Harga S S
1
P E
E’ P
1
D Jumlah
0 Q Q
1
Sumber: Firdaus, 2009
Gambar 2.4 Ilustrasi perubahan harga komoditas pangan dari sisi penawaran 2.
Fluktuasi Permintaan Permintaan komoditas pangan bersifat inelastis dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Hal ini disebabkan elastisitas pendapatan dari permintaan komoditas pertanian rendah, yaitu kenaikan pendapatan hanya menimbulkan
kenaikan yang kecil atas permintaan. Pada umumnya sebagian besar komoditas hasil pertanian merupakan barang kebutuhan pokok yang digunakan untuk
kehidupan sehari-hari. Meskipun harganya tinggi jumlah yang sama harus tetap dikonsumsi, sebaliknya pada saat harga turun, konsumsi tidak banyak bertambah
karena kebutuhan konsumsi relatif tetap. Ketidakstabilan penawaran komoditas pertanian yang diikuti dengan inelastisitas permintaan menyebabkan perubahan
harga yang sangat besar apabila terjadi perubahan permintaan. Ilustrasi mengenai perubahan harga komoditas pertanian akibat fluktuasi permintaan ditampilkan
pada Gambar 2.5.
Harga S
P E
P
1
E’ D
1
D Jumlah
Q
1
Q
Sumber: Firdaus, 2009
Gambar 2.5 Ilustrasi perubahan harga komoditas dari sisi permintaan
2.5 Keterkaitan Harga Komoditas Pangan dengan Inflasi
Christanty 2013 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menangani permasalahan inflasi adalah
pengendalian dan pengontrolan terhadap harga komoditas pangan. Dalam keterkaitan harga komoditas pangan dan inflasi, Furlog dan Ingenito 1996
menyatakan bahwa harga komoditas dijadikan sebagai leading indicators inflasi. Hal ini dikarenakan harga komoditas mampu merespon secara cepat guncangan
ekonomi yang terjadi dalam perekonomian secara umum, seperti peningkatan permintaan aggregate demand shock. Selanjutnya harga komoditas juga mampu
merespon terhadap guncangan non ekonomi seperti banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya yang dapat menghambat jalur distribusi dari komoditas
tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Moshin dan Zaman 2012 menyatakan
bahwa di negara berkembang, masyarakatnya akan mengalokasikan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kenaikan harga
komoditas mampu menurunkan daya beli masyarakat terhadap konsumsi komoditas tersebut sehingga akan menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat. Oleh sebab itu, perubahan harga komoditas merupakan salah satu faktor dominan yang menjadi penyumbang inflasi.
2.6 Vector Autoregression VAR
Metode Vector Autoregression VAR pertama kali ditemuakan oleh Sims pada tahun 1980. VAR merupakan salah satu model yang dibangun untuk
menganalisis hubungan saling ketergantungan antar variabel ekonomi yang dapat diestimasi tanpa perlu menitikberatkan pada masalah eksogenitas. Dalam
pendekatan ini semua variabel dianggap sebagai endogen Ariefianto, 2012. Model VAR muncul karena seringkali teori ekonomi tidak dapat menentukan
spesifikasi yang tepat. Misalnya teori terlalu kompleks sehingga simplifikasi harus dibuat atau sebaliknya fenomena yang ada terlalu kompleks jika hanya dijelaskan
dengan teori yang ada Widarjono, 2013. Data yang digunakan dalam model VAR adalah data deret waktu time series. Model VAR dibangun dengan
pendekatan yang meminimalkan teori dengan dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik. Dengan demikian, model VAR
disebut juga sebagai model non struktural atau model bukan berdasarkan teori Juanda dan Junaidi, 2012
Menurut Nachrowi dan Usaman 2006 terdapat kelebihan dan keunggulan dari metode VAR. Keunggulan dari metode VAR antara lain:
1. Metode VAR adalah model yang sederhana dan tidak perlu membedakan
mana yang menjadi variabel endogen dan mana yang menjadi variabel eksogen. Semua variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel
endogen. 2.
Cara estimasi metode VAR sangat mudah, yaitu dengan menggunakan Ordinary Least Square OLS pada setiap persamaan secara terpisah.
3. Peramalan menggunakan metode VAR pada beberapa hal lebih baik
dibanding menggunakan metode dengan persamaan simultan yang lebih kompleks.
Adapun kelemahan yang dimiliki metode VAR sebagai berikut Gujarati, 2003 :
1. VAR dianggap ateoritis tidak berdasarkan teori karena menggunakan lebih
sedikit informasi dan teori terdahulu.
2. VAR tidak sesuai jika digunakan untuk menganalisis impilikasi kebijakan.
Hal ini dikarenakan analisis pada VAR ditekankan pada peramalan forecasting.
3. Pemilihan panjang lag menjadi tantangan besar, khususnya ketika variabel
banyak dan lag panjang. 4.
Semua variabel dalam model VAR harus stasioner. Jika terdapat variabel yang tidak stasioner, perlu dilakukan uji lebih lanjut, salah satunya dengan
diferensiasi derajat satu. 5.
Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan, sehingga sebagian besar peneliti melakukan interpretasi pada estimasi IRF dan FEVD.
Menurut Widarjono 2013, terdapat dua hal yang dilakukan sebelum menggunakan metode VAR, yaitu spesifikasi dan identifikasi model VAR.
Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan penentuan lag setiap variabel endogen. Identifikasi model berkaitan dengan identifikasi persamaan
yang akan digunakan sehingga apakah model VAR dapat diestimasi atau tidak. Adapun model persamaan umum VAR dapat dituliskan sebagai berikut Enders,
2004 sebagai berikut: Y
t
= A + A
1
Y
t-1
+ A
2
Y
t-2
+ … + A
p
Y
t-p
+ e
t
3 Keterangan:
Y
t
= vektor variabel endogen Y
1.t
, Y
2.t
, Y
n.t
berukuran n.1 A
= vektor intersep berukuran n.1 A
i
= matriks koefisien berukuran n.n, I = 1,2,…p
p = lag dalam persamaan
e = vektor error e
1t
, e
2t
, … e
nt
berukuran n.1 Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan analisis VAR, yaitu:
1. Uji Stasioneritas Data
Langkah pertama mengestimasi model VAR adalah uji stasioneritas data. Uji stasioneritas data bisa dilakukan dengan menggunakan uji akar unit unit root
dalam model. Pengujian stasioneritas data sangat penting jika data yang digunakan dalam bentuk time series. Hal ini karena data time series pada
umumnya mengandung akar unit dan nilai rata-rata serta variansnya berubah sepanjang waktu. Data yang tidak stasioner atau memiliki akar unit, jika
dimasukkan dalam pengolahan statistik maka akan menghasilkan fenomena yang disebut dengan regresi palsu spurious regression Ariefianto, 2012. Menurut
Gujarati 2003, data yang tidak stasioner akan memiliki estimasi model ekonometrik time series yang akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti,
yaitu kemungkinan besar estimasi akan gagal mencapai nilai yang sebenarnya. Untuk menguji ada atau tidaknya akar unit dapat digunakan uji Augmented
Dickey-Fuller ADF. Pemahaman mengenai uji ADF dimulai dengan formulasi sebagai berikut:
∆Y
t
= α + βY
t-1
+
i
∆Y
t-1
+ e
t
4 Dalam persamaan seperti ini hipotesis yang digunakan adalah:
H :
β = 0 mengandung akar unit atau tidak stasioner H
1
: β 0 tidak mengandung akar unit atau stasioner
Jika nilai stastik ADF secara absolut lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon, maka keputusannya tolak H
. Hal ini menunjukkan Y
t
tidak mengandung akar unit atau data stasioner.
2. Penentuan Lag Optimal
Hal penting lainnya dalam estimasi model VAR adalah penentuan lag. Lag yang optimal diperlukan dalam rangka menangkap pengaruh dari setiap variabel
terhadap variabel lainnya dalam sistem VAR. Penentuan lag optimal dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai kriteria, yaitu: Likelihood Ratio LR,
Akaike Information Criterion AIC, Schwarz Criterion SC, Final Prediction Error FPE dan Hannan-Quinn Criterion HQ Juanda dan Junaidi, 2012.
3. Uji Stabilitas Model VAR
Langkah berikutnya yaitu menguji stabilitas VAR. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal
dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai modulusnya 1 maka model
VAR tersebut dianggap stabil, sehingga Impulse Response Function IRF dan Forecast Error Variance Decomposition FEVD yang dihasilkan dianggap valid
Firdaus, 2011.