Nonparticipation tidak ada partisipasitingkatan partisipasi masyarakat itu rendah. Tokenism tingkatan partisipasi masyarakat sedang. Termasuk dalam kelompok ini Citizen power, tingkatan partisipasi masyarakat tinggi. Termasuk dalam kelompok

42 tekanan dari atas. Proses-proses pemberdayaan tampaknya semakin diaplikasikan pada tingkatan ini. Penentuan rendemen, penentuan harga dan kaitan hak masyarakat petani lainnya; belum sepenuhnya dihargai oleh PG. Hal ini mungkin, mengingat PG sendiri mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dimana garis demarkasi antara manajemen dengan kondisi di lapangan masih terganjal oleh aturan hkum dan kelembagaan yang belum ada keberpihakan. Padahal kalu hal ini dilakukan dengan murni dan konsekwen, niscaya menguntungkan semua fihak. Seperti halnya di industri lainnya otomotif, para penyedia komponen adalah merupakan partner bisnis sesungguhnya, yang merupakan tanggung jawab sepenuhnya ATPM agen tunggal pemegang merek. Kedelapan, partisipasi peran masyarakat pada tingkat masyarakat yang mengontrol citizen control. Pada tingkat ini, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan penuh di bidang kebijaksanaan, aspek-aspek pengelolaan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga atau neighbourhood corporation dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapatkan bantuan atau pinjaman dana tanpa melewati pihak-pihak ketiga. Pada tingkat ini peran masyarakat dipandang tinggi karena mereka benar-benar memiliki posisi untuk melakukan bargaining dengan pihak kedua tanpa harus melalui apalagi meminta bantuan dari pihak ketiga. Level ini merupakan yang tertinggi dalam pola kemitraan sejati. Hal ini bisa terjadi bila sama-sama punya pegangan hukum dan kelembagaan yang berbudaya. Para petani tebu diberikan rangsangan untuk memiliki atau menanamkan modalnya pada asset PG, berapapun besarnya. Pada penentuan segala kegiatan dari hulu sampai hilir, dilakukan secara bersama-sama dan tanggung jawabnya pun juga bersama-sama. Suatu tatanan kebersamaan yang sebenarnya sangat sederhana, gampang diaplikasikan; tetapi sulit untuk diterapkan mengingat belum adanya kemauan politik dalam menggangkat derajat para petani. Arenstein 1969 mengelompokkan delapan tingkatan partisipasi masyarakat menjadi tiga tingkatan menurut pembagian kekuasaan, yaitu:

1. Nonparticipation tidak ada partisipasitingkatan partisipasi masyarakat itu rendah.

Tingkatan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: manipulation dan therapy . 43

2. Tokenism tingkatan partisipasi masyarakat sedang. Termasuk dalam kelompok ini

adalah: informing, consultation dan placation.

3. Citizen power, tingkatan partisipasi masyarakat tinggi. Termasuk dalam kelompok

ini adalah: partnership, delegated power, citizen control. Dari berbagai definisi dan konsep yang telah dikemukakan, nampaknya semua mengarah kepada keterlibatan masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, bahkan menurut Arenstein 1969 tidak hanya terlibat saja namun tingkatannya sampai dengan pendelegasian kekuasaan dan pengawasan. Satu hal yang perlu diingat bahwa efektif tidaknya program-program partisipasi masyarakat ditentukan oleh kepercayaan, komunikasi, kesempatan, dan fleksibilitas Mitchell dan Setiawan, 2000. Menurut Cohen and Uphoff 1977 dalam pelaksanaan pembangunan yang dimaksud dengan partisipasi adalah mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan operasional berdasarkan rencana yang telah disepakati bersama. Selanjutnya dikatakan bahwa partisipasi juga dapat terjadi pada saat memanfaatkan hasil pembangunan, yang tidak lain dari memanfaatkan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Selain itu dalam partisipasi tersebut, juga akan selalu diupayakan terjadinya pemerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada di masyarakat, serta masyarakat tersebut ikut serta menikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan. Partisipasi juga dapat terjadi saat mengevaluasi pembangunan yakni partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan masyarakat tersebut dalam menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Berdasarkan hal tersebut, maka Takeda 2001 menegaskan pentingnya pembangunan partisipatif, mengingat dari hal tersebut akan dapat diketahui kebutuhan dan opini stakeholder terhadap program pembangunan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya dikatakan bahwa penentu keberhasilan pembangunan partisipatif setidaknya terdapat empat elemen kunci menuju kesuksesan pembangunan partisipatif oleh stakeholder. Adapun ke empat elemen kunci tersebut adalah informasi, intermediasi, institusionalisasi, dan inisiatif, seperti uraian di bawah ini. 1. Informasi berperan sangat esensial sebagai wahana untuk memfasilitasi partisipasi. Ketiadaan informasi dapat berakibat pada ketidak tahuan stakeholder mengenai apa, kapan,dimana, siapa dan bagaimana berpartisipasi dalam proses perencanaan kebijakan dan implementasinya. Informasi yang baik dan tepat sasaran seringkali menjadi pionir bagi keberhasilan suatu program. 44 2. Intermediasi dapat memfasilitasi partisipasi, sehingga intermediasi berperan dalam fungsi intermediasi antara individu dengan organisasi guna. 3. Institusionalisasi merupakan hal yang penting mengingat mekanisme partisipasi harus diinstitusionalisasikan. Hak-hak dan proses partisipasi harus didefinisikan dalam pedoman teknis, regulasi, atau kebijakan pemerintah. Dalam taraf pelaksanaan misalnya dengan melakukan “forum lintas pelaku“ sebagai bentuk dari institusionalisasi partisipasi stakeholder. Kerjasama yang erat antar stakeholder dapat juga merupakan bentuk forum partisipasi stakeholder. Prinsip pokoknya adalah agar dapat memfasilitasi partisipasi stakeholder dalam perencanaan dan implementasi pembangunan maka dibutuhkan kesediaan diantara stakeholder untuk melakukan koordinasi, konsultasi, dan negosiasi. 4. Inisiatif sangat diperlukan pada partisipasi, mengingat stakeholder sangat krusial dalam berpartisipasi dalam aktivitas pembangunan dan proses pembangunan. Dalam hal ini pemerintah harus menyediakan dan memberdayakan stakeholder agar mampu menempatkan perannya dalam membuat inisiatif. Informasi mengenai kasus-kasus partisipasi yang sukses merupakan insentif bagi masyarakat untuk melakukan aksi yang serupa. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kondisi partisipasi masyarakat adalah dengan memaparkan mekanisme, derajat dan efektifitas partisipasi masyarakat. Mekanisme partisipasi merupakan media atau saluran yang dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk menjalankan aktifitas partisipasinya. Sementara itu, derajat partisipasi merupakan upaya membandingkan mekanisme partisipasi yang berjalan tersebut dengan tangga partisipasi. Selanjutnya efektifitas partisipasi digunakan untuk menjelaskan apakah mekanisme dan aktivitas yang sudah berjalan telah mampu memuaskan stakeholders terhadap partisipasi masyarakat Muluk, 2007. Dalam hal industri gula di lapangan dapat dikemukakan bahwa untuk on farm tingkat Pertama sampai Keenam yaitu manipulasi manipulation, terapi therapy, informasi informing, konsultasi consultation, perujukan placation, kemitraan partnership masih bisa dilakukan langsung oleh masyarakat. Masyarakat bisa diajak partisipasi dalam perencanaan di lapangan sawah dan lain-lain, irigasi, pemupukan, pembibitan, pemanenenan, transportasi, penggudangan, sehingga prediksi hasil panen sudah bisa diperkirakan. Akan tetapi pada tingkat ketujuh dan kedelapan yaitu 45 pendelegasian kekuasaan delegated power dan masyarakat yang mengontrol citizen control ; tidak bisa dilakukan lagi oleh masyarakat mengingat kemampuan bargaining posisition -nya lemah. Sedangkan pada off farm partisipasi masyarakat sangat kecil, mengingat aturan dan sifat-sifat teknis di pabrik memerlukan skill dan keahlian expertice yang harus dipenuhi oleh standar pabrik, seperti menjalankan dan mengontrol permesinan, evaluasi sisasampah waste, penurunan limbah, penaikan efisiensi produksi dan sumberdaya. Menurut Bock 2001 terdapat tiga keuntungan jika dalam pembangunan dan desain suatu kegiatan menggunakan proses partisipatif, keuntungan tersebut adalah l hasilnya bersifat alamiah dan tidak merupakan rekayasa, 2 masyarakat yang merupakan target merasa lebih memiliki dan memberikan kontribusi secara signifikan guna kesuksesan kegiatan, dan 3 pemantauan kegiatan lebih mudah dilaksanakan dan akan lebih transparan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partisipasi stakeholder merupakan konsep kunci guna membuka transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembuatan keputusan dan kebijakan. Disamping itu juga dapat mempromosikan efektifitas penggunaan sumberdaya lokal dan menjadi aspek penting dalam rangka menciptakan kebijakan yang lebih sesuai. Adapun visi dari pembangunan partisipatif yang berkelanjutan adalah proses lokal yang terinformasi baik dan partisipatif yakni pada pembangunan tersebut terlihat adanya kerjasama antar stakeholder dalam mencapai keseimbangan antara keberlanjutan pembangunan ekonomi, ekologi dan sosial Charter, 2001. Menurut Edgington and Fernandez 2001 pembangunan partisipatif merupakan aktivitas banyak pihak dan merupakan kerjasama antara pemerintahan lokal dengan berbagai aktor dalam berbagai tingkatan serta merupakan suatu proses yang terpadu dari berbagai dimensi pembangunan. Menurut Stohr 2001 pembangunan partisipatif ini merupakan adaptasi manajemen yang bersifat fleksibel yang didasarkan pada partisipasi aktif, konsensus bersama, dan koordinasi antar pihak. Namun demikian, dalam implementasi penerapannya, seringkali dibatasi oleh beberapa faktor pembatas, seperti sumberdaya lokal yang kurang, pemerintahan yang lemah serta kapasitas pemerintahan local yang kurang handal. Menurut Bulle 1999 setiap anggota dari suatu komunitas mempunyai peran yang berbeda, maka terdapat banyak cara partisipasi dalam pengelolaan suatu kegiatan, termasuk di dalamnya pengelolaan industri gula. Ciri industri gula di Indonesia masih tradisional, melihat luas tanah masih dipunyai oleh petani, sedangkan HGU oleh pabrik masih sedikit. Sehingga ketergantungan pasokan bahan baku dari petani sangat tinggi. Di sisi lain para petani 46 belum dibekali oleh teknologi yang mumpuni. Lain halnya di Brazil, Thailand dan China, partisipasi masyarakat diapresiasi dengan baik. Para petani tebu dianggap sebagai mitra sejajarsetara dalam hal memperoleh keuntungan. Dimana semuanya saling menghargai, dalam arti yang luas. Kemampuan mengelola tanaman tebu di lahan, akan dipantau oleh pihak pabrik, sekaligus sebagai penyuluh. Irigasi menjadi tanggung jawab pabrik, bibit dengan varietas unggul disiapkan oleh PG, anti hama disiapkan pula oleh pabrik, sehingga semuanya berjalan simultan. Porsi masing-masing pihak diperhitungkan dengan sangat teliti dan tidak merugikan salah satu pihak. Disamping itu, bila terjadi keugin akibat force majeure, maka pemerintah mempunyai scheme untuk menanggulanginya, dimana penggantian kerugian harus dibayarkan kepada para petani tebu dengan jelas, cepat dan transparan. Hal tersebut disadari oleh para penyeleggara pemerintahnya bahwa gula bukan semata-mata komoditi akan tetapi lebih dari itu yaitu sebagai function food. Atas dasar tersebut maka gula harus menjadi security food, sesuatu yang berifat menyangkut hidup manusia.

III. METODE PENELITIAN