Analyze of Environmental Sensitivity Indeks Method for Mangrove Ecosystem Againt Oil Spills. Case Study at Subang District Coastal Zone

(1)

ANALISIS METODE INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP TUMPAHAN MINYAK,

STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN SUBANG

NOVIT RIKARDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Metode Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove terhadap Tumpahan Minyak, Studi Kasus di Wilayah Pesisir Kabupaten Subang” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Novit Rikardi P052090221


(4)

(5)

RINGKASAN

NOVIT RIKARDI. Analisis Metode Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove terhadap Tumpahan Minyak, Studi Kasus di Wilayah Pesisir Kabupaten Subang. Dibimbing oleh I Wayan Nurjaya dan Ario Damar.

Salah satu ekosistem pesisir yang sangat rentan terhadap tumpahan minyak adalah ekosistem mangrove. Tumpahan minyak di ekosistem mangrove dapat menyebabkan kematian mangrove. Pencemaran minyak dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu biota lain yang hidup di ekosistem mangrove serta mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Sehingga upaya untuk mencegah atau meminimalkan resiko terjadinya tumpahan minyak di kawasan pesisir diperlukan. Indeks kepekaan lingkungan (IKL) merupakan sebuah indeks yang dapat menentukan tingkat sensitifitas/kepekaan lingkungan akibat adanya potensi tumpahan minyak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan indeks kepekaan lingkungan ekosistem mangrove di wilayah pesisir Subang, provinsi Jawa Barat terhadap tumpahan minyak. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil survei dan pengukuran langsung dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur. Data primer yang dikumpulkan berupa data ekosistem mangrove, jenis substrat pantai, dan data sosial ekonomi terkait ekosistem mangrove. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berupa data karakteristik pantai dan data hidrooseanografi. Data primer dan data sekunder selanjutnya diolah untuk membentuk parameter IKL. IKL selanjutnya diaplikasikan di daerah terpilih, kemudian disajikan dalam bentuk peta IKL.

IKL dibangun dari indeks kerentanan (IK), indeks ekologi (IE), dan indeks sosial ekonomi (IS). Parameter IK diperoleh dari karakteristik fisik pantai (kemiringan pantai, tipe pasang surut, rentang pasang surut (tidal range), tinggi gelombang, tipe substrat, dan jarak mangrove dari pantai). IE diperoleh dari sumberdaya biologi mangrove yang terdiri dari zonasi jenis mangrove, kerapatan mangrove, keragaman mangrove, satwa yang dilindungi dan status perlindungan mangrove. Sedangkan parameter yang digunakan dalam penentuan IS mangrove terdiri dari 2 komponen yaitu komponen sosial dan ekonomi. Komponen sosial terdiri dari pemanfaatan sumberdaya mangrove oleh masyarakat, yang terdiri dari potensi perikanan, potensi pemanfaatan kayu dan potensi wisata, sedangkan ekonomi mangrove dihitung dari biomassa mangrove. Rumus IKL total yang dipakai adalah , dengan 5 kelas IKL yaitu tidak peka, kurang peka, cukup peka, peka dan sangat peka.

Secara umum daerah pesisir Subang memiliki karakteristik pantai yang landai, tipe pasang surut campuran condong tunggal dengan tinggi gelombang rata-rata sebesar 0,4 meter, jenis substrat pantai berupa lumpur dan mayoritas mangrove ditemukan di bibir pantai. Dari hasil pengamatan ditemukan tiga jenis mangrove yaitu Avicennia sp., Sonneratia sp., dan Rhizophora sp., dengan kerapatan yang berbeda. Kawasan mangrove di daerah penelitian merupakan hutan lindung dan tidak ditemukan adanya hewan yang dilindungi. Hutan mangrove dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan (sebagai daerah tambak,


(6)

iv

penangkapan belut dan kepiting) serta pemanfaatan kayu (sebagai bahan bakar, bahan bangunan, bahan pembuatan alat tangkap). Hasil aplikasi IKL di daerah pesisir Subang menunjukkan bahwa ekosistem mangrove daerah tersebut memiliki kelas IKL peka dan cukup peka. Secara umum ekosistem mangrove di lokasi pengamatan cukup peka terhadap tumpahan minyak kecuali di daerah Tegal Tike, Anggaranu dan Tanjung. Ketiga daerah tersebut peka terhadap tumpahan minyak.

Kata kunci: indeks kepekaan lingkungan (IKL), mangrove, tumpahan minyak, indeks kerentanan, indeks ekologi, indeks sosial ekonomi, kelas IKL.


(7)

SUMMARY

NOVIT RIKARDI. Analyze of Environmental Sensitivity Indeks Method for Mangrove Ecosystem Againt Oil Spills. Case Study at Subang District Coastal Zone Supervised by I Wayan Nurjaya and Ario Damar.

Mangrove ecosystem is one of the coastal ecosystems that very vulnerable to oil spills. Oil spill on mangrove ecosystem can cause direct mortality. Oil polution in the long term on mangrove ecosystem can disturb another organism that live in mangrove, also influencing socio-economic life of people who depend their life to mangrove ecosystem. With the result that, efforts to prevent or minimize the risk of oil spills in coastal areas is needed. Enviromental sensitivity index (ESI) is an index that can determine the sensitivity level of environmental to oil spills.

This research aims to develop environmental sensitivity index of mangrove ecosystem in the coastal area of Subang, West Java Province to oil spill. Types of data were used in this study consists of primary data and secondary data. Primary data was obtained by survey in the field, while secondary data was obtained by literature study. Primary data was collected including mangrove ecosystem data, type of substrates, and socio-economics data that related to mangrove ecosystem. While secondary data was including coastal physical characteristics and hydrooceanography. These data were used to form ESI parameters. Furthermore the ESI was applied in the studied area and then the sensitivity area was shown on ESI map.

The ESI was comprised of three types of index consist of vulnerability index (VI), ecology index (EI), and socio-economic index (SI). The paramaters of VI consist of slope, tides, tidal range, height of wave, type of substrate, and mangrove distance from the coast. The parameters of EI consist of mangrove zonation, density of mangrove, diversity of mangroves, stage of mangrove, protected wildlife, and status of mangrove protection. The parameters of SI consists of two components including social and economic components. The social component was based on mangrove resource utilization by human, such as fisheries potential, wood potential, and tourism potential, while the economic component was counting from biomass of mangrove. The formula of ESI was used is it divided into 5 sensitivity levels (not sensitive, less sensitive, moderate, sensitive and very sensitive).

Generally coastal areas of Subang were slightly slope, mixed semidiurnal of tidal type, average wave height is 0.4 meters, muddy substrate and mangrove found in the shoreline. In observation areas founded three genus of mangrove (Avicennia sp, Sonneratia sp, and Rhizophora sp.) with different densities. The mangrove ecosystem at Subang is protected area. Protected wildlife did not found on mangrove ecosystem. Mangrove used for fisheries activities (as an area of ponds, catching eels and crabs) and the use of wood (as fuelwood, building materials, materials for fishing gear). The ESI aplication on mangrove ecosystem in observation areas showed that some mangrove have sensitive and moderate ESI level. The most of areas moderate to oil spill except to Tegal Tike, Anggaranu, and Tanjung. These area are sensitive to oil spill


(8)

vi

Key word: environmental sensitivity index (ESI), mangrove, oil spill, vulnerability index, ecology index, socio-economic index, ESI level.


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

ANALISIS METODE INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP TUMPAHAN MINYAK,

STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN SUBANG

NOVIT RIKARDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(12)

x


(13)

----HALAMAN PENGESAHAN

Judul penelitian Analisis Metode Indeks Kepekaan Lingkungan

Ekosistem Mangrove terhadap Tumpahan Minyak, Studi Kasus di Wilayah Pesisir Kabupaten Subang

Nama セッカゥエ@ Rikardi

NRP P052090221

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Aria Damar M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana


(14)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul penelitian : Analisis Metode Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove terhadap Tumpahan Minyak, Studi Kasus di Wilayah Pesisir Kabupaten Subang

Nama : Novit Rikardi

NRP : P052090221

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

ulus :

Tanggal ujian : 24 Juni 2013 Tanggal lulus : Dr. Ir. I Wayan Nurjaya M.Sc

Ketua

Dr. Ir. Ario Damar M.Si Anggota

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


(15)

(16)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang

berjudul “Analisis Metode Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove

terhadap Tumpahan Minyak, Studi Kasus Di Wilayah Pesisir Kabupaten Subang” merupakan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat sejak Januari sampai dengan April 2012.

Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini terutama kepada Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc dan Dr. Ir. Ario Damar M.Si. selaku pembimbing, serta Dr. Ir Sigid Hariyadi selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan saran hingga tersusunnya tesis ini. Penghargaan juga diberikan pada Staf Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB) yang telah banyak membantu dalam penyusunan tesis. Kepada Kelurga Yayan dan Pak Syahrudin yang telah membantu penulis ketika pengambilan data di lapang. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada istri, kedua orang tua, kakak dan keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa yang tak ternilai. Ahmad, Poppi, Da Roni, Aan, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terimakasih atas kebersamaan dan bantuannya. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013


(17)

(18)

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Indeks Kepekaan Lingkungan ... 5

2.2. Ekosistem Mangrove ... 9

2.3. Komposisi dan Karakteristik Minyak ... 11

2.4. Pencemaran Minyak di Lingkungan Laut ... 13

2.5. Dampak Pencemaran Minyak Terhadap Ekosistem Mangrove ... 16

2.6. Wilayah Pesisir Kabupaten Subang ... 17

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

3.2. Alat dan Bahan ... 21

3.3. Metode Penelitian ... 21

3.3.1. Pengumpulan Data ... 21

3.3.2. Analisis data ... 23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Hasil ... 29

4.1.1. Pembentukkan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) Ekosistem Mangrove ... 29

4.1.2. Indeks Kepekaan Lingkungan Pesisir Subang ... 33

4.2. Pembahasan ... 40

4.2.1. Parameter Indeks Kerentanan Lingkungan (IKL) Mangrove .... 40

4.2.2. Indeks Kepekaan Lingkungan Pesisir Subang ... 45

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

5.1. Kesimpulan ... 49

5.2. Saran ... 49


(19)

(20)

xv

DAFTAR TABEL

1 Tingkat kepekaan pantai terhadap tumpahan minyak ... 6

2 Kepekaan relatif habitat laut terhadap minyak ... 7

3 Karakteristik minyak mentah ... 12

4 Karakteristik dari berbagai jenis produk minyak ... 12

5 Peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia ... 14

6 Parameter yang digunakan dalam membentuk IK dan IE... 29

7 Parameter dan ranking indeks kerentanan ... 30

8 Parameter dan ranking indeks ekologi ... 31

9 Parameter dan ranking indeks sosial ekonomi lingkungan ekosistem mangrove ... 32

10 Tingkat kepekaan lingkungan berdasarkan nilai IKL ... 32

11 Lokasi pengamatan IKL pesisir Subang ... 33

12 Nilai indeks kerentanan di pesisir Subang ... 34

13 Keragaman mangrove di pesisir Subang ... 35

14 Nilai indeks ekologi ekosistem mangrove di pesisir Subang ... 36

15 Indeks sosial ekonomi ekosistem mangrove di wilayah pesisir Subang ... 37

16 Indeks kepekaan lingkungan ekosistem mangrove di lokasi pengamatan ... 38

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian. ... 3

2 Salah satu jenis mangrove di Indonesia (Rhizophora mucronata) ... 9

3 Salah satu jenis tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia ... 10

4 Bentuk-bentuk akar pohon mangrove ... 11

5 Proses pelapukan minyak dilaut ... 13

6 Peta adminstrasi Kabupaten Subang. ... 19

7 Peta penutupan lahan Kabupaten Subang. ... 20

8 Peta lokasi penelitian. ... 22

9 Penampang melintang kemiringan lahan pada tahun 1994 ... 33

10 Grafik pasang surut pesisir Subang dari bulan Januari-April 2012 ... 34

11 Peta indeks kepekaan lingkungan ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang ... 39


(21)

(22)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap daerah pesisir mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda terhadap gangguan yang diterima, baik dari faktor alam maupun akibat aktivitas manusia. Gangguan tersebut diantaranya adalah pencemaran tumpahan minyak. Pencemaran minyak tidak hanya menimbulkan pencemaran diperairan, tapi juga bisa menimbulkan pencemaran di daerah pesisir. Salah satu ekosistem pesisir yang sangat rentan terhadap tumpahan minyak adalah ekosistem mangrove. Tumpahan minyak di ekosistem mangrove dapat menyebabkan kematian mangrove akibat minyak menutupi pori-pori akar yang menghalangi transfer oksigen atau akibat zat kimia beracun yang terkandung dalam minyak (IPIECA, 1993; NOAA, 2010). Pencemaran minyak dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu biota lain yang hidup di ekosistem mangrove serta mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem mangrove. Sehingga upaya untuk mencegah atau meminimalkan resiko terjadinya tumpahan minyak di kawasan pesisir diperlukan.

Salah satu upaya awal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak pencemaran minyak di daerah pesisir adalah dengan memetakan lokasi yang berpotensi tercemar tumpahan minyak berdasarkan pada kepekaan lingkungan wilayah tersebut terhadap tumpahan minyak. Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) dapat digunakan untuk membentuk zona-zona tingkat kerentanan yang dapat dijadikan acuan untuk menghitung klaim ganti rugi atau untuk menyusun berbagai kebijakan yang berhubungan dengan rencana pengelolaan wilayah pesisir. Untuk dapat menentukan strategi yang efektif dan efisien sehingga di dapat hasil yang optimal, perlu dilakukan pengkajian dan pengembangan terhadap metode IKL. Parameter yang umum digunakan oleh para peneliti mengacu pada NOAA (2002), begitupun pemberian rangking dan kelas IKL. Informasi yang digunakan untuk membentuk IKL diantaranya adalah parameter fisik pantai, sumberdaya biologi, dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pantai (NOAA, 2002). Kepekaan secara umum disusun dengan skala 1 sampai 10 mulai dari yang tidak peka sampai yang peka (NOAA 2002).

DNV (2011) menyatakan rumus IKL sebagai indeks dari sensitifitas fisik (IK), sumberdaya biologi (IE) dan sumberdaya yang digunakan oleh manusia (IS). DNV (2011) memberikan bobot pada setiap indeks yang membentuk IKL, sehingga diperoleh rumus . Pemberian bobot didasarkan pada biaya yang dibutuhkan dalam membersihkan tumpahan minyak. Berbeda dengan DNV (2011), Damar et al. (2013) menyatakan bahwa rumus . IS memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan IK dan IE karena tingginya potensi konflik sosial yang dapat terjadi akibat pencemaran minyak.

Pesisir Subang miliki hutan mangrove seluas 7.082,28 ha (Bappeda, 2010). Di perairan ini juga terdapat kegiatan penambangan minyak bumi dan gas alam yang dikelola oleh pemerintah Indonesia. Jika terjadi tumpahan minyak maka akan berdampak terhadap ekosistem mangrove yang ada di pesisir Subang (Dinas Pertambangan dan Energi, 2012). Mengacu kepada sumber pustaka yang ada dan menghubungkan dengan kondisi terkini di daerah studi, maka perlu dilakukan


(23)

2

suatu pengembangan metode IKL yang sesuai dengan kondisi di daerah pengamatan. Metode tersebut diharapkan dapat memberikan informasi awal yang lebih akurat tentang tingkat kepekaan ekosistem mangrove di daerah pesisir terhadap pencemaran tumpahan minyak.

1.2. Kerangka Pemikiran

Tumpahan minyak tidak hanya menimbulkan pencemaran diperairan, tapi juga menimbulkan pencemaran di daerah pesisir. Tumpahan minyak di lepas pantai dapat terbawa arus ke wilayah pesisir dan masuk ke ekosistem mangrove. Hal tersebut dapat menyebabkan kematian mangrove dalam jangka panjang. IKL dapat memetakan sumberdaya mangrove yang berpotensi terkena tumpahan minyak beserta tingkat kepekaannnya. Dengan adanya IKL, maka dapat ditentukan ekosistem mangrove yang perlu mendapat prioritas penanggulangan terhadap tumpahan minyak. Kajian IKL juga diperlukan untuk menentukan strategi yang efektif dan efisien dalam mengantisipasi dampak tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove.

Untuk dapat menentukan strategi yang efektif dan efisien sehingga di dapat hasil yang optimal, perlu dilakukan pengkajian dan pengembangan terhadap parameter-parameter yang digunakan. Pemilihan parameter didasarkan pada kondisi lingkungan pesisir tempat tumbuhnya hutan mangrove. Parameter yang digunakan adalah parameter fisik pantai, ekologi mangrove, dan pemberdayaan daerah pesisir oleh masyarakat sekitar. Parameter tersebut akan membentuk IKL yang akan diaplikasikan pada daerah terpilih. Ada pun tahapan penentuan IKL ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:

1. Penetapan parameter, kelas, dan bobot yang dapat digunakan untuk membangun Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL).

2. Penetapan rangking IKL yang paling cocok ditetapkan di daerah penelitian. 3. Penetapan Rumus IKL total

4. Aplikasi IKL pada daerah terpilih.

Penetapan IKL tersebut selanjutnya diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk mencegah atau meminimalkan resiko terjadinya tumpahan minyak di kawasan mangrove. Secara skematis bagan alir dari kerangka pemikiran penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.


(24)

3

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode indeks kepekaan lingkungan ekosistem mangrove khususnya pengembangan parameter-parameter dalam penentuan IKL ekosistem mangrove dan penentuan kriteria (nilai) kepekaan untuk setiap parameter di wilayah pesisir Subang, Provinsi Jawa Barat terhadap tumpahan minyak.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar untuk menentukan strategi yang efektif dan efisien dalam mengantisipasi dampak tumpahan minyak terhadap ekosistem mangrove.

Penetapan Rumus IKL Total Penentuan parameter, kelas, dan

bobot IKL

Penetapan rangking IKL

Antisipasi

Terbawa arus ke pantai Tumpahan

minyak

Masuk ke ekosistem mangrove Kerusakan

mangrove


(25)

(26)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Indeks Kepekaan Lingkungan

Setiap pantai mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda terhadap gangguan yang diterima, baik dari faktor alam maupun akibat aktivitas manusia. Kerentanan adalah kondisi lemahnya suatu tempat, individu, populasi, atau sistem terhadap kerusakan akibat adanya ancaman/bahaya dan secara langsung mempengaruhi kemampuannya untuk mempersiapkan, merespon, dan bangkit (recovery), dari ancaman dan bencana (Cutter et al. 2009) . Kepekaan disebabkan kerentanan suatu habitat ketika berhubungan dengan dampak fisik atau kondisi lingkungan yang sangat ekstrim (Tyler-walter et al, 2001). Kepekaan lingkungan merefleksikan tingkat reaksi suatu wilayah pesisir untuk dapat pulih kembali apabila terjadi gangguan atau bencana tumpahan minyak.

Indeks kepekaan lingkungan (IKL) merupakan sebuah indeks yang dapat menentukan tingkat sensitifitas/kepekaan lingkungan akibat adanya potensi tumpahan minyak. IKL disajikan dalam bentuk peta. Peta IKL digunakan untuk mengidentifikasi sumberdaya yang paling sensitif ketika terjadi tumpahan minyak sehingga dapat diprioritaskan untuk perlindungan dan pembersihan serta dapat memberikan informasi dalam menentukan strategi rencana penanggulangan yang optimal (IPIECA, 2012).

Indeks kepekaan secara sistematis mengkompilasi informasi mengenai (1) kepekaan pantai, (2) sumberdaya biologi dan (3) sumberdaya yang dimanfaatkan manusia (NOAA 2002). RPI (1994) menyusun IKL berdasarkan (1) tipe garis pantai (substrat, ukuran partikel elevasi), (2) tingkat keterbukaan pantai terhadap pasang dan gelombang, (3) produktivitas dan kepekaan secara biologi, dan (4) kemudahan membersihkan minyak. Stjernholm (2011) menyusun IKL berdasarkan tipe pantai, oseanografi, sumberdaya biologi, perikanan, area dilindungi, dan situs arkeologi. Selain itu Smith (2011), menyusun IKL berdasarkan geomorfologi, sumberdaya biologi, dan aktivitas sosial ekonomi. Sedangkan DNV (2011) menyusun IKL berdasarkan tiga komponen utama yaitu: 1. Sensitivitas fisik, yaitu karakteristik lingkungan yang mempengaruhi

tumpahan minyak dan kemudahan dalam membersihkan tumpahan minyak tersebut.

2. Sumberdaya biologi, mancakup habitat, spesies (jarang dan dilindungi) dan lingkungan yang memiliki karekteristik yang unik dan langka.

3. Sumberdaya yang digunakan oleh manusia, termasuk perikanan komersil, budidaya, pariwisata, dan tempat lain yang penting bagi masyarakat setempat.

Karakteristik fisik pantai yang digunakan sebagai parameter dalam menentukan IKL didasarkan pada pengaruh dari masing-masing komponen dalam mempercepat atau memperlambat penyebaran minyak, lamanya waktu minyak terendap, serta tingkat kemudahan dalam pembersihan minyak yang tumpah (NOAA, 2002). Parameter tersebut diantaranya habitat pantai, tingkat paparan ombak dan pasang surut, kemiringan pantai, jenis dan ukuran substrat (NOAA, 2002).

Sumber daya biologi yang digunakan sebagai parameter dalam penentuan IKL adalah hewan, tumbuhan, dan habitat yang berpotensi terkena resiko dampak tumpahan minyak (NOAA 2002). Mangrove merupakan salah satu sumber daya


(27)

6

biologi yang memiliki nilai sensitifitas yang sangat tinggi karena potensi dampak jangka panjang dan potensi kerusakan yang terkait dengan proses pembersihan tumpahan minyak (NOAA, 2002). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Sloan (1993) bahwa mangrove merupakan ekosistem yang sangat rentan/sensitif terhadap tumpahan minyak. Menurut NOAA (2002), mangrove merupakan tempat mencari makan bagi beberapa ikan dan burung sehingga menjadikannya sangat sensitif terhadap minyak. Ketika minyak masuk ke habitat mangrove, minyak dapat masuk kedalam sedimen dan laju penghilangan minyak berlangsung lambat.

Sensitifitas mangrove akan bertambah jika ekosistem mangrove terdapat dalam kawasan yang dilindungi. Kawasan yang dilindungi secara lokal memiliki nilai sensitifitas rendah hingga sedang, sedangkan kawasan yang dilindungi secara nasional memiliki nilai sedang dan kawasan yang dilindungi secara internasional memiliki nilai sensitifitas yang tinggi (IPIECA, 2012). Keberadaan hewan yang sensitif juga mempengaruhi tingkat sensitifitas hutan mangrove.

Nilai sosial merupakan pola penggunaan lahan dan pada prinsipnya dapat dibagi dalam 4 komponen utama, yaitu: rekreasi dan pemanfaatan pantai, menajemen wilayah, pemanfaatan sumberdaya alam, dan arkheologi, situs sejarah dan budaya (NOAA, 1997). Sedangkan nilai sosial ekonomi yang tinggi dari ekosistem mangrove adalah perikanan pesisir, pemanfaatan kayu mangrove, serta sebagai tempat wisata (Kustanti, 2011). UNEP (2011) menyatakan manfaat mangrove yang paling bernilai adalah sebagai habitat tempat makan dan berlindung bagi juvenile ikan. Kayu juga merupakan produk mangrove yang memiliki nilai tinggi. Kayu dari mangrove digunakan sebagai kayu bakar, pembuatan arang, bahan penyamak (tannin), perabot rumah tangga, bahan konstruksi bangunan, obat-obatan dan sebagai bahan untuk industri kertas (Nontji, 2007).

Tingkat kepekaan suatu ekosistem pantai terhadap perubahan lingkungan bergantung pada respon ekosistem tersebut terhadap suatu dampak dan peluang terjadinya dampak terhadap ekosistem. Respon ekosistem pesisir terhadap dampak ada yang sangat peka sampai yang tidak peka, bergantung pada karakteristik biologi dan ekologi ekosistem pesisir yang bersangkutan. Selanjutnya masing-masing respon dibuat rangking. Penentuan perangkingan tergantung dari cara pandang peneliti terhadap masing-masing komponen. NOAA (2002) membuat teknik perangkingan terhadap habitat pantai berdasarkan pada tingkat kepekaan pantai terhadap minyak, karakteristik fisik dan biologi pantai, tingkat paparan ombak dan pasang surut, kemiringan pantai, jenis dan ukuran substrat, lamanya tumpahan minyak, dan kemudahan dalam membersihkan minyak. Selanjutnya NOAA (2002) membagi tingkat kepekaan habitat pantai menjadi 10 rangking berdasarkan tipe pantai (Tabel 1). Perangkingan ini banyak digunakan dalam acuan pembuatan IKL oleh banyak peneliti.

Tabel 1 Tingkat kepekaan pantai terhadap tumpahan minyak (NOAA, 2002)

Rangking Habitat

1A Pantai berbatu terbuka

1B Pantai dengan bangunan terbuka 1C Pantai dengan batu besar

2A Pantai dengan pemecah gelombang, lumpur atau lempung 2B Pantai curam dengan substrat tanah liat


(28)

7

Rangking Habitat

3A Pantai berpasir sedang-halus 3B Pantai berpasir curam

3C Tundra

4 Pantai koarsa

5 Pantai campuran pasir dan kerikil 6A Pantai kerikil

6B Pantai dengan penghalang gelombang dari kerikil 6C Pantai dengan penghalang gelombang

7 Pantai landai terbuka 8A Pantai berbatu terlindung

8B Pantai dengan bangunan terlindung

8C Pantai dengan penghalang gelombang terlindung 8D Pantai terlindung dengan substrat pecahan batuan 9A Pantai landai terlindung

9B Pinggiran rendah bervegetasi 10A Rawa asin dan payau

10B Rawa air tawar

10C Rawa

10D Lahan basah bersemak

Berbeda dengan NOAA, Sloan (1993) mengelompokkan tingkat kerentanan habitat di wilayah pesisir terhadap pencemaran minyak di Indonesia menjadi 5 kategori yaitu: rendah, kurang, sedang, tinggi, dan sangat tinggi (Tabel 2).

Tabel 2 Kepekaan relatif habitat laut terhadap minyak (Sloan, 1993)

Tingkat

Kepekaan Keterangan Tipe Habitat

5 Tinggi Mangrove

Rawa payau

Daerah pasang surut berbatu terlindung Dataran banjir terlindung

Penggunaan khusus (misalnya untuk jenis langka)

4 Sedang – Tinggi Terumbu karang Padang lamun

3 Sedang Perairan terbuka (teluk, dermaga)

2 Rendah – Sedang Pantai berbatu Pantai berpasir

1 Rendah Daerah pasang surut berbatu terbuka

Hutan kelapa

Perairan terbuka (lepas pantai/pinggiran pantai)

Subtidal berbatu Subtidal berbatu lunak


(29)

8

DNV (2011) menyatakan rumus IKL secara keseluruhan sebagai indeks dari sensitifitas fisik (IK), sumberdaya biologi (IE) dan sumberdaya yang digunakan oleh manusia (IS). Sehingga diperoleh rumus IKL sebagai berikut (DNV 2011):

Keterangan:

IKL : Indeks Kepekaan Lingkungan f : Bobot masing-masing komponen IK : Indeks Kerentanan/Fisik

IE : Indeks Ekologi IS : Indeks Sosial

Komponen yang menentukan indeks IKL, memiliki kerentanan yang berbeda-beda terhadap tumpahan minyak, sehingga bobot masing-masing komponen juga berbeda. Faktor-faktor pembobotan terbaik diperoleh melalui konsesus pandapat para ahli (BNPB, 2008). Semakin besar pengaruh suatu komponen terhadap dampak dari tumpahan minyak, maka komponen tersebut akan memiliki porsi bobot yang lebih besar. DNV (2012) membobotkan komponen IKL berdasarkan pada biaya yang dibutuhkan dalam membersihkan tumpahan minyak. Nilai biaya tersebut diperoleh dari kejadian tumpahan minyak akibat kecelakaan tanker sejak tahun 1992 -1997 di perairan Australia. Elemen biaya tersebut adalah (DNV, 2012);

1. Biaya pembersihan sebesar 30%. 2. Nilai kerusakan ekosistem sebesar 50%

3. Nilai komersial yang terkena dampak sebesar 20%.

Berdasarkan hal tersebut, pembobotan indeks kepekaan lingkungan menjadi:

Namun beberapa peneliti beranggapan bahwa setiap komponen IKL memiliki pengaruh yang sama terhadap ancaman minyak, sehingga bobot yang diberikan juga sama (Ali et al. 2008). Sehingga rumus IKL yang sering digunakan adalah:

Keterangan:

IKL = Indeks kerentanan lingkungan IK = Indeks kerentanan

IE = Indeks ekologi IS = Indeks sosial

Sedangkan menurut Damar et al. (2013), sosial ekonomi memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan kompanen lainnya karena memiliki pengaruh yang besar dibanding lainnya. Bobot IS lebih besar dibandingkan lainnya karena tingginya potensi konflik sosial yang dapat terjadi akibat pencemaran minyak. Rumus IKL secara kesulurahan adalah sebagai berikut:

Keterangan:

IKL = indeks kerentanan lingkungan IK = Indeks kerentanan

IE = Indeks ekologi IS = Indeks sosial


(30)

9

2.2. Ekosistem Mangrove

Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pepohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2004). Diperkirakan 51% atau 38 spesies mangrove hidup di Indonesia dari total keseluruhan 89 spesies mangrove yang tumbuh di dunia (Supriharyono, 2007). Salah satu jenis mangrove yang banyak dijumpai di Indonesia adalah Rhizophora mucronata (Gambar 2).

Gambar 2 Salah satu jenis mangrove di Indonesia (Rhizophora mucronata) (Dokumentasi pribadi, 2012)

Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang surut (Nontji 2007). Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasanya ditandai dengan kehadiran asosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur yang kaya bahan organik. Lebih kedarat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Sedangkan zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan daratan rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans dan beberapa spesies palem lainnya (Gambar 3) (Bengen, 2001).

Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi fisiologi dan morfologi yang khas agar dapat terus hidup pada lingkungan yang bersalinitas tinggi, genangan pasang surut air laut dan kondisi lumpur yang anaerob di perairan dangkal.


(31)

10

Gambar 3 Salah satu jenis tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia (Bengen, 2001)

Daya adaptasi tersebut menurut Nontji (2007), Bengen (2004), Nybakken (1986), serta Meadows dan Campbell (1988) dalam Dahuri (2003) adalah:

1. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas: (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya: Avecennia sp., Xylocarpus., dan Sonneratia sp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora sp.).

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi menyebabkan mangrove

 Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.

 Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.

 Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. 3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan

cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.Beberapa bentuk morfologi akar mangrove yang menyesuaikan dengan lingkungan tumbuh disajikan pada Gambar 4.

Mangrove mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Selain itu, akar mangrove dapat menyerap logam berat dan pestisida yang mencemari laut sehingga dapat digunakan sebagai indikator biologis untuk lingkungan yang tercemar logam berat (Sloan 1993). MacFarlane et al., (2002) dalam Mukhtasor (2007) juga menyatakan bahwa akar mangrove jenis Avicennia marina dapat digunakan sebagai indikator biologis pada lingkungan yang tercemar logam berat terutama tembaga (Cu), timbal (Pb), dan seng (Zn) melalui monitoring secara berkala.

Berbagai tumbuhan dari hutan mangrove juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Produk hutan mangrove antara lain digunakan untuk kayu bakar, pembuatan arang, bahan penyamak (tanin) untuk berbagai perabotan rumah tangga, bahan konstruksi bangunan, obat-obatan, dan sebagai bahan untuk industri kertas. Selain itu kawasan mangrove sering dialihkan fungsinya menjadi tambak, menjadi lahan pertanian, atau dijadikan daerah pemukiman (Nontji 2007).


(32)

11

Gambar 4 Bentuk-bentuk akar pohon mangrove (Bengen, 2004)

Dari segi ekosistem perairan, hutan mangrove mempunyai arti yang sangat penting. Berbagai jenis hewan laut hidup di kawasan ini atau sangat bergantung pada eksistensi hutan mangrove. Perairan mangrove dikenal berfungsi sebagai tempat asuhan (nursery ground) bagi berbagai jenis hewan akuatik yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan (Nontji 2007). Mengingat berbagai fungsi penting mangrove yang sangat besar terhadap organisme laut dan manusia itu sendiri, maka keberadaan mangrove harus selalu dipelihara. Sehingga mangrove perlu diberi prioritas tinggi dalam pemetaan inventarisasi kepekaan daerah pesisir (Sloan 1993).

2.3. Komposisi dan Karakteristik Minyak

Minyak mentah merupakan campuran komplek dari senyawa hidrokarbon dengan berat molekul yang bervariasi dan campuran dari tiga kelompok senyawa kimia utama yaitu paraffin, naphtan, dan senyawa aromatik (IMO, 1988). Komposisi campuran dari rantai hidrokarbon yang terbentuk bergantung dari formasi geologi dilokasi penemuan ladang minyak dan sangat berperan dalam menentukan karakteristik minyak (Fingas 2000).

Karakteristik minyak meliputi densitas, viskositas, titik didih, pour point, flashpoint, solubilitas, dan kandungan aspal (IMO,1988; API, 1999). Densitas sangat penting untuk diketahui karena memberikan indikasi apakah minyak akan terapung dipermukaan air atau tenggelam ke dalam air jika mengalami tumpahan. Air memiliki densitas sebesar 1.0 gr/cm3 pada suhu 15°C dan kebanyakan minyak mentah memiliki densitas sebesar 0,78 – 1 gr/cm3 maka minyak akan terapung di permukaan air. Viskositas atau kekentalan berpengaruh pada proses pembersihan minyak dimana minyak yang sangat kental sangat sulit dibersihkan dengan teknologi konvensional (API, 1999).

Titik didih minyak berhubungan dengan penguapan. Penguapan langsung terjadi ketika minyak tumpah dan dapat berlanjut hingga dua minggu lamanya.


(33)

12

Semakin rendah titik didih, semakin cepat minyak menguap. Pour point yaitu suhu terendah dimana minyak tidak mengapung. Jika minyak tumpah pada daerah beriklim dingin dimana suhunya lebih rendah dari pour point, maka minyak akan tenggelam ke perairan. Flashpoint adalah suhu terendah dimana minyak menjadi mudah terbakar, sedangkan kandungan aspal menentukan formasi dan stabilitas minyak ketika bercampur dengan air. Minyak dengan kandungan aspal yang rendah memiliki stabilitas yang rendah. (API, 1999). Karakteristik berbagai minyak mentah tersaji pada Tabel 3 dan karakteristik beberapa produk minyak tersaji pada Tabel 4.

Tabel 3 Karakteristik minyak mentah (API, 1999)

Karakteristik Nilai

Densitas (specific gravity), 15/15°C 800 s/d 980 kg/m3 Titik didih (boiling point) °C 30 s/d 125

Viskositas (40°C) 3 s/d 100 (15 – 20.000)

Pour point °C -30 s/d +25

Flashpoint (Abel) °C -18 s/d 190

Sulphur % wt. 0,08 s/d 5

Wax % wt. Mencapai 15

Aspal % wt. Mencapai 15

Vanadium, ppm V 5 s/d 170

Tabel 4 Karakteristik dari berbagai jenis produk minyak (Fingas, 2000)

Property Units Gasoline Diesel Light

Crude Heavy

Intermediate

Fuel Oil Bunker C

Crude Oil Emulsion

Viscosity

10,000

mPa.s at 50 s/d 1,000 s/d s/d 20,000 s/d

15°C 0.5 2 5-50 50,000 15,000 50,000 100,000

g/ml at 0.78 s/d 0.88 s/d 0.94 s/d 0.96 s/d 0.95 s/d

Density 15°C 0.72 0.84 0.88 1.00 0.99 1.04 1.0

-30 s/d -30 s/d

Flash point °C -35 45 30 60 80 s/d 100 >100 >80

Solubility in

water Ppm 200 40 10 s/d 50 5s/d 30 10 s/d 30 1 s/d 5 -

-35

s/d - -40 s/d 40 s/d

Pour point °C - 1 30 30 -10 s/d 10 5 s/d 20 >50

10 s/d

API gravity 65 35 30 10 s/d 20 5 s/d 15 10 s/d 50

Interfacial m/N/m 15 s/d 25 s/d

Tension at °C 27 27 30 25 s/d 30 35 -

% destilated at

100°C 70 1 2 s/d 5 1 s/d 10 - - -

200°C 100 30 15 s/d 40 2 s/d 25 2 s/d 5 2 s/d 5

15 s/d

300°C 85 30 s/d 60 45 15 s/d 25 5 s/d 15

25 s/d 15 s/d

400°C 100 45 s/d 85 75 30 s/d 40 25

Destillation 25 s/d 75 s/d


(34)

13

Beberapa nama dari jenis minyak menurut (Fingas 2000) yang digunakan dari hasil produk perminyakan adalah bensin (gasoline), diesel, minyak mentah ringan, minyak mentah berat, minyak bakar intermedier, bunker C atau minyak bakar (residu berat bahan bakar dari sisa produksi bensin dan diesel), serta emulsi minyak mentah.

2.4. Pencemaran Minyak di Lingkungan Laut

Ketika minyak masuk ke lingkungan laut, maka minyak dengan segera akan mengalami perubahan fisik dan kimia (Gambar 5). Diantara proses tersebut adalah menyebar dan adveksi (spreading and advection), larut (dissolution), menguap (Evaporation), memecah (dispersion) polymerase (polymerization), bercampur (emulsification), fotooksidasi (photooxidation), biodegradasi mikroba (microbial biodegradation), dan sedimentasi (sedimentation), Semua proses tersebut secara kolektif disebut dengan weathering of oil (Mukhtasor 2007; ITOPF 2002; Sloan, 1993; API, 1999; IMO, 1988). Faktor utama yang mempengaruhi weathering of oil adalah karakteristik fisik minyak seperti gaya grafitasi, viskositas, dan volatility, komposisi dan karakteristik kimia minyak, kondisi meteorologi (kondisi laut, sinar matahari dan temperatur udara), dan karakteristik air laut (gaya gravitasi, arus, suhu, bakteri, nutrient, oksigen terlarut, dan bahan terlarut lainnya) (IMO, 1988).


(35)

14

Penyebaran (spreading) merupakan pergerakan minyak secara horizontal di permukaan air laut. Proses penyebaran minyak dipengaruhi oleh densitas, kelembaman, gesekan, viskositas dan tegangan permukaan sedangkan adveksi adalah pergerakan minyak akibat pengaruh dari angin dan arus (API 1999). Menurut IMO (1988), angin memberikan pengaruh sebesar 3% sedangkan arus 100%. Spreading membantu proses weathering menjadi lebih efisien karena meningkatkan luas daerah permukaan.

Penguapan (evaporasi) minyak meningkat dengan meningkatnya kecepatan angin sampai pada waktu tertentu (Fingas 2000). Jenis minyak juga mempengaruhi proses penguapan. Emulsifikasi merupakan proses dimana air bercampur dengan minyak dan bergantung pada komposisi minyak dan keadaan laut. Proses ini meningkatkan volume campuran minyak dengan air sehingga meningkatkan viskositas tumpahan minyak. Biodegradasi mikroba dilakukan oleh berbagai mikroorganisme laut yang mampu menguraikan senyawa minyak. Sedangkan proses sedimentasi terjadi apabila berat jenis minyak meningkat melebihi air.

Minyak bumi masuk ke lingkungan perairan laut dengan beberapa cara, yaitu rembesan alam dari dasar laut (natural seeps), kecelakaan tanker (tanker accident), operasi normal tanker (normal operation of tankers), kebocoran dan semburan dari proses produksi dan eksplorasi lepas pantai (blowout and accidents from offshore exploration and production), river run off, kilang minyak di darat (coastal refineries), limbah kota (urban run off and sewage), dan jatuhan dari atmosfer (atmospheric fall out) (Mukhtasor, 2007).

Di Indonesia, kasus tumpahan minyak telah banyak terjadi seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Peristiwa tumpahan minyak di perairan Indonesia (Mukhtasor, 2007)

Tahun Lokasi Kejadian

1975 Selat Malaka Kandasnya Showa Maru dan menumpahkan 1 juta

barel minyak solar

1975 Selat Malaka Tabrakan kapal tanker Isugawa Maru dengan kapal

Silver Palace

1979 Bulele, Bali Pecahnya kapal tanker Choya Maru dan menumpahkan

300 ton bensin

1979 Lhokseumawe, Aceh Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut

1500 kilo liter minyak tanah

1984 Delta Mahakam,

Kalimantan Timur Semburan liar pemboran minyak milik Total Indonesia

1992 Selat Malaka Tabarakan kapal MT. Ocean Bessing dengan MT.

Nagasaki Spirit yang menumpahkan 500 barel minyak

1993 Selat malaka Tertabraknya tanker Maersk yang memuat minyak

1994 Cilacap Tabrakan antara tanker MV. Bandar Ayu dengan kapal

ikan

1996 Natuna Tenggelamnya KM. Batamas II yang memuat MFO

1997 Kepulauan Riau Tabrakan antara tanker Orapin Global dengan Evoikos

menumpahkan 25000 ton minyak mentah

1997 Kepulauan Riau Kebocoran pipa transfer minyak CALTEX

1997 Selat Makassar Tenggelamnya tanker Mission Vikin

1997 Selat Makassar Kandasnya platrorm E-20 UNOCAL


(36)

15

Tahun Lokasi Kejadian

1998 Tanjung Priok Kandasnya kapal Pertamina Supply No. 27 dengan

muatan solar

1999 Cilacap

Robeknya tanker MT. King Fisher dengan

menumpahkan 640.000 liter minyak dan mencemari Teluk Cilacap sepanjang 38 km

2000 Cilacap Tenggelamnya KM. HC yang memuat 9000 aspal

curah

2000 Batam Kandasnya MT. Natuna Sea menumpahkan 4000 ton

minyak mentah

2001 Tegal, Cirebon Tenggelamnya tanker Steadfast yang mengangkut

1200 ton limbah minyak

2003 Sungai Musi

Tabrakan kapal beras milik PT. Toba PulpLestari Angiang Shipping dengan Tongkang PLTU 1mengakibatkan tumpahnya 250 ton minyak bahan bakar diesel milikPLTU Keramasan

2004 Riau Tenggelamnya tanker Vista Marine yang

menumpahkan 200 ton minyak mentah

2008 Indramayu Tanker Arendal mengalami kebocoran pipa dan

menumpahkan 150.000 DWT minyak

2009 Pelabuhan Tanjung Perak

Surabaya

Terbaliknya Tanker MT. Kharisma Selatan yang menumpahkan 500 kilo liter MFO (Marine Fuel Oil)

2009 Laut Timor Ladang minyak Montara meledak dan menumpahkan

sekitar 500 ribu liter minyak mentah kelaut setiap hari Menurut Triatmodjo (1999), Tumpahan minyak di laut dapat mengakibatkan pencemaran hingga di daerah pesisir. Hal ini karena daerah pesisir merupakan daerah yang mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut. Tumpahan minyak yang terbawa bersama arus pasang dapat terpenetrasi dan terakumulasi di dalam tanah (Pezeshki dkk., 2000).

Kecelakaan atau tumpahan minyak di laut yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat fisik-kimia air laut akan berpengaruh terhadap kehidupan dan habitat-habitat ekosistem wilayah pesisir (seperti plankton, benthos, nekton, hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun). Sehingga ditinjau dari sisi ekonomis tumpahan minyak bisa mendatangkan kerugian yang amat besar, tidak hanya dari produksi perikanan saja akan tetapi juga kehidupan ekosistem-ekosistem pesisir termasuk hutan mangrove (Supriharyono, 2007). Pencemaran dan kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh tumpahan minyak tersebut tidak lepas dari komposisi minyak yang sulit diurai oleh mikroorganisme alami laut secara cepat.

Efek dari tumpahan minyak di laut dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu minyak yang larut akan mengapung pada permukaan air dan minyak yang tenggelam akan terakumulasi didalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan bebatuan di pantai. Minyak yang larut akan mengapung pada permukaan air dan akan menggangu organisme yang hidup pada permukaan perairan. Minyak yang mengapung di atas permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari kedalam zona fotik dan tentu saja akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang akan digunakan untuk berfotosintesis. Selain itu, genangan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer sehingga dapat mengurangi kelarutan oksigen. Kekurangan oksigen akan mempengaruhi bentuk kehidupan laut yang aerob.


(37)

16

Minyak yang tenggelam akan terakumulasi didalam sedimen, pasir dan bebatuan di pantai akan mengganggu organisme interstitial maupun organime intertidal. Ketika minyak tersebut sampai ke pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan dapat mengalami kematian. Minyak-minyak tersebut akan terakumulasi dan terendap pada dasar perairan seperti pasir dan bebatuan sehingga akan mempengaruhi tingkah laku, reproduksi, dan pertumbuhan dan perkembangan hewan yang mendiami daerah ini.

2.5. Dampak Pencemaran Minyak Terhadap Ekosistem Mangrove

Mangrove dapat beradaptasi dengan kondisi yang kurang menguntungkan (salinitas tinggi dan kondisi tanah berlumpur dengan kondisi anaerob), namun tidak dapat bertahan panda kondisi lingkungan yang mengandung minyak. Hal ini dikarenakan akar nafas yang terdapat dipermukaan tanah yang berperan sebagai tempat pertukaran gas tertutup oleh tumpahan minyak. Selain itu kerusakan mangrove juga bisa dikarenakan pengaruh senyawa beracun yang terkandung dalam minyak (hidrokarbon) (Durk dan Bron, 1999; Proffitt, 1996; IPIECA, 1993). Senyawa tersebut tidak bisa diurai secara cepat oleh mikroorganisme. Minyak akan terjebak di mangrove sehingga upaya membersihkan sangat sulit. Senyawa mengendap di dalam sedimen disekeliling tanaman mangrove kemudian terserap oleh tanaman. Walaupun minyak dapat terurai dengan cepat, tapi jika terbenam secara cepat dibawah sistem hutan mangrove, maka akan tetap tidak terurai selama puluhan tahun di dalam lumpur yang halus dan akan mempengaruhi habitat lain yang berasosiasi dengan mangrove.

Dampak pencemaran minyak terhadap hutan mangrove lebih mengarah ke gangguan fisik. Dampak tumpahan minyak dapat secara langsung menyebabkan kematian tanaman mangrove atau dapat bersifat jangka panjang. Mangrove yang terpapar minyak dapat mengalami kematian dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Salah satu dampak langsung dan jelas adalah gugurnya daun mangrove. Mangrove yang terkena minyak daunnya akan menguning, gugur dan mati, selanjutnya akan mengakibatkan gagalnya perkecambahan, peningkatan laju mutasi, dan meningkatkan kepekaan terhadap tekanan (stress) (NOAA, 2010). Sedangkan dampak kerusakan mangrove jangka panjang adalah tidak lagi ditemukan pertumbuhan mangrove disekitar tumpahan minyak dalam berapa dekade. Durk dan Bron (1999) melaporkan bahwa tumpahan minyak yang terjadi di perairan Australia sejak tahun 1970, masih berdampak terhadap perkembangan mangrove. Dari 220 ha tanaman mangrove, sekitar 30 ha mangrove mati, sedangkan untuk bisa kembali menjadi hutan mangrove seperti semula dibutuhkan waktu kurang lebih 36 tahun (Durk dan Bron 1999).

Dampak minyak terhadap mangrove dapat bervariasi tergantung pada jenis minyak, jumlah minyak, durasi cuaca serta jenis mangrove itu sendiri ((Durk dan Bron 1999). Minyak mentah dan oli dapat tersimpan di pantai lebih tebal dan lengket yang dapat mengganggu atau menghalangi proses biologi di lingkungan. Sedangkan produk minyak tidak se-toksik minyak mentah, namun ketika minyak menutupi tumbuhan dan binatang maka tumbuhan dan binatang tersebut bisa mati lemas, menderita atau mengalami gangguan fungsi fisiologi (NOAA, 2010). Jumlah minyak juga mempengaruhi tingkat kerusaka mangrove. Kerusakan fatal akan terjadi apabila jumlah minyak yang tumpah melebihi ambang tertentu.


(38)

17

Beberapa jenis mangrove dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang sudah tercemar minyak seperti Rhizopora dan Avicennia marina yang masih ditemukan di lingkungan tercemar minyak di Australia (Durk dan Bron 1999). Diduga tanaman ini memiliki struktur morfologi dan fisiologi yang berbeda untuk bisa bertahan pada kondisi lingkungan yang sudah tercemar. Selain itu tumpahan minyak di sepanjang pantai Sao Paolo Brasil, menyebabkan persentase gugurnya daun dari beberapa spesies mangrove berbeda-berbeda. Rhizophora mangle sebesar 25,9%, daun Languncularia racemosa sebesar 43,4% dan daun Avicennia schaueriana sebesar 64,5% (Lamparelli et al, 1997).

2.6. Wilayah Pesisir Kabupaten Subang

Secara geografis Kabupaten Subang terletak antara 107° 31' - 107° 54' Bujur Timur dan 6° 11' - 6° 49' Lintang Selatan. Adapun batas daerah kabupaten ini adalah (BPS, 2010):

 Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat

 Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Karawang

 Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa

 Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang Secara topografi Kabupaten Subang dibagi ke dalam tiga zona yaitu zona pegunungan, zona perbukitan dan zona dataran rendah dengan 4 kecamatan pesisir. Kecamatan tersebut yaitu; Blanakan, Sukasari, Legon Kulon dan Pusakanagara (Gambar 6). Luas wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Subang ±275,23 km2 atau 13,50 % dari luas wilayah kabupaten Subang dengan panjang pantai 48,20 km (Bappeda, 2010). Kabupaten Subang memiliki kemiringan yang relatif rendah dimana 80,8% luas wilayahnya memiliki kemiringan 0-17° (BPS, 2010).

Dari sisi oseanografi, pantai utara kabupaten Subang memiliki kontur yang landai, dengan kemiringan 0.06% atau 6°. Jarak rata-rata 4 km dari garis pantai memiliki kedalaman 5 m. Kemudian jarak rata-rata 13 km dari garis pantai memiliki kedalaman 10 m, dan jarak 21 km dari dari garis pantai kedalaman mencapai 20 meter. Kontur kedalaman kurang dari 5 meter menunjukkan kondisi relatif landai dari garis pantai (Saskiartono, 2008).

Tipe pasang surut pesisir Subang secara umum termasuk kategori campuran yang mengarah pada semidiurnal. Kisaran maksimal tinggi pasang dan surut sebesar 1 meter dan kisaran tinggi pasang dan surut terendah kedua adalah 0,5-0,7 meter. Pergerakan massa air atau arus pesisir Subang dipengaruhi oleh pergantian musim. Pada musim barat, pergerakan arus umumnya ke arah timur dengan kecepatan berkisar 3–14 mil/hari. Musim timur pergerakan arus umumnya ke arah barat dengan kecepatan 1-13 mil/hari. Musim peralihan 1 (Maret-Mei) dan peralihan 2 (September-November) kecepatan arus laut adalah 1-6 mil/jam. Diwilayah pantai arus umumnya merupakan arus gabungan yang ditumbulkan oleh arus regional dan arus pasang surut (Saskiartono, 2008)

Secara umum potensi wilayah pesisir Subang hanya berada di 4 wilayah kecamatan pesisir, diantaranya desa Patimban yang merupakan desa pesisir di wilayah Pusakanagara memiliki potensi pertanian dan perikanan (budidaya tambak). Desa Pondok Bali (Kecamatan Legonkulon) memiliki potensi wisata yaitu Pantai Pondok Bali. Desa Blanakan memiliki potensi perikanan tangkap


(39)

18

dengan fasilitas berupa Pelabuhan Pelelangan Ikan (PPI) skala regional yang terbesar kedua disepanjang pantai pantura dan ekowisata budidaya mangrove yang dipadukan dengan budidaya tambak dan penangkaran buaya (Saskiartono, 2008). Luas keseluruhan tambak yang telah dimanfaatkan tercatat seluas 2.283,76 Ha (BPS, 2010), tersebar di Kecamatan Sukasari, Pusakanagara, Legonkulon dan Blanakan. Beberapa komoditas yang dikembangkan adalah Rumput Laut (Euchema spp), Kakap (Lates carcarifer), Kerapu (Ephinephelus spp), Udang Windu (Paneus monodon), Udang Putih (Paneus marguensis), Bandeng (Channos channos) dan Kerang-kerangan serta jenis ikan lainnya.

Adapun permasalahan yang dihadapi di wilayah pesisir Subang diantaranya abrasi dan sedimentasi, aksesibilitas transportasi, konservasi yang tidak merata disetiap daerah pantai, manajemen pengeloaan wisata yang kurang baik, dan penataan ruang yang belum optimal. Proses geodinamika yang terjadi disepanjang pesisir dan laut kabupaten Subang (abrasi, sedimentasi dan intrusi air laut) terjadi disepanjang pantai yang diperparah dengan kerusakan hutan mangrove yang diubah menjadi area tambak (Bappeda 2010) (Gambar 7). Karena banyaknya daerah mangrove yang dikonversi menjadi daerah tambak, hutan mangrove yang ada di pesisir Kabupaten Subang kemudian ditetapkan menjadi hutan mangrove binaan dengan status hutan lindung di bawah otoritas pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. Spesies mangrove yang paling mendominasi di Blanakan adalah Avicennia marina. (Fitranti, 2010).

Selain memiliki hutan mangrove dan daerah tambak, di daerah pesisir Subang juga terdapat kegiatan penambangan minyak bumi yang dikelola oleh pemerintah Indonesia, bahkan potensi migasnya terbilang cukup besar. Hingga tahun 2006 tercatat 65 sumur telah dieksplorasi di 17 lokasi produksi, dengan jumlah produksi minyak bumi sebesar 2.100 BOPD per hari (Dinas pertambangan dan Energi Subang, 2012).


(40)

19


(41)

20


(42)

3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari–April 2012. Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan pantai dan masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Lokasi ini meliputi 12 titik pengamatan (Gambar 8).

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain GPS, kamera, dan meteran. Sedangkan bahan yang digunakan adalah peta lingkungan pantai Indonesia, peta bathimetri, dan citra satelit.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Pengumpulan Data

Secara garis besar, penelitian ini terdiri dari 2 bagian. Bagian pertama adalah menentukan parameter-parameter yang akan digunakan dalam membentuk IKL. Penentuan parameter-parameter yang akan digunakan untuk membentuk IKL dilakukan dengan cara studi literatur. Dari parameter yang telah didapatkan, kemudian dilakukan proses penapisan untuk memilih parameter yang sesuai untuk membentuk IK dan IE. Sedangkan untuk parameter IS mengacu pada PKSPL (2009).

Bagian kedua adalah pengambilan data primer dan sekunder. Data yang dikumpulkan adalah data tentang fisik pantai dan hidrooseanografi, sumberdaya ekosistem mangrove, serta data sosial ekonomi mangrove yang mungkin terkena dampak jika terjadi tumpahan minyak. Data primer bersumber dari hasil survei dan pengukuran langsung dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait.

a. Data primer

Data primer yang diambil adalah data fisik pantai, data ekosistem mangrove, dan data sosial ekonomi terkait dengan mangrove. Data fisik pantai terdiri dari data substrat pantai dan jarak mangrove dari bibir pantai. Data ekosistem mangrove terdiri dari zonasi jenis mangrove, keragaman mangrove, kerapatan mangrove, umur mangrove, serta satwa yang dilindungi. Sedangkan data sosial ekonomi mangrove berhubungan dengan pemanfaatan mangrove oleh masyarakat sekitar.

Pengambilan data substrat pantai dilakukan secara visual. Jarak mangrove dari bibir pantai dihitung dengan mengukur jarak keberadaan mangrove yang ditelusuri dari bibir pantai saat surut terendah yang dipengaruhi oleh lamanya perendaman akibat adanya pasang surut. Pengambilan data mangrove menggunakan metode kombinasi antara metode jalur dengan metode garis berpetak (jalur berpetak) (Kusmana, 1997). Keragaman jenis mangrove didapat setelah dilakukan identifikasi mangrove. Identifikasi mangrove mengacu pada Bengen (2004). Penentuan zonasi jenis mangrove mengacu pada Bengen (2001).


(43)

22


(44)

23

Zonasi jenis mangrove didasarkan pada tempat tumbuh mangrove yang dominasi oleh jenis mangrove tertentu yang ditemukan dari pantai ke arah daratan.. Pengukuran umur mangrove dilakukan pada tingkat semai, pancang dan pohon (Kusmana, 1997).

1. Tingkat semai, adalah permudaan dari mulai kecambah hingga tinggi 1,5 meter.

2. Tingkat pancang, adalah permudaan dengan tinggi > 1,5 m dan diameter batang < 10 cm.

3. Tingkat pohon, adalah tumbuhan berkayu yang memiliki diameter batang ≥ 1 cm.

Sedangkan data satwa yang dilindungi selain diperoleh dari pengamatan langsung dilapang, juga diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat sekitar.

Data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara langsung dengan masyarakat yang berada di lokasi pengamatan terkait dengan pemanfaatan mangrove oleh masyarakat sekitar (untuk kegiatan perikanan, potensi pemanfaatan kayu mangrove, dan potensi wisata).

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait. Data kemiringan pantai (tahun 2012) diperoleh dari U.S. Geological Survey (USGS). Data pasang surut tahun 2012 dan data angin serta tinggi gelombang sepuluh tahun terakhir dari DISHIDROS. Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:50.000 edisi 1 tahun 2000 dari Bakosurtanal, Serta Citra Satelit Quickbird tahun 2010 dari Seameo BIOTROP. Sedangkan informasi tentang status perlindungan mangrove di daerah pengamatan diperoleh dari studi literatur.

3.3.2. Analisis data

IKL akan dibentuk dari tiga indeks yaitu indeks kerentanan (IK), indeks ekologi mangrove (IE), dan indeks sosial ekonomi mangrove (IS). Pengembangan IKL pada penelitian ini lebih terfokus pada pengembangan parameter dan penentuan nilai kepekaan untuk setiap parameter yang digunakan untuk menbentuk IK dan IE. Sedangkan untuk metode IS mengacu pada PKSPL (2009). Pengembangan parameter tersebut mengacu pada beberapa sumber dan disesuaikan dengan kondisi serta data yang diperoleh dari daerah pengamatan.

a. Indeks Kepekaan (IK)

Data dan informasi yang diperoleh dari karakteristik pantai (fisik dan hidrooseanografi) yang telah dikumpulkan akan membentuk Indeks Kerentanan (IK). Pemilihan parameter didasarkan pada pengaruh faktor-faktor fisik tersebut dalam menyebarkan tumpahan minyak (NOAA 2002). Parameter tersebut kemudian di rangking berdasarkan sensitifitas masing-masing parameter terhadap tumpahan minyak, selanjutnya setiap parameter ditentukan bobotnya. Pemberian bobot dari masing-masing parameter berdasarkan pendapat para ahli (expert judgment). Perhitungan IK menggunakan rumus sebagai berikut (Ali et al., 2008; Stjernholm, 2011):

i ∑ j rij n


(45)

24

Keterangan :

IKi = indeks kerentanan lokasi-i

wj = bobot parameter ke-j

rij = ranking parameter j dilokasi i b. Indeks Ekologi (IE)

Data mangrove yang dikumpulkan diantaranya: zonasi jenis mangrove (spesies), keragaman mangrove, kerapatan mangrove, umur mangrove, hewan yang dilindungi di daerah mangrove, dan status konservasi mangrove akan membentuk Indeks Ekologi Mangrove (IE).

Data primer yang membentuk IE yang diperoleh dari lapang akan digunakan untuk menyatakan beberapa variabel yaitu:

 Indeks Nilai Penting (English 1994)

Indeks Nilai Penting menunjukan peran suatu spesies dalam suatu komunitas

Keterangan:

INP = Indeks Nilai Penting KR = Kerapatan Relatif FR = Frekuensi relative DR = Dominansi relatif

Nilai INP tersebut berkisar antara 0-300 yang menunjukkan peran suatu spesies dalam komunitasnya.

 Kerapatan (K) dihitung dengan rumus: umlah indi idu uatu jeni ua petak ontoh

 Kerapatan relatif (KR) dihitung dengan rumus: kerapatan eluruh jeni kerapatan uatu jeni 1

 Frekuensi (F) dihitung dengan rumus: jumlah petak ditemukan uatu jeni jumlah eluruh petak ontoh

 Frekuensi relatif (FR) suatu jenis dihitung dengan rumus: rekuen i eluruh jeni rekuen i uatu jeni 1

 Dominansi (D) dihitung dengan rumus: lua bidang da ar uatu jeni


(46)

25

 Dominansi Relaitif (DR) dihitung dengan rumus: dominan i eluruh jeni dominan i uatu jeni 1

Sama halnya dengan IK, parameter pada IE juga ditentukan rangking dan bobotnya. Perangkingan berdasarkan sensitifitasnya terhadap tumpahan minyak dan pembobotan berdasarkan pengaruh dari dampak tumpahan minyak terhadap masing-masing parameter. Pemberian nilai bobot dari masing-masing parameter berdasarkan pendapat para ahli (expert judgment). IE juga dihitung menggunakan rumus yang sama dengan IK (Ali et al., 2008; Stjernholm, 2011).

i ∑ j rij n j 1 Keterangan :

IEi = indeks ekologi lokasi-i

wj = bobot parameter ke-j

rij = ranking parameter j dilokasi i c. Indeks Sosial Ekonomi (IS)

Pemilihan parameter pada IS didasarkan pada pemanfaatan mangrove oleh masyarakat sekitar (potensi perikanan, pemanfaatan kayu, dan potensi wisata) yang dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Jika masing-masing parameter tersebut terkena dampak, akan mengganggu perekonomian masyarakat. IS terdiri dari nilai sosial dan nilai ekonomi. Perhitungan untuk IS mengacu pada PKSPL (2009).

√ Keterangan:

IS = Indeks sosial ekonomi NS = Nilai sosial

NE = Nilai ekonomi

Nilai sosial yang diperoleh dipadukan dengan menggunakan teknik agregasi rataan geometrik sebagai berikut.

Keterangan :

NSj = Nilai sosial lokasi j

Sji = skor nilai sosial kriteria i di lokasi j

Nilai ekonomi sumberdaya mangrove berbeda untuk setiap daerah pesisir. Nilai ekonomi sumberdaya mangrove di daerah Subang adalah sebesar Rp 14 998 698 Rp/ha/tahun (Fachrudin, 1996). Nilai ini kemudian di konversi ke harga tahun 2012 dengan berdasarkan pada indeks harga konsumen sehingga menjadi 20 476 222.51 Rp/ha/tahun. Nilai ekonomi mangrove merupakan perkalian nilai ekonomi sumberdaya mangrove dengan biomassa mangrove. Biomassa merupakan total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume tertentu. Biomassa mangrove yang dihitung adalah biomassa batang karena batang dianggap


(47)

26

memiliki nilai ekonomi yang lebih dibanding dengan bagian lain mangrove seperti daun, akar, dan ranting. Perhitungan biomassa mangrove mengacu pada Sutaryo (2009).

, 11 , Keterangan :

Y = Biomassa

DBH = Diameter mangrove

Kualitas mangrove dihitung dengan menggunakan rumus : ioma ioma i

ma Keterangan :

KM = Kualitas Mangrove

Nilai ekonomi mangrove dihitung dengan menggunakan rumus:

1 1 ha tahun Keterangan:

NE = Nilai Ekonomi NS = Nilai Sosial

KM = Kualitas mangrove

Nilai ini kemudian digunakan untuk menentukan skor nilai ekonomi dengan menggunakan rumus:

Skor (1) =

5 max

NE

NEi

Skor (2) =

5

*

2

5

max

max

NE

NE

NE

i

Skor (3) =

5

*

3

5

*

2

max

NE

max

NE

NE

i

Skor (4) =

5

*

4

5

*

3

max

NEcV

max

NE

NE

i

Skor (5) =

5

*

4

NE

max

NE

i

Keterangan :

NE = Nilai ekonomi mangrove lokasi –i

NEmax = Nilai ekonomi maksimum mangrove yang terobservasi d. Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL)

Nilai IKL total diperoleh dengan cara menjumlahkan 3 indeks yang digunakan. Ketiga indeks tersebut sebelumnya telah dikalikan dengan masing-masing bobotnya (DNV, 2011; Damar et al. 2013). Penentuan bobot berdasarkan pada besarnya dampak tumpahan minyak terhadap masing-masing indeks.


(48)

27

Keterangan :

IKL = Indeks Kerentanan Lingkungan IK = Indeks Kerentanan

IE = Indeks Ekologi

IS = Indeks Sosial Ekonomi

w = bobot masing-masing parameter

Nilai IKL total kemudian diberi rangking dan dibagi kedalam 5 kelas tingkat kepekaan yang akan mewakili tingkat sensitivitas lingkungan terhadap tumpahan minyak. Tingkat kepekaan tersebut dimulai dari tidak peka sampai sangat peka. Metode IKL yang telah diperoleh selanjutnya di aplikasikan pada daerah terpilih.

e. Pembuatan Peta Digital

IKL disajikan dalam bentuk peta. Pembuatan peta IKL dilakukan melalui tiga tahap. Tahap tersebut terdiri dari: tahap digitasi, tahap editing, dan tahap pemasukan data atribut kedalam basis data. Tahap digitasi bertujuan untuk membuat peta tematik. Peta tematik dibuat berdasarkan peta rupa bumi dan citra satelit. Selanjutnya dilakukan editing yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pada waktu digitasi peta tematik, sedangkan pemasukan data atribut bertujuan untuk memasukkan data-data yang ada sehingga menjadi geodatabase dimana data tersebut disimpan dan ber-georeferenced (memiliki informasi geografi). Digitasi, editing dan pemasukan data atribut dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS versi 10.1. Hasil akhir yang diperoleh berupa peta yang menunjukkan daerah-daerah yang sensitif jika terjadi tumpahan minyak.


(49)

(50)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Pembentukkan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) Ekosistem Mangrove

Hasil studi literatur tentang parameter yang digunakan dalam membentuk IK dan IE diperoleh 8 parameter untuk setiap indeks. Parameter tersebut disajikan pada tabel berikut.

Tabel 6 Parameter yang digunakan dalam membentuk IK dan IE.

No. Parameter IK Parameter IE

Parameter Acuan Parameter Acuan

1. Kemiringan pantai

Gibb et al. 1992 Zonasi jenis mangrove

Bengen, 2001 2. Tipe pasang

surut

Wyrkti, 1961 Kerapatan mangrove

KepMen LH No. 201 tahun 2004

3. Rentang pasang surut

Gibb et al. 1992 Keragaman mangrove

Suharnoto,2000 4. Tinggi

gelombang

Gibb et al. 1992 Umur mangrove Proffitt, 1996 5. Tipe substrat Modifikasi Sloan

1993

Satwa dilindungi Modifikasi NOAA, 2002 6. Kecepatan angin Hayes, 1992 Status

perlindungan mangrove

IPIECA, 2012

7. Badai laut Hayes, 1992 Jarak mangrove

dari sungai

Wardhani, 2011 8. Jarak mangrove

dari bibir pantai

Modifikasi Wyrkti, 1961 Jarak mangrove dari muara Wardhani, 2011

Dari semua parameter tersebut selanjutnya dilakukan panapisan. Parameter yang dipilih dalam membentuk IK adalah parameter fisik pantai yang memiliki pengaruh lebih besar dalam mempercepat atau memperlambat penyebaran minyak. Sedangkan parameter yang dipilih untuk membentuk parameter IE berdasarkan sensitifitas ekosistem mangrove dan satwa yang hidup divegetasi tersebut terhadap tumapahan minyak.

a. Parameter Pembentuk Indeks Kerentanan (IK)

Indeks kerentanan (IK) pada penelitian ini diturunkan dari parameter fisik pantai. Dari hasil proses penapisan, parameter yang digunakan dalam membentuk IK adalah kemiringan pantai, tipe pasang surut, rentang pasang surut (tidal range), tinggi gelombang, tipe substrat pantai, dan jarak mangrove dari bibir pantai (Tabel 7). Setiap perameter selanjutnya diklasifikasikan kedalam beberapa kriteria (nilai) yang selanjutnya diberi rangking. Ranking tersebut mulai dari 1 (tidak peka) sampai 5 (sangat peka) (Tabel 7). Penentuan nilai dan ranking pada setiap parameter IK mengacu pada beberapa sumber pustaka (Tabel 7).


(51)

30

Tabel 7 Parameter dan ranking indeks kerentanan

No. Parameter Satuan Ranking Kepekaan Acuan

1 2 3 4 5

1. Kemiringan

pantai Derajat >20 20 - 11 10 – 6 5 – 2 <2

Gibb et al. 1992

2. Tipe

pasang surut

- - Tunggal

Campuran condong tunggal Campuran condong ganda

Ganda Wyrkti, 1961

3. Rentang

pasang surut

Meter <1 1 - 1,9 2 – 4 4,1 – 6 >6 Gibb et al.

1992

4. Tinggi

gelombang Meter 0 – 2.9 3 – 4,9 5 – 5,9 6 – 6.9 ≥

Gibb et al.

1992 5. Tipe substrat Berbatu /berkerikil Pasir

berkerikil Pasir

Lumpur

berpasir Lumpur

Modifikasi Sloan 1993

6. Jarak

mangrove dari bibir pantai

Meter >20 15-20 12-15 9-12 0-9 Modifikasi

Wyrkti, 1961

Keterangan: 1 = tidak peka 2 = kurang peka 3 = cukup peka 4 = peka 5 = sangat peka

Setiap parameter selanjutnya diberi bobot sesuai dengan pengaruh dari masing-masing parameter dalam membentuk nilai IK. Semua parameter penyusun IK diasumsikan memiliki bobot yang sama. Nilai IK pada masing-masing lokasi kemudian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

i ∑ j rij n

j 1 Keterangan :

IKi = indeks kerentanan lokasi-i

wj = bobot parameter ke-j

rij = ranking parameter j dilokasi i

b. Parameter Pembentuk Indeks Ekologi (IE).

Pemilihan parameter dalam IE didasarkan pada sensitifitas mangrove dan satwa yang hidup di vegetasi tersebut terhadap tumpahan minyak. Dari hasil penapisan, parameter yang digunakan untuk membentuk IK adalah zonasi mangrove, kerapatan mangrove, keragaman mangrove, umur mangrove, satwa yang dilindungi dan status perlindungan mangrove (Tabel 8). Sama halnya dengan IK, setiap perameter pembentuk IE selanjutnya diklasifikasikan kedalam beberapa kriteria (nilai) yang selanjutnya diberi rangking. Ranking tersebut mulai dari 1 (tidak peka) sampai 5 (sangat peka) (Tabel 8). Penentuan nilai dan ranking pada setiap parameter IE juga mengacu pada beberapa sumber pustaka (Tabel 8).


(1)

(2)

6

DAFTAR PUSTAKA

Ali A. Poerbandono, K. Wikantika. 2008. Penentuan Indeks Kerentanan Lingkungan Pantai Berbasiskan Geospasial dan Parameter Fisik. Studi kasus: Tumpahan Minyak di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. PIT MAPIN XVII. 2008 Des 10-12; Bandung, Indonesia. Hlm 196-207.

[API] American Petroleum Institute. 1999. Fate of Spilled Oil in Marine Waters. Publication No. 4691

[Bappeda] Badan Perencanaan Daerah. 2007. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut. Jawa Barat:

[Bappeda] Badan Perencanaan Daerah. 2010. Kajian Pengembangan Minapolitan di Pantura Kabupaten Subang. Kabupaten Subang:

Bello Smith, A., Cerasuolo, G., Perales, J.A. and Anfuso, G., 2011.

Environmental Sensitivity Maps: The North Coast of Gibraltar Strait Example. Journal of Coastal Research, SI 64 (Proceedings of the 11th International Coastal Symposium), 875 - 879. Szczecin, Poland, ISSN 0749-0208

Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Bogor, 29 oktober – 3 november 2001. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.

Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: PKSPL-IPB.

[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 4 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. BNPB

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Subang dalam Angka Tahun 2010. Subang: Cutter, L.S., Emrich, C.T., Webb, J.J., and Morath, D. 2009. Social Vulnerability

to Climate Variability Hazards. Columbia: Hazards and Vulnerability Research Institute, Department of Geography University of South Carolina, SC 29208

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Damar A, Rustandi Y, Rakasiwi G, Khairuzzaman, Zairion, Fachrudin A, Rikardi N, Kamsari. 2012. Indeks Kepekaan Lingkungan Kawasan Pesisir Lampung Bagian Timur, Pesisir Utara Jawa Bagian Barat dan Kepulauan Seribu. Bogor: PKSPL-IPB.

Dinas Pertambangan dan Energi. 2012. Pertambangan dan Energi. http://subang.go.id/potensi_pertambangan.php. [7 Jan 2012]

[DNV] Det Norske Veritas. 2011. Final Report. Assessment of the Risk of Pullution from Marine Oil Spills in Australian Ports and Waters . Australian Maritime Safety Authority. Report No PP002916. Australia: DNV

Duke NC, KA Burns, JC Ellison. 1999. An Assesment of Incident, Impact on Mangrove, and recovery of deforested area. Final Report Fate and effect of oil and dispersed oil in mangrove ecosystem in Australia: Australia. 240-245.

English S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science.


(3)

52

Fahrudin A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Fingas, M. 2000. The Basic of Oil Spill Cleanup 2nd edition. New York: Lewis Publisher.

Fitranti B.A. 2010. Ekosistem Pesisir Jawa Barat Bagian Utara. http://bandariariningfitranty.wordpress.com/category/marine-ecology. [6 Des 2011]

Gibb J, A. Sheffield, G. Foster. 1992. A Standardised Coastal Sensitivity Index Based on an Initial Framework for Physical Coastal Hazards Information. Science and Research Series No. 55. Conservation Te Papa Atawhai.

Hayes et al. 1992. An Introduction to Coastal Habitats and Biological Resources for Oil Spill Response. Report No. HMRAD 92-4. National Oceanic and Atmospheric Administration NOAA.

[IMO] International Maritime Organization. 1988. Manual on Oil Pollution. Section IV. Combatingg Oil Spills. London: IMO.

[IPIECA] International Petroleum Industry Environmental Conservation Association. 1993. Biological Impacts of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA Report Series Vol. 4

[IPIECA/IMO/OGP] International Petroleum Industry Environmental Conservation Association/International Maritime Organisation/International Association of Oil and Gas Producers. 2011. Sensitivity Mapping for Oil Spill Response.

[ITOPF] The International Tanker Owners Pollution Federation Limited. 2002.

Fate of Marine Oil Spills. Technical Information Paper. London: ITOPF [ITOPF] The International Tanker Owners Pollution Federation Limited. 2011.

Effects of Oil Pollution on The Marine Environment. Technical information paper. London: ITOPF.

Kathiresan K. and B.L. Bingham. 2001. Biology of Mangrove and Mangrove Ecosystem. Advance in Marine Biology Vol 40, 81-251.

[KLH] Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputsan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Pedoman Kerusakan Mangrove. KLH

[KPH], 2010. Rencana Pengelolaan Hutan Kelas Perusahaan Mangrove KPH Purwakarta. Purwakarta: KPH Purwakarta.

Kusmana, C. 1997. Metode Survai Vegetasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Di dalam: Editor: Kusman C.

Bogor: PT Penerbit IPB Press.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Luat. Jakarta: PT Pradnya Paramita. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 1997.

Environmental Sensitivity Index Guidlines Version 3.0. Seattle, Washington: NOAA Ocean Service.

[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2002.

Environmental Sensitivity Index Guidlines Version 3.0. Seattle, Washington: Hazardous Materials Response Division, Office of Response and Restoration, NOAA Ocean Service.

[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2010. Oil Spills in Mangrove; Planning and Response Considerations. U.S. Department of Commerce.


(4)

53

Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan

Nybakken, J. 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. Indonesia: PT. Gramedia Pustaka Utama.

[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian Bogor. 2009. Sensitivity Area Mapping Project for Offshore and Onshore Operations. PKSPL-IPB.

Proffitt, C.E. (ed.) . 1996 . Managing Oil Spills in Mangrove Ecosystems: Effects, Remediation, Restoration, and Modeling. OCS Study MMS 97-0003 . U.S . Department of the Interior, Minerals Management Service, Gulf of Mexico OCS Region, New Orleans, LA. 76 pp .

[RPI] Research Planing Inc. 1994. Sensitivity of Coastal Environmens and Wildlife to Spilled Oil, Southern Lake Michigan. Columbia: RPI

Saskiartono O. 2008. Penataan Wilayah Pesisir Kabupaten Subang. Jurnal Perencanaan Iptek. Vol 6 no.2 hal 28-35

Sloan, N. 1993. Berbagai Dampak Minyak Terhadap Sumberdaya Laut: Suatu tinjauan pustaka dari seluruh dunia yang relevan bagi Indonesia. Jakarta: EMDI Environmental Report.

Stjernholm, M., Boertmann, D., Mosbech, A., Nymand, J., Merkel, F., Myrup, M., Siegstad, H. & Potter, S. 2011. Environmental Oil Spill Sensitivity Atlas for the Northern West Greenland (72° - 75° N) Coastal Zone. National

Environmental Research Institute, Aarhus University, Denmark. 210 pp. – NERI Technical Report no. 828. http://www.dmu.dk/Pub/FR828.pdf.

Suharnoto Y. 2000. Environmental Sensitivity Mapping and Database Development: The Case of Indonesia Coastal and Marine Areas. Di dalam: Environmental Workshop on the Environmental Sensitivity Index (ESI) Mapping for Oil Spills, Experiences in Southeast Asian Seas. Tokyo: hlm128-140

Sullivan A.J. and T.G. Jacques. 2001. Effects of Oil in The Marine Environment: Impact of Hydrocarbons on Fauna and Flora. Brussels Belgium: Europan Commission Directorate General Environment Civil Protection and Environmental Accidents.

Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sutaryo D. 2009. Penghitungan Biomassa Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Bogor. Wetland International Indonesia Programme

T.M.H. Huynh and Bui T.V. 2003. Environmental Sensitivity Categories for The Shoreline from Muine to the Mouth of Tien River in Response to Oil Spill Hazard. Osaka University Knowledge Archive.

[UNEP] United Nations Environment Programme. 2011. Economic Analysis of Mangrove Forest: A case study in Gazy Bay, Kenya. UNEP, iii+42 pp. Wardhani M K. Sulistiono, V.P. Siregar. 2011. Tingkat Kerentanan Lingkungan

Pesisir Selatan Kabupaten Bangkalan terhadap Potensi Tumpahan Minyak. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Vol 3, 13-19

Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA Report Vol. 2, Scientific result of marine investigation of the South China Sea and the Gulf of Thailand, Scripps Institute of Oceanography, La Jolla, California.


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Painan pada tanggal 19 November 1983 dari ayah Kadir, S dan ibu Wardiati. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMA 1 Painan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa di IPB penulis aktif pada salah satu organisasi Badan Semi Otonom (BSO) yaitu Fisheries Diving Club (FDC-IPB). Di bidang akademik, penulis juga pernah menjadi Asisten Lapang untuk Mata Kuliah Biologi Laut pada tahun ajaran 2004/2005. Setelah mendapatkan gelar sarjana pada tahun 2008, penulis bekerja sebagai konsultan di PT. Ecotropica sampai saat ini. Selain itu, penulis juga menjadi asisten peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB).