Analisis Aspek Non Finansial .1 Aspek Pasar

Tabel 6 Karakteristik petani sutera Karakteristik Skala Usaha I II III III Lokasi Desa Sukamekar Sukamekar Sukanagara Sukalaksana Sukamekar Sukamekar Luas Lahan Murbei ha 1 1,5 2 2 Jumlah Ulat boksth 12 20 12 24 Usia tahun a. 21-30 1 - - - b. 31-40 - - - - c. 41-50 - 3 1 1 Tingkat Pendidikan a. SD - 1 1 1 b. SMP 1 2 - - Sifat Pekerjaan a. Utama 1 2 - - b. Sampingan - - 1 1 Pelatihan a. Mengikuti 1 3 1 1 b. Tidak Mengikuti - - - - Keterangan: = skala usaha III dalam skenario pengembangan 6.2 Analisis Aspek Non Finansial 6.2.1 Aspek Pasar Permintaan kokon berasal dari dari CV Batu Gede. Berdasarkan kesepakatan tidak tertulis, CV Batu Gede bersedia menampung seluruh hasil kokon petani sekaligus sebagai pemasok bibit ulat sutera instar III ke pada petani sutera. Produsen dapat memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki Herlianto Pujiastuti 2009. Adanya kemitraan dengan CV Batu Gede bukan berarti menutup kemungkinan untuk membuka jalur pemasaran kepada yang lain bila sudah mampu memenuhi seluruh permintaan dari CV Batu Gede. Permintaan kokon dari pihak lain dengan harga yang lebih bersaing tidak ditanggapi oleh petani sutera karena takut mengecewakan pihak CV Batu Gede selaku pemasok bibit ulat sutera. Sedangkan permintaan stek murbei dari konsumen lain dipenuhi agar mendapat nilai tambah. Dengan permintaan yang tinggi dan dengan adanya jaminan pasar kokon, usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan di Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur layak dilaksanakan. Produk yang ditawarkan oleh petani sutera di Kecamatan Sukanagara berupa kokon. Jumlah produksi kokon baru mencapai 174,5 kilogram per bulan. Kualitas kokon yang dihasilkan secara umum berada pada kualitas sedang sehingga harga jual kokon dari CV Batu Gede sebesar Rp 23.000 per kilogram. Harga bibit ulat sutera per kilogramnya mencapai Rp 130.000. Secara visual, kokon berkualitas sedang atau kelas B merupakan kokon dengan berat berkisar 1,5 gram hingga 1,9 gram, persentase cacat kokon mencapai 1,1 persen hingga 4 persen, dan persentase kulit kokon mencapai 20 persen hingga 24,9 persen. Tabel 7 Kelas kualitas kokon secara visual Kriteria Kelas Kualitas A B C D berat gram ≥ 2 1,5 – 1,9 1 – 1,4 ≤ 0,9 cacat ≤ 1 1,1 – 4 4,1 – 8 ≥ 9 kulit kokon 25 20 – 24,9 15 – 19,9 ≥ 14,9 Sumber: Santoso 1997 dalam Atmosoedarjo 2000 Terdapat tiga kelompok dalam memenangkan persaingan pasar, yaitu keunggulan operasional operational excellence, kepemimpinan produk product leadership, dan keakraban dengan pelanggan customer intimacy Treacy Wiersema 1995 dalam Tjiptono 2008. Petani budidaya ulat sutera memiliki konsumenpelanggan tetap dan produk yang dihasilkan bukan bersifat operasional sehingga petani sutera dapat memilih perluasan pangsa pasar dengan cara mengembangkan dan menginovasi produk yang dihasilkan. Strategi ini tepat ditujukan pada pelanggan yang mengutamakan keunikan produk. Untuk meningkatkan profitabilitas, produk yang dijual bukan hanya berupa kokon namun dapat berupa benang dan kerajinan tangan yang dibuat dari kokon yang tidak layak jual. Dana operasional akan meningkat dengan adanya pengadaan benang. Untuk meminimalkan dana tersebut, pengadaan benang dapat dilakukan secara berkelompok.

6.2.2 Aspek Pemasaran

Produk merupakan suatu nilai yang didapat oleh konsumen sebagai pelaku pengambil keputusan pembelian. Dalam hal ini, kokon merupakan produk yang diperjualbeliakan antara petani sutera dan CV Batu Gede. Harga jual kokon ditetapkan sebesar Rp 23.000 merupakan harga standar yang sesuai untuk kokon berkualitas B sedang meskipun kualitas kokon yang dihasilkan oleh petani sutera bervariasi. Penetapan harga jual kokon ini dilakukan agar mempermudah proses transaksi penjualan. Harga jual kokon sebesar Rp 23.000 memiliki keuntungan dan kerugian baik pada pihak CV Batu Gede maupun pada petani sutera. Keuntungan penetapan harga jual kokon sebesar Rp 23.000 bagi CV Batu Gede selain mempermudah transaksi penjualan, yaitu mempersingkat waktu penjualan sehingga kokon kering yang telah dibeli dapat langsung dibawa ke tempat pemintalan CV Batu Gede di Kecamatan Ciapus, Bogor. Kerugian yang dialami CV Batu Gede, yaitu kemungkinan kokon berkualitas C dan D banyak diperoleh dan petani tidak termotivasi menghasilkan kokon berkualitas baik. Keuntungan penetapan harga ini bagi petani sutera, yaitu kepastian harga yang menguntungkan pada saat kualitas kokon yang dihasilkan berada pada kualitas C dan D. Sedangkan kerugiaan yang diterima oleh petani sutera, yaitu tidak mendapat harga kokon yang sesuai pada saat kualitas harga kokon yang dihasilkan mencapai kelas grade A. Untuk meningkatkan nilai tambah, stek murbei dijual ke konsumen yang membutuhkan. Selain kokon, kepompong ulat sutera dan buah murbei mulberry dicari oleh konsumen lain namun tidak ditanggapi oleh petani sutera meskipun dapat menambah peningkatkan pendapatan dari budidaya ulat sutera. Untuk meningkatkan nilai tambah budidaya murbei, petani sutera dapat mengusahakan pembuatan teh murbei yang dijadikan minuman antioksidan atau mengolah limbah ulat sutera menjadi pupuk organik. Kegiatan promosi untuk meningkatkan penjualan tidak dilakukan oleh petani karena telah mendapat jaminan pasar internal. Oleh karena itu, biaya promosi tidak dikeluarkan oleh petani sutera. Konsumen lain mengetahui adanya kegiatan budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dari mulut ke mulut word of mouth melalui jejaring petani. Pemasaran kokon dilakukan secara langsung oleh petani sutera ke pihak CV Batu Gede sehingga hanya memerlukan biaya distribusi kokon. 6.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi 6.2.3.1 Lokasi Usaha Penempatan lokasi usaha berpengaruh terhadap biaya operasional dan biaya investasi sehingga perlu dilakukan sebaik mungkin dengan mempertimbangkan berbagai faktor Suliyanto 2010. Lokasi pemeliharaan ulat secara umum berdekatan dengan tempat tinggal sehingga memudahkan pemeliharaan dan pengawasan. Rumah ulat petani skala usaha I berjarak 30 meter dari tempat tinggal. Jarak rumah ulat skala usaha II dari tempat tinggal bervariasi antara 30 meter hingga 150 meter. Sedangkan jarak rumah ulat skala usaha III dari tempat tinggal, yaitu 50 meter. Selain memudahkan pemeliharaan ulat dan pengawasan, pemilihan lokasi pemeliharaan ulat sutera berdasarkan pada letak kebun murbei, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan sumber air dan energi, serta fasilitas transportasi. Letak kebun murbei dengan rumah ulat secara umum berdekatan, yaitu di sekitar rumah ulat hingga berjarak sekitar 300 meter. Kebun murbei dibuat dalam bentuk petak-petak atau gawang. Satu gawang memiliki luas sekitar 0.2 hektar hingga 0,3 hektar tergantung luasan lahan yang tersedia. Gawang yang satu dan lainnya sekitar 30 meter hingga 250 meter. Jarak ini tergantung dengan luasan lahan yang tersedia sehingga tidak dapat dikumpulkan menjadi satu. Namun demikian, pada skala usaha II ada petani yang lokasi lahan murbeinya berjarak sekitar 250 meter hingga ± 1,3 kilometer dari rumah ulat. Hal ini mengakibatkan biaya operasional yang lebih besar dari pada petani sutera lainnya. Ahdiat 2007 menyatakan jarak kebun murbei yang berjauhan dengan rumah ulat mengakibatkan daun murbei sedikit layu sehingga kurang baik untuk perkembangan ulat sutera. Tenaga kerja di sekitar tempat pemeliharaan ulat sutera tersedia cukup banyak. Pekerjaan pemeliharaan kebun murbei dan ulat sutera dilakukan sendiri beserta keluarga maupun mengupah orang lain. Tenaga kerja dibutuhkan pada saat pembuatan kebun murbei, pemangkasan, pengendalian gulma, pemanenan murbei, pengangkutan, pemberian pakan, pengendalian hama ulat, pemeliharaan kandang penjemuran, dan pemanenan kokon. Tenaga kerja diperoleh dari masyarakat yang memiliki latar belakang sebagai petani teh maupun petani hortikultura. Tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja tidak tetap. Tenaga kerja tetap diperluan dari pemeliharan kebun murbei hingga pemeliharaan ulat. Sedangkan tenaga kerja tidak tetap diperlukan pada saat pembuatan kebun murbei dan pemanenan kokon. Jumlah tenaga kerja borongan disesuaikan dengan luasan kebun murbei yang dibuat dan produksi kokon yang dihasilkan. Lokasi pemeliharaan ulat sutera dan lahan murbei berada pada tempat yang datar hingga landai. Ketersediaan air diperoleh dari aliran anak sungai yang berada di sekitarnnya sehingga mempermudah pemeliharaan ulat sutera maupun murbei. Energi listrik yang digunakan sebagai penerangan rumah di malam hari diperoleh dari PLN. Penggunaan energi dilakukan oleh seorang petani pada skala usaha II dan petani skala usaha III. Kecamatan Sukanagara dilalui oleh jalur kabupaten beraspal sehingga mobilitas kendaraan hampir terjadi di setiap waktu. Banyaknya kendaraan mempermudah penjualan kokon ke Kecamatan Cibeber. Penjualan kokon di Kecamatan Cibeber dilakukan untuk meminimalkan pengeluaran biaya operasional antara petani sutera dan CV Batu Gede. Waktu tempuh dari Kecamatan Sukanagara ke Kecamatan Cibeber, yaitu sekitar 1 jam 45 menit perjalanan atau 3 jam 30 menit per ritperjalanan pergi pulang. Sedangkan waktu tempuh dari Bogor ke Kecamatan Cibeber ditempuh selama ± 2 jam 45 menit.

6.2.3.2 Skala Produksi

Jumlah produk yang diproduksi oleh perusahaan dalam periode tertentu harus direncanakan dengan matang agar keuntungan dapat dioptimalkan Suliyanto 2010. Jumlah ulat sutera yang dipelihara per tahun pada ketiga skala usaha, yaitu 12 boks pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II dan 12 boks pada skala usaha III. Skala usaha I memelihara 1 boks ulat dalam satu periode pemeliharaan. Skala usaha I memiliki satu hektar lahan murbei yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan pakan 1 boks ulat sutera. Karena pemeliharaan murbei yang kurang maksimal, skala usaha I membeli daun murbei ke petani lain skala usaha III untuk memenuhi kebutuhan pakan ulat sutera sehingga diperlukan biaya pembelian murbei yang dapat menambah biaya operasional. Skala usaha II memiliki lahan murbei seluas 1,5 hektar. Satu orang petani skala usaha II hanya memelihara 1 boks ulat per periode pemeliharaan. Sedangkan dua petani lainnya memelihara 2 boks ulat per periode pemeliharaan. Pemeliharaan murbei yang kurang optimal mengharuskan petani yang memelihara 2 boks ulat membeli daun murbei ke petani lainnya. Hal ini membuat petani mengeluarkan biaya operasional yang lebih. Petani membeli daun murbei ke petani sutera yang sudah tidak lagi memelihara ulat sutera karena terlanjur mengubah sebagian lahan murbei menjadi lahan pertanian lainnya dan rumah ulat sutera sudah dibongkar. Skala usaha III hanya memelihara ulat 1 boks per periode pemeliharaan. Padahal skala usaha III memiliki lahan murbei seluas 2 hektar. Dua hektar murbei dengan pemeliharaan yang cukup dapat memenuhi pakan 2 boks hingga 3 boks ulat sutera. Jika pemeliharaan murbei dilakukan secara maksimal maka petani sutera dapat memelihara 4 boks per periode pemeliharaan. Biaya pemeliharaan kebun murbei berdasarkan luasannya bukan pada jumlah ulat sutera yang dipelihara. Oleh karena itu, petani skala usaha III perlu melakukan penambahan ulat sutera yang dipelihara menjadi 2 boks hingga 3 boks. Selain itu, rumah ulat yang dibuat dapat memelihara ulat sutera maksimal 3 boks per periode pemeliharaan.

6.2.3.3 Budidaya Murbei

Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan, pengolahan tanah, dan pemupukan. Pembersihan lahan dilakukan secara manual, yaitu dengan melakukan pembabatan semak, ilalang, dan penebangan pohon yang dapat mengganggu perkembangan murbei. Semak, ilalang, dan ranting pohon dikumpulkan dan dibakar sedangkan kayu pohon dimanfaatkan sebagai kayu bakar maupun keperluan lainnya. Kemudian dilakukan pengolahan tanah dengan cara pencangkulan. Ahdiat 2007 menyatakan jarak tanam murbei pada penanaman monokultur yaitu 100 cm x 50 cm dan jarak tanam murbei untuk penanaman secara tumpang sari yaitu 150 cm x 50 cm. Petani sutera menanam murbei dalam larikan yang membujur dari utara ke selatan. Ini dimaksudkan agar penyinaran matahari lebih merata ke seluruh tanaman murbei. Larikan dibuat lebih tinggi dari sekitarnya agar tanaman mendapat asupan oksigen yang cukup. Jarak antara barisan satu dengan barisan lainnya, yaitu 120 sentimeter. Di dalam satu barisan, terdapat rorak atau lubang tanam yang dalamnya ± 50 sentimeter. Jarak antara rorak yang satu dengan rorak lainnya sekitar 40 sentimeter. Dalam satu petak atau gawang, tanaman murbei dibagi per blok tanaman untuk mempermudah pemanenan. Pada saat pemanenan, daun murbei ditumpuk di antara blok satu dengan lainnya. Jarak antara satu tumpukan dengan tumpukan lainnya, yaitu sekitar 4 hingga 5 meter. Hasil panenan daun murbei dimasukkan ke dalam karung untuk dibawa ke rumah ulat sutera. Tanaman hortikultura yang ditumpangsarikan dengan tanaman murbei ditanam di antara larikan sehingga tidak terlalu mengganggu tanaman murbei. U Keterangan: tanaman murbei tanaman hortikultura Gambar 3 Layout lahan murbei. Dua minggu kemudian dilakukan pemupukan berupa pupuk kandang dan pupuk kimia yang disertai dengan pengadukan dengan lapisan top soil, ditimbun dengan lapisan sub soil dan diberi tanda ajir. Pemberian tanda ajir hanya dilakukan pada rorak di tepi lahan penanaman. Sedangkan penanaman pada rorak di tengah lahan mengikuti jalur ajir yang berada di tepi lahan. Pupuk dasar yang digunakan pada skala usaha I, yaitu 1.000 kilogram pupuk kandang, 50 kilogram KCl, 50 kilogram SP, dan 75 kilogram pupuk urea. Skala usaha II menggunakan pupuk dasar berupa 527,8 kilogram pupuk kandang; 52,9 kilogram KCl; 36,3 kilogram SP; 43,1 kilogram urea, dan 50 gram pupuk NPK. Sedangkan skala usaha III menggunakan pupuk dasar berupa 250 kilogram pupuk kandang, 50 kilogram urea, 50 kilogram NPK, dan 100 kilogram pupuk ZA. Dua minggu kemudian dilakukan penanaman stek murbei dengan panjang ± 25 sentimeter dengan diameter ± 1 sentimeter hingga 1,5 sentimeter. Jenis tanaman murbei yang ditanam oleh skala usaha I, yaitu Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus cathayana. Skala usaha II menanam jenis murbei Morus alba, Morus multicaulis, Morus cathayana, dan Morus nigra. Sedangkan skala usaha III menanam jenis murbei Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus cathayana. Pemeliharaan yang dilakukan setiap tahunnya berupa penyiangan, penyulaman, pemangkasan, dan pemupukan. Pada tahun pertama dilakukan pendangiran untuk menjaga asupan oksigen di dalam tanah. Penyiangan dilakukan untuk membuang gulma tanaman sehingga tidak terjadi persaingan unsur hara di dalam tanah. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau yang terserang hama dan penyakit agar tidak menular ke tanaman yang sehat. Pemangkasan berguna untuk membentuk tajuk maupun menghilangkan bagian tanaman yang terkena hama maupun penyakit. Pemupukan tiap tahunnya dilakukan untuk memberikan asupan hara pada tanaman murbei maupun tanaman hortikultura. Penyakit yang menyerang murbei, yaitu penyakit tepung, karat, bintik daun, dan bercak daun. Murbei yang terkena penyakit tepung ditandai dengan adanya bintik-bintik berwarna putih yang kemudian menjadi bercak-bercak kuning, dan menghitam. Kandungan gizi dan air pada daun murbei berkurang. Tanaman murbei dipupuk dengan pupuk organik atau dilakukan fungisida. Penyakit karat yang menyerang murbei ditandai dengan adanya bercak kuning pada kuncup atau tunas muda. Kuncup murbei yang terserang dibuang sebelum musim hujan. Selain itu, jarak tanaman tidak boleh terlalu rapat. Permukaan murbei yang terkena bintik daun menjadi hitam dan kotor seperti terkena jelaga. Daun yang terserang penyakit ini dibuang. Pemupukan dengan pupuk organik perlu dilakukan agar pertumbuhan murbei tetap baik. Bintik-bintik penyakit ditemukan di kedua sisi daun yang berwarna coklat gelap. Selain menjaga aerasi dan drainase, penyemprotan fungisida dapat dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini. Hama yang menyerang tanaman murbei petani yakni kutu daun dan penggerek batang. Gejala tanaman murbei terserang kutu daun yaitu timbulnya bercak-bercak hitam di daun muda, daun mengkerut, dan ruas pada daun menjadi pendek. Pangkas ulang tanaman murbei, penyiangan rumput, dan insektisida harus dilakukan untuk menanggulangi serangan hama ini. Gejala murbei yang terserang hama penggerek batang yakni murbei melemah kemudian mati. Tanaman murbei harus dipotong dan dibakar. Skala usaha II menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma tanaman. Sedangkan Skala usaha III menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Gambar 4 Tanaman murbei yang terkena hama dan penyakit.

6.2.3.4 Budidaya Ulat Sutera

Desain layout sebaiknya mempertimbangkan efisiensi biaya, efektivitas ruangan, keselamatan kerja, dan keindahan Suliyanto 2010. Pemeliharaan ulat sutera kecil instar III dan ulat sutera besar instar IV dan V dilakukan di rumah ulat sutera yang terbuat dari dinding bambu, tiang kayu atau bambu, dan beratapkan genteng atau asbes. Luas rumah ulat sutera tiap skala usaha, yaitu 45 m 2 pada skala usaha I; 104,7 m 2 pada skala usaha II, dan 98 m 2 pada skala usaha III. Rumah ulat sutera merupakan tempat pemeliharaan ulat yang di dalamnya terdapat rak pemeliharaan ulat, tempat penyimpanan daun murbei, dan gudang. Tata letak dilakukan sedemikian rupa agar mempermudah pergerakan di dalam rumah ulat. Rumah ulat secara umum dibuat memanjang ke arah utara-selatan. Hal ini dimaksudkan agar penyinaran matahari lebih merata. Menurut Ahdiat 2007, tempat penyimpanan daun murbei harus dipisah dari ruang pemeliharaanpenyimpanan peralatan pengokonan. Selain itu, daun murbei disusun berdiri dan tidak terlalu rapat serta ditutup dengan kain basah blacu. Hal ini tidak dilakukan oleh petani sutera. Daun murbei menjadi sedikit layu dan kurang baik jika dikonsumsi oleh ulat sutera. Ventilasi atau lubang udara dibuat di dinding rumah ulat maupun di bagian atas dinding depan atau belakang rumah ulat. Jumlah dan besar kecilnya ventilasi berbeda pada tiap skala usaha tergantung pada keinginan petani saat pembuatan rumah ulat. Peredaran udara di ruangan menjadi lebih lancar dengan adanya ventilasi ini. Ventilasi dibuat dengan memasang potongan bambu yang disusun vertikal. Antara potongan bambu yang satu dan lainnya berjarak 1 hingga 2 sentimeter. Ventilasi udara ditutupi oleh karung atau plastik mulsa yang dipasang di bagian atas ventilasi seperti yang dilakukan oleh petani skala usaha II dan skala usaha III. Salah satu petani skala usaha II menutupi ventilasi di bagian atas dinding belakang dengan bekas spanduk yang diperoleh dari masyarakat sekitar. Penutupan ventilasi berguna agar ulat tidak terkena udara langsung pada saat malam hari yang dingin. Petani skala usaha I tidak melakukan penutupan pada ventilasi untuk menekan biaya operasional. Gudang memiliki fungsi untuk meletakkan peralatan pemeliharaan budidaya murbei dan peralatan pemeliharaan ulat sutera, di antaranya seriframe, hand sprayer, cangkul, sabit, golok, gaet, pisau rajang, tempat rajang, alat pikul, nanpan, gintiran, stik bambu, sapu lantai, dan lain sebagainya. Gunang berada di dalam rumah ulat bertujuan untuk mempermudah pengambilan peralatan jika dibutuhkan. Sebagian petani meletakkan beberapa peralatan di rumah agar lebih aman. U Keterangan: tanpa sekat ventilasi udara Gambar 5 Layout rumah ulat sutera. Rak ulat digunakan untuk tempat ulat pada saat pemeliharaan. Jumlah rak yang ada di dalam rumah ulat berkisar antara 2 hingga 3 rak. Satu rak terdiri dari 2 hingga 3 lantai. Jumlah rak tergantung pada jumlah ulat yang dipelihara. Rak yang tidak berisi ulat dijadikan tempat untuk meletakkan daun murbei. Daun murbei diletakkan berdekatan dengan ulat agar mudah dalam pemberian pakan sehingga dapat mengefisienkan waktu. Selain itu, rak juga digunakan untuk meletakkan peralatan budidaya murbei dan ulat sutera sehingga tidak memerlukan adanya gudang, seperti yang dilakukan oleh petani sutera skala usaha I dan satu orang petani skala usaha II yang hanya memelihara 1 boks ulat sutera per periode pemeliharaan. R ak u la t R ak u la t R ak u la t G u d a n g Ahdiat 2007 menyatakan bahwa pemberian pakan ulat dilakukan empat kali dalam sehari agar pertumbuhan ulat menjadi lebih optimal yakni pada pagi hari, siang, sore dan malam hari. Petani sutera member makan ulat sebanyak 3 kali dalam sehari, yaitu pada pukul 06.00 WIB, 12.00 WIB, dan pada pukul 17.30 WIB. Pemberian kapur dilakukan setiap hari agar ulat terhindar dari berbagai penyakit yang berasal dari kotoran dan tangkai murbei. Desinfeksi ulat sutera menurut Ahdiat 2007 sebaiknya menggunakan campuran kapur dan kaporit dengan perbandingan 9 : 1. Jumlah desinfektan untuk ulat besar yaitu sekitar 50 gr hingga 60 gr per meter persegi. Pemindahan sebagian ulat dilakukan secara langsung maupun menggunakan nanpan untuk menjaga ruang gerak ulat sutera yang semakin hari bertambah besar. Gambar 6 Ulat sutera yang terkena penyakit. Penyakit yang sering menyerang ulat sutera petani, yaitu grasserie NPV, Infectious Flacherie FV, Aspergillus, Muscardine, pebrin, bakteri, dan keracunan obat-obat pertanian. Gejala NPV pada ulat, yaitu kulit ulat membengkak, ulat membentuk kokon yang lembek dan kemudian mati, dan ulat mati menjadi lembek dan hitam. Gejala ulat yang terkena FV, yaitu nafsu makan berkurang, waktu ganti kulit tidak seragam, dan ulat muntah dan diare. Gejala penyakit Aspergillus, yaitu nafsu makan berkurang, mengeluarkan pencernaan sebelum mati, bangkai larva berwarna kuning atau coklat, dan muncul mycelia pada permukaan ulat yang mati. Gejala penyakit Muscardine, yaitu larva mengeras dan tidak membusuk, kotoran lunak, dan terdapat bintik-bintik besar di permukaan kulit ulat yang masih hidup. Gejala pebrin, yaitu nafsu makan berkurang, warna larva gelap, bintik-bintik coklat kehitaman, larva dewasa berputar-putar tanpa membuat kokon, dan tubuh larva mengkerut, pertumbuhannya terhambat dan kemudian mati. Gejala ulat yang terkena bakteri, yaitu ulat menjadi lemah, metabolism turun, tubuh tidak elastic dan lunak, diare, dan ulat yang mati membusuk berwarna hitam dan mengeluarkan cairan berbau busuk. Sedangkan ulat yang terkena obat-obatan pertanian menunjukkan gejala berupa mengeluarkan cairan getah lambung, kaku, dan sering menggerakkan kepala. Salah satu petani pada skala usaha II membeli daun murbei ke petani yang menanam murbei berdekatan dengan tanaman bakau. Penanggulangan terhadap penyakit yang menyerang ulat sutera menurut Ahdiat 2007 dan Atmosoedarjo et al. 2000, yaitu desinfeksi ruangan dan peralatan pemeliharaan ulat menggunakan larutan kaporit atau formalin sebelum pemeliharaan, larva yang sakit harus dipisahkan dengan ulat yang sehat, memisahkan larva yang terlambat ganti kulit, tidak menggunakan daun yang menguning, layu, dan basah sebagai pakan ulat, tempat pembuangan kotoran ulat harus berjauhan dengan rumah ulat, pemeliharaan ulat tidak terlalu padat, dan tidak menanam murbei berdekatan dengan tembakau. Kebersihan rak pemeliharaan ulat dari kotoran ulat dan sisa makanan ulat berupa ranting murbei kurang terjaga sehingga menjadi sumber penyakit dan menghambat pertumbuhan ulat. Ahdiat 2007 menyatakan pembersihan kotoran ulat instar IV dilakukan pada hari ke dua pemeliharaan dan setelah tidur. Sedangkan pembersihan kotoran ulat instar V dilakukan setiap dua hari sekali atau setiap hari tergantung kondisi kotoran dan sisa makanannya. Cara pembersihan kotoran ulat menurut Ahdiat 2007, yaitu: 1. Cabang daun murbei diletakkan di atas 2 tali yang dipasang secara memanjang. Kemudian cabang murbei digulung setelah ulat naik ke cabang dan sisihkan dari tempat tersebut. 2. Sisa makanan dan kotoran ulat dibuang. Kemudian, gulungan ulat diletakkan kembali dengan memperluas tempat. Penjemuran kokon di bawah terik matahari dilakukan sebelum pemanenan. Hal ini bertujuan agar kokon menjadi kering dan mempermudah pemanenan. Kokon dikeluarkan dari seriframe menggunakan stik bambu. Serabut kokon atau floss dihilangkan dengan cara manual menggunakan tangan. Salah satu petani sutera pada skala usaha II menghilangkan floss dengan menggunakan gintiran yang dibuat sendiri sehingga pekerjaan menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Setelah itu, kokon diletakkan di atas rak pemeliharaan ulat yang telah dibersihkan dengan diberi alas karung. Kokon siap untuk dijual. Pengemasan kokon dilakukan untuk mempermudah pengangkutan ke tempat penjualan, Kecamatan Cibeber. Kokon dimasukkan ke dalam karung berukuran besar yang diikat ujungnya agar kokon tidak berhamburan. Pengangkutan kokon dilakukan dengan menyewa angkutan umum.

6.2.3.5 Peralatan dan Teknologi

Secara umum, peralatan dan teknologi yang digunakan masih sederhana. Untuk membawa hasil panen murbei ke rumah ulat dilakukan dengan pemikulan dengan atau tanpa alat pikul. Salah satu petani skala usaha II menggunakan alat pikul untuk mempermudah pekerjaan. Petani lainnya baik pada skala usaha II maupun skala usaha I dan III mengangkut murbei menggunakan kendaraan bermotor atau dipikul tanpa menggunakan alat pikul tergantung jauh dekatnya letak lahan murbei. Tempat perajang daun murbei yang didesain sendiri digunakan oleh salah satu petani skala usaha II sehingga pekerjaan dapat dilakukan lebih cepat dan lebih baik hasilnya jika dibandingkan dengan cara manual. Petani skala usaha II lainnya maupun petani skala usaha I dan III melakukan perajangan daun murbei tanpa menggunakan alat. Pemanenan kokon pada setiap skala usaha dilakukan secara manual dengan menggunakan stik bambu untuk mengeluarkan kokon dari seriframe tanpa menggunakan peralatan khusus. Petani menghilangkan serabut luar dari kokon floss atau kebatori hanya dengan tangan tanpa menggunakan mesin pembersih serabut kokon floss removal. Salah satu petani skala usaha II menggunakan gintiran untuk menghilangkan floss sehingga mempermudah pekerjaan, lebih cepat diselesaikan, dan lebih banyak menghasilkan kokon tanpa floss. Petani ulat sutera di Kecamatan Sukanagara mendapatkan hibah satu mesin reeling semi otomatis dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur. Namun mesin ini tidak digunakan petani karena kapasitas listrik tidak cukup untuk mengoperasikannya. Untuk menggerakkannya membutuhkan listik minimal 900 Watt. Sedangkan petani hanya menggunakan listrik berkapasitas 450 Watt. 6.2.4 Aspek Manajemen 6.2.4.1 Fungsi Perencanaan Perencanaan mengenai penanaman murbei, pemeliharaan murbei, pemanenan dan pengangkutan murbei, pemeliharaan ulat sutera, dan pemanenan ulat sutera dilakukan oleh petani dengan bekal penyuluhan dan pelatihan yang diperoleh sebelum maupun selama menjalankan usaha budidaya ulat sutera. Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur dan Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam melakukan perencanaan mengenai pengembangan persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara dengan cara memberikan bantuan dana maupun peralatan kepada petani sutera dan bekerjasama dengan dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon. Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam dan CV Batu Gede bekerjasama dalam meningkatkan produktivitas dan mutu kokon dengan melakukan penelitian-penelitian. Perencanaan mengenai cara pembelian bibit ulat sutera, harga bibit ulat sutera, waktu pemeliharaan, dan waktu distribusi atau penjualan kokon dilakukan oleh pihak CV Batu Gede. Perencanaan ini dilakukan berdasarkan waktu pengiriman telur ulat sutera dari PSA Soppeng di Sulawesi Selatan maupun dari PPUS Candiroto di Jawa Tengah, biaya pembelian telur ulat, biaya pengiriman telur, dan ketersediaan pakan ulat kecil milik CV Batu Gede. Sedangkan penentuan harga jual kokon merupakan kesepakatan antara CV Batu Gede dengan petani sutera.

6.2.4.2 Fungsi Pengorganisasian

Pengorganisasian bersifat informal dilakukan oleh ketua umum kelompok tani. Ketua umum kelompok tani bertindak sebagai pemimpin yang menampung aspirasi anggota, menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan pembudidayaan ulat sutera, mengarahkan, mengkoordinir bila ada bantuan dana maupun peralatan budidaya murbei dan pemeliharaan ulat sutera dari pihak- pihak tertentu. Ketua umum kelompok berhubungan langsung dengan pihak CV Batu Gede terkait dengan pemeliharaan ulat sutera dan lainnya. Garis koordinasi dari ketua umum kelompok tani langsung ke ketua kelompok di tiga desa yang berbeda, yaitu kelompok I di Desa Sukamekar, kelompok II di Desa Sukanagara, dan kelompok III di Desa Sukalaksana.

6.2.4.3 Fungsi Pelaksaan

Ketua umum kelompok tani memiliki fungsi menggerakkan bawahannya, bersikap dan berperilaku sesuai dengan yang diperlukan. Ketua kelompok tani di tiap desa mengkoordinasikan setiap informasi yang diterima dari ketua umum kelompok tani dan menyampaikan inspirasi anggota ke ketua umum kelompok tani. Keputusan mengenai perencanaan kegiatan pemeliharaan murbei dan ulat sutera sepenuhnya berada di tangan anggota. Ketua umum kelompok tani dan ketua kelompok tani hanya memberikan saran dan arahan agar kegiatan persuteraan alam berjalan dengan lancar.

6.2.4.4 Fungsi Pengendalian

Fungsi pengendalian dipegang oleh ketua umum kelompok tani dan ketua kelompok tani di setiap desa. Kepala desa dan pemerintah Kecamatan Sukanagara tidak terlibat dalam fungsi pengendalian. Ketua umum kelompok tani melakukan peninjauan langsung ke lokasi pembudidayaan ulat sutera untuk mengetahui pelaksanaan pembudidayaan yang sedang dilakukan yang berkoordinasi dengan ketua kelompok tani. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial tersebut, dapat dikatakan bahwa dilihat aspek manajerial, usaha pembudidayaan ulat sutera ini layak dijalankan. Ketua Umum Kelompok Tani Ketua Ketua Ketua Kelompok Tani I Kelompok Tani II Kelompok Tani III Anggota Anggota Anggota Keterangan: komunikasi informal Gambar 7 Struktur kelompok tani sutera di Kecamatan Sukanagara.

6.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia

Sebagian besar petani mengetahui secara teknik budidaya tanaman dan peternakan secara umum. Adapun untuk detil yang disesuaikan dengan tanaman murbei dan pemeliharaan ulat, para petani diberikan tambahan pengetahuan melalui penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan maupun pelatihan yang didapat oleh petani sutera berasal dari CV Batu Gede, Politeknik Vedca, Dinas Kehutanan Kabupaten Cianjur, Dinas Koperasi Kabupaten Cianjur, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cianjur, Dinas Kehutanan Jawa Barat, Dinas Koperasi Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam, dan Kementrian Perindustrian dan Perdagangan RI. Biaya pelatihan dan penyuluhan tidak ditanggung oleh petani sutera sehingga dalam analisis kelayakan finansial tidak diperhitungkan. Tingkat pendidikan petani sutera berada pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Petani sutera cukup terbuka mengenai informasi- informasi mengenai pembudidayaan ulat sutera. Berdasarkan pengamatan, beberapa petani sutera maupun petani lainnya memiliki mental yang kurang ulet dan cepat putus asa atau cenderung pasrah dengan kondisi yang ada. Hal ini menjadi penghalang majunya persuteraan alam di Kecamatan Sukanagara. Petani sutera kehilangan pasar kokon pada tahun 2003 dengan tidak beroperasinya lagi PT Indo Jado Sutera Pratama. Hal ini membuat sebagian besar petani mengganti tanaman murbei dengan tanaman hortikultura yang lebih jelas keuntungannya. Namun sebagian petani sutera tetap mempertahankan dan menjalankan usaha ini. Pasar internal baru diperoleh dengan adanya CV Batu Gede yang menggantikan peranan PT Indo Jado Sutera Pratama sebagai pemasok bibit ulat sutera dan pembeli kokon. Berdasarkan aspek sumber daya manusia, usaha budidaya ulat sutera layak dilaksanakan meskipun terdapat beberapa kekurangan.

6.2.6 Aspek Sosial

Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Sukanagara berprofesi sebagai petani teh maupun petani hortikultura. Kegiatan budidaya ulat sutera sepenuhnya didukung oleh masyarakat namun dengan memperhatikan limbah ulat sehingga tidak mengganggu kenyamanan masyarakat. Selain itu, pembudidayaan ulat sutera ini tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat dan tidak bertentangan dengan kebudayaan setempat. Usaha ini membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar sehingga dapat menambah pendapatan. Berdasarkan aspek sosial, kegiatan usaha ini layak untuk dilakukan.

6.2.7 Aspek Yuridis

Usaha budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dilakukan perseorangan. Usaha ini belum memiliki izin resmi dari pemerintah setempat. Hal ini dikarenakan usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil. Meskipun belum memiliki izin resmi, pemerintah setempat memperbolehkan usaha ini karena tidak mengganggu kehidupan masyarakat dan tidak berdampak buruk pada lingkungan sehingga usaha ini layak diusahakan. Kegiatan budidaya ulat sutera ini boleh diusahakan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 664Kpts-II2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Persuteraan Alam, Peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor P.47Menhut-II2006, Nomor 29M-IndPer62006, dan Nomor 7PerM.KUKMVI2006 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persuteraan Alam Nasional dengan Pendekatan Klaster, serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35Menhut-II2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

6.2.8 Aspek Lingkungan Hidup

Berdasarkan observasi, kegiatan budidaya ulat sutera yang dijalankan tidak menghasilkan limbah yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan lingkungan. Lahan murbei dapat ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian sehingga potensi lahan dapat dimaksimalkan, keanekaragaman tanaman cukup terjaga, dan menambah pendapatan petani. Selain itu, limbah dari kotoran ulat sutera bisa diolah menjadi pupuk organik yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi tanah dan juga dapat mengurangi biaya pembelian pupuk kandang untuk menyuburkan tanaman murbei. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi di lahan murbei sehingga diketahui dampak lebih lanjut terhadap lingkungan mengingat sebagian besar lahan murbei berada pada kemiringan landai. Berdasarkan aspek lingkungan, budidaya ulat sutera layak diusahakan karena tidak bertentangan dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup meskipun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat erosi dan sendimentasi.

6.3 Analisis Aspek Finansial

Dokumen yang terkait

Pertumbuhan dan Produktivitas Ulat Sutera Bombyx Mori L. (Lepidoptera : Bombicidae) yang Diberi Vitamin B1 Pada Daun Murbei Morus sp.

2 30 91

Efisiensi Konsumsi Pakan Dan Laju Respirasi Ulat Sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera: Bombicidae) Yang Diberi Daun Murbei (Morus sp.) Yang Mengandung Vitamin B1 (TIAMIN)

4 76 78

Perubahan Fenotipe Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Yang Diinduksi Dengan Sinar Ultraviolet (UV) Dan Kariotipe Kromosom

3 59 67

Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin

0 7 250

Analisis kebutuhan pelatihan peternak sapi potong di Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat

1 3 122

Analisis kelayakan fiannsial budidaya ulat sutera (studi kasus pada koperasi petani pengrajin ulat sutera sabilulungan III, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

0 6 67

Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin

0 4 120

Analisis kelayakan usaha peternakan ulat sutera (studi kasus pada peternakan ulat sutera Bapak Baidin, Desa Karyasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor)

1 26 158

Analisis kelayakan usaha budidaya krisan potong di Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur

4 26 119

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) 2.1.1. Klasifikasi Ulat Sutera (Bombyx mori L.) - Pengaruh Kualitas Daun Murbei Morus cathayana Terhadap Indeks Nutrisi Ulat Sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera:Bombicidae)

0 2 10