Kinanthi menjadi pembantu di rumah Pak Edi

“Nanti, kalau kamu sudah jadi orang berhasil, kamu pulang ke rumah ini. Kalau kamu punya banyak uang, orang-orang tidak akan berani lagi menyepelekan keluarga kita.” Kinanthi mulai menangis tanpa suara. “Eh, ora pareng nangis. Tidak boleh menangis. Ini tidak akan lama. Nanti, kamu kembali lagi ke rumah ini, Nduk.” Kinanthi, hal. 73 Kinanthi berteriak-teriak ketika lelaki asing datang menjemputnya untuk dibawa ke Bandung. Penampilan lelaki dari kota itu menimbulkan ketakutan dalam diri Kinanthi. Penampilan yang memberinya rasa tidak aman dan rasa was-was yang berlebihan sehingga ia melarikan diri ke rumah Mbah Gogoh untuk menemui Ajuj. “Ndak mau Ndak mau” Kinanthi berteriak-teriak sembari meronta dari pegangan tangan mboknya ketika laki-laki bernama Edi itu mendekat. Lelaki tinggi kurus dengan rambut belah pinggir yang licin. Berbaju lengan panjang garis-garis dan celana cutbrai. …. Kinanthi terus meronta sampai benar-benar berhasil melepaskan diri dari pegangan mboknya. Dia lalu berlari sekencang- kencangnya ke samping rumah, menembus kebun ketela pohon milik tetangga Kinanthi, hal. 76. Perpisahan Kinanthi dan Ajuj digambarkan cukup dramatis, sehingga tokoh utama mengingat perpisahan itu seumur hidupnya. Kinanthi menangis keras-keras sambil memanggil nama Ajuj. Jika dibandingkan dengan tangis Kinanthi ketika berpisah dengan ayah-ibunya, tangis perpisahan dengan Ajuj lebih mengharukan bagi Kinanthi. Jika orang tua Kinanthi memang sengaja menjual Kinanthi, yang artinya orang tua Kinanthi memang sengaja memisahkan Kinanthi dari mereka, berbeda dengan Ajuj. Ajuj tak menginginkan perpisahan mereka. Di sini dapat dilihat orang tua Kinanthi dan Ajuj memiliki peran yang bertolak belakang dalam kehidupan Kinanthi.

2. Kinanthi menjadi pembantu di rumah Pak Edi

Di rumah keluarga Edi, meski Kinanthi diperlakukan dengan baik oleh Pak Edi dan Istrinya, tetap saja Kinanthi berprofesi sebagai seorang pembantu. Ia melakukan seluruh Universitas Sumatera Utara pekerjaan rumah setiap hari dan melayani tamu Eli istri Pak Edi yang tidak ada habis- habisnya. Lebih parah lagi ia tidak diberi gaji. Ke sekolah ia berjalan kaki, yang berarti ia tidak diberi uang saku. Hanya uang sekolah Kinanthi yang dibayarkan oleh Eli sebagai kedok bahwa ia menyekolahkan Kinanthi. Demikian Kinanthi digambarkan ketika baru pertama kali sampai di kota Bandung, di rumah keluarga Edi: Kinanthi terbengong-bengong. Dia mengangguk, tetapi tetap tidak paham. Dia baru sadar, sejak kemarin malam, dia telah terpisah jarak hampir seribu kilometer dari dusun kelahirannya. …. Kinanthi begitu bersemangat. Menyenangkan sekali mengenal hal-hal baru. Seharian dia bisa melupakan kejadian dramatis dua hari lalu, ketika dia meronta dalam pelukan bapaknya, menolak dibawa pergi dari dusun Kinanthi, hal. 85-86 Kinanthi terheran-heran dengan segala perabotan yang baru pertama kali ia lihat. Ia digambarkan sebagai seseorang bergairah mengenal hal-hal yang baru. Kinanthi tekun mendengarkan dan mempelajari peralatan baru itu, hingga ia melupakan kejadian ketika ia menangis berkoar-koar ketika ia memberontak hendak melepaskan diri agar tidak ikut ke Bandung. Sekarang, dengan keasyikannya terhadap perabotan baru itu, Kinanthi melupakan kisah sedih dua hari yang lalu. Kesedihan yang teralihkan untuk sementara. Perlakuan baik yang awalnya dialami Kinanthi membuatnya berpikir bahwa apa yang dikatakan ayahnya mungkin benar, bahwa keluarga Edi adalah masa depan baginya. Di rumah itu dia disekolahkan, diberi makanan cukup gizi, dan diberi kamar yang cukup nyaman: hal-hal yang tidak mungkin ia dapatkan di dusun. Perubahan segera terjadi pada tubuhnya oleh asupan makanan sehat. Ia bahkan tidak mengalami kelelahan seperti yang ia alami ketika menggendong Hasto setiap hari. Perlahan-lahan, Kinanthi mulai berpikir, barangkali benar kata bapaknya, memang keluarga Eli adalah harapan masa depannya. Di rumah yang di mata Kinanthi terlihat megah itu, Edi membolehkan Kinanthi menguasai kamar Universitas Sumatera Utara mungil di dekat dapur. Bahkan, dia memiliki kamar mandi sendiri. Kamar mandi dan kakus yang tidak ada bandingnya dengan segala tempat buang air di dusun Kinanthi, hal. 87 Setelah beberapa lama tinggal di rumah Edi, oleh kenyamanan yang sudah mapan, Kinanthi teringat oleh berbagai hal yang ia dapatkan di dusun. Kinanthi menjadi manusia urban pada umumnya, ingin kembali ke identitas awal, lingkungan yang bahkan tidak memperlakukan ia tidak baik. Padahal ia mendapatkan segalanya di rumah Pak Edi: belajar, fasilitas, buku-buku. Kelelahan yang ia dapatkan di rumah tersebut tidak ada apa-apanya dengan apa yang ia dapatkan ketika di dusun. Berjala ke tlogo berkilo-kilometer, tanahnya yang tandus, terlebih lagi perbuatan buruk yang ia dapatkan dari orang-orang dusun. Di sini, ia mendapatkan teman-teman sekolah yang menerima ia apa adanya, ia sendiri yang tidak mau berteman dengan banyak orang, Kinanthi terlalu menutup diri. Dan kini semua yang ia dapatkan itu terasa sia-sia oleh ingatannya tentang dusun yang bahkan tidak memperlakukannya dengan baik. Satu hal yang patut ia syukuri dari dusun itu adalah Ajuj. Ia boleh menulis banyak surat kepada Ajuj, sebanyak yang ia mau. Tetapi kampung tidak pantas diingat sebagai sebuah hal yang berharga. Sekali lagi, Kinanthi adalah manusia urban yang tidak mudah puas terhadap kemapanan kota Bandung. Bagaimana buruknya kampung halamannya, ia tidak akan melupakannya. Setelah semua barang yang tadinya menakjubkan itu dia kenal, Kinanthi mulai merindukan apa-apa yang sudah dia tinggalkan. Dusun kering itu, debu- debu yang mengepul di jalan berbatu, bau tanah selepas hujan, bunyi kodok bersahut-sahutan, bapaknya yang menembang, omelan simboknya, rengekan Hasto, keramahan Mbah Gogoh, dan candaan Ajuj. Semua itu tidak lagi ia temui di kota ini Kinanthi, hal. 88. Kinanthi adalah wanita yang polos sekaligus tertutup, bahkan pada sahabatnya sendiri. Ia tidak mau bercerita tentang hal-hal yang terjadi pada dirinya kecuali ia ditanyakan Universitas Sumatera Utara terus-menerus. Ketika sahabatnya menanyakan perihal tentang kehidupannya, ada perasaan tidak nyaman yang ia rasakan. Ia merasa berat hati untuk berbagi cerita dengan Euis, apalagi tentang kehidupannya di rumah keluarga Edi. Perlakuan keluarga Edi terhadap Kinanthi memiliki defenisi yang berbeda bagi Kinanthi dan orang-orang di sekitarnya. Kinanthi menganggap pekerjaan yang ia lakukan di rumah keluarga Edi adalah sebuah kewajaran sedangkan bagi orang lain, termasuk sahabatnya, ia adalah seorang pembantu rumah tangga yang menurut sudut pandang sosial merupakan golongan masyarakat rendahan. Euis mencoba membesarkan hati sahabatnya, mencoba membangun rasa percaya diri Kinanthi. Kinanthi tidak percaya diri dengan profesinya sebagai pembantu rumah tangga, hal yang tidak sepenuhnya ia pahami di mana letak kerendahan seorang pembantu rumah tangga. Ia terlalu mendengarkan perkataan orang lain, cibiran mengenai dirinya bahwa ia seorang pembantu rumah tangga. “Pokoknya, kamu nggak boleh minder hanya karena harus bekerja untuk sekolah. Justru kamu harus bangga. Tidak usah dengarkan apa kata orang. Yang penting, kan, halal,” tandas Euis memnacing senyum Kinanthi saat mengeja kata “halal” dengan penekanan huruf “h” dan “l” yang kocak Kinanthi, hal. 89. Di luar rencana keluarga Edi untuk menjadikan Kinanthi TKI, Kinanthi murni melakukan pekerjaan tersebut untuk sekolah. Dengan Kinanthi bersekolah sebenarnya Pak Edi akan mendapatkan keuntungan yang berlipat karena Kinanthi akan semakin pintar. Calon TKI yang pintar akan mendapatkan harga yang lebih tinggi dari TKI yang biasa-biasa saja. Dalam hal ini Kinanthi tidak menyadari, bahkan sangat naïf, dengan rencana-rencana Pak Edi terhadapnya. Sisi lain ketidakadilan yang harus dihadapi Kinanthi. Pembantu rumah tangga tanpa gaji menjadi profesi yang dijalani Kinanthi di rumah keluarga Edi. Kinanthi tidak mengerti persoalan gaji-menggaji. Ia hanya mengetahui bahwa ia menjalankan tugasnya dengan baik. Kepolosan yang tidak pada tempatnya. Kinanthi merasa Universitas Sumatera Utara ia menumpang di rumah keluarga Edi, ditanggung biaya hidup dan biaya sekolahnya. Asumsi tersebut membuat Kinanthi merasa apa yang sudah dapatkan sudah cukup tanpa diberi gaji. Padahal seharusnya Kinanthi harus mendapat gaji karena ia mengerjakan rumah tangga sepenuhnya. Sahabat Kinanthi sendiri merasa seharusnya Kinanthi digaji: “Jadi, gaji kamu, teh, sabaraha, Thi? Berapa gitu?” Kinanthi menggeleng. “Ndak tahu? Atau, ndak mau ngasih tahu?” buru Euis. “Aku ndak digaji, Is.” “Ha? Nu bener, we. Yang benar?” Kinanthi mengangguk sambil menunduk. “Wah, keterlaluan itu namanya.” “Ndak apa-apa, Is. Aku, kan, numpang hidup di rumah Pak Edi. Disekolahin lagi.” Kinanthi, hal. 91. Selama Kinanthi berada di rumah keluarga Edi, ingatannya tentang Ajuj tidak pernah terlewatkan. Ajuj hidup dalam memorinya dan membuat dirinya tidak menyerah. Ajuj seperti sebuah kekuatan bagi Kinanthi. Perasaan Kinanthi semakin hari semakin berkembang, sejalan dengan pertumbuhan Kinanthi yang semakin dewasa. Rindu yang sekarang berbeda dengan rindu yang dulu ia miliki. perasaan yang dimiliki Kinanthi disebabkan karena ia mulai memasuki usia pubertas, yaitu masa bangkitnya kepribadian ketika minatnya lebih ditujukan kepada perkembangan pribadi sendiri. Masa ini ditandai dengan sifat-sifat yang baru, seperti pendapat lama yang ditinggalkan, keseimbangan jiwa yang terganggu, suka menyembunyikan isi hati, masa bangunnya perasaan kemasyarakatan, dan adanya perbedaan sikap antara pemuda dengan gadis Zulkifli, 2005: 70. Sikap memuja dalam diri Kinanthi adalah sikap yang menandai peralihan dari anak-anak ke masa pubertas: Entah bagaimana, Kinanthi mulai merasa ada yang berbeda pada dirinya. Menyebut nama Ajuj, menulis kata “Ajuj” seperti menghidupkan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang menyetrum saraf-saraf tertentu pada rangkaian tertentu pada rangkaian pembuluh darahnya. Sesuatu yang membuatnya tersipu sekaligus terharu. Memori terakhir, ketika dia menyaksikan Ajuj berlari Universitas Sumatera Utara mengejar mobil yang membawa dia meninggalkan dusun selalu membuat Kinanthi menangis Kinanthi, hal. 95. Dalam kehidupan, seseorang akan mengalami masa-masa yang menyedihkan dalam hidup. Kematian merupakan sebuah peristiwa yang mengguncang kehidupan seseorang. Kematian dalam banyak kasus akan mengubah kehidupan secara psikologis, terutama ketika kehilangan seseorang yang paling dekat dalam hidup, seperti anggota keluarga. Kejadian ini dialami Kinanthi, yaitu ketika ia kehilangan Euis, sahabatnya. Kematian yang dialami Euis tidak wajar, ia diperkosa lalu dibunuh. Peristiwa tersebut membuat Kinanthi pingsan berkali- kali dan selama seminggu ia tidak mampu menjalani hari-harinya seperti biasa karena terguncang karena kematian sahabatnya. Kinanthi pingsan berkali-kali pada hari kematian Euis dan sehari setelahnya. Dia tidak masuk sekolah hampir sepekan lamanya. Beruntung, majikannya bisa memahami dan tidak memaksa Kinanthi untuk tetap mengerjakan jadwal hariannya. Kinanthi diberi keringanan untuk berkabung selama sepekan. Kinanthi merasa, sebagian dirinya ikut mati bersama Euis. Kehilangan yang begitu menyesakkan. Enam bulan bersama Euis adalah rentang waktu yang sangat ajaib. Dia belajar menjadi tegar karena melihat Euis. Belajar untuk percaya diri juga dari sosok Euis. Belajar mensyukuri hidup pun dari sahabatnya itu Kinanthi, hal. 99. Euis memberi banyak arti dalam kehidupan Kinanthi. Euis adalah sahabat yang memberinya rasa percaya diri dan lebih mensyukuri hidup. Euis adalah tempat Kinanthi membuka diri, satu-satunya teman yang ia miliki di sekolah. Kematian Euis memberi dampak yang besar dalam kehidupan sosial Kinanthi. Kematian tersebut membuat Kinanthi tidak bergairah menjalin persahabatan dengan orang lain. Dia kembali lagi seperti dulu, pendiam dan tidak memiliki teman. Tidak terbuka kepada siapapun. Hal tersebut membuat Kinanthi dipandang aneh oleh teman-teman sekolahnya. Kinanthi tidak peduli dengan pendapat teman-temannya. Ia menjalani hari-harinya seperti yang ia inginkan, belajar dan mendapatkan ranking pertama di kelasnya. Ia mengalami Universitas Sumatera Utara pergeseran tujuan, tidak ingin berteman dengan siapapun, hanya mengejar ilmu dan menamatkan SMP-nya dengan nilai yang memuaskan.

3. Kinanthi menjadi TKI