Studi Kelayakan Usaha Budidaya Ulat Sutera (Bombix mori L.) di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan agroindustri persuteraan alam dilakukan untuk memenuhi permintaan produk berbahan benang ulat sutera dan upaya peningkatan pendapatan masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam skala rumah dengan teknologi yang cukup sederhana, bersifat padat karya, mudah dikerjakan, dan cepat menghasilkan. Hal yang dilakukan mencakup budidaya murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat, produksi kokon, pengolahan kokon, pemintalan benang, dan penenunan.
Peluang pasar produk berbahan benang sutera alam sangat besar. Permintaan produk ini baik di dalam maupun luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun selaras dengan pertambahan penduduk. Kebutuhan benang sutera dunia pada tahun 2008 mencapai 118.000 ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai 700 ton. Jumlah produksi benang sutera dunia terus menurun selama enam tahun terakhir dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton dan Indonesia hanya menghasilkan benang 81,5 ton pada tahun 2008. Indonesia harus mengimpor benang sutera untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Dephut RI 2008).
Peluang Indonesia menjadi pemasok produk sutera alam pada posisi 5 besar dunia bukanlah hal yang tidak mungkin. Kondisi agroklimat sangat mendukung kegiatan budidaya murbei dan ulat sutera. Selain itu, jumlah tenaga kerja, sosial, dan budaya sangat mendukung. Pinjaman modal dari pemerintah daerah setempat pun dapat diperoleh. Namun kenyataannya, perkembangan produksi benang sutera Indonesia dari tahun 2002 hingga tahun 2008 mengalami fluktuasi yang cukup besar (Tabel 1). Produksi benang sutera pada tahun 2002 mencapai 92,54 ton. Selanjutnya mengalami penurunan sampai tahun 2004 sebesar 55,21 ton benang sutera. Penurunan tersebut terjadi karena petani sutera beralih pada usaha tani lain yang lebih menguntungkan. Pada tahun 2005 produksi benang sutera alam Indonesia mengalami peningkatan sebesar 69,45 ton. Permintaan Indonesia terhadap produk benang sutera pun lebih tinggi dari pada penawaran ke pasar dunia (Dephut RI 2008).
(2)
Tabel 1 Produksi benang ulat sutera Indonesia tahun 2002 – 2008 di 20 Provinsi
Provinsi 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) (Ton) Nangroe Aceh Darussalam 1,80 - - - - Sumatera Utara 1,70 2,10 1,72 0,10 0,28 0,28 - Sumatera Barat 0,70 0,13 0,13 - - - 0,01 Sumatera Selatan 0,39 0,35 0,30 - - - - Bengkulu 0,03 0,01 0,02 - - - - Lampung - 0,20 0,13 0,20 0,06 0,06 - Jawa Barat 18,51 1,24 4,07 2,50 0,34 0,34 1,72 Jawa Tengah 15,90 1,75 6,06 4,90 3,17 1,75 DI Yogyakarta 1,10 1,02 0,99 0,30 0,12 0,12 - Jawa Timur 5,12 3,13 0,03 - - - - Bali 0,34 0,43 0,61 0,25 0,01 0,01 0,03 Nusa Tenggara Barat - 0,02 - 0,90 0,01 - 0,01 Nusa Tenggara Timur 0,27 0,03 0,01 0,90 0,01 - 0,04 Kalimantan Timur - 0,02 - - - - - Kalimantan Tengah - - 3,49 - - - - Sulawesi Utara - - - - 0,64 0,64 1,24 Sulawesi Tengah 0,67 0,09 0,18 - 0,05 0,05 0,07 Sulawesi Selatan 46,01 59,25 37,47 59,00 8,94 - 31,55 Sulawesi Tenggara - - - 0,40 - - - Sulawesi Barat - - - - 0,02 0,02 0,43 Jumlah 92,54 88,77 55,21 69,45 13,65 1,52 36,85
Keterangan : -) Tidak ada Kegiatan Sumber : Dephut RI (2008)
Penelitian mengenai kelayakan usaha perlu dilakukan untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu usaha sehingga korbanan biaya yang dikeluarkan tidak menjadi sia-sia. Hal ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menstabilkan dan memajukan persuteraan alam Indonesia yang beberapa tahun terakhir mengalami fluktuasi. Dengan demikian, permintaan benang sutera baik di dalam maupun di luar negeri dapat terpenuhi. Penelitian kelayakan usaha dilakukan dengan menganalisis aspek non finanial (aspek pasar, pemasaran, teknis dan teknologi, manajemen, sumberdaya manusia, finansial, sosial, yuridis, dan aspek lingkungan hidup), aspek finansial (Net Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio, dan Pay Back Period), dan analisis sensitivitas.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha berdasarkan aspek non finansial dan aspek finansial serta mengetahui tingkat kepekaan (sensitivitas) usaha budidaya ulat sutera.
(3)
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Memberikan informasi mengenai kelayakan usaha budidaya ulat sutera.
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan usaha budidaya ulat sutera.
3. Sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan untuk memajukan usaha budidaya ulat sutera Indonesia.
(4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budidaya Tanaman Murbei 2.1.1 Penyebaran
Morus nigra L. adalah satu jenis murbei yang tersebar sangat luas di antara 6 jenis murbei yang didatangkan dari Jawa ke Sulawesi, karena perakaran yang sangat baik. Setelah beberapa percobaan pemupukan, maka
Morus alba L. dipilih untuk disebarluaskan karena menghasilkan daun yang banyak dan berkualitas tinggi. Dalam percobaan yang sama, Morus multicaulis
menghasilkan daun yang banyak juga walau tanpa pemupukan, namun berdaun kasar. Pengklasifikasian tanaman murbei didasarkan perbedaan bentuk dan warna bunga, kuncup, tunas, daun, dan lainnya. Namun ciri daun secara umum, yaitu berlekuk dan daun utuh. Semakin banyak lekukan yang terdapat pada daun maka kualitasnya semakin rendah (Yamamoto 1985 dalam Atmosoedarjo
et al. 2000).
Korea Jepang
M. alba L. Cina India Eropa (Italia, Prancis)
Thailand Semenanjung Melayu Jawa,
Indonesia
Gambar 1 Penyebaran murbei Morus alba L.
Murbei merupakan tumbuhan asli Pegunungan Himalaya. Sekarang, murbei menyebar baik di daerah tropik maupun daerah sub tropik mulai dari ketinggian 0 – 4000 m dpl. Koidzummi membagi marga morus menjadi 29 jenis berdasarkan morfologi bunga pada tahun 1930. Murbei memiliki lebih dari 35 spesies dan sub spesies (Ryu 1998 dalam Atmosoedarjo et al. 2000). Murbei pada dasarnya memiliki bunga kelamin tunggal. Di daerah tropik marga morus pada umumnya hidup di antara 10 LS sampai daerah sub-artik 50
(5)
LU (Kitaura dalam Atmosoedarjo et al. 2000). Berdasarkan long style bunga jantan spesies murbei dikelompokkan ke dalam Dolychostyle dan Macromorus. Perdu ini memiliki tinggi 1,5 m, panjang daun 5 - 10 cm, bercabang, bunga dan buah banyak pada umur 8 bulan (dari stek) atau lebih dari 2 bulan (setelah pemangkasan).
Murbei yang dipilih memiliki sifat-sifat unggul, yaitu menghasilkan daun yang banyak, berkualitas, perkembangan akar baik, memiliki daya tahan tumbuh stek, dan pertumbuhan stek baik. Salah satu persyaratan varietas murbei untuk daerah tropis, yaitu memiliki kemampuan beradaptasi dengan keadaaan alam (suhu, musim, dan lainnya) dan memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit. Tidak kurang dari 100 spesies murbei yang telah dikenali.
Tabel 2 Varietas murbei yang tumbuh baik pada berbagai lokasi ketinggian
Varietas Spesies Negeri asal Tinggi (m dpl) Kanva 3 M. bombycis India 400 – 1200 Cathayana M. alba L. Jepang 200 – 500 Multicaulis M. multicaulis Jepang 700 – 1200 Lembang M. bombycis Indonesia 200 – 500 Khumpai M. bombycis Thailand 200 – 500
Sumber : Ryu (1998dalam Atmosoedarjo et al. 2000)
2.1.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi tanaman murbei untuk kepentingan budidaya ulat sutera sebagai berikut :
Kerajaan : Plantaneae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Morales Famili : Moraceae Genus : Morus
Spesies : Morus alba L., Morus nigra L., Morus cathayana, Morus
(6)
2.1.1.2Morfologi
Daun murbei memiliki petiole yang berada di pangkal daun. Tepat di bawah petiole terdapat stipul berjumlah dua, berdaun tunggal, ada yang bergelombang ada yang tidak, permukaan daun ada yang mengkilap ada yang tidak, tepi daun sebagian besar bergerigi, bentuk daun (berlekuk, bulat lebar, bulat cekung, dan oval), dan berwarna hijau hingga hijau tua.
Batang berwarna coklat, hijau kecoklatan, hijau abu, dan abu-abu. Lentisel ditemukan pada ruas-ruas batang. Antar ruas terdapat buku-buku yang ditumbuhi daun dan mata tunas. Buah didominasi merah. Murbei termasuk tumbuhan yang memiliki perakaran dalam dan sistem akar tunggang.
2.1.1.3 Kandungan Kimia Daun Murbei
Suntana (2008) mengemukakan bahwa setidaknya ada delapan kandungan kimia yang terdapat pada daun murbei dalam satuan persen (%). Kandungan kimiannya terdiri atas kandungan air (74,79%); bahan air (25,21%); protein (7,172%); lemak (1,02 %); serat (3,4%); karbohidrat terlarut (11,31%); mineral (2,3%), dan pre-nitrogen (1,15%).
2.1.2 Syarat Tumbuh
Lokasi penanaman murbei di daerah tropik sebaiknya berada di dataran
tinggi (≥ 700 m dpl) dengan suhu rata-rata berkisar antara 21°C - 25°C. Jika
penanaman murbei ingin dilakukan di dataran rendah (< 700 m dpl) maka perlu memperhatikan suhu dan kelembaban. Pertumbuhan murbei akan baik bila ditanam tanpa naungan. Tanaman ini harus ditanam pada lahan yang memiliki drainase yang baik atau tidak tergenang dan ber-pH netral (Suntana 2008).
2.1.3 Pembibitan
Murbei varietas lokal mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat secara baik. Bila produksi daun varietas lokal rendah maka bisa didatangkan dari luar yang bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru. Sumber bibit murbei dapat diperoleh dari seedling, hasil sambungan (grafting), bibit dari
(7)
layering (layerages), stek batang, stek daun, dan kultur jaringan. Namun bibit yang banyak digunakan berasal dari stek batang yang mudah dan tidak memerlukan biaya yang mahal dalam pengadaannya. Stek batang yang akan dijadikan bibit memiliki ciri-ciri panjang ± 20 cm berdiameter ≥ 1 cm dan mata tunas berjumlah 3 sampai 4 mata. Stek diambil dari bagian pangkal cabang yang berumur empat sampai enam bulan. Bagian ujung stek dipotong mendatar dan bagian bawah dipotong diagonal. Daun yang ada pada stek harus dibuang secara hati-hati agar kuncup lateral tidak rusak. Stek siap untuk ditanam.
Suntana (2008) menyatakan varietas murbei unggul dan dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan Indonesia, sebagai berikut:
1. Kanva II: Tahan terhadap penyakit tukra dan hama kutu (Mealy bug), tahan kekeringan dan layak dikembangkan di ketinggian 400 - 1200 m dpl. Produksinya mencapai 48 ton per Ha per tahun.
2. Katayana: Peka terhadap jamur, tahan terhadap serangan hama serta tahan kekeringan. Layak dikembangkan di ketinggian 200 - 500 m dpl. Produksi mencapai 45 ton per Ha per Tahun.
3. Morus multicaulis: Tahan terhadap berbagai penyakit tetapi peka terhadap serangan ulat pucuk, sedikit tahan terhadap kekeringan dan layak dikembangkan di ketinggian 700 - 1200 m dpl. Produksi mencapai 42 ton per Ha per Tahun.
4. Lembang: Tahan terhadap hama serta tahan terhadap kekeringan. Layak dikembangkan di ketinggian 200 - 500 m dpl. Produksi daun 42 ton per Ha per tahun.
5. Kunpai: Tahan hama dan penyakit serta tahan terhadap kekeringan. Layak dikembangkan di ketinggian 200 - 500 m dpl. Produksi 33 ton per Ha per tahun.
2.1.4 Persiapan Lahan
Kegiatan persiapan lahan memiliki tujuan untuk menyediakan media tumbuh yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Persiapan lahan yang dilakukan, yaitu pembersihan lahan, pengolahan tanah, dan pembuatan lubang.
(8)
2.1.4.1 Pembersihan Lahan
Pembersihan lahan dapat dilakukan secara manual maupun kimia. Pembersihan secara manual dilakukan dengan cara membabat semak belukar, alang-alang, dan penebangan pohon selain kanan kiri sungai sepanjang 100 m untuk sungai besar dan 50 m untuk aliran anak sungai. Hasil babatan bisa dibakar secara terkendali dengan membuat sekat bakar selebar 2-3 m maupun dijadikan kompos. Pembersihan lahan secara kimia dilakukan dengan cara penyembrotan herbisida dengan dosis 10 lt/ Ha, pada lahan berpopulasi perdu jarang dan kondisi alang-alang masih relatif pendek. Pencegahan penyakit akar dilakukan dengan menyemprot tanah dengan bakterisida (pada tanaman murbei lama di lahan bekas kebun murbei) (Atmosoedarjo et al. 2000).
2.1.4.2 Pengolahan Tanah dan Pembuatan Lubang
Pengolahan tanah dilakukan dengan pencangkulan dan pembuatan lubang sedalam 50 cm. Hal ini dilakukan karena murbei memiliki perakaran yang dalam hingga mampu mencapai kedalaman tanah lebih dari 1 meter. Lubang tanaman dapat dibuat dalam bentuk bujur sangkar (parsial) maupun berbentuk parit (memanjang). Pembuatan lubang berbentuk bujur sangkar dilakukan bila jarak barisan lebar dengan lubang berukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm atau 40 cm x 40 cm x 40 cm. Pemberian kompos atau pupuk kandang matang ke dalam lubang dilakukan dua minggu kemudian. Setelah itu dilakukan pengadukan dengan lapisan top soil, ditimbun dengan lapisan sub soil, dan diberi tanda ajir. Penanaman dilakukan setelah dua minggu kemudian (Atmosoedarjo et al. 2000).
Pembuatan lubang dengan sistem parit dilakukan bila jarak barisan cukup rapat dan ukuran lubang tanam cukup lebar. Pada lahan datar dilakukan pencangkulan tanah sepanjang baris tanaman dengan lebar 40 cm dan dalam 40 - 45 cm. Pemupukan dilakukan setelah dua minggu kemudian dengan 40 Kg kompos atau pupuk kandang yang matang di setiap 160 meter parit. Peratakan dan pengadukan dilakukan dengan lapisan top soil dan
(9)
ditutup dengan tanah sub soil. Penanaman dilakukan setelah dua minggu kemudian.
Ajir tanaman sebagai penanda barisan diletakkan pada daerah yang memiliki ketinggian yang sama di lahan miring. Top soil yang berada di sebelah atas lubang dimasukkan ke dalam lubang, kemudian dilakukan pengadukan dengan pupuk organik dan menimbun lubang dengan lapisan sub soil. Bila tanah dalam keadaan basa maka dinetralkan dengan pemberian kapur secukupnya. Tanah disepanjang barisan tanaman dibuat gundukan. Saluran pembuangan air dibuat memotong barisan tanaman atau parit dengan interval +100 meter.
2.1.5 Penanaman
Setelah rorak atau lubang dibuat maka dua minggu kemudian proses penanaman stek dapat dilakukan. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan agar pertumbuhan akar cukup kuat bertahan di musim kemarau. Stek yang ditanam merupakan stek yang tidak terserang penyakit dan diupayakan menanam stek yang memiliki ukuran yang sama agar pertumbuhannya seragam dan jumlah daun yang dipanen tidak berkurang.
2.1.6 Pemeliharaan 2.1.6.1 Penyiangan
Pemeliharaan tahap awal setelah penanaman yaitu penyiangan gulma. Hal ini dilakukan agar tanaman murbei tidak terhambat pertumbuhannya karena adanya persaingan dengan gulma. Penyiangan dilakukan pada saat gulma mulai tumbuh. Pada musim hujan penyiangan dilakukan sebulan sekali. Penyiangan kedua dilakukan setelah tiga bulan dari masa penanaman. Penyiangan dapat dilakukan dengan cara manual maupun menggunakan traktor tergantung luasan kebun murbei. Laju pertumbuhan gulma dapat ditekan dengan pemulsaan menggunakan 1,5 ton mulsa per 0,1 Ha. Cara lain menggunakan film polyethylene yang harus diganti setahun sekali. Cara ini memerlukan dana yang sangat mahal (Atmosoedarjo 2000).
(10)
2.1.6.2 Pendangiran
Pendangiran memiliki tujuan agar tanah menjadi gembur sehingga asupan oksigen di dalam tanah cukup, perakaran berkembang baik, penyerapan mineral dan hara menjadi mudah, kehidupan jasad renik terangsang, dan dekomposisi bahan organik dipercepat. Pendangiran pertama dilakukan pada saat pembuatan rorak atau lubang hingga kedalaman 50 cm. Pendangiran selanjutnya dilakukan pada saat tanaman berumur 5 bulan dan 2 tahun (Atmosoedarjo et al. 2000).
2.1.6.3 Pemupukan
Pemupukan dilakukan agar kandungan hara di dalam tanah terjaga sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pemupukan pertama dilakukan pada saat pembuatan rorak dengan menggunakan 1,5 ton kompos per 0,1 Ha lahan. Pemupukan selanjutnya dilakukan pada tanaman berumur 5 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun dengan pupuk N (30 kg/0,1 Ha), P (14 – 16 kg/0,1 Ha), dan K (12 -20 kg/Ha). Pemupukan pertama dilakukan dengan cara bergaris di samping bibit murbei. Pada tahun kedua tanaman dipupuk di antara larikan murbei. Pemupukan dilakukan dengan cara membenamkan ke dalam tanah (Atmosoedarjo et al. 2000).
2.1.6.4 Pemangkasan
Pemangkasan memiliki tujuan untuk merangsang pertumbuhan cabang baru, meningkatkan kualitas dan kuantitas daun, dan mempermudah pemanenan daun. Pemangkasan pertama menurut Japan International Cooperation Agency (1981) dalam Atmosoedarjo et al. (2000) dilakukan setelah tanaman berumur ± 9 bulan. Tunas baru akan merekah dalam jangka waktu ±10 hari. Pemangkasan harus dilakukan secara hati-hati, teratur, dan disesuaikan dengan keadaan lingkungan sehingga kematian akibat banyaknya zat cair (getah) yang keluar dari tubuh murbei dapat meminimalkan.
(11)
Metode pemangkasan menurut Japan International Cooperation Agency (1981) dalam Atmosoedarjo et al. (2000) terbagi dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1. Pangkas rendah
Pemangkasan dilakukan setinggi 10 – 30 cm dari permukaan tanah. Pangkas rendah memberikan keuntungan berupa produksi daun yang dihasilkan lebih banyak, ukuran cabang dan daun seragam, pengendalian hama dan penyakit mudah, kandungan air tinggi, dan pemungutan daun lebih mudah. Namun pemeliharaan murbei terhadap gulma harus seefisien mungkin. Pangkas rendah tidak cocok dikembangkan di daerah yang mudah tergenang air.
2. Pangkas sedang
Pemangkasan dilakukan setinggi 70 – 100 cm dari permukaan tanah. Keuntungan yang diperoleh dari pemangkasan ini yaitu perakaran tanaman menjadi dalam dan tidak mudah terserang penyakit.
3. Pangkas tinggi
Tanaman dipangkas setinggi 120 – 150 cm dari permukaan tanah. Dari satu batang tanaman disisakan 2 – 3 tunas dan setiap tunasnya terdapat 3 cabang. Waktu pemanenan daun menjadi cukup lama dan sulit dilakukan.
2.1.7 Pemanenan
Daun dipetik dari cabang murbei satu persatu bersama petiol. Sedangkan cabang murbei tetap tumbuh dalam pohon. Panen semacam ini biasanya dilakukan untuk pengadaan pakan ulat kecil atau pengendalian hama penyakit. Pada penyediaan pakan bagi ulat besarpun dapat diterapkan, apabila cabangnya diarahkan untuk pengadaan bibit (stek). Kelebihan panen secara rempel adalah daun yang dipanen umumnya sehat, karena pada saat panen hanya daun yang baik yang dipetik. Kelemahannya boros tenaga kerja (Atmosoedarjo et al. 2000).
(12)
2.2 Budidaya Ulat Sutera Bombyx mori Linnaeus 2.2.1 Biologi Ulat Sutera
Ulat sutra (Bombyx mori L.) merupakan larva kupu-kupu yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai penghasil serat atau benang sutra. Ia berasal dari utara Tiongkok. Telur ulat sutra membutuhkan waktu sekitar 10 hari untuk menetas. Ulat sutra menghasilkan kepompong sutra mentah, yang setelah dipintal bisa menghasilkan benang sutra sepanjang 300 hingga 900 m per kepompong. Seratnya berdiameter sekitar 10 mikrometer. Sebagaimana umumnya larva atau ulat, ulat sutra sangat rakus yang makan sepanjang siang dan malam sehingga tumbuh dengan cepat (Wikipedia 2006).
Adapun klasifikasi ulat sutera sebagai berikut: Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Familia : Bombycidae Genus : Bombyx
Spesies : Bombyx mori Linnaeus
Telur ulat pada umumnya berbentuk bulat pipih dengan lebar 1 mm, panjang 1,3 mm, tebal 0,5 mm, dan berat sekitar 0,5 mg. Ukuran dan berat telur sedikit bervariasi berdasarkan ras dan lingkungan pemeliharaan induk. Satu induk menghasilkan sekitar 500 butir dengan warna kuning muda yang akan berubah menjadi warna abu-abu atau kehijauan. Warna telur tergantung ras atau galur (Atmosoedarjo et al. 2000).
Larva sutera yang baru menetas memiliki seta yang banyak, umumnya berwarna hitam, dan panjang 3 mm. Satu hari kemudian, panjang tubuh menjadi 7 mm dan permukaan kulit mengkilap. Seta terlihat kurang jelas pada umur 2 hari. Setelah itu ulat berhenti makan selama 24 jam dan berganti kulit (ekdisi). Pergantian kulit larva berlangsung 4 kali dengan 5 periode makan disebut instar. Panjang larva maksimum mencapai 70 mm pada instar V. Pada instar ini, larva banyak makan. Larva yang telah berkembang penuh, berhenti
(13)
makan, dan kulit menjadi transparan diletakkan pada alat pengokonan. Larva berhenti mengeluarkan serat sutera dalam 2 hari dan berubah menjadi pupa 24 jam kemudian. Kupu dewasa keluar setelah melalui tahap stadia pupa selama 3 hari dan masa dewasa awal selama 5 hari (Tajima 1978 dalam Atmosoedarjo et al. 2000).
2.2.2 Pemeliharaan Ulat Sutera 2.2.2.1 Pemeliharaan Ulat Kecil
Suhu dan kelembaban nisbi di dalam ruangan pemeliharaan pada instar I berkisar 27 – 28°C dan 90 %. Pada instar II dan II, suhu ruangan diusahaan sekitar 26 – 27°C dan 25°C. Sedangkan kelembaban nisbi untuk instar II dan III berkisar 85 % dan 80 % (JOCV 1975 dalam Atmosoedarjo
et al. 2000). Ruangan memiliki kualitas udara dan aliran udara yang baik serta pencahayaan yang cukup.
Metode pemeliharaan ulat kecil menurut Atmosoedarjo et al. (2000) diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pemeliharaan dalam kotak dan pemeliharaan tertutup dengan kertas kedap, tergantung pada cara penutupan tempat pemeliraan,
2. Pemeliharaan dengan daun ranjang, tunas yang dirajang, tergantung pada cara persiapan pakan,
3. Pemeliharaan dalam rak, papan gantung, dan pemeliharaan mekanis, tergantung padatipe tempat pemeliharaan yang dipakai, dan
4. Pemeliharaan oleh perorangan atau bersama-sama.
Kesehatan ulat sutera pada instar 1 hingga instar III sangat diperhatikan dengan pemberian daun murbei yang berkualitas dengan nilai gizi yang baik. Oleh karena itu, pembuatan kebun murbei khusus ulat kecil perlu dilakukan. Pemetikan pucuk daun murbei pada tunas muda sampai daun kelima dan ke enam cocok dikonsumsi oleh instar I, sampai daun ke enam dan ke tujuh untuk instar II, dan sampai daun ke tujuh dan ke delapan untuk instar III. Pemungutan dilakukan pada pagi hari, disimpan di tempat yang sejuk, dan dibasahi dengan air (Atmosoedarjo et al. 2000).
(14)
Nafsu makan ulat pada permulaan instar tidak begitu tinggi, meningkat dalam pertumbuhan selanjutnya, dan menurun pada akhir setiap instar. Pemberian pakan ulat disesuaikan dengan perkembangan ini. Rata-rata jumlah daun yang dibutuhkan untuk satu kotak berisi 20.000 telur, yaitu sebanyak 2,080 gr untuk instar I; 5,600 gr untuk instar II, dan 10,800 gr untuk instar III (AICAF 1995 dalam Atmosoedarjo et al. 2000).
2.2.2.2 Pemeliharaan Ulat Besar
Instar IV dan V termasuk dalam fase ulat besar tetapi berbeda secara fisiologis. Pada instar IV, kesehatan sangat diperhatikan seperti pada instar sebelumnya. Pemeliharaan lingkungan dilakukan agar ulat tidak terkena penyakit dengan suhu dan kelembaban yang cocok dan kesediaan pakan yang bergizi tinggi. Sedangkan instar V merupakan fase yang penting dalam produksi ulat sutera. Kelenjar sutera cepat bertambah hingga 40% (Atmosoedarjo et al. 2000).
Pemanfaatan daun murbei dilakukan secara efisien dan tenaga kerja dihemat untuk kegiatan panen daun dan pemberian pakan. Ulat sutera tidak tahan terhadap suhu dan kelembaban yang tinggi serta peredaran udara yang buruk. Cairan tubuh berkurang bersamaan dengan nafsu makan yang luar biasa. Oleh karena itu, ventilasi yang baik diperlukan untuk membuang uap air dan gas-gas berbahaya yang ditimbulkan dari kotoran.
Metode pemeliharaan ulat besar menurut Atmosoedarjo et al. (2000), di antaranya:
1. Pemeliharaan dengan tunas,
2. Pemeliharaan dengan daun utuh (tanpa dicacah),
3. Pemeliharaan dengan potongan tunas yang tergantung pada: a. Pakan yang diberikan,
b. Pemeliharaan dalam rak (shelf rearing), c. Pemeliharaan mendatar,
(15)
2.2.3 Pengokonan
Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa pengokonan yang dilakukan pada sesaat belum dewasa atau sesaat lewat matang membuat daya pintal dan panjang filamen yang didapat menjadi berkurang. Jika ulat sutera yang lewat masa dewasa maka kokon yang dibuat menjadi rangkap (kokon yang dibuat oleh dua ulat).
Fase yang cocok untuk pengokonan, yaitu pada saat ulat mencapai dewasa sempurna. Pencapaian masa ini ditandai dengan berkurangnya ukuran tubuh ulat, kotoran yang menjadi lunak, ulat berhenti makan, dan mulai berputar-putar dengan mengangkat kepala dan badannya. Ulat mulai naik vertikal dengan geotropisme yang negatif. Badan ulat tampak transparan. Badan mulai berwarna kuning atau kecoklatan pada ulat sutera multivoltin (Atmosoedarjo et al. 2000).
Material dan struktur tempat pengokonan mempengaruhi kualitas kokon, filamen, dan tenaga kerja untuk mengokonkan dan panen kokon. Tempat pengokonan yang baik memenuhi persyaratan, di antaranya kuat, struktur cocok untuk pengokonan, mampu mengontrol kelembaban, memberi kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokon, dan mudah dalam proses pemanenaan kokon. Tempat pengokonan diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan strukturnya, yakni yang berputar (rotary), yang berombak, bambu spiral, yang terbuat dari plastik, dan lainnya (Atmosoedarjo
et al. 2000).
Metode mengokonkan (mounting) dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Cara yang selama ini digunakan, yaitu pemungutan langsung menggunakan tangan, guncangan tunas, maupun guncangan tunas yang diikuti dengan pengokonan alami. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan (Atmosoedarjo et al. 2000).
(16)
2.2.4 Pemanenan Kokon
Pemanenan baik dilakukan pada hari ke enam dan ke tujuh setelah mulai mengokon dengan suhu lingkungan berkisar 24 - 27°C. Pada saat dipanen pupa telah terbentuk dengan warna coklat dan kulitnya telah cukup keras sehingga tidak mudah pecah (Atmosoedarjo et al. 2000).
Untuk pemanenan kokon pada tempat pengokonan berputar dilakukan dengan melepas tempat pengokonan dan bagian-bagiannya diperiksa dengan arah melihat melawan cahaya. Kokon yang kotor dan pupa yang mati dibuang. Kokon yang baik dipanen dengan menggunakan alat pelepas kokon. Kokon yang telah dipanen dibersihkan dari serabut serat sutera (floss) yang dapat mengadopsi air dari udara dan menurunkan mutu kokon dengan alat pembersih serabut kokon (floss removal) yang dapat digerakkan dengan tangan, kaki atau motor listrik (Atmosoedarjo et al. 2000).
2.2.5 Penyakit dan Hama
Penyakit yang biasanya menyerang ulat sutera disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa, dan bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, antara lain penyakit Grasserie (Borcelia virus), penyakit Cytoplasmic Polyhedrosis Virus atau CPV (Smithia virus), dan penyakit Infectious Flacherie (Morator virus). Penyakit yang disebabkan oleh cendawan, antara lain penyakit Aspergillus (Aspergillus oryzae) dan penyakit Muscardine (Beauveria bassiana, Spicaria prasina, dan Isaria farinosa). Penyakit protozoa disebabkan oleh patogen Microsparidia jenis Nosema bombycis. Dan penyakit yang disebabkan oleh bakteri terjadi kalau kondisi pemeliharaan buruk sehingga ketahanan ulat sutera terhadap bakteri akan lemah dan metabolism menurun Hama yang menyerang ulat sutera, yaitu semut, tikus, cicak, tokek, dan kadal (Ahdiat 2007).
2.3 Penelitian Terdahulu
Afrilia (2004) meneliti tentang kelayakan pendirian usaha ternak ulat sutera di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan mengetahui kelayakan usaha ternak ulat. Indikator kelayakan usaha ulat sutera menggunkan nilai NPV, IRR, dan BCR dengan suku
(17)
bunga tabungan sebesar 12 persen. Peternak ulat sutera di kecamatan ini dibagi dalam tiga kelompok menurut rata-rata luas lahan yang digunakan untuk usaha ternak ulat sutera, yaitu rata-rata luas lahan 0,06 hektar (< 0,09 hektar); 0,15 hektar (0,09 - 0,20 hektar); dan 0,4 hektar (> 0.2 hektar). Umur usaha ulat sutera dianalisis selama 10 tahun didasarkan pada pertimbangan umur teknis tanaman murbei.
Nilai NPV masing-masing adalah Rp. 747.653,39; Rp. 6.117.546,15 dan Rp. 11.443.982,51 menunjukan bahwa nilai NPV > 0, jadi kriteria kelayakan nilai NPV telah terpenuhi. Nilai BCR yang diperoleh masing-masing usaha ternak ini layak secara finansial untuk diusahakan (BCR>1). Nilai BCR pada rata-rata luas lahan usaha ternak 0,06 hektar; 0,15 hektar dan 0,4 hektar masing-masing adalah 1,16 hektar; 1,60 hektar dan 1,51 hektar. Nilai IRR yang diperoleh juga menunjukan bahwa usaha ternak ini layak untuk diusahakan. Nilai IRR pada rata-rata luas lahan 0,06 hektar; 0,15 hektar dan 0,4 hektar masing-masing adalah 21,42 persen; 41,15 persen; dan 44,74 persen. Usaha ulat sutera tetap layak secara finansial untuk diusahakan pada sensitivitas harga input variabel naik 10 persen dan harga kokon turun 10 persen. Sensitivitas harga kokon turun 10 persen lebih berpengaruh pada indikator kelayakan usaha ternak ulat sutera. Usaha ulat sutera yang paling layak secara finansial untuk diusahakan adalah usaha ternak dengan luas lahan rata-rata 0,40 hektar.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada aspek kajian. Selain nilai NPV, IRR, BCR, dan sensitivitas, peneliti juga memperhitungkan payback period sehingga diketahui waktu pengembalian investasi dari proyek yang dijalankan. Penelitian ini dilakukan di tempat yang berbeda, yaitu daerah Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat sehingga diketahui kelayakan usaha budidaya ulat sutera di daerah tersebut.
(18)
BAB III
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Letak Geografis dan Luas
Kecamatan Sukanagara secara administratif termasuk dalam Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Letak Kabupaten Cianjur secara geografis berada pada 106°42’ – 107°25’ BT dan 6°21’ – 7°25’ LS. Kecamatan sukanagara berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Campaka Mulya di sebelah utara, Kecamatan Pagelaran dan Kecamatan Campaka Mulya di sebelah timur, Kecamatan Kadupandak dan Kecamatan Pagelaran di sebelah selatan, serta Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Takokak di sebelah barat. Jarak kecamatan Sukanagara dari Ibukota Kabupaten Cianjur, yaitu 50 kilometer dengan jarak tempuh 2 jam perjalanan (Edi 2009).
Tabel 3 Penutupan lahan di Kecamatan Sukanagara bulan April 2009
Desa Pemukiman Pertanian* Perkebunan Hutan Lain-Lain Jumlah
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
Sukanagara 147,380 219,957 1.070,628 55,535 3,500 1.497,000 Sukamekar 1.043,690 572,748 548,000 773,000 15,200 2.952,638 Sukakarya 49,749 28,744 1.668,012 50,000 3,840 1.800,345 Sukajembar 40,520 162,225 560,900 1.851,694 11,260 2.626,599 Cigunung 71,060 71,346 99,600 22,500 3,600 1.164,106 Gunungsari 36,442 157,615 1.137,527 1.277,518 0,830 2.609,932 Sukalaksana 35,310 200,180 239,530 168,030 3,200 646,250 Sukarame 15,541 293,394 265,000 - 3,670 577,605 Sidangsari 18,500 66,300 1.041,330 50,000 3,180 1.179,310 Jayagiri 28,715 147,131 935,950 - 8,207 1.120,003 Jumlah 1.486,907 1.919,64 8.462,477 4.248,277 56,487 16.173,788
Sumber: Edi (2009)
Keterangan: Lain-lain = lapangan olah raga, kolam, dan rawa * = pertanian, termasuk sawah dan tegalan
Luas Kecamatan Sukanagara ± 16.173,788 hektar yang berada di ketinggian lebih dari 700 – 1.010 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar lahan di Kecamatan Sukanagara berupa perkebunan seluas 4.248,277 hektar. Perkebunan yang diusahakan berupa perkebunan teh milik swasta maupun perhutani. Penggunaan lahan terbesar kedua berupa areal hutan seluas 4.248,277
(19)
hektar yang merupakan hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi yang diusahaan oleh perhutani. Areal pemukiman warga dibangun pada lahan seluas 1.486,907 hektar (Tabel 3).
3.2 Tanah dan Geologi
Jenis tanah yang ada di Kecamatan Sukanagara, yaitu latosol. Jenis tanah vulkanik muda dengan kelapukan tinggi membuat daerah ini rawan terhadap bencana longsor. Tekstur tanah sebagian besar lempung hingga geluh dengan struktur remah hingga gumpal lemah dan konsistensi gembur. Tingkat kesuburan tanah tergolong cukup tinggi dengan lapisan tanah organik (top soil) yang dalam. Topografi secara umum bergelombang dan berbukit-bukit dengan kemiringan 15 – 45 persen. Kecamatan Sukanagara termasuk ke dalam lempeng Indo-Australia. Pergerakan tanah berpotensi rendah hingga sangat tinggi.
3.3 Iklim
Wilayah Kecamatan Sukanagara menurut klasifikasi Koppen termasuk pada iklim tipe A (iklim tropika basah). Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, Kecamatan ini termasuk pada Zona D dengan jumlah bulan basah 3 – 4 kali berturut-turut. Curah hujan bulanan rata 1.000 mm dengan suhu harian rata-rata 19,7 °C – 23,3 °C. Daerah ini beriklim humud-tropik tanpa bulan kering.
3.4 Kependudukan
Kecamatan Sukanagara terdiri atas 10 desa, 59 RW, dan 267 RT. Pemeliharaan ulat sutera berada di Desa Sukanagara, Desa Sukamekar, dan Desa Sukalaksana. Jumlah penduduk Kabupaten Cianjur sebanyak 2.171.281 jiwa yang terdiri dari 1.123.091 laki-laki dan 1.048.190 perempuan (BPS 2010). Jumlah penduduk Sukanagara sebesar 47.311 jiwa. Sebagian penduduk merupakan suku sunda dan 5 persen di antaranya merupakan pendatang bersuku jawa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian.
(20)
3.5 Sarana dan Prasarana
Kecamatan Sukanagara dilalui oleh jalur utama Provinsi Cianjur dengan mobilitas kendaraan hampir terjadi setiap waktu. Jalan utama kecamatan telah diaspal sedangkan jalan desa berbatu dengan kondisi yang cukup baik. Alat transportasi mudah ditemukan, di antaranya bus, mobil elf, mobil L300, angkutan kota, dan jasa ojek di titik-titik tertentu. Kegiatan masyarakat setempat didukung dengan banyaknya pilihan angkutan umum dan kondisi jalan yang memadai.
Sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Sukanagara, antara lain sekolah atau lembaga pendidikan, fasilitas kesehatan, tempat peribadatan, koperasi, dan pasar (Tabel 4). Lembaga pendidikan yang ada di Kecamatan Sukanagara terdiri dari 20 kelompok Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 35 Sekolah Dasar atau Ibtidaiyah, 4 Sekolah Menengah Pertama, 3 Tsanawiyah, 6 kelas jauh, 1 Sekolah menengah Tinggi, 1 Sekolah Menengah Kejuruan, 1 Aliyah, dan 7 pondok pesantren. Fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah kecamatan, yaitu 1 puskesmas, 3 pustu, 3 Puskesdes, 2 klinik, dan 66 kelompok Posyandu. Tenaga kesehatan yang tersedia berjumlah 95 orang yang terdiri dari 1 dokter umum, 1 dokter gigi, 1 asisten dokter gigi, 1 ahli gizi, 12 bidan, 14 perawat, dan 65 dukun beranak. Tempat peribadatan yang tersedia terdiri dari masjid berjumlah 119 buah, langgar 323 buah, dan mushola 9 buah. Terdapat 4 pasar tradisional yang terdiri dari 1 pasar kecamatan dan 3 pasar desa.
Tabel 4 Sarana dan prasarana umum di Kecamatan Sukanagara
Uraian Jumlah
Lembaga Pendidikan 78
Kesehatan 75
Tempat Ibadah 451
Koperasi 1
Pasar 4
(21)
3.6 Sejarah dan Perkembangan Usaha
Perseroan Terbatas Indo Jado Sutera Pratama yang berdiri pada tahun 1997 ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pemintalan dengan menggunakan mesin-mesin otomatis. Perusahaan ini mengajak masyarakat yang tinggal di Sukanagara untuk bekerjasama dalam usaha budidaya ulat sutera. Perusahaan ini menyediakan bibit ulat ke petani sekaligus menjadi penjamin pasar. Kondisi fisik Kecamatan Sukanagara sangat mendukung perkembangan usaha ini dengan tersedianya tenaga kerja, dan dapat meningkatkan pendapatan.
Petani di Sukanagara dibedakan atas tiga kelompok yang tersebar di 3 desa, yakni Sukanagara, Sukamekar, dan Sukalaksana. Pembentukkan kelompok dilakukan untuk mempermudah koordinasi antar petani yang terletak di tiga desa yang berbeda. Kelompok I berasal dari Desa Sukamekar yang terdiri dari 8 orang. Kelompok II berasal dari Desa Sukanagara terdiri dari 9 orang. Dan kelompok III berasal dari Desa Sukalaksana terdiri dari 10 orang.
Peminjaman modal usaha PT Indo Jado Sutera Pratama untuk kegiatan pembuatan kebun murbei, rumah ulat sutera, dan peralatan yang digunakan untuk memelihara kebun murbei dan ulat sutera. Pengembalian pinjaman dilakukan berangsur-angsur per bulannya disesuaikan dengan hasil panen kokon. Sebelum melakukan usaha, para petani mendapat pelatihan gratis mengenai usaha budidaya ulat sutera yang diadakan oleh PT Indo Jado Sutera Pratama dan instansi terkait.
Kerjasama ini berlangsung hingga tahun 2003. Terputusnya kerjasama ini dikarenakan bangkrutnya PT Indo Jado Sutera Pratama. Bangkrutnya perusahaan ini disebabkan oleh kurangnya bahan baku usaha yang berasal dari benang ulat sutera padahal kapasitas produksi mesinnya sangat besar. Petani sutera kehilangan pemasok bibit ulat sutera sekaligus penjamin pasar mereka sehingga kegiatan budidaya ulat sutera mengalami kemunduran. Banyak petani mengganti tanaman murbei dengan sayur-mayur untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual. Sempat menjadi kekuatiran petani jika peminjaman modal harus segera dikembalikan. Namun PT Indo Jado Sutera Pratama tidak meminta pengembalian pinjaman modal dari petani karena mengerti kondisi keuangan petani.
Keadaan kembali membaik dengan adanya CV Batu Gede yang menjadi pemasok bibit ulat sutera menjamin pasar bagi petani ulat sutera di Kecamatan
(22)
Sukanagara, kabupaten Cianjur. Kondisi ini merupakan peluang sekaligus tantangan bagi CV Batu Gede yang terletak di Kecamatan Ciapus, Kabupaten Bogor. Selain bermitra dengan petani sutera dari Cianjur, CV Batu Gede juga menjalin kerjasama dengan petani yang berada Sukabumi, dan Bogor. Hal ini dilakukan karena petani ulat sutera di tiga daerah tersebut telah punya pengalaman dalam pembudidayaan.
Sebagian petani tidak mau melakukan usaha budidaya ulat sutera karena untuk membangun kebun murbei dan ulat sutera memerlukan biaya yang tidak sedikit. Beberapa petani tetap mempertahankan kebun murbei untuk dijual daunnya. Namun sebagian lagi melanjutkan usaha ini karena mereka masih memiliki harapan untuk dapat meningkatkan taraf hidup. Pelatihan dan penyuluhan juga dilakukan oleh CV Batu Gede.
Para petani yang masih bergelut di usaha ini berharap bisa mengembangkan usaha berupa perluasan kebun murbei dan penambahan jumlah boks bibit ulat yang dipelihara yang tentu saja harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Harapan lainnya yaitu meningkatkan nilai tambah dengan menjual produk benang bukan kokon.
(23)
BAB IV
KERANGKA PEMIKIRAN
4.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 4.1.1 Studi Kelayakan Usaha
Proyek atau usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat (benefit) dengan menggunakan sumberdaya yang ada (Kadariah et al. 1999). Studi kelayakan proyek dilakukan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu proyek (biasanya berupa proyek investasi) yang telah dilaksanakan (Husnan dan Suwarsono 2008). Pihak swasta menilai keberhasilan suatu proyek dilihat dari manfaat ekonomis dari investasi. Sedangkan lembaga non profit seperti pemerintah, menilai keberhasilan suatu proyek bukan hanya dilihat dari manfaat ekonomisnya saja melainkan manfaat lainnya seperti penyerapan tenaga kerja dari masyarakat.
Komponen biaya dan manfaat diukur dalam menilai suatu proyek. Biaya dapat diartikan sebagai korbanan ekonomis yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan. Sedangkan manfaat merupakan segala sesuatu yang membantu maupun yang dapat menimbulkan kontribusi tercapainya suatu tujuan. Biaya dapat menimbulkan pengurangan terdapat manfaat yang diperoleh dari suatu proyek.
4.1.2 Aspek-Aspek Studi Kelayakan Usaha
Husnan dan Suwarsono (2008) menyatakan bahwa belum ada kesepakatan mengenai berbagai aspek yang perlu diteliti dalam studi kelayakan hingga saat ini. Aspek-aspek studi kelayakan proyek yang akan dikaji pada penelitian ini, antara lain aspek pasar, pemasaran, teknis dan teknologi, manajemen, sumber daya manusia, finansial, sosial, yuridis, dan aspek lingkungan hidup.
4.1.2.1 Aspek Pasar
Pasar, menurut para ahli, merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli atau bertemunya kekuatan permintaan dan penawaran dari kedua pihak untuk membentuk suatu harga (Umar 2003). Pengertian pasar
(24)
jika dilihat dari sudut pandang pemasaran merupakan kumpulan pembeli aktual dan potensial dari sebuah produk yang melakukan pertukaran untuk memuaskan kebutuhan atau keingingan yang sama (Kotler dan Armstrong 2004). Tjiptono (2008) menyatakan bahwa pasar adalah semua pelanggan potensial yang bersedia dan mampu melakukan proses pertukaran untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan tertentu. Terdapat tiga faktor utama dalam pembentukan terjadinya pasar, yaitu orang yang memiliki kebutuhan dan keinginan, daya beli, dan perilaku dalam pembeliannya.
Permintaan dan penawaran dilakukan oleh penjual dan pembeli ketika melakukan proses pertukaran produk. Umar (2003) menyatakan permintaan sebagai jumlah barang yang dibutuhkan dan mampu dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga. Permintaan yang hanya dipengaruhi oleh kebutuhan disebut permintaan potensial dan permintaan yang disertai daya beli disebut permintaan efektif. Hukum permintaan menyatakan bahwa jika harga suatu barang meningkat maka jumlah barang yang diminta semakin berkurang dan jika harga suatu barang mengalami penurunan maka jumlah barang yang diminta akan semakin meningkat.
Penawaran memiliki arti jumlah barang yang ditawarkan pada berbagai tingkat harga. Jika harga suatu barang meningkat maka produsen berusaha meningkatkan jumlah barang yang akan dijual. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran barang pada berbagai tingkat harga, di antaranya harga barang itu sendiri, harga barang lain, biaya produksi, tingkat teknologi, dan tujuan perusahaan.
4.1.2.2 Aspek Pemasaran
Analisis mengenai segmen, target, posisi produk di pasar, dan bauran pemasaran dilakukan setelah pasar bagi rencana produk dipilih. Segmentasi pasar dilakukan dengan melihat keberagaman keinginan, kemampuan keuangan, lokasi, sikap pembelian, dan praktek pembelian dari banyaknya pembeli (Umar 2003). Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam segmentasi, di antaranya aspek geografis, demografis, psikografis, dan aspek perilaku. Target pasar menentukan jumlah segmen yang akan dicakup dan yang akan dilayani. Kemudian posisi yang akan
(25)
ditempati dalam segmen tersebut ditentukan dengan mengidentifikasi keunggulan kompetitif, memilih keunggulan kompetitif, serta mewujudkan dan mengkoomunikasikan posisi.
Kotler dan Armstrong (2004) menyatakan bahwa bauran pemasaran (marketing mix) merupakan kombinasi satu perangkat alat pemasaran perusahaan untuk mencapai tujuan. Bauran pemasaran adalah sebagai berikut:
1. Produk (Product)
Produk merupakan segala sesuatu yang ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi konsumen sehingga kebutuhan dan keinginan konsumen terpenuhi. Produk memiliki manfaat tangible dan intangible dengan mutu, ciri, dan desain tertentu (Tjiptono 2008).
2. Harga (Price)
Harga merupakan sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan produk yang akan dibeli. Harga produk ditetapkan dalam proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli atau ditetapkan oleh penjual untuk harga yang sama terhadap semua pembeli (Umar 2003).
3. Distribusi (Place)
Perantara pemasaran produk yang umum digunakan oleh produsen, yaitu membangun saluran distribusi, sekelompok organisasi yang saling tergantung dalam proses penyediaan produk atau jasa bagi konsumen atau pengguna industrial (Umar 2003).
4. Promosi (Promotion)
Promosi dilakukan dengan memberitahu masyarakat mengenai produk yang ditawarkan agar dikenal dan dibeli sehingga volume penjualan meningkat. Strategi bauran promosi yang umum digunakan, yaitu periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat, dan penjualan perorangan.
(26)
4.1.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi
Evaluasi aspek teknis dan teknologis menurut Sutojo (2008), sebagai berikut:
1. Penentuan lokasi proyek, yaitu dimana suatu proyek akan didirikan, baik untuk pertimbangan lokasi dan lahan proyek.
2. Penentuan kapasitas produksi ekonomis yang merupakan volume satuan produk yang dihasilkan selama waktu tertentu.
3. Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh pengadaan tenaga kerja ahli, bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam, dan lainnya tergantung proyek yang akan didirikan.
4. Penentuan proses produksi yang akan dilakukan dan tata letak pabrik yang akan dipilih, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain.
4.1.2.4 Aspek Manajemen
Manajemen merupakan cara pencapaian tujuan dengan menggunakan sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini berupa uang (modal), mesin dan peralatan, personil (tenaga kerja), dan material. Tujuan studi aspek ini adalah untuk mengetahui dapatkah pembangunan dan implementasi bisnis direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan sehingga rencana bisnis dapat dikatakan layak atau sebaliknya (Umar 2003).
4.1.2.5 Aspek Sumber Daya Manusia
Studi aspek ini bertujuan untuk memperkirakan kelayakan pembangunan dan implementasi dilihat dari ketersediaan SDM (Umar 2003). Kajian dalam aspek ini, yaitu perencanaan SDM, analisis pekerjaan, rekuitmen, seleksi, orientasi, hingga pada pemutusan hubungan kerja. 4.1.2.6 Aspek Finansial
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam aspek keuangan menurut Husnan dan Suwarsono (2008), yaitu aktiva tetap, modal kerja, dan sumber dana untuk modal kerja dan investasi aktiva tetap. Aktiva tetap terbagi dua, yaitu aktiva tetap berwujud dan aktiva tetap tidak berwujud. Tanah dan pengembangan lokasi, bangunan dan perlengkapan, pabrik dan mesin serta aktiva lainnya termasuk dalam aktiva
(27)
tetap berwujud. Sedangkan biaya pendahuluan dan biaya sebelum operasi termasuk aktiva tetap tidak berwujud.
Modal kerja terbagi dua, yaitu modal kerja bruto dan modal kerja netto. Modal kerja bruto menunjukkan semua investasi yang diperlukan untuk aktiva lancar yang terdiri dari kas, surat-surat berharga (kalau ada), piutang, persediaan, dan lainnya. Modal kerja netto adalah selisih antara aktiva lancar dengan utang jangka pendek. Aktiva lancar adalah aktiva yang hanya memerlukan waktu pendek untuk berubah menjadi kas, yaitu kurang dari satu tahun atau satu siklus produksi (Husnan dan Suwarsono 2008).
Sumber dana untuk membiayai aktiva tetap dan modal kerja berasal dari milik sendiri, saham, obligasi, kredit bank, leasing, dan project finance. Kombinasi sumber dana yang dipilih, yaitu mempunyai biaya rendah dan tidak menimbulkan kesulitan likuiditas bagi proyek atau atau perusahaan yang mensponsori proyek tersebut selama jangka waktu pengembalian dan penggunaan dana.
Evaluasi kriteria investasi dilakukan pada aspek finansial menggunakan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR),
Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C), Pay Back Period (PBP), dan analisis sensitivitas (Sutojo 2008).
4.1.2.7 Aspek Sosial
Untuk melakukan analisis dalam studi kelayakan bisnis diperlukan informasi dari lingkungan luar perusahaan untuk mengetahui peluang dan ancaman bagi rencana bisnis serta mengetahui hal yang dapat disumbangkan oleh proyek bisnis bagi lingkungan luar setelah bisnis terealisasi (Umar 2003). Selain memperoleh keuntungan (benefit), perusahaan memiliki tanggung jawab sosial. Aspek sosial yang dikaji dalam analisis ini, yaitu perusahaan sebagai lembaga sosial, perubahan kondisi sosial yang kompleks, dan perusahaan dalam masyarakat yang pluralistik.
(28)
4.1.2.8 Aspek Yuridis
Aspek ini menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku badan usaha mengenai perizinan sebagai legalitas usaha. Menurut Umar (2003), studi ini dilakukan untuk menetahui rencana secara yuridis dapat dikatakan layak atau tidak. Jika rencana bisnis yang tidak layak tetap dilaksanakan maka bisnis akan beresiko besar akan dihentikan oleh pihak yang berwajib atau oleh protes masyarakat. Hal yang perlu dikaji dalam aspek ini, yaitu siapa pelaksana bisnis, bisnis apa yang akan dilaksanakan, waktu pelaksanaan bisnis, di mana bisnis dilaksanakan, serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
4.1.2.9 Aspek Lingkungan Hidup
Studi pada aspek ini bertujuan menentukan secara lingkungan hidup rencana bisnis ini diperkirakan dapat dilaksanakan secara layak atau sebaliknya. Hal yang berkaitan dengan aspek ini, yaitu mengenai peraturan dan perundangan AMDAL dan kegunaannya dalam kajian pendirian industri dan pelaksanaan proses pengelolan dampak lingkungan (Umar 2003).
4.1.3 Analisis Finansial
Analisis finansial membatasi manfaat dan pengorbanan dari sudut pandang perusahaan (Husnan dan Suwarsono 2008). Kadariah et al. (1999) menyatakan bahwa analisis finansial menyangkut perbandingan antara pengeluaran uang dengan revenue earning proyek, apakah proyek tersebut akan terjamin dananya yang diperlukan, mampu membayar kembali dana tersebut, dan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansial dapat berdiri sendiri.
4.1.4 Kriteria Kelayakan Investasi
Kriteria investasi yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Net Present Value (NPV) atau nilai sekarang bersih merupakan analisis manfaat finansial untuk mengukur kelayakan suatu usaha dilihat dari nilai sekarang arus kas bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari jumlah investasi yang dikeluarkan. Arus kas merupakan laba
(29)
bersih usaha ditambah penyusutan. Jumlah investasi adalah jumlah total dana yang dikeluarkan untuk membiayai pengadaan seluruh alat produksi yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha. Suatu proyek dikatakan layak bila nilai NPV lebih besar dari nol.
2. Internal Rate or Return (IRR), nilai discount rate yang membuat NPV dari proyek yang dijalankan sama dengan nol (Kadariah et al. 1999). Nilai ini dianggap sebagai tingkat keuntungan atas inventasi bersih dari proyek. Jika nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari nilai rate return yang ditentukan maka investasi dapat diterima.
3. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), yaitu perbandingan antara jumlah PV yang positif (pembilang) dengan PV yang negatif (penyebut) (Kadariah et al. 1999). Hasil perhitungan nilai ini menunjukkan manfaat tambahan yang diterima dari setiap tambahan biaya yang dikeluarkan. Proyek dikatakan layak bila Net B/C bernilai lebih dari satu.
4. Payback Period, yaitu umur dimana pada tingkat diskonto tertentu manfaat bersih kumulatif sama dengan nol dan menunjukkan pada umur proyek berapa investasi dapat kembali (Umar 2003).
4.1.5 Analisis Sensitivitas
Kadariah et al. (1999) menyatakan bahwa analisis sensitivitas merupakan suatu analisis untuk menguji secara sistematis hal yang akan terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Tujuannya untuk melihat hal yang akan terjadi dengan analisis proyek jika terjadi kesalahan atau perubahan dalam dasar perhitungan biaya atau manfaat. Hal ini dilakukan karena analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung ketidakpastian mengenai hal yang akan terjadi di masa yang akan datang.
(30)
4.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Usaha Budidaya Ulat Sutera
Analisis Kelayakan
Aspek Internal : Aspek Eksternal :
Aspek Teknis dan Teknologis Aspek Pasar dan Pemasaran Aspek Manajemen Aspek Yuridis dan Sosial Aspek Sumberdaya Manusia Aspek Lingkungan Hidup
Aspek Internal & Eksternal
Analisis Finansial
Analisis Sensitivitas
Layak Tidak Layak
(31)
BAB V
METODE PENELITIAN
5.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan mempertimbangkan aspek keterwakilan contoh sesuai dengan batasan dan tujuan penelitian serta rekomendasi dari CV Batu Gede dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Bagian Persuteraan Alam. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 15 April hingga 15 Mei 2010.
5.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari petani sutera, berupa karakteristik responden, informasi lahan, penggunaan sarana produksi, tahapan kegiatan budidaya ulat sutera, dan data biaya pembudidayaan ulat sutera. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Pemerintah Kecamatan Sukanagara, CV Batu Gede, dan Puslitbang Persuteraan Alam Departemen Kehutanan RI, berupa data kondisi umum lokasi penelitian, data monografi masyarakat Kecamatan Sukanagara, dan informasi terkait pembudidayaan ulat sutera.
5.3 Metode Pengumpulan Data
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden dan observasi langsung ke areal budidaya ulat sutera. Data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan Pemerintah Kecamatan Sukanagara, CV Batu Gede, dan Puslitbang Persuteraan Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Selain itu, perolehan data sekunder dilakukan dengan penelusuran dokumen dan sumber informasi cetak lainnya dari Kecamatan Sukanagara, CV Batu Gede, Puslitbang Persuteraan Alam Departemen Kehutanan RI, Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Kehutanan RI, Departemen Perindustrian RI, Departemen Perdagangan RI, dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini.
(32)
Petani sutera di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur berjumlah lima orang sehingga penentuan responden dilakukan dengan metode sensus. Responden dikelompokan ke dalam tiga skala usaha berdasarkan luasan lahan murbei yang dimiliki, yaitu skala usaha I dengan luas lahan 1 ha di Desa Sukamekar, skala usaha II dengan luas lahan 1,5 ha di Desa Sukamekar, Sukanagara, dan Desa Sukalaksana, dan skala usaha III dengan luas lahan 2 ha murbei di Desa Sukamekar. Pengelompokan petani sutera berdasarkan luas lahan murbei dilakukan karena budidaya ulat sutera sangat tergantung pada ketersediaan pakan daun murbei. Ulat sutera yang dipelihara per tahunnya berjumlah 12 boks pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II, dan 12 boks pada skala usaha III.
Tabel 5 Karakteristik responden pada tiap skala usaha
Karakteristik Skala Usaha
I II III
Lokasi (Desa) Sukamekar Sukamekar Sukanagara Sukalaksana
Sukamekar
Luas Lahan Murbei (ha) 1 1,5 2
Jumlah Ulat (boks/th) 12 20 12
5.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari data primer dan sekunder dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan aspek-aspek kelayakan usaha, meliputi aspek pasar dan pemasaran, teknis dan teknologi, manajemen, sumberdaya manusia, sosial, yuridis, serta aspek lingkungan. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek keuangan dari usaha budidaya ulat sutera.
Informasi dan data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabulasi untuk mempermudah pengelompokan data. Data berupa arus kas tunai dianalisis menggunakan kriteria kelayakan investasi, yaitu Net Present Value (NPV),
Internal Rate or Return (IRR), Gross Benefit-Cost Ratio (gross B/C), dan
(33)
5.4.1 Kelayakan Usaha
5.4.1.1 Net Present Value (NPV)
Net Present Value atau nilai sekarang bersih adalah selisih antara total present value (PV) dari manfaat dan biaya pada setiap tahun kegiatan usaha. Usaha atau proyek dikatakan layak jika NPV > 0, sedangkan bila NPV< 0 maka usaha tersebut tidak layak untuk diusahakan (Kadariah et al. 1999). Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:
∑
= +
= n
0
t t
t t i) 1 ( C -B NPV keterangan:
Bt = manfaat usaha pada tahun ke-t Ct = biaya usaha pada tahun ke-t t = interval waktu
n = umur ekonomis proyek
i = tingkat suku bunga yang berlaku
5.4.1.2 Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return merupakan tingkat suku bunga pada saat NPV sama dengan nol. Nilai IRR yang lebih besar atau sama dengan tingkat diskonto yang telah ditentukan maka usaha layak untuk diusahakan (Kadariah et al. 1999). Rumus perhitungannya adalah:
(
)
1 2 2 1 11 i - i
NPV NPV NPV i
IRR = +
keterangan:
NPV1 = NPV bernilai positif NPV2 = NPV bernilai negatif
i1 = tingkat diskonto yang menyebabkan NPV positif i2 = tingkat diskonto yang menyebabkan NPV negatif
(34)
5.4.1.3 Gross Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Gross Benefit Cost Ratio merupakan perbandingan antara NPV total dari benefit bersih terhadap total dari biaya bersih (Kadariah et al. 1999). Perhitungan ini digunakan untuk mengukur efisiensi dari penggunaan modal. Usaha dikatakan layak untuk diusahakan bila Gross
B/C > 1 dan usaha dikatakan tidak layak untuk diusahakan bila Gross B/C < 1. Net Benefit Cost Ratio dihitung dengan rumus:
(
)
∑
∑
= = + + = n 0 t t t n 0t t
t ) i 1 ( C i 1 B C / B Gross keterangan:
Bt = manfaat dari usaha pada tahun ke-t Ct = biaya dari usaha pada tahun ke-t t = interval waktu
n = umur ekonomis proyek
i = tingkat suku bunga yang berlaku
5.4.1.4 Pay Back Period (Tingkat pengembalian Investasi)
Tingkat pengembalian investasi digunakan untuk mengukur periode pengembalian modal berdasarkan aliran kas (cash flow). Cara perhitungan yang dipilih dalam analisis ini adalah menutup biaya investasi yang dikeluarkan dengan aliran kas bersih pada tahun-tahun berikutnya hingga biaya investasi dapat tertutupi (Umar 2003). Rumus untuk menghitung tingkat pengembalian investasi adalah sebagai berikut:
Net Benefit SetiapTahunnya Investasi PBP =
(35)
Kriteria penilaian yang digunakan, yaitu jika PBP lebih pendek dari maksimum PBP-nya maka proyek dapat diterima. Namun jika PBP lebih lama dari maksimum PBP-nya maka proyek ditolak.
5.4.2 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan unsur-unsur dalam aspek finansial kegiatan usaha yang dilaksanakan. Analisis ini akan melihat hal yang akan terjadi dengan hasil kegiatan usaha jika terjadi perubahan-perubahan dalam dasar-dasar perhitugan biaya dan manfaat (Kadariah et al. 1999). Analisis sensitivitas (kepekaan) menurut Nugroho (2008) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis peka terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan memiliki arti sebagai besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan estimasi faktor-faktor yang berpegaruh.
5.4.3 Asumsi-Asumsi Dasar
Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam pengolahan data, sebagai berikut:
1. Umur proyek berdasarkan umur ekonomis tanaman murbei selama 10 tahun yang dimulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2020. Hal ini dilakukan karena usaha budidaya ulat sutera sangat bergantung pada tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera.
2. Modal usaha yang digunakan berasal dari modal pinjaman.
3. Tingkat suku bunga yang digunakan, yaitu suku bunga pinjaman Bank Indonesia tahun 2010 sebesar 12 persen.
4. Menggunakan faktor diskonto (discount factor) pada tingkat suku bunga yang telah ditentukan sebelumnya untuk investasi jangka panjang.
5. Periode pemeliharaan ulat sutera dilakukan selama 12 kali dalam 1 tahun. 6. Satu boks bibit ulat sutera berisi 25.000 ulat.
7. Keadaan perekonomian negara stabil selama jangka waktu analisis.
8. Harga yang digunakan adalah harga pasar yang berlaku pada saat penelitian dan tidak mengalami perubahan selama 10 tahun.
(36)
9. Harga bibit ulat sutera instar III diasumsikan tetap sebesar Rp 130.000 per boks.
10.Produksi kokon yang diperhitungkan merupakan hasil rata-rata per tahun dan diasumsikan tetap selama 10 tahun.
11.Harga jual kokon sebesar Rp 23.000 dengan asumsi kualitas kokon pada
grade B atau sedang.
12.Anggota rumah tangga yang bekerja dinilai sebagai tenaga kerja yang mendapat upah.
13.Lahan pribadi yang digunakan untuk kebun murbei dan pemeliharaan ulat sutera diasumsikan sebagai lahan sewa dan diperhitungkan sebagai
opportunity cost sebesar Rp 100.000 per hektar per tahun.
14.Besarnya pajak tidak diperhitungkan dalam usaha budidaya ulat sutera. 15.Penyusutan barang investasi dan nilai sisa tidak diperhitungkan.
(37)
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Petani Sutera
Petani sutera dikelompokan ke dalam tiga skala usaha berdasarkan luasan lahan murbei yang dimiliki, yaitu skala usaha I dengan luas lahan 1 ha di Desa Sukamekar, skala usaha II dengan luas lahan 1,5 ha di Desa Sukamekar, Sukanagara, dan Desa Sukalaksana, dan skala usaha III dengan luas lahan 2 ha murbei di Desa Sukamekar. Pengelompokan petani sutera berdasarkan luas lahan murbei dilakukan karena budidaya ulat sutera sangat tergantung pada ketersediaan pakan daun murbei. Ulat sutera yang dipelihara per tahunnya berjumlah 12 boks pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II, 12 boks pada skala usaha III yang sedang berjalan, dan 24 boks pada skala usaha III dalam skenario pengembangan.
Petani sutera pada tiap skala usaha berada pada usia yang produktif sehingga kemampuan dalam mengelola usaha menjadi lebih baik yang didukung pula dengan pengalaman usaha yang cukup lama. Petani skala usaha I berusia 29 tahun dengan pengalaman usaha selama 13 tahun. Tiga orang petani termasuk dalam skala usaha II yang memiliki usia 48 tahun, 49 tahun, dan 50 tahun. Kegiatan budidaya ulat sutera telah dilakukan petani ulat sutera selama 13 tahun. Sedangkan petani sutera skala usaha III berusia 50 tahun dan telah melakukan budidaya ulat sutera selama 12 tahun.
Tingkat pendidikan pada tiap skala usaha tidak jauh berbeda sehingga percepatan dalam menerima informasi hampir sama. Semua petani memiliki totalitas yang hampir sama dalam usaha budidaya ulat sutera meskipun sifat pekerjaan berbeda. Tingkat pendidikan petani skala usaha I berada pada jenjang Sekolah Menengah Pertama yang menjadikan usaha budidaya ulat sutera sebagai pekerjaan utama. Dua orang petani skala usaha II merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan satu orang petani merupakan lulusan Sekolah Dasar. Dua orang petani menjadikan usaha budidaya ulat sutera sebagai pekerjaan utama. Sedangkan satu orang petani menjadikan kegiatan budidaya ulat sutera ini sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utamanya sebagai tengkulak kayu dari tanaman masyarakat.
(38)
Tabel 6 Karakteristik petani sutera
Karakteristik Skala Usaha
I II III III*
Lokasi (Desa) Sukamekar Sukamekar Sukanagara Sukalaksana
Sukamekar Sukamekar
Luas Lahan
Murbei (ha) 1 1,5 2 2
Jumlah Ulat
(boks/th) 12 20 12 24
Usia (tahun)
a. 21-30 1 - - -
b. 31-40 - - - -
c. 41-50 - 3 1 1
Tingkat Pendidikan
a. SD - 1 1 1
b. SMP 1 2 - -
Sifat Pekerjaan
a. Utama 1 2 - -
b. Sampingan - - 1 1
Pelatihan
a. Mengikuti 1 3 1 1
b. Tidak
Mengikuti - - - -
Keterangan: * = skala usaha III dalam skenario pengembangan
6.2 Analisis Aspek Non Finansial 6.2.1 Aspek Pasar
Permintaan kokon berasal dari dari CV Batu Gede. Berdasarkan kesepakatan tidak tertulis, CV Batu Gede bersedia menampung seluruh hasil kokon petani sekaligus sebagai pemasok bibit ulat sutera instar III ke pada petani sutera. Produsen dapat memilih satu atau lebih segmen pasar untuk dimasuki (Herlianto & Pujiastuti 2009). Adanya kemitraan dengan CV Batu Gede bukan berarti menutup kemungkinan untuk membuka jalur pemasaran kepada yang lain bila sudah mampu memenuhi seluruh permintaan dari CV Batu Gede. Permintaan kokon dari pihak lain dengan harga yang lebih bersaing tidak ditanggapi oleh petani sutera karena takut mengecewakan pihak CV Batu Gede selaku pemasok bibit ulat sutera. Sedangkan permintaan stek murbei dari konsumen lain dipenuhi agar mendapat nilai tambah. Dengan permintaan yang tinggi dan dengan adanya jaminan pasar kokon, usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan di Kecamatan Sukanagara Kabupaten Cianjur layak dilaksanakan.
(39)
Produk yang ditawarkan oleh petani sutera di Kecamatan Sukanagara berupa kokon. Jumlah produksi kokon baru mencapai 174,5 kilogram per bulan. Kualitas kokon yang dihasilkan secara umum berada pada kualitas sedang sehingga harga jual kokon dari CV Batu Gede sebesar Rp 23.000 per kilogram. Harga bibit ulat sutera per kilogramnya mencapai Rp 130.000. Secara visual, kokon berkualitas sedang atau kelas B merupakan kokon dengan berat berkisar 1,5 gram hingga 1,9 gram, persentase cacat kokon mencapai 1,1 persen hingga 4 persen, dan persentase kulit kokon mencapai 20 persen hingga 24,9 persen.
Tabel 7 Kelas kualitas kokon secara visual
Kriteria Kelas Kualitas
A B C D
berat (gram) ≥ 2 1,5 – 1,9 1 – 1,4 ≤ 0,9 cacat (%) ≤ 1 1,1 – 4 4,1 – 8 ≥ 9 kulit kokon 25 20 – 24,9 15 – 19,9 ≥ 14,9
Sumber: Santoso (1997) dalam Atmosoedarjo (2000)
Terdapat tiga kelompok dalam memenangkan persaingan pasar, yaitu keunggulan operasional (operational excellence), kepemimpinan produk (product leadership), dan keakraban dengan pelanggan (customer intimacy) (Treacy & Wiersema 1995) dalam Tjiptono (2008). Petani budidaya ulat sutera memiliki konsumen/pelanggan tetap dan produk yang dihasilkan bukan bersifat operasional sehingga petani sutera dapat memilih perluasan pangsa pasar dengan cara mengembangkan dan menginovasi produk yang dihasilkan. Strategi ini tepat ditujukan pada pelanggan yang mengutamakan keunikan produk. Untuk meningkatkan profitabilitas, produk yang dijual bukan hanya berupa kokon namun dapat berupa benang dan kerajinan tangan yang dibuat dari kokon yang tidak layak jual. Dana operasional akan meningkat dengan adanya pengadaan benang. Untuk meminimalkan dana tersebut, pengadaan benang dapat dilakukan secara berkelompok.
(40)
6.2.2 Aspek Pemasaran
Produk merupakan suatu nilai yang didapat oleh konsumen sebagai pelaku pengambil keputusan pembelian. Dalam hal ini, kokon merupakan produk yang diperjualbeliakan antara petani sutera dan CV Batu Gede. Harga jual kokon ditetapkan sebesar Rp 23.000 merupakan harga standar yang sesuai untuk kokon berkualitas B (sedang) meskipun kualitas kokon yang dihasilkan oleh petani sutera bervariasi. Penetapan harga jual kokon ini dilakukan agar mempermudah proses transaksi penjualan.
Harga jual kokon sebesar Rp 23.000 memiliki keuntungan dan kerugian baik pada pihak CV Batu Gede maupun pada petani sutera. Keuntungan penetapan harga jual kokon sebesar Rp 23.000 bagi CV Batu Gede selain mempermudah transaksi penjualan, yaitu mempersingkat waktu penjualan sehingga kokon kering yang telah dibeli dapat langsung dibawa ke tempat pemintalan CV Batu Gede di Kecamatan Ciapus, Bogor. Kerugian yang dialami CV Batu Gede, yaitu kemungkinan kokon berkualitas C dan D banyak diperoleh dan petani tidak termotivasi menghasilkan kokon berkualitas baik. Keuntungan penetapan harga ini bagi petani sutera, yaitu kepastian harga yang menguntungkan pada saat kualitas kokon yang dihasilkan berada pada kualitas C dan D. Sedangkan kerugiaan yang diterima oleh petani sutera, yaitu tidak mendapat harga kokon yang sesuai pada saat kualitas harga kokon yang dihasilkan mencapai kelas (grade) A.
Untuk meningkatkan nilai tambah, stek murbei dijual ke konsumen yang membutuhkan. Selain kokon, kepompong ulat sutera dan buah murbei (mulberry) dicari oleh konsumen lain namun tidak ditanggapi oleh petani sutera meskipun dapat menambah peningkatkan pendapatan dari budidaya ulat sutera. Untuk meningkatkan nilai tambah budidaya murbei, petani sutera dapat mengusahakan pembuatan teh murbei yang dijadikan minuman antioksidan atau mengolah limbah ulat sutera menjadi pupuk organik.
Kegiatan promosi untuk meningkatkan penjualan tidak dilakukan oleh petani karena telah mendapat jaminan pasar internal. Oleh karena itu, biaya promosi tidak dikeluarkan oleh petani sutera. Konsumen lain mengetahui adanya kegiatan budidaya ulat sutera di Kecamatan Sukanagara dari mulut ke mulut
(41)
(word of mouth) melalui jejaring petani. Pemasaran kokon dilakukan secara langsung oleh petani sutera ke pihak CV Batu Gede sehingga hanya memerlukan biaya distribusi kokon.
6.2.3 Aspek Teknis dan Teknologi 6.2.3.1 Lokasi Usaha
Penempatan lokasi usaha berpengaruh terhadap biaya operasional dan biaya investasi sehingga perlu dilakukan sebaik mungkin dengan mempertimbangkan berbagai faktor (Suliyanto 2010). Lokasi pemeliharaan ulat secara umum berdekatan dengan tempat tinggal sehingga memudahkan pemeliharaan dan pengawasan. Rumah ulat petani skala usaha I berjarak 30 meter dari tempat tinggal. Jarak rumah ulat skala usaha II dari tempat tinggal bervariasi antara 30 meter hingga 150 meter. Sedangkan jarak rumah ulat skala usaha III dari tempat tinggal, yaitu 50 meter. Selain memudahkan pemeliharaan ulat dan pengawasan, pemilihan lokasi pemeliharaan ulat sutera berdasarkan pada letak kebun murbei, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan sumber air dan energi, serta fasilitas transportasi.
Letak kebun murbei dengan rumah ulat secara umum berdekatan, yaitu di sekitar rumah ulat hingga berjarak sekitar 300 meter. Kebun murbei dibuat dalam bentuk petak-petak atau gawang. Satu gawang memiliki luas sekitar 0.2 hektar hingga 0,3 hektar tergantung luasan lahan yang tersedia. Gawang yang satu dan lainnya sekitar 30 meter hingga 250 meter. Jarak ini tergantung dengan luasan lahan yang tersedia sehingga tidak dapat dikumpulkan menjadi satu. Namun demikian, pada skala usaha II ada petani yang lokasi lahan murbeinya berjarak sekitar 250 meter hingga ± 1,3 kilometer dari rumah ulat. Hal ini mengakibatkan biaya operasional yang lebih besar dari pada petani sutera lainnya. Ahdiat (2007) menyatakan jarak kebun murbei yang berjauhan dengan rumah ulat mengakibatkan daun murbei sedikit layu sehingga kurang baik untuk perkembangan ulat sutera.
Tenaga kerja di sekitar tempat pemeliharaan ulat sutera tersedia cukup banyak. Pekerjaan pemeliharaan kebun murbei dan ulat sutera dilakukan sendiri beserta keluarga maupun mengupah orang lain. Tenaga kerja dibutuhkan pada
(42)
saat pembuatan kebun murbei, pemangkasan, pengendalian gulma, pemanenan murbei, pengangkutan, pemberian pakan, pengendalian hama ulat, pemeliharaan kandang penjemuran, dan pemanenan kokon. Tenaga kerja diperoleh dari masyarakat yang memiliki latar belakang sebagai petani teh maupun petani hortikultura. Tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja tetap dan tenaga kerja tidak tetap. Tenaga kerja tetap diperluan dari pemeliharan kebun murbei hingga pemeliharaan ulat. Sedangkan tenaga kerja tidak tetap diperlukan pada saat pembuatan kebun murbei dan pemanenan kokon. Jumlah tenaga kerja borongan disesuaikan dengan luasan kebun murbei yang dibuat dan produksi kokon yang dihasilkan.
Lokasi pemeliharaan ulat sutera dan lahan murbei berada pada tempat yang datar hingga landai. Ketersediaan air diperoleh dari aliran anak sungai yang berada di sekitarnnya sehingga mempermudah pemeliharaan ulat sutera maupun murbei. Energi listrik yang digunakan sebagai penerangan rumah di malam hari diperoleh dari PLN. Penggunaan energi dilakukan oleh seorang petani pada skala usaha II dan petani skala usaha III.
Kecamatan Sukanagara dilalui oleh jalur kabupaten beraspal sehingga mobilitas kendaraan hampir terjadi di setiap waktu. Banyaknya kendaraan mempermudah penjualan kokon ke Kecamatan Cibeber. Penjualan kokon di Kecamatan Cibeber dilakukan untuk meminimalkan pengeluaran biaya operasional antara petani sutera dan CV Batu Gede. Waktu tempuh dari Kecamatan Sukanagara ke Kecamatan Cibeber, yaitu sekitar 1 jam 45 menit perjalanan atau 3 jam 30 menit per rit/perjalanan pergi pulang. Sedangkan waktu tempuh dari Bogor ke Kecamatan Cibeber ditempuh selama ± 2 jam 45 menit. 6.2.3.2 Skala Produksi
Jumlah produk yang diproduksi oleh perusahaan dalam periode tertentu harus direncanakan dengan matang agar keuntungan dapat dioptimalkan (Suliyanto 2010). Jumlah ulat sutera yang dipelihara per tahun pada ketiga skala usaha, yaitu 12 boks pada skala usaha I, 20 boks pada skala usaha II dan 12 boks pada skala usaha III. Skala usaha I memelihara 1 boks ulat dalam satu periode pemeliharaan. Skala usaha I memiliki satu hektar lahan murbei yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan pakan 1 boks ulat sutera. Karena pemeliharaan
(43)
murbei yang kurang maksimal, skala usaha I membeli daun murbei ke petani lain (skala usaha III) untuk memenuhi kebutuhan pakan ulat sutera sehingga diperlukan biaya pembelian murbei yang dapat menambah biaya operasional.
Skala usaha II memiliki lahan murbei seluas 1,5 hektar. Satu orang petani skala usaha II hanya memelihara 1 boks ulat per periode pemeliharaan. Sedangkan dua petani lainnya memelihara 2 boks ulat per periode pemeliharaan. Pemeliharaan murbei yang kurang optimal mengharuskan petani yang memelihara 2 boks ulat membeli daun murbei ke petani lainnya. Hal ini membuat petani mengeluarkan biaya operasional yang lebih. Petani membeli daun murbei ke petani sutera yang sudah tidak lagi memelihara ulat sutera karena terlanjur mengubah sebagian lahan murbei menjadi lahan pertanian lainnya dan rumah ulat sutera sudah dibongkar.
Skala usaha III hanya memelihara ulat 1 boks per periode pemeliharaan. Padahal skala usaha III memiliki lahan murbei seluas 2 hektar. Dua hektar murbei dengan pemeliharaan yang cukup dapat memenuhi pakan 2 boks hingga 3 boks ulat sutera. Jika pemeliharaan murbei dilakukan secara maksimal maka petani sutera dapat memelihara 4 boks per periode pemeliharaan. Biaya pemeliharaan kebun murbei berdasarkan luasannya bukan pada jumlah ulat sutera yang dipelihara. Oleh karena itu, petani skala usaha III perlu melakukan penambahan ulat sutera yang dipelihara menjadi 2 boks hingga 3 boks. Selain itu, rumah ulat yang dibuat dapat memelihara ulat sutera maksimal 3 boks per periode pemeliharaan.
6.2.3.3 Budidaya Murbei
Persiapan lahan dilakukan dengan membersihkan lahan, pengolahan tanah, dan pemupukan. Pembersihan lahan dilakukan secara manual, yaitu dengan melakukan pembabatan semak, ilalang, dan penebangan pohon yang dapat mengganggu perkembangan murbei. Semak, ilalang, dan ranting pohon dikumpulkan dan dibakar sedangkan kayu pohon dimanfaatkan sebagai kayu bakar maupun keperluan lainnya. Kemudian dilakukan pengolahan tanah dengan cara pencangkulan.
(44)
Ahdiat (2007) menyatakan jarak tanam murbei pada penanaman monokultur yaitu 100 cm x 50 cm dan jarak tanam murbei untuk penanaman secara tumpang sari yaitu 150 cm x 50 cm. Petani sutera menanam murbei dalam larikan yang membujur dari utara ke selatan. Ini dimaksudkan agar penyinaran matahari lebih merata ke seluruh tanaman murbei. Larikan dibuat lebih tinggi dari sekitarnya agar tanaman mendapat asupan oksigen yang cukup. Jarak antara barisan satu dengan barisan lainnya, yaitu 120 sentimeter. Di dalam satu barisan, terdapat rorak atau lubang tanam yang dalamnya ± 50 sentimeter. Jarak antara rorak yang satu dengan rorak lainnya sekitar 40 sentimeter. Dalam satu petak atau gawang, tanaman murbei dibagi per blok tanaman untuk mempermudah pemanenan. Pada saat pemanenan, daun murbei ditumpuk di antara blok satu dengan lainnya. Jarak antara satu tumpukan dengan tumpukan lainnya, yaitu sekitar 4 hingga 5 meter. Hasil panenan daun murbei dimasukkan ke dalam karung untuk dibawa ke rumah ulat sutera. Tanaman hortikultura yang ditumpangsarikan dengan tanaman murbei ditanam di antara larikan sehingga tidak terlalu mengganggu tanaman murbei.
U
Keterangan: tanaman murbei
tanaman hortikultura
(45)
Dua minggu kemudian dilakukan pemupukan berupa pupuk kandang dan pupuk kimia yang disertai dengan pengadukan dengan lapisan top soil, ditimbun dengan lapisan sub soil dan diberi tanda ajir. Pemberian tanda ajir hanya dilakukan pada rorak di tepi lahan penanaman. Sedangkan penanaman pada rorak di tengah lahan mengikuti jalur ajir yang berada di tepi lahan. Pupuk dasar yang digunakan pada skala usaha I, yaitu 1.000 kilogram pupuk kandang, 50 kilogram KCl, 50 kilogram SP, dan 75 kilogram pupuk urea. Skala usaha II menggunakan pupuk dasar berupa 527,8 kilogram pupuk kandang; 52,9 kilogram KCl; 36,3 kilogram SP; 43,1 kilogram urea, dan 50 gram pupuk NPK. Sedangkan skala usaha III menggunakan pupuk dasar berupa 250 kilogram pupuk kandang, 50 kilogram urea, 50 kilogram NPK, dan 100 kilogram pupuk ZA.
Dua minggu kemudian dilakukan penanaman stek murbei dengan panjang ± 25 sentimeter dengan diameter ± 1 sentimeter hingga 1,5 sentimeter. Jenis tanaman murbei yang ditanam oleh skala usaha I, yaitu Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus cathayana. Skala usaha II menanam jenis murbei Morus alba, Morus multicaulis, Morus cathayana, dan Morus nigra. Sedangkan skala usaha III menanam jenis murbei Morus alba, Morus multicaulis, dan Morus cathayana.
Pemeliharaan yang dilakukan setiap tahunnya berupa penyiangan, penyulaman, pemangkasan, dan pemupukan. Pada tahun pertama dilakukan pendangiran untuk menjaga asupan oksigen di dalam tanah. Penyiangan dilakukan untuk membuang gulma tanaman sehingga tidak terjadi persaingan unsur hara di dalam tanah. Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati atau yang terserang hama dan penyakit agar tidak menular ke tanaman yang sehat. Pemangkasan berguna untuk membentuk tajuk maupun menghilangkan bagian tanaman yang terkena hama maupun penyakit. Pemupukan tiap tahunnya dilakukan untuk memberikan asupan hara pada tanaman murbei maupun tanaman hortikultura.
(46)
Penyakit yang menyerang murbei, yaitu penyakit tepung, karat, bintik daun, dan bercak daun. Murbei yang terkena penyakit tepung ditandai dengan adanya bintik-bintik berwarna putih yang kemudian menjadi bercak-bercak kuning, dan menghitam. Kandungan gizi dan air pada daun murbei berkurang. Tanaman murbei dipupuk dengan pupuk organik atau dilakukan fungisida. Penyakit karat yang menyerang murbei ditandai dengan adanya bercak kuning pada kuncup atau tunas muda. Kuncup murbei yang terserang dibuang sebelum musim hujan. Selain itu, jarak tanaman tidak boleh terlalu rapat. Permukaan murbei yang terkena bintik daun menjadi hitam dan kotor seperti terkena jelaga. Daun yang terserang penyakit ini dibuang. Pemupukan dengan pupuk organik perlu dilakukan agar pertumbuhan murbei tetap baik. Bintik-bintik penyakit ditemukan di kedua sisi daun yang berwarna coklat gelap. Selain menjaga aerasi dan drainase, penyemprotan fungisida dapat dilakukan untuk menanggulangi penyakit ini.
Hama yang menyerang tanaman murbei petani yakni kutu daun dan penggerek batang. Gejala tanaman murbei terserang kutu daun yaitu timbulnya bercak-bercak hitam di daun muda, daun mengkerut, dan ruas pada daun menjadi pendek. Pangkas ulang tanaman murbei, penyiangan rumput, dan insektisida harus dilakukan untuk menanggulangi serangan hama ini. Gejala murbei yang terserang hama penggerek batang yakni murbei melemah kemudian mati. Tanaman murbei harus dipotong dan dibakar. Skala usaha II menggunakan herbisida untuk mengendalikan gulma tanaman. Sedangkan Skala usaha III menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
(47)
6.2.3.4 Budidaya Ulat Sutera
Desain layout sebaiknya mempertimbangkan efisiensi biaya, efektivitas ruangan, keselamatan kerja, dan keindahan (Suliyanto 2010). Pemeliharaan ulat sutera kecil instar III dan ulat sutera besar instar IV dan V dilakukan di rumah ulat sutera yang terbuat dari dinding bambu, tiang kayu atau bambu, dan beratapkan genteng atau asbes. Luas rumah ulat sutera tiap skala usaha, yaitu 45 m2 pada skala usaha I; 104,7 m2 pada skala usaha II, dan 98 m2 pada skala usaha III. Rumah ulat sutera merupakan tempat pemeliharaan ulat yang di dalamnya terdapat rak pemeliharaan ulat, tempat penyimpanan daun murbei, dan gudang. Tata letak dilakukan sedemikian rupa agar mempermudah pergerakan di dalam rumah ulat. Rumah ulat secara umum dibuat memanjang ke arah utara-selatan. Hal ini dimaksudkan agar penyinaran matahari lebih merata. Menurut Ahdiat (2007), tempat penyimpanan daun murbei harus dipisah dari ruang pemeliharaan/penyimpanan peralatan pengokonan. Selain itu, daun murbei disusun berdiri dan tidak terlalu rapat serta ditutup dengan kain basah (blacu). Hal ini tidak dilakukan oleh petani sutera. Daun murbei menjadi sedikit layu dan kurang baik jika dikonsumsi oleh ulat sutera.
Ventilasi atau lubang udara dibuat di dinding rumah ulat maupun di bagian atas dinding depan atau belakang rumah ulat. Jumlah dan besar kecilnya ventilasi berbeda pada tiap skala usaha tergantung pada keinginan petani saat pembuatan rumah ulat. Peredaran udara di ruangan menjadi lebih lancar dengan adanya ventilasi ini. Ventilasi dibuat dengan memasang potongan bambu yang disusun vertikal. Antara potongan bambu yang satu dan lainnya berjarak 1 hingga 2 sentimeter. Ventilasi udara ditutupi oleh karung atau plastik mulsa yang dipasang di bagian atas ventilasi seperti yang dilakukan oleh petani skala usaha II dan skala usaha III. Salah satu petani skala usaha II menutupi ventilasi di bagian atas dinding belakang dengan bekas spanduk yang diperoleh dari masyarakat sekitar. Penutupan ventilasi berguna agar ulat tidak terkena udara langsung pada saat malam hari yang dingin. Petani skala usaha I tidak melakukan penutupan pada ventilasi untuk menekan biaya operasional.
(1)
128 Lampiran 25 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional pada skala usaha III sebesar 10% (Lanjutan)
Uraian Tahun
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Biaya Operasional 9.176.171 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 15.090.354 Total Outflow 30.418.881 15.090.354 15.090.354 15.153.414 15.318.354 15.090.354 15.299.414 15.090.354 15.318.354 15.153.414 15.090.354
Net Benefit -20.758.881 4.489.846 4.489.846 4.426.786 4.261.846 4.489.846 4.280.786 4.489.846 4.261.846 4.426.786 4.489.846
Discount Factor (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220 PV Inflow 9.660.000 17.482.321 15.609.216 13.936.800 12.443.571 11.110.331 9.919.939 8.857.088 7.908.114 7.060.816 6.304.300 PV Outflow 30.418.881 13.473.531 12.029.938 10.785.901 9.735.091 8.562.672 7.751.159 6.826.110 6.186.826 5.464.473 4.858.690 PV Net Benefit -20.758.881 4.008.791 3.579.277 3.150.899 2.708.480 2.547.659 2.168.779 2.030.978 1.721.288 1.596.343 1.445.610 NPV (Rp) 4.199.223
IRR (%) 16,785
Gross B/C 1,036
Pay Back Period (tahun) 4,725
(2)
129
Lampiran 26 Dokumentasi
Rumah ulat sutera Pemeliharaan ulat sutera
Pemanenan murbei Pengokonan
Pemanenan kokon Menghilangkan floss menggunakan alat
(3)
Menghilangkan floss Kokon tanpa alat
(4)
131
Lampiran 27 Peta Lokasi Penelitian
(5)
RINGKASAN
WIJI LESTARI. E14051170. Studi Kelayakan Usaha Budidaya Ulat Sutera
(Bombix mori L.) di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa
Barat. Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT dan KASNO.
Kegiatan agroindustri persuteraan alam dilakukan untuk memenuhi permintaan produk berbahan benang ulat sutera dan upaya peningkatan pendapatan masyarakat. Permintaan produk berbahan benang sutera baik di dalam maupun di luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan benang sutera dunia mencapai 118.000 ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai 700 ton. Jumlah produksi benang sutera dunia menurun hingga 52.342 ton dan Indonesia hanya menghasilkan benang sutera 81,5 ton. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha berdasarkan aspek non finansial, aspek finansial serta mengetahui tingkat kepekaan atau sensitivitasnya.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur pada tanggal 15 April hingga 15 Mei 2010. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden dan observasi lapang. Data sekunder diperoleh melalui wawancara maupun penelusuran dokumen dan sumber informasi cetak lainnya. Data diolah dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007. Analisis dilakukan terhadap aspek-aspek non finansial (aspek pasar dan pemasaran, teknis dan teknologi, manajemen, sumberdaya manusia, sosial, yuridis, dan aspek lingkungan), aspek finansial (Net Present Value (NPV), Gross Benefit-Cost Ratio
(gross B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Pay Back Period (PBP)), serta
analisis sensitivitas dalam waktu analisis 10 tahun dengan tingkat suku bunga 12%.
Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek non finansial, usaha budidaya ulat sutera layak dijalankan. Analisis aspek-aspek finansial dilakukan pada tiga skala usaha berdasarkan luas lahan murbei, yaitu: skala usaha I (1 ha tanaman murbei), skala usaha II (1,5 ha tanaman murbei), dan skala usaha III (2 ha tanaman murbei). Berdasarkan kriteria kelayakan usaha, budidaya ulat sutera skala usaha I dan II layak dilaksanakan dengan nilai NPV sebesar Rp 8.688.681 dan Rp 7.202.019; gross B/C 1,17 dan 1,08; nilai IRR 33,99% dan 20,55% dan PBP selama 2,75 tahun dan 4,13 tahun. Sedangkan pada skala usaha III, usaha budidaya ulat sutera dinilai layak jika dilakukan skenario pengembangan dengan peningkatan pemeliharaan ulat sutera sebanyak 24 boks/th dengan nilai NPV sebesar Rp 12.649.681; gross B/C sebesar 1,12; IRR 26,06%, dan PBP selama 3,44 tahun.
Penurunan harga jual kokon sebesar 10% lebih berpengaruh (sensitif) pada kondisi usaha daripada peningkatan biaya operasional sebesar 10%. Usaha budidaya sutera pada skala usaha I dan skala usaha III dalam skenario pengembangan tetap layak untuk dijalankan meskipun terjadi penurunan harga jual kokon sebesar 10% dan peningkatan biaya operasional sebesar 10%, sedangkan usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan oleh skala usaha II menjadi tidak layak dilakukan.
(6)
SUMMARY
WIJI LESTARI. E14051170. Feasibility Study of Silk Worm Farming Business
(Bombix mori L.) in Sukanagara District, Cianjur Regency, West Java Province.
Supervised by DODIK RIDHO NURROCHMAT and KASNO.
Agro-industry activities of natural silk are intended to meet the demand for products made from silkworm thread and to increase the people's income. The demand for products made from silk threads both at home and abroad continues to increase from year to year. The world’s need for silk thread reaches 118,000 tons, while the domestic demand accounts for 700 tons. The world silk production decreased to 52,342 tons and Indonesia only produced 81.5 tons of silk yarn. This study aimed to determine the business feasibility based on non-financial aspects, financial aspects as well as determine its level of sensitivity.
The study was conducted in Sukanagara District, Cianjur Regency from April 15 to May 15, 2010. The primary data were obtained through interviews with respondents and field observations. The secondary data were collected through interviews and traces of documents and other printed materials. The data were processed using Microsoft Excel 2007 software. The analysis was carried out for non-financial aspects (aspects of markets and marketing, technical and technological, management, human resource, social, judicial, and environment), and financial aspects (Net Present Value (NPV), Benefit-Cost Ratio Gross (gross B/C), Internal Rate of Return (IRR) and Pay Back Period (PBP)), as well as sensitivity analysis within the period of 10 years with the interest rate of 12%.
Based on the resulted analysis of non-financial aspects, the silk worm farming is feasible. The financial analysis was based on three business scales of land area, namely business scale I (1 ha of mulberry), scale II (1.5 ha of mulberry), and scale III (2 ha of mulberry). Based on the business feasibility criteria, the silk worms farming businesses of scale I and II are feasible with NPV of Rp 8,688,681 and Rp 7,202,019; gross B/C of 1.17 and 1.08; IRR values of 33.99% and 20.55% and PBP of 2.75 years and 4.13 years respectively. Meanwhile the business scale III of silk worms is considered feasible if the development scenario is conducted by improving the farming of silk worm as many as 24 boxes/year with a NPV of Rp 12,649,681; gross B/C of 1.12; IRR of 26.06%, and PBP of 3.44 years.
The cocoon price decrease of 10% is more influential (sensitive to) on the business condition rather than an increase of 10% in the operational cost. Silk worm businesses of scale I and III with the development scenarios remain feasible to operate despite a decline of 10% in cocoon price and an increased operating cost of 10%, whereas the silk worm business of scale II is not feasible to do.