Indeks Kepekaan Lingkungan Analyze of Environmental Sensitivity Indeks Method for Mangrove Ecosystem Againt Oil Spills. Case Study at Subang District Coastal Zone

Penyebaran spreading merupakan pergerakan minyak secara horizontal di permukaan air laut. Proses penyebaran minyak dipengaruhi oleh densitas, kelembaman, gesekan, viskositas dan tegangan permukaan sedangkan adveksi adalah pergerakan minyak akibat pengaruh dari angin dan arus API 1999. Menurut IMO 1988, angin memberikan pengaruh sebesar 3 sedangkan arus 100. Spreading membantu proses weathering menjadi lebih efisien karena meningkatkan luas daerah permukaan. Penguapan evaporasi minyak meningkat dengan meningkatnya kecepatan angin sampai pada waktu tertentu Fingas 2000. Jenis minyak juga mempengaruhi proses penguapan. Emulsifikasi merupakan proses dimana air bercampur dengan minyak dan bergantung pada komposisi minyak dan keadaan laut. Proses ini meningkatkan volume campuran minyak dengan air sehingga meningkatkan viskositas tumpahan minyak. Biodegradasi mikroba dilakukan oleh berbagai mikroorganisme laut yang mampu menguraikan senyawa minyak. Sedangkan proses sedimentasi terjadi apabila berat jenis minyak meningkat melebihi air. Minyak bumi masuk ke lingkungan perairan laut dengan beberapa cara, yaitu rembesan alam dari dasar laut natural seeps, kecelakaan tanker tanker accident, operasi normal tanker normal operation of tankers, kebocoran dan semburan dari proses produksi dan eksplorasi lepas pantai blowout and accidents from offshore exploration and production, river run off, kilang minyak di darat coastal refineries, limbah kota urban run off and sewage, dan jatuhan dari atmosfer atmospheric fall out Mukhtasor, 2007. Di Indonesia, kasus tumpahan minyak telah banyak terjadi seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia Mukhtasor, 2007 Tahun Lokasi Kejadian 1975 Selat Malaka Kandasnya Showa Maru dan menumpahkan 1 juta barel minyak solar 1975 Selat Malaka Tabrakan kapal tanker Isugawa Maru dengan kapal Silver Palace 1979 Bulele, Bali Pecahnya kapal tanker Choya Maru dan menumpahkan 300 ton bensin 1979 Lhokseumawe, Aceh Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500 kilo liter minyak tanah 1984 Delta Mahakam, Kalimantan Timur Semburan liar pemboran minyak milik Total Indonesia 1992 Selat Malaka Tabarakan kapal MT. Ocean Bessing dengan MT. Nagasaki Spirit yang menumpahkan 500 barel minyak 1993 Selat malaka Tertabraknya tanker Maersk yang memuat minyak 1994 Cilacap Tabrakan antara tanker MV. Bandar Ayu dengan kapal ikan 1996 Natuna Tenggelamnya KM. Batamas II yang memuat MFO 1997 Kepulauan Riau Tabrakan antara tanker Orapin Global dengan Evoikos menumpahkan 25000 ton minyak mentah 1997 Kepulauan Riau Kebocoran pipa transfer minyak CALTEX 1997 Selat Makassar Tenggelamnya tanker Mission Vikin 1997 Selat Makassar Kandasnya platrorm E-20 UNOCAL 1997 Selat Madura Tenggelamnya tanker SETDCO Tahun Lokasi Kejadian 1998 Tanjung Priok Kandasnya kapal Pertamina Supply No. 27 dengan muatan solar 1999 Cilacap Robeknya tanker MT. King Fisher dengan menumpahkan 640.000 liter minyak dan mencemari Teluk Cilacap sepanjang 38 km 2000 Cilacap Tenggelamnya KM. HC yang memuat 9000 aspal curah 2000 Batam Kandasnya MT. Natuna Sea menumpahkan 4000 ton minyak mentah 2001 Tegal, Cirebon Tenggelamnya tanker Steadfast yang mengangkut 1200 ton limbah minyak 2003 Sungai Musi Tabrakan kapal beras milik PT. Toba PulpLestari Angiang Shipping dengan Tongkang PLTU 1mengakibatkan tumpahnya 250 ton minyak bahan bakar diesel milikPLTU Keramasan 2004 Riau Tenggelamnya tanker Vista Marine yang menumpahkan 200 ton minyak mentah 2008 Indramayu Tanker Arendal mengalami kebocoran pipa dan menumpahkan 150.000 DWT minyak 2009 Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya Terbaliknya Tanker MT. Kharisma Selatan yang menumpahkan 500 kilo liter MFO Marine Fuel Oil 2009 Laut Timor Ladang minyak Montara meledak dan menumpahkan sekitar 500 ribu liter minyak mentah kelaut setiap hari Menurut Triatmodjo 1999, Tumpahan minyak di laut dapat mengakibatkan pencemaran hingga di daerah pesisir. Hal ini karena daerah pesisir merupakan daerah yang mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut. Tumpahan minyak yang terbawa bersama arus pasang dapat terpenetrasi dan terakumulasi di dalam tanah Pezeshki dkk., 2000. Kecelakaan atau tumpahan minyak di laut yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisik-kimia air laut akan berpengaruh terhadap kehidupan dan habitat-habitat ekosistem wilayah pesisir seperti plankton, benthos, nekton, hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Sehingga ditinjau dari sisi ekonomis tumpahan minyak bisa mendatangkan kerugian yang amat besar, tidak hanya dari produksi perikanan saja akan tetapi juga kehidupan ekosistem- ekosistem pesisir termasuk hutan mangrove Supriharyono, 2007. Pencemaran dan kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh tumpahan minyak tersebut tidak lepas dari komposisi minyak yang sulit diurai oleh mikroorganisme alami laut secara cepat. Efek dari tumpahan minyak di laut dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu minyak yang larut akan mengapung pada permukaan air dan minyak yang tenggelam akan terakumulasi didalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan bebatuan di pantai. Minyak yang larut akan mengapung pada permukaan air dan akan menggangu organisme yang hidup pada permukaan perairan. Minyak yang mengapung di atas permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari kedalam zona fotik dan tentu saja akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang akan digunakan untuk berfotosintesis. Selain itu, genangan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer sehingga dapat mengurangi kelarutan oksigen. Kekurangan oksigen akan mempengaruhi bentuk kehidupan laut yang aerob. Minyak yang tenggelam akan terakumulasi didalam sedimen, pasir dan bebatuan di pantai akan mengganggu organisme interstitial maupun organime intertidal. Ketika minyak tersebut sampai ke pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan dapat mengalami kematian. Minyak-minyak tersebut akan terakumulasi dan terendap pada dasar perairan seperti pasir dan bebatuan sehingga akan mempengaruhi tingkah laku, reproduksi, dan pertumbuhan dan perkembangan hewan yang mendiami daerah ini.

2.5. Dampak Pencemaran Minyak Terhadap Ekosistem Mangrove

Mangrove dapat beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan salinitas tinggi dan kondisi tanah berlumpur dengan kondisi anaerob, namun tidak dapat bertahan panda kondisi lingkungan yang mengandung minyak. Hal ini dikarenakan akar nafas yang terdapat dipermukaan tanah yang berperan sebagai tempat pertukaran gas tertutup oleh tumpahan minyak. Selain itu kerusakan mangrove juga bisa dikarenakan pengaruh senyawa beracun yang terkandung dalam minyak hidrokarbon Durk dan Bron, 1999; Proffitt, 1996; IPIECA, 1993. Senyawa tersebut tidak bisa diurai secara cepat oleh mikroorganisme. Minyak akan terjebak di mangrove sehingga upaya membersihkan sangat sulit. Senyawa mengendap di dalam sedimen disekeliling tanaman mangrove kemudian terserap oleh tanaman. Walaupun minyak dapat terurai dengan cepat, tapi jika terbenam secara cepat dibawah sistem hutan mangrove, maka akan tetap tidak terurai selama puluhan tahun di dalam lumpur yang halus dan akan mempengaruhi habitat lain yang berasosiasi dengan mangrove. Dampak pencemaran minyak terhadap hutan mangrove lebih mengarah ke gangguan fisik. Dampak tumpahan minyak dapat secara langsung menyebabkan kematian tanaman mangrove atau dapat bersifat jangka panjang. Mangrove yang terpapar minyak dapat mengalami kematian dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Salah satu dampak langsung dan jelas adalah gugurnya daun mangrove. Mangrove yang terkena minyak daunnya akan menguning, gugur dan mati, selanjutnya akan mengakibatkan gagalnya perkecambahan, peningkatan laju mutasi, dan meningkatkan kepekaan terhadap tekanan stress NOAA, 2010. Sedangkan dampak kerusakan mangrove jangka panjang adalah tidak lagi ditemukan pertumbuhan mangrove disekitar tumpahan minyak dalam berapa dekade. Durk dan Bron 1999 melaporkan bahwa tumpahan minyak yang terjadi di perairan Australia sejak tahun 1970, masih berdampak terhadap perkembangan mangrove. Dari 220 ha tanaman mangrove, sekitar 30 ha mangrove mati, sedangkan untuk bisa kembali menjadi hutan mangrove seperti semula dibutuhkan waktu kurang lebih 36 tahun Durk dan Bron 1999. Dampak minyak terhadap mangrove dapat bervariasi tergantung pada jenis minyak, jumlah minyak, durasi cuaca serta jenis mangrove itu sendiri Durk dan Bron 1999. Minyak mentah dan oli dapat tersimpan di pantai lebih tebal dan lengket yang dapat mengganggu atau menghalangi proses biologi di lingkungan. Sedangkan produk minyak tidak se-toksik minyak mentah, namun ketika minyak menutupi tumbuhan dan binatang maka tumbuhan dan binatang tersebut bisa mati lemas, menderita atau mengalami gangguan fungsi fisiologi NOAA, 2010. Jumlah minyak juga mempengaruhi tingkat kerusaka mangrove. Kerusakan fatal akan terjadi apabila jumlah minyak yang tumpah melebihi ambang tertentu. Beberapa jenis mangrove dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang sudah tercemar minyak seperti Rhizopora dan Avicennia marina yang masih ditemukan di lingkungan tercemar minyak di Australia Durk dan Bron 1999. Diduga tanaman ini memiliki struktur morfologi dan fisiologi yang berbeda untuk bisa bertahan pada kondisi lingkungan yang sudah tercemar. Selain itu tumpahan minyak di sepanjang pantai Sao Paolo Brasil, menyebabkan persentase gugurnya daun dari beberapa spesies mangrove berbeda-berbeda. Rhizophora mangle sebesar 25,9, daun Languncularia racemosa sebesar 43,4 dan daun Avicennia schaueriana sebesar 64,5 Lamparelli et al, 1997.

2.6. Wilayah Pesisir Kabupaten Subang

Secara geografis Kabupaten Subang terletak antara 107° 31 - 107° 54 Bujur Timur dan 6° 11 - 6° 49 Lintang Selatan. Adapun batas daerah kabupaten ini adalah BPS, 2010:  Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat  Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang  Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa  Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang Secara topografi Kabupaten Subang dibagi ke dalam tiga zona yaitu zona pegunungan, zona perbukitan dan zona dataran rendah dengan 4 kecamatan pesisir. Kecamatan tersebut yaitu; Blanakan, Sukasari, Legon Kulon dan Pusakanagara Gambar 6. Luas wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Subang ±275,23 km 2 atau 13,50 dari luas wilayah kabupaten Subang dengan panjang pantai 48,20 km Bappeda, 2010. Kabupaten Subang memiliki kemiringan yang relatif rendah dimana 80,8 luas wilayahnya memiliki kemiringan 0-17 ° BPS, 2010. Dari sisi oseanografi, pantai utara kabupaten Subang memiliki kontur yang landai, dengan kemiringan 0.06 atau 6 °. Jarak rata-rata 4 km dari garis pantai memiliki kedalaman 5 m. Kemudian jarak rata-rata 13 km dari garis pantai memiliki kedalaman 10 m, dan jarak 21 km dari dari garis pantai kedalaman mencapai 20 meter. Kontur kedalaman kurang dari 5 meter menunjukkan kondisi relatif landai dari garis pantai Saskiartono, 2008. Tipe pasang surut pesisir Subang secara umum termasuk kategori campuran yang mengarah pada semidiurnal. Kisaran maksimal tinggi pasang dan surut sebesar 1 meter dan kisaran tinggi pasang dan surut terendah kedua adalah 0,5-0,7 meter. Pergerakan massa air atau arus pesisir Subang dipengaruhi oleh pergantian musim. Pada musim barat, pergerakan arus umumnya ke arah timur dengan kecepatan berkisar 3 –14 milhari. Musim timur pergerakan arus umumnya ke arah barat dengan kecepatan 1-13 milhari. Musim peralihan 1 Maret-Mei dan peralihan 2 September-November kecepatan arus laut adalah 1-6 miljam. Diwilayah pantai arus umumnya merupakan arus gabungan yang ditumbulkan oleh arus regional dan arus pasang surut Saskiartono, 2008 Secara umum potensi wilayah pesisir Subang hanya berada di 4 wilayah kecamatan pesisir, diantaranya desa Patimban yang merupakan desa pesisir di wilayah Pusakanagara memiliki potensi pertanian dan perikanan budidaya tambak. Desa Pondok Bali Kecamatan Legonkulon memiliki potensi wisata yaitu Pantai Pondok Bali. Desa Blanakan memiliki potensi perikanan tangkap dengan fasilitas berupa Pelabuhan Pelelangan Ikan PPI skala regional yang terbesar kedua disepanjang pantai pantura dan ekowisata budidaya mangrove yang dipadukan dengan budidaya tambak dan penangkaran buaya Saskiartono, 2008. Luas keseluruhan tambak yang telah dimanfaatkan tercatat seluas 2.283,76 Ha BPS, 2010, tersebar di Kecamatan Sukasari, Pusakanagara, Legonkulon dan Blanakan. Beberapa komoditas yang dikembangkan adalah Rumput Laut Euchema spp, Kakap Lates carcarifer, Kerapu Ephinephelus spp, Udang Windu Paneus monodon, Udang Putih Paneus marguensis, Bandeng Channos channos dan Kerang-kerangan serta jenis ikan lainnya. Adapun permasalahan yang dihadapi di wilayah pesisir Subang diantaranya abrasi dan sedimentasi, aksesibilitas transportasi, konservasi yang tidak merata disetiap daerah pantai, manajemen pengeloaan wisata yang kurang baik, dan penataan ruang yang belum optimal. Proses geodinamika yang terjadi disepanjang pesisir dan laut kabupaten Subang abrasi, sedimentasi dan intrusi air laut terjadi disepanjang pantai yang diperparah dengan kerusakan hutan mangrove yang diubah menjadi area tambak Bappeda 2010 Gambar 7. Karena banyaknya daerah mangrove yang dikonversi menjadi daerah tambak, hutan mangrove yang ada di pesisir Kabupaten Subang kemudian ditetapkan menjadi hutan mangrove binaan dengan status hutan lindung di bawah otoritas pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. Spesies mangrove yang paling mendominasi di Blanakan adalah Avicennia marina. Fitranti, 2010. Selain memiliki hutan mangrove dan daerah tambak, di daerah pesisir Subang juga terdapat kegiatan penambangan minyak bumi yang dikelola oleh pemerintah Indonesia, bahkan potensi migasnya terbilang cukup besar. Hingga tahun 2006 tercatat 65 sumur telah dieksplorasi di 17 lokasi produksi, dengan jumlah produksi minyak bumi sebesar 2.100 BOPD per hari Dinas pertambangan dan Energi Subang, 2012.