliharaan ulat, tempat penyimpanan daun murbei, dan gudang. Tata letak dilakukan sedemikian rupa agar mempermudah pergerakan di dalam
rumah ulat. Rumah ulat secara umum dibuat memanjang ke arah utara-selatan. Hal ini dimaksudkan agar penyinaran matahari lebih merata. Menurut Ahdiat
2007, tempat penyimpanan daun murbei harus dipisah dari ruang pemeliharaanpenyimpanan peralatan pengokonan. Selain itu, daun murbei
disusun berdiri dan tidak terlalu rapat serta ditutup dengan kain basah blacu. Hal ini tidak dilakukan oleh petani sutera. Daun murbei menjadi sedikit layu dan
kurang baik jika dikonsumsi oleh ulat sutera. Ventilasi atau lubang udara dibuat di dinding rumah ulat maupun di
bagian atas dinding depan atau belakang rumah ulat. Jumlah dan besar kecilnya ventilasi berbeda pada tiap skala usaha tergantung pada keinginan petani saat
pembuatan rumah ulat. Peredaran udara di ruangan menjadi lebih lancar dengan adanya ventilasi ini. Ventilasi dibuat dengan memasang potongan bambu yang
disusun vertikal. Antara potongan bambu yang satu dan lainnya berjarak 1 hingga 2 sentimeter. Ventilasi udara ditutupi oleh karung atau plastik mulsa
yang dipasang di bagian atas ventilasi seperti yang dilakukan oleh petani skala usaha II dan skala usaha III. Salah satu petani skala usaha II menutupi ventilasi
di bagian atas dinding belakang dengan bekas spanduk yang diperoleh dari masyarakat sekitar. Penutupan ventilasi berguna agar ulat tidak terkena udara
langsung pada saat malam hari yang dingin. Petani skala usaha I tidak melakukan penutupan pada ventilasi untuk menekan biaya operasional.
Gudang memiliki fungsi untuk meletakkan peralatan pemeliharaan budidaya murbei dan peralatan pemeliharaan ulat sutera, di antaranya seriframe,
hand sprayer, cangkul, sabit, golok, gaet, pisau rajang, tempat rajang, alat pikul, nanpan, gintiran, stik bambu, sapu lantai, dan lain sebagainya. Gunang berada di
dalam rumah ulat bertujuan untuk mempermudah pengambilan peralatan jika dibutuhkan. Sebagian petani meletakkan beberapa peralatan di rumah agar lebih
aman.
U
Keterangan: tanpa sekat ventilasi udara
Gambar 5 Layout rumah ulat sutera.
Rak ulat digunakan untuk tempat ulat pada saat pemeliharaan. Jumlah rak yang ada di dalam rumah ulat berkisar antara 2 hingga 3 rak. Satu rak terdiri
dari 2 hingga 3 lantai. Jumlah rak tergantung pada jumlah ulat yang dipelihara. Rak yang tidak berisi ulat dijadikan tempat untuk meletakkan daun murbei.
Daun murbei diletakkan berdekatan dengan ulat agar mudah dalam pemberian pakan sehingga dapat mengefisienkan waktu. Selain itu, rak juga digunakan
untuk meletakkan peralatan budidaya murbei dan ulat sutera sehingga tidak memerlukan adanya gudang, seperti yang dilakukan oleh petani sutera skala
usaha I dan satu orang petani skala usaha II yang hanya memelihara 1 boks ulat sutera per periode pemeliharaan.
R ak
u la
t R
ak u
la t
R ak
u la
t G
u d
a n
g
Ahdiat 2007 menyatakan bahwa pemberian pakan ulat dilakukan empat kali dalam sehari agar pertumbuhan ulat menjadi lebih optimal yakni pada pagi
hari, siang, sore dan malam hari. Petani sutera member makan ulat sebanyak 3 kali dalam sehari, yaitu pada pukul 06.00 WIB, 12.00 WIB, dan pada pukul
17.30 WIB. Pemberian kapur dilakukan setiap hari agar ulat terhindar dari berbagai penyakit yang berasal dari kotoran dan tangkai murbei. Desinfeksi ulat
sutera menurut Ahdiat 2007 sebaiknya menggunakan campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 9 : 1. Jumlah desinfektan untuk ulat besar yaitu
sekitar 50 gr hingga 60 gr per meter persegi. Pemindahan sebagian ulat dilakukan secara langsung maupun menggunakan nanpan untuk menjaga ruang
gerak ulat sutera yang semakin hari bertambah besar.
Gambar 6 Ulat sutera yang terkena penyakit.
Penyakit yang sering menyerang ulat sutera petani, yaitu grasserie NPV, Infectious Flacherie FV, Aspergillus, Muscardine, pebrin, bakteri, dan
keracunan obat-obat pertanian. Gejala NPV pada ulat, yaitu kulit ulat membengkak, ulat membentuk kokon yang lembek dan kemudian mati, dan ulat
mati menjadi lembek dan hitam. Gejala ulat yang terkena FV, yaitu nafsu makan berkurang, waktu ganti kulit tidak seragam, dan ulat muntah dan diare. Gejala
penyakit Aspergillus, yaitu nafsu makan berkurang, mengeluarkan pencernaan sebelum mati, bangkai larva berwarna kuning atau coklat, dan muncul mycelia
pada permukaan ulat yang mati. Gejala penyakit Muscardine, yaitu larva mengeras dan tidak membusuk, kotoran lunak, dan terdapat bintik-bintik besar
di permukaan kulit ulat yang masih hidup. Gejala pebrin, yaitu nafsu makan berkurang, warna larva gelap, bintik-bintik coklat kehitaman, larva dewasa
berputar-putar tanpa membuat kokon, dan tubuh larva mengkerut, pertumbuhannya terhambat dan kemudian mati. Gejala ulat yang terkena
bakteri, yaitu ulat menjadi lemah, metabolism turun, tubuh tidak elastic dan lunak, diare, dan ulat yang mati membusuk berwarna hitam dan mengeluarkan
cairan berbau busuk. Sedangkan ulat yang terkena obat-obatan pertanian menunjukkan gejala berupa mengeluarkan cairan getah lambung, kaku, dan
sering menggerakkan kepala. Salah satu petani pada skala usaha II membeli daun murbei ke petani yang menanam murbei berdekatan dengan tanaman
bakau. Penanggulangan terhadap penyakit yang menyerang ulat sutera menurut
Ahdiat 2007 dan Atmosoedarjo et al. 2000, yaitu desinfeksi ruangan dan peralatan pemeliharaan ulat menggunakan larutan kaporit atau formalin sebelum
pemeliharaan, larva yang sakit harus dipisahkan dengan ulat yang sehat, memisahkan larva yang terlambat ganti kulit, tidak menggunakan daun yang
menguning, layu, dan basah sebagai pakan ulat, tempat pembuangan kotoran ulat harus berjauhan dengan rumah ulat, pemeliharaan ulat tidak terlalu padat,
dan tidak menanam murbei berdekatan dengan tembakau. Kebersihan rak pemeliharaan ulat dari kotoran ulat dan sisa makanan ulat berupa ranting murbei
kurang terjaga sehingga menjadi sumber penyakit dan menghambat pertumbuhan ulat. Ahdiat 2007 menyatakan pembersihan kotoran ulat instar
IV dilakukan pada hari ke dua pemeliharaan dan setelah tidur. Sedangkan pembersihan kotoran ulat instar V dilakukan setiap dua hari sekali atau setiap
hari tergantung kondisi kotoran dan sisa makanannya. Cara pembersihan kotoran ulat menurut Ahdiat 2007, yaitu:
1. Cabang daun murbei diletakkan di atas 2 tali yang dipasang secara
memanjang. Kemudian cabang murbei digulung setelah ulat naik ke cabang dan sisihkan dari tempat tersebut.
2. Sisa makanan dan kotoran ulat dibuang. Kemudian, gulungan ulat diletakkan
kembali dengan memperluas tempat. Penjemuran kokon di bawah terik matahari dilakukan sebelum
pemanenan. Hal ini bertujuan agar kokon menjadi kering dan mempermudah pemanenan. Kokon dikeluarkan dari seriframe menggunakan stik bambu.
Serabut kokon atau floss dihilangkan dengan cara manual menggunakan tangan. Salah satu petani sutera pada skala usaha II menghilangkan floss dengan
menggunakan gintiran yang dibuat sendiri sehingga pekerjaan menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Setelah itu, kokon diletakkan di atas rak pemeliharaan
ulat yang telah dibersihkan dengan diberi alas karung. Kokon siap untuk dijual. Pengemasan kokon dilakukan untuk mempermudah pengangkutan ke tempat
penjualan, Kecamatan Cibeber. Kokon dimasukkan ke dalam karung berukuran besar yang diikat ujungnya agar kokon tidak berhamburan. Pengangkutan kokon
dilakukan dengan menyewa angkutan umum.
6.2.3.5 Peralatan dan Teknologi
Secara umum, peralatan dan teknologi yang digunakan masih sederhana. Untuk membawa hasil panen murbei ke rumah ulat dilakukan dengan pemikulan
dengan atau tanpa alat pikul. Salah satu petani skala usaha II menggunakan alat pikul untuk mempermudah pekerjaan. Petani lainnya baik pada skala usaha II
maupun skala usaha I dan III mengangkut murbei menggunakan kendaraan bermotor atau dipikul tanpa menggunakan alat pikul tergantung jauh dekatnya
letak lahan murbei. Tempat perajang daun murbei yang didesain sendiri digunakan oleh salah satu petani skala usaha II sehingga pekerjaan dapat
dilakukan lebih cepat dan lebih baik hasilnya jika dibandingkan dengan cara manual. Petani skala usaha II lainnya maupun petani skala usaha I dan III
melakukan perajangan daun murbei tanpa menggunakan alat. Pemanenan kokon pada setiap skala usaha dilakukan secara manual
dengan menggunakan stik bambu untuk mengeluarkan kokon dari seriframe tanpa menggunakan peralatan khusus. Petani menghilangkan serabut luar dari
kokon floss atau kebatori hanya dengan tangan tanpa menggunakan mesin pembersih serabut kokon floss removal. Salah satu petani skala usaha II
menggunakan gintiran untuk menghilangkan floss sehingga mempermudah pekerjaan, lebih cepat diselesaikan, dan lebih banyak menghasilkan kokon tanpa
floss. Petani ulat sutera di Kecamatan Sukanagara mendapatkan hibah satu
mesin reeling semi otomatis dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. Namun mesin ini tidak digunakan petani karena kapasitas listrik tidak cukup untuk
mengoperasikannya. Untuk menggerakkannya membutuhkan listik minimal 900 Watt. Sedangkan petani hanya menggunakan listrik berkapasitas 450 Watt.
6.2.4 Aspek Manajemen 6.2.4.1 Fungsi Perencanaan
Perencanaan mengenai penanaman murbei, pemeliharaan murbei, pemanenan dan pengangkutan murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemanenan
ulat sutera dilakukan oleh petani dengan bekal penyuluhan dan pelatihan yang diperoleh sebelum maupun selama menjalankan usaha budidaya ulat sutera.
Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dan Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam melakukan perencanaan
mengenai pengembangan persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara dengan cara memberikan bantuan dana maupun peralatan kepada petani sutera dan
bekerjasama dengan dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon. Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan
Alam dan CV Batu Gede bekerjasama dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon dengan melakukan penelitian-penelitian.
Perencanaan mengenai cara pembelian bibit ulat sutera, harga bibit ulat sutera, waktu pemeliharaan, dan waktu distribusi atau penjualan kokon
dilakukan oleh pihak CV Batu Gede. Perencanaan ini dilakukan berdasarkan waktu pengiriman telur ulat sutera dari PSA Soppeng di Sulawesi Selatan
maupun dari PPUS Candiroto di Jawa Tengah, biaya pembelian telur ulat, biaya pengiriman telur, dan ketersediaan pakan ulat kecil milik CV Batu Gede.
Sedangkan penentuan harga jual kokon merupakan kesepakatan antara CV Batu Gede dengan petani sutera.
6.2.4.2 Fungsi Pengorganisasian
Pengorganisasian bersifat informal dilakukan oleh ketua umum kelompok tani. Ketua umum kelompok tani bertindak sebagai pemimpin yang
menampung aspirasi anggota, menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan pembudidayaan ulat sutera, mengarahkan, mengkoordinir bila ada bantuan dana
maupun peralatan budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera dari pihak- pihak tertentu. Ketua umum kelompok berhubungan langsung dengan pihak CV
Batu Gede terkait dengan pemeliharaan ulat sutera dan lainnya. Garis koordinasi dari ketua umum kelompok tani langsung ke ketua kelompok di tiga desa yang
berbeda, yaitu kelompok I di Desa Sukamekar, kelompok II di Desa Sukanagara, dan kelompok III di Desa Sukalaksana.
6.2.4.3 Fungsi Pelaksaan
Ketua umum kelompok tani memiliki fungsi menggerakkan bawahannya, bersikap dan berperilaku sesuai dengan yang diperlukan. Ketua
kelompok tani di tiap desa mengkoordinasikan setiap informasi yang diterima dari ketua umum kelompok tani dan menyampaikan inspirasi anggota ke ketua
umum kelompok tani. Keputusan mengenai perencanaan kegiatan pemeliharaan murbei dan ulat sutera sepenuhnya berada di tangan anggota. Ketua umum
kelompok tani dan ketua kelompok tani hanya memberikan saran dan arahan agar kegiatan persuteraan alam berjalan dengan lancar.
6.2.4.4 Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian dipegang oleh ketua umum kelompok tani dan ketua kelompok tani di setiap desa. Kepala desa dan pemerintah Kecamatan
Sukanagara tidak terlibat dalam fungsi pengendalian. Ketua umum kelompok tani melakukan peninjauan langsung ke lokasi pembudidayaan ulat sutera untuk
mengetahui pelaksanaan pembudidayaan yang sedang dilakukan yang berkoordinasi dengan ketua kelompok tani. Berdasarkan pengamatan terhadap
pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial tersebut, dapat dikatakan bahwa dilihat aspek manajerial, usaha pembudidayaan ulat sutera ini layak dijalankan.
Ketua Umum Kelompok Tani
Ketua Ketua
Ketua Kelompok Tani I
Kelompok Tani II Kelompok Tani III
Anggota Anggota
Anggota
Keterangan: komunikasi informal
Gambar 7 Struktur kelompok tani sutera di Kecamatan Sukanagara.
6.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia
Sebagian besar petani mengetahui secara teknik budidaya tanaman dan peternakan secara umum. Adapun untuk detil yang disesuaikan dengan tanaman
murbei dan pemeliharaan ulat, para petani diberikan tambahan pengetahuan melalui penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan maupun pelatihan yang didapat
oleh petani sutera berasal dari CV Batu Gede, Politeknik Vedca, Dinas Kehutanan Kabupaten Cianjur, Dinas Koperasi Kabupaten Cianjur, Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Cianjur, Dinas Kehutanan Jawa Barat, Dinas Koperasi Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Kementrian
Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam, dan Kementrian Perindustrian dan Perdagangan RI. Biaya pelatihan dan penyuluhan
tidak ditanggung oleh petani sutera sehingga dalam analisis kelayakan finansial tidak diperhitungkan.
Tingkat pendidikan petani sutera berada pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Petani sutera cukup terbuka mengenai informasi-
informasi mengenai pembudidayaan ulat sutera. Berdasarkan pengamatan, beberapa petani sutera maupun petani lainnya memiliki mental yang kurang ulet
dan cepat putus asa atau cenderung pasrah dengan kondisi yang ada. Hal ini menjadi penghalang majunya persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara.
Petani sutera kehilangan pasar kokon pada tahun 2003 dengan tidak beroperasinya lagi PT Indo Jado Sutera Pratama. Hal ini membuat sebagian besar
petani mengganti tanaman murbei dengan tanaman hortikultura yang lebih jelas keuntungannya. Namun sebagian petani sutera tetap mempertahankan dan
menjalankan usaha ini. Pasar internal baru diperoleh dengan adanya CV Batu Gede yang menggantikan peranan PT Indo Jado Sutera Pratama sebagai pemasok
bibit ulat sutera dan pembeli kokon. Berdasarkan aspek sumber daya manusia, usaha budidaya ulat sutera layak dilaksanakan meskipun terdapat beberapa
kekurangan.
6.2.6 Aspek Sosial
Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Sukanagara berprofesi sebagai petani teh maupun petani hortikultura. Kegiatan budidaya ulat sutera sepenuhnya
didukung oleh masyarakat namun dengan memperhatikan limbah ulat sehingga tidak mengganggu kenyamanan masyarakat. Selain itu, pembudidayaan ulat sutera
ini tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat dan tidak bertentangan dengan kebudayaan setempat. Usaha ini membuka kesempatan kerja bagi masyarakat
sekitar sehingga dapat menambah pendapatan. Berdasarkan aspek sosial, kegiatan usaha ini layak untuk dilakukan.
6.2.7 Aspek Yuridis
Usaha budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dilakukan perseorangan. Usaha ini belum memiliki izin resmi dari pemerintah setempat. Hal
ini dikarenakan usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil. Meskipun belum memiliki izin resmi, pemerintah setempat memperbolehkan usaha ini karena tidak
mengganggu kehidupan masyarakat dan tidak berdampak buruk pada lingkungan sehingga usaha ini layak diusahakan. Kegiatan budidaya ulat sutera ini boleh
diusahakan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 664Kpts-II2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Persuteraan Alam, Peraturan bersama
Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor P.47Menhut-II2006, Nomor 29M-IndPer62006, dan Nomor
7PerM.KUKMVI2006 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persuteraan Alam Nasional dengan Pendekatan Klaster, serta Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.35Menhut-II2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.
6.2.8 Aspek Lingkungan Hidup
Berdasarkan observasi, kegiatan budidaya ulat sutera yang dijalankan tidak menghasilkan limbah yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan
lingkungan. Lahan murbei dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian sehingga potensi lahan dapat dimaksimalkan, keanekaragaman tanaman cukup
terjaga, dan menambah pendapatan petani. Selain itu, limbah dari kotoran ulat sutera bisa diolah menjadi pupuk organik yang dapat meningkatkan kandungan
nutrisi tanah dan juga dapat mengurangi biaya pembelian pupuk kandang untuk menyuburkan tanaman murbei.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi di lahan murbei sehingga diketahui dampak lebih lanjut terhadap
lingkungan mengingat sebagian besar lahan murbei berada pada kemiringan landai. Berdasarkan aspek lingkungan, budidaya ulat sutera layak diusahakan
karena tidak bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meskipun
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi.
6.3 Analisis Aspek Finansial