Kinanthi merasakan degup di dadanya. Ada yang terputus dalam emosinya. Seberapa raksasa keinginannya untuk merengkuh perempuan itu ke
dalam pelukannya, sekuat itu pula rasanya kedua kakinya terpaku bumi Kinanthi, hal. 393.
Sikap skeptis dimiliki Kinanthi yang menguasai hampir semua ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki logika di balik setiap hipotesisnya tidak seperti orang-orang
dusun yang percaya pada mitos begitu saja. Menurut pengetahua yang dikuasai Kinanthi, setan itu tidak ada. Kepercayaan orang dusun yang mengada-ada membuat Kinanthi
tersenyum masygul. Kinanthi tersenyum masygul, “Hai... setan tidak pernah gentayangan di
luar otak kalian. Kalian hanya mengalami peningkatan neurotransmitter, yang memancing gejala-gejala skizofrenik, membuat isi pikiran kalian menjadi
kacau. Itu tidak lebih dari simtom adanya perubahan karakter dari sirkuit jaringan otak.” Kinanthi, hal. 404
Sikap skeptis ditunjukkannya kepada ayahnya dengan berasumsi bahwa bapaknya memberitahu penduduk bahwa anaknya yang sudah lama hilang kembali dan telah menjadi
orang kaya. Asumsi buruk itu dikarenakan Kinanthi berpikir bahwa ayahnya materialistis sehingga menjual Kinanthi enam belas tahun yang lalu. Sikap tersebut menandakan Kinanthi
belum sepenuhnya memahami alasan ayahnya mengapa ia dijual dulu dan Kinanthi belum memaafkan ayahnya.
2. Kinanthi bertemu Ajuj
Sementara Kinanthi kehilangan rasa rindu yang selama ini dipendamnya untuk Ajuj, ia berusaha mencari logika mengapa ia tidak merasakan perasaan yang bertalu-talu terhadap
Ajuj. Ilmu pengetahuan yang dimiliki Kinanthi membuatnya mencari penjelasan teoritis terhadap apa yang dirasakannya, termasuk persoaan cinta. Secara teknis, Kinanthi menjadi
begitu sombong dengan ilmu yang dimilikinya. Ia berada dalam konteks yang salah jika ia
Universitas Sumatera Utara
mencari alasan terhadap setiap kejadian yang terjadi, padahal ia berada di dusun yang primitif.
Apakah talamus-ku tidak berfungsi? Mati? Bukankah Ajuj adalah objek cinta? Seharusnya, sensasi kehadirannya direspon oleh talamus di kepalaku.
Seharusnya, data itu diolah di pusat sensoris, dikirim ulang melalui girus singulata bersama talamus ke sistem limbik. Seharusnya, ada memori dan
kebutuhan cocok dengan data itu dan memunculkan sensasi cinta. Seharusnya, sinyal itu sudah terkirim ke hipotalamus dan membuatku terguncang, bahkan
ketika sekadar menyebut namanya Kinanthi, hal. 409.
Meski kinanthi berilmu pengetahuan tinggi, dalam lamunan ternyata ia berlebihan seperti para penyair aliran romantisme. Mengada-ada pada sesuatu yang tidak ia ketahui
dengan pasti. Ternyata suara Ajuj jauh dari yang ia bayangkan dalam lamunannya. Membawa korban longsor ke rumah sakit bersama orang-orang dusun, tidak lantas
membuat Kinanthi mudah akrab dengan orang-orang dusun. Ia tak memerlukan orang dusun dan bersikap tidak tulus ketika berhadapan dengan orang-orang. Ia berusaha bersikap baik
meskipun ia tidak suka berbasa-basi. Kinanthi harus pintar berbasa-basi karena ia berada di dusunnya sekarang. Jika ia berada di New York, dia akan dengan mudah bersikap cuek
terhadap orang-orang itu. Dengan kepala menunduk dan senyum formalitas, dia kemudian berjalan
menyusuri lorong rumah sakit menuju pintu keluar Kinanthi, hal. 410.
Rasa cemburu membuat Kinanthi berbicara seperti orang kampung yang tidak intelek, “Setelah itu, dia merasa sudah saatnya berhenti mencari, lalu langsung melamar
gadis ingusan untuk dikawini?” Pernyataan itu membuat Ajuj terkejut sebab selama ini kakaknya tidak pernah bereaksi sespontan itu.
Cinta membuat seseorang malu mengakui perasaan yang dimilikinya. Kinanthi, dalam dirinya, sering melebih-lebihkan apa yang selama ini berada dalam pikirannya.
Kinanthi sering melebih-lebihkan bahwa ia memikirkan Ajuj selama dua puluh tahun. Ketika
Universitas Sumatera Utara
Hasto memberitahu bahwa Ajuj mencari Kinanthi selama hampir dua puluh tahun, Kinanthi menepis hal padahal ia juga tidak berbeda dengan Ajuj.
“Kang Ajuj mencari Yu Kinanthi selama hampir dua puluh tahun.” “Enam belas tahun... tepatnya.”
“Kang Ajuj sering bilang hampir dua puluh tahun.” “Dia suka melebih-lebihkan.”
Dalam hati, Kinanthi memaki dirinya sendiri Kinanthi, hal. 421.
Ajuj hanya seorang yang jauh dari bayangan Kinanthi, tidak berpendidikan tinggi, hanya pemuda desa biasa. Cara Ajuj yang pintar berbicara membuat Kinanthi terdiam.
Kinanthi berpikir bahwa kata-kata Ajuj, bahwa seorang sarjana juga tidak mampu membuat kalimat sebaik itu. Kinanthi tak hanya memandang rendah Ajuj tetapi juga kaum sarjana
Indonesia. Kinanthi terdiam. Tentu saja cara Ajuj berbicara jauh lebih baik daripada
yang dia duga. Entah buku apa yang dia baca atau adegan film apa yang dia sadur. Di negeri ini, seorang sarjana pun belum tentu mampu berbicara dengan
sudut pandang dan kronologi kalimat sebaik ini Kinanthi, hal. 432.
Kinanthi berusaha pamer ilmu pengetahuan kepada Ajuj, seolah-olah Ajuj dapat menanggapinya dengan komentar yang tepat. Kinanthi kecewa dengan Ajuj yang tidak sesuai
dengan khayalannya, padahal khayalan itu tidak dapat membentuk kenyataan. Ia benar-benar kecewa karena Ajuj hanya seorang pria kampung yang tidak selevel dengannya, baik dari sisi
ilmu pengetahuan dan kekayaan. Kinanthi berbohong mengenai Galaksi Cinta padahal setiap malam ia mencari-cari galaksi itu.
“Kamu masih suka menengok Galaksi Cinta?” “Galaksi itu tidak pernah ada.”
Ajuj melepas napas berat, “Dulu kita sering melihatnya.” “Ya..., dulu, sebelum aku tahu bahwa lokasi itu bernama Caldwell 99.
Dulu, aku tidak tahu rongga langit itu ternyata berupa nebula gelap berwarna ungu yang juga terkenal dengan sebutan coal sack. Apakah kamu tahu,
jaraknya sekitar 550 tahun cahaya dari bumi. Seorang pelaut Portugis bernama Vincente Yanez Pinzon menemukannya pada 1499 Kinanthi, hal. 434.
Universitas Sumatera Utara
Kinanthi tidak menghargai agama dan menganggap Tuhan tidak ada. Kinanthi kecewa pada Tuhan apa yang terjadi padanya. Cobaan yang dialaminya cukup berat.
Peraturan agama bagi Kinanthi adalah sesuatu yang aneh. Kinanthi mengutarakan peraturan- peraturan agama Islam yang tidak dapat diterimanya. Kinanthi berpikir bagaimana mungkin
dua orang dilarang bercakap-cakap hanya karena mereka tidak muhrim. Kinanthi mengusap basah kulit di samping hidungnya. “Bagimu ini dosa,
bukan? Berkata-kata seperti ini najis bukan? Tidak boleh karena aku bukan siapa-siapamu? Ini melanggar agamamu, prinsip hidupmu,” Kinanthi
tersenyum aneh. “Jadi, selain orang-orang itu, Tuhan pun mengusirku dari hidupmu,” tersengal oleh tawa pendek, “itu jika Tuhan benar-benar ada.”
Kinanthi, hal. 457.
Kinanthi telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Ketika terjadi longsor, seperti terjadi pada enam belas tahun yang lalu, ia kembali mencari Ajuj. Perasaannya pada Ajuj
tidak pernah berubah. Meski ia dilarang oleh ayah dan ibunya, ia tetap pergi. Perasaannya kepada Ajuj membuat Kinanthi tidak takut pada apapun, bahkan bila bahaya itu mengancam
nyawanya sendiri. Kinanthi seperti tersedot kekuatan waktu. Pulang ke masa lalu. Ketika
hujan seperti ini juga, belasan tahun lalu, dia berlari ke puncak gunung gamping, mencari Ajuj Kinanthi, hal. 487.
3. Tokoh Kinanthi mencari Tuhan