Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia
IDENTIFIKASI BANJIR IMPOR KOMODITAS
HORTIKULTURA DAN DAMPAKNYA
TERHADAP HARGA DOMESTIK
DI INDONESIA
HADIWIYONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
(2)
(3)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014 Hadiwiyono NIM H151110061
(4)
RINGKASAN
HADIWIYONO. Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Rintisan ASEAN Economic Community pada tahun 2015 semakin dekat. Permasalahan akibat keterbukaan perdagangan termasuk produk pertanian yang rentan terhadap banjir impor di Indonesia misalnya di bidang hortikultura. Tingginya impor hortikultura Indonesia tidak dibarengi dengan kebijakan yang melindungi produksi domestik, terutama harga produsen. Pasalnya kebijakan special safeguard di Indonesia sendiri memiliki hak untuk memberlakukan Special Agricultural Safeguard (SSG) terhadap 14 produk. Tiga belas produk tersebut digunakan untuk komoditas peternakan, dan 1 produk untuk komoditas perkebunan, artinya proteksi terhadap hortikultura tidak termasuk ke dalam SSG dan penting untuk diajukan special safeguard baru untuk melindungi harga domestik, yaitu Special Safeguard Mechanism (SSM).
Penelitian ini diperlukan untuk mendeteksi fenomena banjir impor pada komoditas hortikultura. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis gambaran umum kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia, (2) mendeteksi fenomena dan frekuensi banjir impor yang terjadi pada komoditas hortikultura kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia berdasarkan SSM framework, dan (3) Menganalisis dampak dari shock banjir impor terhadap harga domestik kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekuder time series bulanan dari tahun 2002 hingga 2012. Analisis yang digunakan adalah perhitungan matematis sederhana dan ekonometrika dengan model Vector Error Correction Model.
. Berdasarkan framework Special Safeguard Mechanism, volume-based Special Safeguard Mechanism terpicu di hampir seluruh tahun pada periode 2002 hingga 2012, namun price-based Special Safeguard Mechanism terpicu di dua tahun pada komoditas jeruk. Berdasarkan analisis Impulse Response Function, dampak dari guncangan banjir impor terhadap harga domestik tidak terlalu signifikan namun berdampak permanen. Berdasarkan analisis Forecast Error Variance Decomposition, kontribusi banjir impor terhadap variabilitas harga domestik relatif rendah namun kontribusinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Keywords: Kentang, Bawang Merah, Jeruk, Special Safeguard Mechanism, Vector Error Correction Model
(5)
SUMMARY
HADIWIYONO. Identification of Horticulture Commodities Import Surges and Its Impact on Domestic Prices in Indonesia. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Implementation ASEA Economic Community in 2015 are getting closer. Trade Openness created problem that make horticulture products are vurnurable to the import surge in Indonesia. High horticulture import in Indonesia is not protected by policy that support domestic products, especially incompetitive price. Special safeguard policy in Indonesia got the right to put Special Agricultural Safeguard (SSG) into 14 products, 13 of it is for dairy product, and yet the other is for plantation product. That mean protection for horticulture was not included in SSG and needed another newer special safeguard, such as Special Safeguard Mechanism (SSM) to protect domestic prices.
This research detected the phenomenon of import surges for horticulture commdities. The objectives was to (1) to analyse general insight about Indonesia’s potatoes, oranges, and shallots import conditions, (2) to detect import surges phenomeon and frequency that occurred on potatoes, oranges, and shallots based on SSM framework, and (3) to analyze the impact of import surges shock to potatoes, oranges, and shallots in Indonesia. This research used secondary monthly time series data from 2002 to 2012. Simple mathematics and econometrics Vector Error Correction Model are used to analyse in the research.
Based on the framework of the Special Safeguard Mechanism, the volume-based Special Safeguard Mechanism is triggered almost throughout the year in the period of 2002 to 2012, but the price-based Special Safeguard Mechanism is triggered in two years in citrus commodity. Based on the Impulse Response Function analysis, the impact of import surge shock on domestic prices is not really significant but has permanent effect. Based on the Forecast Error Variance Decomposition analysis, the contribution of import surges on the variability of domestic prices is relatively low but tends to escalate from year to year.
Keywords: Potato, Shallot, Orange, Special Safeguard Mechanism, Vector Error Correction Model
(6)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(7)
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
IDENTIFIKASI BANJIR IMPOR KOMODITAS
HORTIKULTURA DAN PENGARUHNYA
TERHADAP HARGA DOMESTIK
DI INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
(8)
Penguji Luar Komisi pada Sidang Tesis: Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS
(9)
Judul Tesis : Identifikasi Banjir Impor Komoditas Hortikultura dan Dampaknya terhadap Harga Domestik di Indonesia
Nama : Hadiwiyono
NIM : H151110061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi Ketua
Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dr Ir Nunung Nuryartono, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
(10)
(11)
PRAKATA
Pertama-tama puji dan syukur sebanyak-banyaknya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Tidak lupa shalawat serta salam kepada baginda Nabi Besar Rasullullah Muhammad SAW.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni selaku pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Nunung Nuryartono selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Ekonomi, kepada seluruh dosen pengajar, dan kepada seluruh staff Pascasarjana Ilmu Ekonomi yang telah membantu proses studi. Terima kasih juga tidak lupa diberikan kepada teman seperjuangan Pascarjana Ilmu Ekonomi kelas regular 5 yang telah membantu segala proses penulisan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014 Hadiwiyono
(12)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ... 7
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Tinjauan Teoritis ... 8
2.1.1 Transmisi Harga dan Law of One Price ... 8
2.1.2 Definisi Banjir Impor (Import Surges)... 10
2.1.3 Special Safeguard ... 10
2.1.3.1 GATT 1994 Article XIX ... 10
2.1.3.2 Special Agricultural Safeguard (SSG)... 11
2.1.3.3 Special Safeguard Mechanism (SSM) ... 11
2.1.4 Analisis Tarif ... 12
2.1.5 Vector Autoregression... 14
2.1.5 Structural Vector Autoregression ... 16
2.1.6 Vector Error Correction Model ... 18
2.2 Tinjauan Empiris ... 18
2.2.1 Penelitian Transmisi Harga dan External Shock ... 18
2.2.2 Penelitian Safeguard dan Banjir Impor ... 19
2.3 Kerangka Pemikiran ... 20
2.4 Hipotesis Penelitian ... 21
3 METODE PENELITIAN ... 22
3.1 Jenis Data, Cakupan Komoditas, dan Sumber Data ... 22
3.2 Analisis Deskriptif ... 23
3.3 Analisis Ekonometrika ... 23
3.3.1 Data Generating Process (GDP) ... 23
3.3.2 Penentuan Lag Optimal ... 24
3.3.3 Uji Kointegrasi (Johannsen Cointegration Test)... 24
3.3.4 Penyusunan Model Penelitian ... 24
3.3.4.1 Kerangka Model Dasar ... 24
3.3.4.2 Model Restriksi (SVAR) ... 25
3.3.4.3 Vector Error Correction Model (VECM) ... 26
3.3.5 Innovation Accounting ... 27
3.3.5.1 Impulse Respons Function ... 27
3.3.5.2 Forecast Error Variance Decomposition ... 27
3.4 Analisis Deteksi Banjir Impor ... 28
4 GAMBARAN UMUM ... 30
4.1 Perkembangan Komoditas Hortikultura di Indonesia ... 30
4.1.1 Perkembangan Perdagangan Internasional dan Produksi Hortikultura Indonesia ... 30
(13)
4.1.2 Perkembangan Share Impor Komoditas Kentang, Jeruk, dan Bawang
Merah di Indonesia ... 31
4.2 Implementasi Perlindungan Komoditas Hortikultura di Indonesia ... 33
5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34
5.1 Pengujian Pra-Estimasi ... 34
5.1.1 Uji Stasioneritas Data ... 34
5.1.2 Penentuan Selang Optimal ... 35
5.1.3 Pengujian Stabilitas VAR ... 36
5.1.4 Pengujian Kointegrasi ... 37
5.2 Deteksi Banjir Impor ... 37
5.2.1 Volume-based Special Safeguard Mechanism ... 38
5.2.2 Price-based Special Safeguard Mechanism ... 41
5.3 Dampak Banjir Impor terhadap Harga Domestik ... 43
5.3.1 Analisis Impulse Respons Function ... 43
5.3.1.1 Analisis Impulse Respons model Kentang ... 43
5.2.2.2 Analisis Impulse Respons Model Jeruk ... 46
5.2.2.3 Analisis Impulse Respons Model Bawang Merah ... 49
5.2.2 Analisis Forecast Error Variance Decomposition ... 52
5.2.2.1 Analisis FEVD Kentang ... 52
5.2.2.2 Analisis FEVD Jeruk ... 54
5.2.2.3 Analisis FEVD Bawang Merah ... 55
5.4 Rekomendasi Kebijakan dan Remedy SSM ... 58
6. SIMPULAN DAN SARAN ... 62
6.1 Simpulan ... 62
6.2 Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
LAMPIRAN ... 66
(14)
DAFTAR TABEL
1.11.2 1.3 1.4 3.1 4.1
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12
Kasus Banjir Impor di Berbagai Negara di Dunia tahun 1984-2000 ... Ekspor Impor Pertanian Indonesia berdasarkan Subsektor tahun 2008-2012 ………... Volume Impor Komoditas Hortikultura Indonesia 2008-2012 ...
Rasio Impor dan Produksi Bawang Merah, Wortel, dan Jeruk tahun 2010-2012 (ton)... Data Utama Penelitian ... Perkembangan total produksi, ekspor, dan impor Indonesia untuk komoditas jeruk dan kentang tahun 2002-2011 (dalam ton) ... Hasil Pengujian Akar Unit berdasarkan Augmented Dickey-Fuller Test ... Hasil Pengujian Selang (Lag) Optimal ... Hasil Pengujian Stabilitas Vector Auto Regression ... Hasil Pengujian Kointegrasi Data ... Volume-based SSM Komoditas Kentang ... Volume-based SSM Komoditas Jeruk (Orange) ... Volume-based SSM Komoditas Jeruk (Mandarin) ... Volume-based SSM Komoditas Bawang Merah ... Price-based SSM Komoditas Kentang ... Price-based SSM Komoditas Jeruk ... Price-based SSM Komoditas Bawang Merah ... FEVD Pembentukan Harga Domestik ...
2 3 5 6 22
30 35 36 36 37 38 39 40 41 41 42 42 57
(15)
DAFTAR GAMBAR
2.12.2 2.3 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12 5.13 5.14 5.15
Dampak Tarif ... Tarif di Negara Kecil ... Kerangka Pemikiran ... Share impor kentang Indonesia per negara asal tahun 2012 ... Share impor jeruk Indonesia per negara asal tahun 2012 ... Share Impor Bawang Merah Indonesia per negara asal tahun 2012 .... IRF Guncangan Harga Dunia untuk Komoditas Kentang ... IRF Guncangan Harga Impor untuk Komoditas Kentang ... IRF Guncangan Volume Impor untuk Komoditas Kentang ... IRF Guncangan Harga Dunia untuk Komoditas Jeruk ... IRF Guncangan Harga Impor untuk Komoditas Jeruk ... IRF Guncangan Volume Impor untuk Komoditas Jeruk ... IRF Guncangan Harga Dunia untuk Komoditas Bawang Merah ... IRF Guncangan Harga Impor untuk Komoditas Bawang Merah ... IRF Guncangan Volume Impor untuk Komoditas Bawang Merah ... FEVD Pembentukan Harga Konsumen Komoditas Kentang ... FEVD Pembentukan Harga Produsen Komoditas Kentang ... FEVD Pembentukan Harga Konsumen Komoditas Jeruk ... FEVD Pembentukan Harga Produsen Komoditas Jeruk ... FEVD Pembentukan Harga Konsumen Komoditas Bawang Merah ... FEVD Pembentukan Harga Produsen Komoditas Bawang Merah ...
13 14 21 31 32 32 44 45 45 47 48 49 50 50 51 53 53 54 55 56 56
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25Uji Akar Unit untuk Komoditas Kentang Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat Level ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Jeruk Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat Level ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Bawang Merah Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat Level ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Kentang Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat First Difference ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Jeruk Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat First Difference ... Uji Akar Unit untuk Komoditas Bawang Merah Periode Januari 2002 – Desember 2012 pada Tingkat First Difference ... Uji Panjang Lag Optimal Komoditas Kentang Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Panjang Lag Optimal Komoditas Jeruk Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Panjang Lag Optimal Komoditas Bawang merah Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Stabilitas VAR Komoditas Kentang Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Stabilitas VAR Komoditas Jeruk Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Stabilitas VAR Komoditas Bawang Merah Indonesia periode Januari 2002 - Desember 2012 ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Kentang periode Januari 2002- Desember 2012 (summary) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Kentang periode Januari 2002- Desember 2012 (asumsi) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Jeruk periode Januari 2002- Desember 2012 (summary) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Jeruk periode Januari 2002- Desember 2012 (asumsi) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Bawang Merah periode Januari 2002- Desember 2012 (summary) ... Uji Kointegrasi Data Komoditas Bawang Merah periode Januari 2002- Desember 2012 (asumsi) ... Analisis IRF Kentang ... Analisis IRF Jeruk ... Analisis IRF Bawang Merah ... Analisis FEVD Kentang ... Analisis FEVD Jeruk ... Analisis FEVD Bawang Merah ... Daftar Komoditas yang mendapatkan SSG di Indonesia ...
66 67 68 69 70 71 72 73 73 74 74 74 75 76 76 77 77 78 79 84 89 95 98 100 103
(17)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Integrasi perekonomian global sedang marak dirintis oleh negara-negara di dunia, terutama pada tingkat regional, misalnya pada tingkat ASEAN. Kerjasama ekonomi ASEAN dimulai dengan disahkannya Deklarasi Bangkok tahun 1967 yang bertujuan untuk memercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan budaya. Dalam dinamika perkembangannya, kerjasama ekonomi diarahkan pada pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community / AEC) yang pelaksanaannya berjalan relatif lebih cepat. Untuk pembentukan AEC pada tahun 2015, ASEAN menyepakati pewujudannya diarahkan pada integrasi ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada AEC Blueprint (Kemendag 2012).
Di dalam AEC Blueprint, terdapat berbagai kebijakan sehubungan dengan integrasi kawasan ASEAN, diantaranya adalah liberalisasi berbagai faktor ekonomi seperti barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja termasuk di dalamnya adalah bebas keluar masuknya faktor-faktor tersebut di dalam kawasan ASEAN. Hal ini merupakan keterbukaan baru bagi Indonesia, berdasarkan AEC
Blueprint kemudian diluncurkan ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement) pada KTT ASEAN ke-14 pada tahun 2009 yang diantara berbagai isinya adalah penghapusan tarif barang. Tentunya hal tersebut menjadi poin positif bagi Indonesia, selain peningkatan efektifitas produksi dan distribusi barang dan jasa, dengan kesiapan daya saing, hal ini dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Prachason (2009) mengatakan selalu ada argumen bahwa FTA memiliki banyak keunggulan ekonomis walaupun nantinya akan ada resiko kehilangan.
Keterbukaan Indonesia terhadap perdagangan internasional tentunya memiliki resiko. Semakin terbukanya pintu perdagangan internasional terhadap sebuah negara, maka semakin besar pula pengaruh yang berasal dari sisi internasional terhadap perekonomian domestik. Semakin terbuka Indonesia berarti semakin rentan Indonesia terhadap guncangan eksternal (Aminuddin 2009).
Faktor eksternal yang dapat memengaruhi perekonomian domestik, terutama yang berbentuk shock (guncangan) seringkali disebut dengan external shock.
External shock sehubungan dengan penghapusan tarif yang perlu diwaspadai adalah peningkatan volume impor secara signifikan sehingga menjadi banjir impor (import surges). Impor pangan pada negara berkembang telah meningkat dan memang diperkirakan terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi dan pendapatan, dengan dampak dari peningkatan impor pangan yang berbeda pada setiap negara. Dalam FAO (2011), terdapat kekhawatiran mengenai peningkatan impor pangan dimana volume tersebut menjadi banjir (surge) pada negara berkembang. Banjir impor ini, untuk beberapa kelompok seperti kelompok populasi masyarakat sebagai konsumen akan diuntungkan karena terdapat alternatif konsumsi barang yang tersedia selain produk lokal, namun di sisi lain, produsen terutama petani yang skalanya kecil akan sangat dirugikan karena munculnya kompetitor. FAO khawatir dalam tahun-tahun mendatang impor pangan akan semakin meningkat, mengingat tarif terhadap perdagangan dunia
(18)
semakin dikikis sehingga pada akhirnya barang impor yang masuk akan berkompetisi dengan barang domestik suatu negara dimana barang domestik ini tidak memiliki perlindungan terhadap dampak negatif dari peningkatan banjir impor.
Deteksi banjir impor telah dilakukan di berbagai penelitian. Pada penelitian FAO tahun 2005 telah tercatat terjadinya banjir impor di berbagai negara di dunia. Pada penelitian FAO tahun 2005, banjir impor didefinisikan sebagai deviasi (positif) sebesar 20 % dari total impor setiap komoditi di negara tersebut dalam lima tahun moving average yang dapat dilihat pada Tabel 1. Banjir impor yang terjadi tidak spesifik pada komoditas tertentu saja, variasi komoditas dan intensitas frekuensi komoditas banjir impor berbeda untuk setiap negara. Beberapa negara seperti Guinea, Malawi, Niger, Filipina, dan Tanzania terkena dampak banjir impor yang lebih sering dibanding negara lain yang diamati.
Tabel 1.1 Kasus Banjir Impor di Berbagai Negara di Dunia tahun 1984-2000
Negara
Komoditas Gandum Beras Jagung Minyak
Nabati
Daging Sapi
Daging Babi
Daging
Unggas Susu Bangladesh 5 6 9 7 5 6 2 3 Benin 6 4 3 3 6 7 8 7 Botswana 6 4 0 6 4 9 7 7 Burkina Faso 6 9 4 3 8 8 6 4 Tanjung Verde 3 6 3 5 7 11 10 3 Comoros 4 5 4 6 5 3 11 4 Pantai Gading 1 4 0 9 7 7 10 3 Rep. Dominika 2 - 0 3 8 6 6 3 Guinea 6 5 8 9 7 5 9 6 Guinea-Bissau 6 10 2 6 6 5 9 4 Haiti 1 2 4 7 4 9 8 5 Honduras 8 5 0 8 6 8 11 3 Jamaica 3 4 3 9 3 6 3 1 Kenya 11 3 5 7 4 6 5 4 Madagascar 8 5 7 5 3 8 5 5 Malawi 7 3 9 6 5 7 10 2 Mauritania 5 2 4 5 4 5 9 2 Mauritus 2 0 2 1 7 9 6 0 Maroko 6 4 10 0 5 - 13 0 Niger 8 7 9 8 5 6 5 6 Peru 3 4 4 4 4 9 9 6 Filipina 7 9 7 9 12 9 14 5 Togo 6 8 7 7 3 3 8 5 Uganda 10 4 8 11 4 3 2 1 Tanzania 8 5 6 10 6 7 4 5 Zambia 4 2 4 4 8 8 5 6
Sumber: FAO, 2005
Potensi banjir impor di Indonesia perlu diteliti lebih lanjut. Secara umum Balance of Trade sektor pertanian Indonesia selama tahun 2008 hingga 2012 adalah trade surplus dengan nilai 14 561 528 ton pada tahun 2008, namun nilai positif tersebut semakin menurun dengan tingkat pertumbuhan -7.32%. Impor pada sektor pertanian pada tahun 2008 tercatat total impor sektor pertanian sebanyak 12 593 233 ton yang terus meningkat hingga pada tahun 2012 sebesar 21 735 483 ton dengan tingkat pertumbuhan 15.75%. Permasalahannya mulai
(19)
terlihat jika diteliti lebih jauh, Balance of Trade sektor pertanian ditopang oleh subsektor perkebunan terutama komoditas minyak sawit dan karet alam dengan ekspor sebesar 25 182 681 ton pada tahun 2008 yang terus berkembang hingga menjadi 29 826 443 ton pada 2012. Secara mendalam, ekspor impor sektor pertanian 2008 hingga 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.2
Tabel 1.2 Ekspor Impor Pertanian Indonesia berdasarkan Subsektor tahun 2008-2012
Volume (ton)
Tahun Growth Rate 2008-2012
(%) 2008 2009 2010 2011 2012
Sektor Pertanian
X 27 154 761 29 572 229 28 768 085 29 959 656 30 672 967 3.18 M 12 593 233 13 401 150 16 874 998 22 987 892 21 735 483 15.75 NX 14 561 528 16 171 080 11 893 087 7 041 764 8 937 484 -7.32
Subsektor Tanaman Pangan
X 812 290 786 627 892 454 807 265 234 274 -17.56 M 7 414 293 7 788 215 10 504 604 15 363 009 14 440 737 20.04 NX -6 602 003 -7 001 588 -9 612 150 -14 555 744 -14 206 463 23.09
Subsektor Hortikultura
X 524 485 447 609 364 139 381 648 426 576 -4.18 M 1 429 967 1 524 666 1 560 808 2 052 271 2 138 802 11.17 NX -905 482 -1 077 057 -1 196 669 -1 670 623 -1 712 226 18.04
Subsektor Perkebunan
X 25 182 681 27 864 811 27 017 306 27 863 746 29 826 443 4.45 M 2 683 739 2 963 532 3 578 061 4 311 982 3 954 202 10.84 NX 22 498 943 24 901 279 2 343 245 23 551 764 25 872 241 3.78
Subsektor Peternakan
X 635 304 473 182 494 186 906 997 185 675 -1.34 M 1 065 235 1 124 737 1 231 525 1 190 630 1 201 742 4.77 NX -429 931 -651 555 -737 339 -283 633 -1 016 067 18.50 Sumber: Pusdatin Kementan (2013); X: ekspor; M: impor; NX: net export / balance of trade
Berdasarkan Tabel 1.2, subsektor selain subsektor perkebunan mengalami trade deficit, hal ini menandakan secara umum terjadi impor yang cukup tinggi di sektor ini hingga menyebabkan impor lebih dari ekspor. Impor yang tinggi pada subsektor pertanian, didominasi oleh komoditas kedelai dan gandum, dimana keduanya sulit diproduksi di Indonesia, begitu pula pada subsektor peternakan dengan komoditas susu dan sapi bakalan (cattle).
Impor subsektor hortikultura perlu dicermati lebih lanjut, Indonesia melakukan impor hortikultura terutama di komoditas buah sub-tropis seperti apel, pir, anggur, dan lengkeng yang cukup sulit diproduksi di negara tropis. Di sisi lain, Indonesia mampu memproduksi buah-buahan tropis musiman seperti mangga, durian, duku, dan juga buah-buah dengan produksi sepanjang tahun seperti jeruk, pisang, nangka, nanas dan sebagainya. Indonesia juga mampu memproduksi bahan-bahan makanan seperti cabe, bawang merah, tomat, wortel dan yang
(20)
lainnya, dimana konsumsi harian produk ini cukup tinggi, misalnya sebagai bumbu masakan.
Impor hortikultura relatif lebih murah, membuat komoditas impor lebih diminati dibandingkan produksi lokal. Importir berdalih jika pasokan seperti impor buah hanya 6% hingga 10% dari stok pasar. Namun pada kenyataannya, terdapat dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan impor subsektor hortikultura ketika terjadi persaingan antara produk impor dan produk lokal. Misalnya ketika apel impor melimpah, maka pada tingkat eceran harga apel lokal menjadi terpuruk dan mengancam penurunan kesejahteraan petani1. Selain harga murah, terkadang kualitas yang lebih baik menarik konsumen untuk lebih memilih produk impor, membuat produk lokal semakin tidak diminati walaupun harganya sudah turun2. Namun yang semakin memperburuk adalah ketika impor tetap dilakukan walaupun stok lokal masih banyak, misalnya pada komoditas jeruk. Data BPS tahun 2011 mencatat produksi jeruk lokal mencapai 454 ribu ton dan konsumsi masyarakat sebesar 178 ribu ton, sedangkan impor jeruk telah mencapai 49 ribu ton3. Kecenderungan seperti inilah yang kemudian membuat potensi peningkatan impor menjadi banjir impor dan hal tersebut dapat memengaruhi perekonomian domestik, terutama harga petani.
1.2 Perumusan Masalah
Impor subsektor hortikultura, pada komoditas sayur-mayur, didominasi oleh komoditas bawang, dimana bawang putih merupakan komoditas impor yang paling tinggi dengan tingkat impor sekitar 400 ribu ton, kemudian impor bawang merah yang berfluktuasi nilainya sekitar 60 ribu ton hingga 160 ribu ton. Impor komoditas buah-buahan tertinggi adalah apel, diikuti oleh pir, kedua komoditas ini merupakan buah sub-tropis. Di sisi lain komoditas jeruk, baik orange maupun mandarin memiliki tingkat impor yang cukup tinggi walaupun dapat diproduksi dengan baik pada tingkat domestik seperti yang sudah dibahas pada sub bab sebelumnya.
Tingginya impor hortikultura Indonesia tidak dibarengi dengan kebijakan yang melindungi domestik, terutama harga produsen. Kebijakan special safeguard dapat digunakan untuk melindungi domestik dari gempuran banjir impor. Indonesia memiliki hak untuk memberlakukan Special Agricultural Safeguard (SSG) terhadap 14 produk (kode HS 8 digit berdasarkan kode HS, namun secara umum merupakan empat produk (kode HS 4 digit) yaitu, susu (HS0402), mentega (HS0403), lemak susu (HS0405), dan cengkeh (HS0907). Tiga belas produk tersebut digunakan untuk komoditas peternakan, dan 1 produk untuk komoditas perkebunan, artinya proteksi terhadap hortikultura tidak termasuk ke dalam SSG dan penting untuk diajukan special safeguard lain untuk melindungi harga domestik, contohnya Special Safeguard Mechanism (SSM).
Kebijakan SSM diajukan oleh WTO sebagai bentuk proteksi terhadap perekonomian domestik. Konsep perlindungan SSM adalah dengan meningkatkan tarif impor untuk komoditas tertentu untuk beberapa waktu. Di Indonesia SSM dianggap penting untuk diberlakukan mengingat produk domestik (produk petani)
1
http://citizendaily.net/banjir-buah-impor-dan-alasan-importir/
2 http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2014/02/19/191707 3
(21)
yang akan bersaing dengan produk-produk impor sebagian besar dihasilkan oleh petani subsisten yang memiliki daya saing rendah (Lubis et al. 2008). Namun pemberlakuan SSM terutama di subsektor hortikultura tidak serta merta dilakukan, perlu dicermati beberapa kriteria terhadap komoditas yang memiliki potensi terjadi banjir impor.
Tabel 1.3 Volume Impor Komoditas Hortikultura Indonesia 2008-2012
Komoditas Tahun
Growth Rate 2008-2012
(%) 2008 2009 2010 2011 2012
Bawang Merah 128,015 67,330 73,270 160,467 122,191 14.14 Bawang Putih 425,330 405,138 361,289 419,090 444,223 1.61 Bawang Bombay 38,899 33,862 52,545 74,651 64,931 17.82 Kentang 5,345 11,727 24,204 78,419 50,190 103.45 Kentang Bibit 2,944 2,280 2,726 2,457 1,862 -9.27 Tomat 142 47 57 18 111 101.35 Bunga Kol 635 590 906 1,043 1,026 15.00 Kubis 294 185 1,058 1,870 1,496 122.59 Kubis lainnya 267 183 170 308 833 53.25 Kacang Kapri 4,523 10,154 5,636 9,395 19,840 64.47 Cabe Segar 501 905 1,850 7,501 3,222 108.40 Mangga 969 821 1,129 989 1,267 9.50 Manggis 2 10 13 20 1 102.43 Jeruk (orange) 28,048 19,586 31,344 33,074 35,759 10.87 Jeruk (mandarin) 109,662 188,956 160,255 182,346 207,819 21.23 Anggur 25,686 34,961 41,260 55,794 65,275 26.59 Semangka 390 761 1,036 832 397 14.83 Apel 139,819 153,512 197,487 212,685 202,640 10.35 Nanas 193 46 84 68 12 -23.70 Pir 86,755 30,390 111,276 133,591 144,998 13.97 Pisang 56 214 79 1,631 2,042 552.17 Anggrek 0 0 1 1 7 -
Lainnya 282 219 319 315 15,118 1180.49 Hortikultura lain 431,212 502,788 492,815 675,704 753,450 15.81 Total 1,429,967 1,524,666 1,560,808 2,052,271 2,138,802 11.71 Sumber: Pusdatin Kementan (2013)
Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat yang memiliki potensi banjir impor dengan melihat tingginya tingkat volume impor dari tahun 2008 hingga 2012, adalah bawang merah, bawang putih, jeruk, dan apel. Komoditas kentang juga memiliki kemungkinan terjadi banjir impor mengingat pertumbuhan impor yang cukup tinggi dengan impor hanya sebesar 5 ribu ton pada tahun 2008 menjadi hingga 70 ribu ton pada tahun 2011. Kebijakan SSM di Indonesia hanya dapat diberlakukan terhadap 20 produk pertanian yang dipantau harganya, dimana secara keseluruhan komoditas-komoditas yang disebutkan sebelumnya terpantau kecuali apel dan pir, sehingga menyebabkan komoditas tersebut tidak dapat
(22)
diberlakukan SSM. Selain itu, impor bawang putih juga tidak dapat dikatakan mengancam produk lokal mengingat produksi lokal bawang putih yang cukup rendah dibandingkan dengan konsumsi masyarakat sehingga impor bawang putih merupakan pilihan untuk memenuhi hal tersebut. Sehingga pilihan yang ada untuk dipertimbangkan adanya SSM terhadap produk hortikultura adalah komoditas kentang, jeruk, dan bawang merah.
Tabel 1.4 menunjukkan perbandingan pada komoditas bawang merah, wortel, dan jeruk antara kemampuan produksi Indonesia dalam kilogram dibandingkan dengan jumlah impor yang dilakukan Indonesia pada tahun yang sama juga dengan kilogram. Terlihat bahwa komoditas tersebut diproduksi dengan jumlah yang cukup tinggi, namun di sisi lain impor pada komoditas ini juga cukup tinggi. Rasio ini pun terlihat cukup berfluktuasi sehingga terlihat adanya potensi banjir impor pada tahun-tahun tertentu untuk ketiga komoditas ini.
Tabel 1.4 Rasio Impor dan Produksi Bawang Merah, Wortel, dan Jeruk tahun 2010-2012 (ton)
Tahun
Kentang Jeruk Bawang Merah
Produksi Impor Rasio Produksi Impor Rasio Produksi Impor Rasio
2010 1 060 805 24 204 2.28 2 028 904 191 599 9.44 1 048 934 70 573 6.73
2011 955 488 78 419 8.21 1 818 949 215 420 11.84 893 124 156 381 17.51
2012 1 094 240 46 588 4.26 1 611 784 211 886 13.15 964 221 95 156 9.87
Sumber: BPS (2013)
Kecenderungan impor ini menyebabkan terjadinya persaingan antara dengan produk lokal. Dengan posisi seperti ini, Indonesia rentan terhadap banjir impor komoditas hortikultura, terutama jika terdapat pola-pola khusus peningkatan volume komoditas hortikultura dunia, misalnya volume jeruk pada Tahun Baru Imlek. Perdagangan internasional Indonesia dengan ASEAN dan China, juga negara-negara di seluruh dunia memang sedang meningkat, namun bukan berarti peningkatan tersebut kemudian menjadi ancaman bagi produsen domestik, sehingga hal ini patut diukur dalam konteks banjir impor hortikultura.
Berdasarkan uraian diatas, deteksi potensi banjir impor di subsektor hortikultura Indonesia menjadi pokok permasalahan yang akan diteliti karena dirasa memiliki alternatif perspektif yang berbeda terhadap urgensi prioritas pemberlakuan proteksi terhadap petani hortikultura lokal. Penelitian ini akan menganalisis tekanan impor baik dari volume maupun harga untuk komoditas hortikultura Bawang Merah, Kentang, dan Jeruk, dengan alasan ketiga produk hortikultura ini dapat diproduksi di Indonesia dengan baik dan melimpah namun di sisi lain terjadi impor yang cukup besar, sehingga penting untuk diamati apakah kondisi seperti ini akan memengaruhi komoditas tersebut secara ekonomi. Secara spesifik, penelitian ini memiliki alur permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia?
2. Apakah terjadi fenomena banjir impor yang terjadi pada komoditas hortikultura kentang, jeruk, dan bawang merah? Seberapa sering frekuensi terjadinya banjir impor untuk komoditas ini?
(23)
3. Apakah dampak dari kecenderungan impor hortikultura yang semakin meningkat terhadap harga domestik kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian dirumuskan untuk menjawab permasalahan dengan uraian sebagai berikut:
1. Menganalisis gambaran umum kondisi impor kentang, jeruk, dan bawang merah Indonesia.
2. Mendeteksi fenomena dan frekuensi banjir impor yang terjadi pada komoditas hortikultura kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia berdasarkan SSM framework.
3. Menganalisis dampak shock banjir impor terhadap harga domestik kentang, jeruk, dan bawang merah di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai publikasi ilmiah dalam mempelajari pengaruh shock eksternal dari komoditas hortikultura impor yang berpotensi menjadi banjir impor yang dapat memengaruhi pasar domestik.
2. Dapat dijadikan acuan rancangan kebijakan untuk lembaga pembuat kebijakan perdagangan dengan tujuan untuk melindungi pasar domestik terutama petani hortikultura.
3. Memperkaya literatur studi mengenai dampak banjir impor terhadap pasar domestik dengan ekonometrika modern yang saat ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
1. Komoditas hortikultura yang diteliti dalam penelitian ini terbatas kepada komoditas kentang, bawang merah, dan jeruk.
2. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan selama kurun waktu tahun 2002 hingga 2012, yang berasal dari data resmi dari instansi yang bertanggung jawab untuk merilis data statistik Indonesia.
3. Dampak perekonomian domestik dari penelitian ini dibatasi dari pengamatan terhadap pengaruh faktor eksternal, seperti harga internasional, harga impor, dan volume impor, tanpa mempertimbangkan pengaruh dari dalam negeri. Hal ini dilakukan agar dapat terlihat jelas pengaruh faktor eksternal akibat keterbukaan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. 4. Faktor dalam negeri yang diteliti pada penelitian ini adalah faktor harga
domestik, faktor lain seperti produksi dan konsumsi domestik tidak disertakan ke dalam penelitian karena kesulitan data bulanan untuk kedua faktor tersebut.
(24)
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini membagi bab Tinjauan Pustaka menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah tinjauan teoritis yang berisikan definisi-definisi mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Tinjauan teoritis juga berisikan dasar teori dari metode-metode yang digunakan oleh peneliti-peneliti yang sebelumnya yang kemudian penelitiannya dibahas pada bagian kedua bab ini. Bagian kedua adalah tinjauan empiris, yang berisi review dan ulasan singkat penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan tema ataupun metode, yang kemudian menjadi acuan untuk pemilihan metode yang tepat untuk penelitian ini.
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Transmisi Harga dan Law of One Price
Transmisi harga adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dampak harga dari satu pasar terhadap pasar lainnya. Transmisi harga biasanya diukur dalam elastisitas transmisi, dimana persentase perubahan harga pada satu pasar akan mengubah harga pada pasar lainnya sebesar satu %.
Analisis transmisi harga dapat dimulai dengan contoh kasus sederhana dimana pasar merupakan pasar persaingan sempurna, dengan ciri (asumsi) sebagai berikut:
1. Barang komoditi bersifat homogen, tidak ada variasi dalam kualitas
2. Terdapat banyak penjual dan pembeli yang sifatnya kecil sehingga tidak ada yang memiliki kekuatan pasar
3. Penjual dan pembeli memiliki informasi sempurna 4. Jual-beli terjadi seketika
5. Tidak terdapat pajak dalam jual beli atau kebijakan restriktif dalam perdagangan
6. Tidak terdapat biaya transportasi dan transaksi
Dengan demikian, dapat dipastikan pada kasus ini bahwa arbitrasi spasial menjamin harga komoditi akan sama untuk semua pasar. Jika harga pada Pasar A ( ) melebihi harga pada Pasar B ( ) maka akan menguntungkan untuk mendistribusikan barang dari Pasar B ke Pasar A sampai harga kembali seimbang. Transmisi harga yang terjadi pada kasus ini dapat dikatakan sempurna karena perubahan harga yang terjadi di satu pasar akan langsung direfleksikan dengan perubahan di pasar lain, atau dengan kata lain elastisitas transmisi sebesar satu. Kondisi seperti inilah yang disebut sebagai Law of One Price (LOP).
Menurut Conforti (2004), terdapat empat kelompok faktor yang berkontribusi dalam deviasi harga domestik dari harga dunia, yaitu biaya transportasi dan biaya transaksi, pass-through nilai tukar yang tidak sempurna, diferensiasi produk, serta kebijakan harga domestik. Lebih lanjut, transmisi harga dilanggar apabila biaya transportasi dan biaya transaksi adalah tidak stasioner, tetap (tidak proporsional terhadap kuantitas barang yang diperdagangkan), dan multiplikatif (tidak aditif).
Pendekatan awal untuk mendeteksi transmisi harga adalah dengan melihat koefisien korelasi antara dua deret harga, atau diestimasi dengan regresi linear
(25)
sederhana seperti yang dilakukan oleh Mundlak dan Larson pada tahun 1992 (Mundlak dan Larson dalam Abbot et al. 2011) sebagai berikut:
it jt t (1)
Dimana it merupakan harga untuk pasar domestik (i) dan jt adalah harga pasar dunia (j) pada periode t, dan merupakan parameter yang diestimasi dan t adalah error term. Hipotesis nol dari regresi ini adalah harga untuk kedua pasar terintegrasi dan tertransmisikan dengan sempurna
dan (2)
Model ini tidak dapat mendeteksi dinamika jangka pendek secara eksplisit. Untuk merefleksikan kekakuan harga, maka diberikan lag terhadap model awal sehingga, model dengan lag satu periode adalah
it jt it t (3)
Sehingga terbentuklah pendekatan deret waktu yang kemudian menjadi lumrah untuk analisa model yang lebih baik dalam proses-proses dinamis (Baffes dan Gardner dalam Abbot et al. 2011). Error Correction Model (ECM) kemudian dikembangkan untuk menjelaskan dinamika jangka pendek dan ekuilibrium jangka panjang secara simultan dalam satu model. Dimana Error Correction Term didefinisikan dengan
t it jt (4)
kemudian terbentuklah ECM yang dinotasikan sebagai berikut:
it t jt ut (5) menggambarkan koefisien kointegrasi yang mengukur hubungan jangka panjang antara harga pada Pasar Domestik (i) dan Pasar Dunia (j). menggambarkan speed of adjustment dari koefisien, mengindikasikan seberapa besar deviasi dari ekuilibrium jangka panjang yang dapat dieliminasi dari setiap periode. menggambarkan dampak kontemporer, mengukur seberapa besar perubahan harga pada Pasar Dunia yang ditransmiskan kedalam Pasar Domestik pada periode waktu tertentu. adalah parameter jangka panjang dan dan merupakan parameter jangka pendek. Ketika secara signifikan tidak sama dengan nol, maka terjadi proses dinamis yang akan membuat harga memusat (converge) pada jangka panjang, sehingga LOP akan bertahan pada jangka panjang, bukan pada jangka pendek.
Pendekatan ECM diatas disebut Level I Methods dalam analisis transmisi harga (Barret dalam Abbot et al. 2011) dimana yang digunakan adalah hanya data harga. Level II Methods mengkombinasikan data harga dan data biaya transaksi, Parity Bounds Model (PBM) digunakan untuk mengestimasi studi Level II (Baulch dalam Abbot et al. 2011) yang mendeteksi adanya kemungkinan non-linear sebagai perubahan rezim perdagangan untuk kegiatan ekspor dan impor. Balke dan Fomby dalam Abbot, Wu, dan Tarp, 2011, secara implisit menyatakan bahwa biaya transaksi berhubungan dengan penetapan threshold sebagai diferensiasi harga. Keterandalan hasil pendekatan Level II sangat bergantung kepada kualitas data biaya transaksi dalam PBM, yang sangatlah sulit untuk diukur.
Kesulitan kuantifikasi biaya transaksi kemudian mengembangkan analisis Level III. Menurut Barret dalam Abbot et al. (2011), jika arus antar pasar dapat diketahui terjadinya, maka transfer margin akan sama dengan perbedaan harga yang terjadi, sehingga data biaya transaksi dapat dihilangkan dalam analisis Level
(26)
III, yang menggunakan data harga dan arus perdagangan. Karena kesulitan data biaya transfer dan data arus perdagangan secara agregat, maka analisis Level II dan III tidak secara luas diadopsi di dalam studi empiris, namun baik digunakan dalam pembuatan kerangka teoritis.
2.1.2 Definisi Banjir Impor (Import Surges)
Definisi umum atau konvensional terhadap banjir impor (import surge) dapat dikatakan tidak ada. Berdasarkan definisi kamus tentang kata surge dalam bahasa Inggris digunakan untuk menggambarkan peningkatan yang mendadak, tajam, dan tidak diduga dalam variabel yang dipertanyakan. Persetujuan WTO dalam general trade remedy measures mendefinisikan banjir impor lebih umum dibandingkan dengan istilah kamus, sebagaimana pada Pasal 2 dalam Agreement of Safeguards (ASG) yang mendefinisikan komoditas tertentu dalam fenomena banjir impor (dalam artian penerapan safeguards terhadap komoditas yang dapat memicu):
“When a product is imported into a country in such increased quantities, absolute or relative to domestic production, and under such conditions as to cause or threaten to cause serious injury to domestic industry that produce like or directly competitive products”. (WTO 20134)
Sehingga definisi banjir impor dalam penelitian ini adalah fenomena yang terjadi ketika peningkatan volume (atau harga) dari impor yang melebihi tingkat normal pada suatu periode waktu berdasarkan kriteria tertentu. Walaupun tidak terdapat kriteria tertentu yang pasti, namun biasanya kriteria yang dimaksud adalah durasi dari surge tersebut, sebagaimana jumlah impor dibandingkan dengan tingkat normalnya. Secara umum, WTO tidak menyebutkan istilah banjir impor, namun persyaratan dalam safeguard sering didefinisikan sebagai fenomena tersebut (FAO 2011). Berdasarkan studi FAO tahun 2011 (De Nigris 2005; Mosoti dan Sharma 2005; dan Sharma 2005) dibangun kesimpulan bahwa banjir impor adalah peningkatan impor yang mendadak dan pada umumnya jangka pendek, namun dapat dengan mudah berdampak negatif terhadap peningkatan tren pada jangka panjang ataupun berkorelasi dengan faktor-faktor lain di dalam indikator pasar.
2.1.3 Special Safeguard
Pembentukan proteksi petani lokal terhadap banjir impor berbentuk SSM telah dirintis sejak tahun 1994. Pada prosesnya terdapat tiga jenis safeguard yang telah dibentuk dalam proses yang pada akhirnya menjadi SSM, yaitu GATT 1994 article XIX, SSG, sampai kepada SSM.
2.1.3.1 GATT 1994 Article XIX
GATT 1994 Article XIX memiliki 3 pasal yang pada umumnya membicarakan mengenai aksi ―darurat‖ yang perlu dilakukan terhadap impor produk tertentu. Perlakuan khusus dilakukan apabila terjadi suatu kasus impor produk tertentu dimana peningkatan volume impor (yang dapat disertai dengan penurunan harga) tersebut dapat menimbulkan dampak buruk bagi produsen domestik dengan produksi produk yang sama, produk impor tersebut kemudian diposisikan sebagai produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung. Article XIX tidak membicarakan secara spesifik mengenai produk apa yang perlu
4
(27)
diberikan perlakuan khusus, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan mengenai produk yang dipilih untuk diberikan proteksi. Perlu diketahui pada framework safeguards versi Article XIX, trigger terjadinya proteksi hanya berlaku terhadap peningkatan volume saja, apabila terjadi penurunan harga tanpa disertai dengan peningkatan volume, maka trigger tersebut tidak berlaku.
Article XIX dalam GATT 1994 dalam pasal 2 dan 3 mengatakan bahwa negara anggota WTO yang merasa bahwa suatu produk tersebut sudah menimbulkan dampak buruk bagi produsen lokal dapat melakukan tindakan pembatasan kuantitas (kuota) maupun peningkatan tarif. Hal ini dilakukan berdasarkan persetujuan antara negara pengekspor dan negara pengimpor dalam koridor pengawasan WTO, dimana terjadi kompensasi terhadap negosiasi tersebut. Tidak ada batasan waktu pemberlakuan perlakuan khusus dari produk tersebut selama kontrak berlaku disetujui. Aplikasi dari Article XIX pernah dilakukan oleh dua negara yang diketahui (WTO 1999), yaitu Argentina untuk produk sepatu (footwear) dan Korea untuk produk peternakan (dairy).
2.1.3.2 Special Agricultural Safeguard (SSG)
SSG merupakan bentuk respon tindak lanjut atas GATT 1994, yang kemudian tercantum di dalam Article 5 Agreement of Agriculture tentang Special Safeguard Provisions. Special Safeguards Provisions berbeda dengan safeguard umum, dimana untuk pertanian safeguards dapat berlaku secara otomatis apabila nilai impor meningkat pada tingkat tertentu atau harga menurun sampai kurang dari tingkat tertentu, dan tidak perlu dilakukan pembuktian adanya dampak buruk yang telah terjadi pada produsen lokal akibat dari perubahan tersebut.
SSG hanya dapat dilakukan terhadap produk pertanian yang telah diberikan ―tarif‖ (yang berjumlah kurang dari % dari total produk pertanian), dimana tarif tersebut merupakan restriksi kuantitatif yang dikonversi kedalam tarif yang setara kemudian dipotong. SSG tidak dapat diberlakukan terhadap impor yang berada dalam kuota tarif dan hanya dibatasi kepada beberapa pemerintah negara tertentu, belum lagi banyak negara berkembang yang memilih untuk tidak mengikuti ―tarif‖ sehingga negara tersebut tidak diberikan hak untuk melakukan SSG. Pada prakteknya, hanya sedikit negara yang menerapkan SSG. Indonesia sendiri memiliki hak untuk memberlakukan SSG terhadap 14 produk (kode HS 8 digit berdasarkan kode HS, namun secara umum merupakan empat produk (kode HS 4 digit) yaitu, susu (HS0402), mentega (HS0403), lemak susu (HS0405), dan cengkeh (HS0907).
2.1.3.3 Special Safeguard Mechanism (SSM)
Pembatasan terhadap negara-negara yang diberikan hak menerapkan SSG dan kondisi negara berkembang yang tidak menginginkan pemberlakuan ―tarif‖ kemudian mendorong pembuatan rumusan kebijakan baru yang memiliki sistem seperti SSG namun dapat diberlakukan terhadap negara berkembang yang sebelumnya tidak mendapatkan hak. Safeguard baru tersebut dirancang bernama Special Safeguards Mechanism yang tercantum dalam Draft Modalities for Agriculture milik WTO pada tahun 2008.
Konsep dasar SSM sangat mirip dengan SSG, namun dengan pencabutan pembatasan terutama masalah ―tarif‖ yang kemudian dicantumkan dalam draft Modalities for Agriculture pada pasal 123. SSM memberlakukan tarif terhadap produk-produk impor yang mengalami peningkatan volume impor (banjir impor) atau penurunan tingkat harga produk impor, dengan pemberlakuan tarif yang
(28)
bersifat sementara. Namun SSM dapat diberlakukan oleh semua negara berkembang dan negara tersebut berhak melakukan dalam rangka proteksi produsen lokal untuk semua produk pertanian tanpa harus membuktikan adanya injury.
Berdasarkan draft Modalities pada Juli 2008, SSM dibagi menjadi dua jenis yaitu Volume-based SSM dan Price-based SSM. trigger volume-based SSM dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Ketika volume impor bernilai 110 % namun tidak melebihi 115 % (peningkatan volume 10 hingga 15 %) terhadap base imports
2. Ketika volume impor bernilai 115 % namun tidak melebihi 135 % (peningkatan volume 15 hingga 35 %) terhadap base imports.
3. Ketika volume impor bernilai melebihi 135 % terhadap base imports
Namun perlu diingat, volume-based SSM tidak dapat berlaku ketika volume impor bersifat negligible secara nyata terhadap produksi dan konsumsi domestik (berdasarkan draft Modelity revisi Desember 2008 pasal 131)., namun berdasarkan G-33, tidak ada pembatasan sifat manifestly negligible dari produk impor yang akan diberlakukan SSM.
Bedasarkan pasal 140 draft yang sama, Volume-based SSM dapat diterapkan dapat diterapkan selama maksimum 12 bulan dari awal permohonan penerapan safeguard, kcuali jika produk bersifat musiman, maka SSM berlaku selama enam bulan atau selama periode musiman berlaku. Untuk penerapan SSM berikutnya pada produk yang sama, maka rata-rata dari volume impor tiga tahun akan menggunakan base imports pada tahun yang baru tersebut, kecuali base imports tahun baru tersebut lebih kecil dari tahun penerapan sebelumnya. Setelah pemberlakuan dua periode SSM terhadap produk yang sama, maka produk tersebut tidak boleh memberlakukan SSM selama dua periode ke depan.
Price-based SSM dimulai dari penentuan rata-rata tingkat harga impor selama tiga tahun sebelumnya sebagai starting point harga referensi. Trigger price-based SSM adalah penurunan harga sebesar 15 % atau lebih (85% atau kurang dari harga referensi). Tarif yang diberlakukan tidak lebih dari 85 % gap antara harga impor dan harga trigger.
2.1.4 Analisis Tarif
Tarif merupakan kebijakan perdagangan paling sederhana, berupa pungutan pajak ketika suatu barang diimpor. Specific tariff dipungut sebagai biaya tetap untuk setiap unit barang yang diimpor (misalkan $3 dollar per barrel minyak mentah). Ad valorem tariff merupakan tariff yang dipungut sebagai pecahan dari nilai barang yang diimpor (misalkan, di AS 25 % tarif dari truk impor). Kedua skenario ini, pada dasarnya dampak dari tarif adalah menaikkan biaya expedisi (shipping cost) barang ke suatu negara (Krugman dan Obstfeld 2003).
Tarif merupakan bentuk tertua dari kebijakan perdagangan, dan sejak dahulu dijadikan sebagai sumber dari pemasukan pemerintah. Misalnya di Amerika Serikat, sebelum ditetapkannya pajak pendapatan, pemerintah mendapatkan sumber pendapatan tertinggi dari tarif. Namun tujuan utamanya tidak hanya untuk menghasilkan pendapatan pemerintah namun untuk melindung sektor domestik tertentu. Di awal abad sembilan belas, Inggris Raya menggunakan tarif (Corn Law) untuk melindungi sektor pertanian dari kompetisi impor. Di akhir abad sembilan belas, Jerman dan Amerika Serikat melindungi
(29)
sektor industri baru mereka dengan memberlakukan tarif kepada impor barang manufaktur (Krugman dan Obstfeld 2003).
Dari sudut pandang seseorang yang mengekspedisikan barang, tarif mirip dengan biaya transportasi. Jika negara asal memberlakukan pajak sebesar dua dollar AS kepada setiap gantang gandum, maka pengekspedisi tidak akan memindahkan gandum tersebut kecuali selisih harga dari kedua pasar setidaknya dua dollar AS.
Gambar 2.1 menggambarkan dampak dari tarif spesifik $t per unit gandum (ditunjukkan dengan t pada gambar tersebut). Tanpa tarif, harga gandum keseimbangan berada pada Pw, baik untuk pasar asal maupun pasar asing
sebagaimana garis pada poin 1 di tengah yang menggambarkan pasar dunia. Jika diberlakukan tarif, maka pengekspedisi tidak akan memindahkan gandum dari negara Asing ke Asal, kecuali harga di Negara Asal melebihi Harga Asing setidaknya sebesar $t. Namun jika tidak ada gandum yang dipindahkan, akan terjadi excess demand pada negara Asal dan excess supply di negara Asing, maka akan berlaku peningkatan harga di Asal dan penurunan di Asing hingga selisih harga berada pada $t.
Sumber: Krugman dan Obstfeld (2003)
Gambar 2.1 Dampak Tarif
Tarif menghubungkan harga dari kedua pasar. Tarif akan meningkatkan harga di Asal menjadi Pt dan menurunkan harga di Asing menjadi Pt*=Pt – t. Di
negara Asal, produsen barang impor menawarkan lebih banyak karena harganya meningkat namun konsumen meminta lebih sedikit sehingga lebih sedikit impor yang diminta (pergerakan dari poin 1 ke 2 sepanjang kurva MD). Pada negara Asing, harga lebih rendah membuat penawaran menurun dan permintaan meningkat sehingga penawaran ekspor mengecil (pergerakan dari poin 1 ke 3 sepanjang kurva XS). Kondisi ini membuat volume gandum yang ditransaksikan menurun dari volume ketika free trade (Qw) menjadi volume ketika tarif berlaku
(Qt). Permintaan impor akan sama dengan penawaran ekspor ketika Pt* – Pt = t.
Peningkatan harga pada negara asal dari Pw menjadi Pt, lebih kecil dari jumlah tarif karena sebagian dari tarif direfleksikan sebagai penurunan harga ekspor asing namun tidak diteruskan kepada konsumen Asal. Simulasi ini merupakan hasil normal dari tarif atau kebijakan apapun yang berkaitan dengan pembatasan impor. Namun besarnya dampak terhadap harga eksportir pada
(30)
prakteknya cukup kecil. Ketika negara kecil memberlakukan tarif, share dari negara tersebut memang sudah kecil di pasar dunia, sehingga penurunan impor negara tersebut berdampak sangat kecil terhadap harga dunia (ekpor asing).
Sumber: Krugman dan Obstfeld (2003)
Gambar 2.2 Tarif di Negara Kecil
Pengaruh tarif dari negara kecil dimana negara tersebut tidak mampu memengaruhi harga ekspor dapat dilihat pada Gambar 2.2. pada kasus ini peningkatan tarif akan meningkatkan harga impor pada negara yang memberlakukan tarif, dengan peningkatan harga sebesar jumlah penuh dari tarif dari Pw menjadi Pw + t. Produk impor akan meningkat dari S1 menjadi S2,
sedangkan konsumsinya menurun D1 menjadi D2. Hasil dari pemberlakuan tarif adalah penurunan impor pada negara yang memberlakukan (Krugman dan Obstfeld 2003).
2.1.5 Vector Autoregression
Vector Autoregression (VAR) adalah metode yang yang dikembangkan oleh Christoper Sims pada tahun 1980 yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari univariate autoregression. Univariate autoregression adalah sebuah persamaan tunggal dengan model linier variabel tunggal dimana nilai saat ini dari variabel dijelaskan oleh variabel dengan nilai lag-nya sendiri. VAR adalah metode untuk n-persamaan dengan n-variabel, sehingga dalam konteks ekonometrika modern, VAR termasuk ke dalam multivariate time series analysis (Firdaus, 2011).
Menurut Arsana dalam Firdaus (2011), alat analisis yang disediakan oleh VAR bagi deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan dilakukan melalui empat macam penggunaannya, yakni Forecasting, Impulse Response Function (IRF), Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), dan Granger Causality Test. Seperti halnya model ekonometrika lainnya, VAR juga
(31)
meliputi serangkaian proses spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang yang digunakan dalam model. Identifikasi model adalah melakukan identifikasi persamaan sebelum melakukan estimasi model. Dalam proses identifikasi ditemukan beberapa kondisi, kondisi overidentified akan diperoleh jika jumlah informasi yang dimiliki melebihi jumlah parameter yang ingin diestimasi, kondisi exactly identified atau just identified tercapai jika jumlah informasi sama dengan jumlah parameter yang diestimasi, sementara jumlah informasi kurang dari jmlah parameter yang diestimasi akan menciptakan keadaan yang disebut dengan underidentified. Estimasi model VAR dapat dilakukan hanya dalam keadaan overidentified dan just identified.
Bentuk paling sederhana dari model VAR standar (reduced-form), berdasarkan Enders (2004) disusun dari bentuk sistem bivariate sederhana sebagaimana berikut:
yt b b t yt t yt t b b yt yt t t
(6) (7) Kedua persamaan ini tidak dalam bentuk persamaan reduced-form. Persamaan bivariate diatas menunjukkan yt dan t memengaruhi satu sama lain secara serentak (contemporaneous effect). Hal ini dapat terlihat b adalah contemporaneous effect dari perubahan t terhadap yt dan adalah contemporaneous effect dari perubahan t- terhadap yt . keberadaan contemporaneous effect t terhadap yt dan sebaliknya mengindikasikan bahwa persamaan bivariate sederhana ini bukan persamaaan reduced form sehingga bentuk ini dikritisi terhadap Sims pada awal penyusunan model VAR.
Oleh karena itu, kemudian Sims kemudian menyusun bentuk persamaan umum dari VAR yang kemudian menjadi bentuk standar dari multivariate generalization dari proses autoregresi:
t t t … p t p et (8)
Di mana: t i et = = = =
vektor berukuran (n∙1) berisi n variabel yang termasuk di dalam model VAR
vektor intersep berukuran (n∙1)
matriks koefisien/parameter berukuran (n∙n) untuk setiap i , ,3,…,p vektor error berukuran (n∙1)
Model VAR dalam bentuk umum di atas dapat ditulis ulang dalam persamaan bivariate pada model sederhana sebelumnya menjadi:
yt yt a t e t t a a yt a t e t
(9) (10) Atau dalam entuk notasi matriks VAR adalah sebagai berikut:
[yt
t] [
a a ] [
a a a a ] [
yt
t ] [
e t e t]
(11) Menurut Firdaus (2011), spesifikasi model VAR sesuai dengan kriteria Sims (1980) meliputi pemilihan variabel yang sesuai dengan teori ekonomi yang relevan dan sesuai dengan pemilihan lag yang digunakan dalam model. Dalam pemilihan selang optimal yang dipakai dapat memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Information Criterion (SC) maupun Hannah-Quinn Criterion (HQ).
(32)
Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan model persamaan simultan (Firdaus 2011), yaitu:
1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasar pada agregasi dari model keseimbangan parsial, tanpa memerhatikan pada hasil hubungan yang hilang (omitted interrelation).
2. Struktur dinamis pada model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural.
Untuk mengatasi kritikan tersebut terutama untuk menentukan variabel endogen dan eksogen, pendekatan VAR berusaha membiarkan data tersebut berbicara (let the data speak for themselves) dengan membuat semua variabel berpotensi menjadi variabel endogen. Dalam kerangka VAR, setiap variabel baik dalam level maupun first difference, diperlakukan secara simetris dalam sistem persamaan yang mengandung regressor set yang sama.
Keunggulan metode VAR dibandingkan dengan metode ekonometrika konvensional adalah:
1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariate) sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu.
2. Uji VAR yang multivariate bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak mencakup variabel yang relevan
3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen.
4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) di dalam model ekonometrika konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga dapat menghindari penafsiran yang salah.
Namun, model VAR juga memiliki beberapa kelemahan, menurut Gujarati (1978) dalam Firdaus (2011), kelemahan VAR antara lain:
1. Model VAR lebih bersifat ateori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu.
2. Karena menitikberatkan pada peramalan (forecasting), maka model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan
3. Tantangan terbesar VAR adalah pemilihan panjang lag yang tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner 5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diintepretasikan
2.1.5 Structural Vector Autoregression
Menurut Enders (2004), pendekatan model VAR telah dikritik bahwa muatan ekonomi di dalamnya yang bisa dikatakan nihil (devoid). Fungsi tunggal dari seorang ekonom hanyalah menentukan variabel yang tepat untuk dimasukkan ke dalam model VAR. Setelah itu, prosedur berikutnya bersifat mekanis, sedikit sekali proses input ekonomi di dalamnya sehingga hasilnya sangat minim muatan ekonominya. Maka dari itu, Sims (1986) dan Bernanke (1986) kemudian memperkenalkan model dengan inovasi menggunakan analisis ekonomi. Ide dasarnya adalah untuk mengestimasi hubungan dari structural shocks menggunakan model ekonomi. Untuk memahami prosedur tersebut, perlu diepalajari hubungan antara forecast error dan structural innovation dari sebuah
(33)
VAR dengan n-variabel. Sebagaimana hubungan ini invarian terhadap panjang lag, maka first order model dengan n variabel adalah sebagai berikut:
[
b b 3
b b 3
b n
b n
bn bn bn3
] [ t t nt ] [ b b bn ] [ 3 3 n n
n n n3 nn
] [ t t t n ] [ t t n ] (12) Atau dalam bentuk persamaan:
t t t (13)
Dari persamaan diatas kemudian disusun persamaan bentuk umum VAR ( t t- t- … p t-p et ) yang sudah disebutkan sebelumnya (dengan mengalikan persamaan dengan B-1) sehingga menjadi:
t t t (14)
Sehingga - ; - ; dan et - t berdasarkan bentuk umum VAR. permasalahan berikutnya adalah mengetahui nilai dari et dan merestriksi
sistem sehingga t et. kemudian permasalahan berikutnya adalah pemilihan dari bij tidak dapat dilakukan tanpa pertimbangan. Untuk menyelesaikan permasalahan
identifikasi dengan cara menghitung equations dan unknowns. Dengan metode OLS, kemudian didapatkan varian dan kovarian dari matriks ∑:
[ n n
n n n]
(15) Dengan elemen dibatasi dengan penjumlahan:
ij ( ) ∑eitejt t
(16) adalah simetris yang hanya berisikan (n n) elemen yang terpisah. Terdapat n elemen sepanjang principal diagonal, (n-1) sepanjang first-off diagonal, (n-2) sepanjang next of diagonal dan seterusnya hingga pada pojok elemen terdapat (n n) elemen bebas. Solusi untuk permasalahan identifikasi ini adalah untuk mengidentifikasi n2 unknown dari elemen independen sejumlah (n n) yang telah diketahui (known), perlu ditanamkan restriksi sebanyak n -[(n n)] (n -n) ke dalam sistem.
Untuk memberikan sejumlah restriksi dalam bentuk Cholesky Decomposition di dalam sistem matriks di atas, maka dipelukan Cholesky Decomposition untuk seluruh elemen diatas principal diagonal sama dengan nol, atau dalam bentuk lain sebagai berikut:
b b 3 b … b n b 3 b … b n b3 … b3n
bn n
(17)
Maka dapat dihasilkan generalisasi dari model dengan p lag: untuk mengidentifikasi bentuk model struktural dari VAR yang diestimasi, perlu
(34)
ditanamkan restriksi sebanyak (n -n) ke dalam model struktural tersebut (Enders 2004).
2.1.6 Vector Error Correction Model
Vector Error Correction Model adalah VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Oleh karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka panjang ke jangka pendek (Firdaus 2011).
Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. Spesifikasi VECM secara umum adalah sebagai berikut:
yt t yt ∑ k yt k
i
t (18)
yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian = vektor intercept
= vektor koefisien regresi t = time trend
= x , dimana mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang
yt- = variabel in-level
k = matriks koefisien regresi k-1 = ordo VECM dari VAR
t = error term
2.2 Tinjauan Empiris 2.2.1 Penelitian Transmisi Harga dan External Shock
Penelitian univariate untuk menganalisa transmisi harga berawal dari teori Law of One Price (LOP). Teori ini terkait dengan pengaruh shock terhadap pasar domestik, dimana menjadi basis penelitian yang dilakukan oleh Minot (2011), Conforti (2004), dan Abbot et al. (2011) yang meneliti mengenai transmisi harga dunia ke harga domestik. Penelitian shock dalam bentuk perubahan harga ini kemudian berkembang dengan metode ECM untuk penelitian transmisi harga.
Rajmal dan Misra (2009) meneliti mengenai transmisi harga internasional menuju harga domestik untuk kasus negara India yang menemukan bahwa pada kasus India terdapat pass-through yang terbatas karena harga domestik lebih ditentukan oleh faktor domestik. Penelitian perubahan nilai tukar (exchange rate) terhadap perubahan harga, baik itu harga impor, harga ekspor, maupun tingkat harga di pasar domestik yang terukur dengan CPI/IHK dengan ekonometrika modern, dipopulerkan oleh McCarthy (2000) dengan menggunakan model VAR
(35)
yang direstriksi (SVAR). Model ini banyak dijadikan referensi dalam penyusunan model dampak pass-through terhadap perekonomian domestik negara tertentu, seperti penelitian Tandrayeen-Ragoobur dan Chicooree (2013) untuk negara Mauritus, untuk Romania oleh Cozmanca dan Manea (2002), dan Hartati (2004) untuk Indonesia.
Khan dan Ahmed (2012) meneliti dampak dari shock harga pangan dunia dan harga minyak dunia yang ditransmisikan kepada variabel-variabel makroekonomi, seperti tingkat inflasi, output, money balances, tingkat sukubunga, dan tingkat nilai tukar negara Pakistan. Penelitian yang dilakukan menggunakan SVAR untuk data bulanan periode penelitian Januari 2000 sampai Juli 2011. Hasilnya, shock harga minyak dunia berdampak negatif terhadap produksi industri, mengapresiasi nilai tukar (REER), dan berdampak positif terhadap tingkat inlasi dan tingkat suku bunga. Sedangkan shock harga pangan dunia meningkatkan output industri, tingkat suku bunga, dan tingkat inflasi, namun terdapat variasi dalam tingkat suku bunga, dimana peningkatan lebih besar terjadi saat shock harga pangan dibandingkan shock harga minyak. Generalized Impulse Response Function menunjukkan bahwa REER adalah sumber utama dari distorsi perekonomian selain kedua shock dan Generalized Forecast Error Variance Decomposition memperkuat hal tersebut. Hasilnya secara jelas menujukkan bahwa shock harga pangan dan harga minyak dunia memengaruhi output, tingkat suku bunga jangka pendek, tingkat inflasi dan Real Effective Exchange Rate secara signifikan.
2.2.2 Penelitian Safeguard dan Banjir Impor
Penelitian mengenai Safeguard dan Banjir Impor, dalam artian deviasi (shock) harga dan volume impor yang kemudian masuk ke negara tertentu dan menyebabkan perubahan dalam pasar domestik, menurut FAO (2011) tidak memiliki pendekatan unik karena heterogeneity di dalam sektor dan negara. Salah satu penelitian mengenai banjir impor (import surges) adalah Pingpoh dan Senahoun (2008) meneliti banjir impor komoditas daging unggas di Kamerun menemukan bahwa terjadi banjir impor secara kualitatif maupun kuantitatif dimana terjadi peningkatan impor hingga 286.7% pada komoditas tersebut yang memengaruhi produksi dan keuntungan domestik.
Grant dan Meilke (2008) melalukan penelitian mengenai special safeguard (SSM) untuk negara berkembang dengan dua skenario, yaitu negara berpendapatan rendah dapat melanjutkan tarif diatas bound tariff pre-Doha atau tidak dengan menggunakan global, stokastik, dan partial equilibrium model untuk pasar gandum dunia. Penelitian ini berkesimpulan bahwa proposal SSM 2008 tidak terlalu mendistorsi perdagangan akibat dari penerapan peningkatan tarif. Terlebih lagi penelitian ini menyarankan agar negara berkembang untuk diperbolehkan untuk menerapkan SSM.
Hertel et al. (2010) menganalisis potensi SSM dengan menggunakan stochastic simulation model dari harga gandung dunia untuk menyelidiki dampak dari penerapan kebijakan berdasarkan framework SSM. Implementasi quantity-triggered measure ditemukan menurunkan impor, meningkatkan harga domestik, dan meningkatkan rataan produksi domestik pada region SSM, namun dampak lainnya akan meningkatkan volatilitas harga terutama pada negara berkembang akibat dari restriksi impor. Penelitian ini memerkirakan quantity-triggered measure akan menurunkan rata-rata impor gandum hingga mendekati 50 % di
(1)
48 0.233204 2.927031 3.484529 18.60211 73.49679 1.489538 49 0.235667 2.929737 3.486181 18.62021 73.47364 1.490239 50 0.238104 2.932333 3.487765 18.63756 73.45143 1.490912 51 0.240516 2.934825 3.489286 18.65422 73.43011 1.491557 52 0.242904 2.937220 3.490748 18.67024 73.40962 1.492177 53 0.245269 2.939523 3.492153 18.68563 73.38992 1.492774 54 0.247612 2.941739 3.493506 18.70045 73.37096 1.493348 55 0.249932 2.943873 3.494809 18.71472 73.35270 1.493901 56 0.252231 2.945930 3.496064 18.72847 73.33511 1.494433 57 0.254510 2.947913 3.497274 18.74173 73.31814 1.494947 58 0.256768 2.949827 3.498443 18.75452 73.30176 1.495443 59 0.259006 2.951675 3.499570 18.76688 73.28595 1.495922 60 0.261226 2.953460 3.500660 18.77882 73.27068 1.496384 Varian
ce Decom position
of PF:
Period S.E. PW PM QM PC PF
1 0.031164 0.393975 0.007639 0.004978 7.471510 92.12190 2 0.039553 0.936800 0.094242 1.193170 5.553236 92.22255 3 0.047606 0.764796 0.078166 2.901798 4.907506 91.34773 4 0.054723 0.600016 0.061920 5.139638 4.359913 89.83851 5 0.061314 0.480049 0.049325 7.087548 3.970343 88.41274 6 0.067361 0.397980 0.041313 8.587562 3.680888 87.29226 7 0.072934 0.339605 0.035970 9.674834 3.468962 86.48063 8 0.078103 0.296330 0.032055 10.46347 3.310730 85.89741 9 0.082940 0.263062 0.028994 11.05111 3.189698 85.46713 10 0.087501 0.236689 0.026516 11.50607 3.094391 85.13633 11 0.091832 0.215237 0.024470 11.87136 3.017281 84.87165 12 0.095967 0.197422 0.022759 12.17330 2.953436 84.65309 13 0.099930 0.182378 0.021310 12.42819 2.899589 84.46853 14 0.103742 0.169502 0.020070 12.64664 2.853508 84.31028 15 0.107420 0.158355 0.018997 12.83600 2.813609 84.17304 16 0.110975 0.148613 0.018061 13.00166 2.778726 84.05294 17 0.114421 0.140025 0.017235 13.14774 2.747973 83.94703 18 0.117765 0.132399 0.016503 13.27748 2.720660 83.85296 19 0.121017 0.125582 0.015848 13.39346 2.696243 83.76887 20 0.124184 0.119451 0.015259 13.49775 2.674286 83.69326 21 0.127272 0.113908 0.014726 13.59204 2.654433 83.62489 22 0.130287 0.108873 0.014242 13.67770 2.636398 83.56279 23 0.133234 0.104278 0.013801 13.75586 2.619940 83.50612 24 0.136117 0.100068 0.013396 13.82747 2.604863 83.45420 25 0.138940 0.096196 0.013024 13.89332 2.590998 83.40646 26 0.141707 0.092625 0.012681 13.95408 2.578205 83.36241 27 0.144421 0.089319 0.012364 14.01031 2.566365 83.32164 28 0.147085 0.086250 0.012069 14.06251 2.555375 83.28380 29 0.149702 0.083394 0.011794 14.11109 2.545147 83.24858 30 0.152273 0.080730 0.011538 14.15641 2.535604 83.21572 31 0.154802 0.078238 0.011299 14.19880 2.526679 83.18498 32 0.157290 0.075902 0.011075 14.23853 2.518314 83.15618 33 0.159740 0.073709 0.010864 14.27583 2.510459 83.12913 34 0.162152 0.071645 0.010666 14.31094 2.503068 83.10368 35 0.164529 0.069700 0.010479 14.34403 2.496100 83.07969 36 0.166872 0.067863 0.010302 14.37528 2.489522 83.05704 37 0.169183 0.066126 0.010135 14.40483 2.483300 83.03561 38 0.171463 0.064481 0.009977 14.43282 2.477407 83.01532 39 0.173712 0.062920 0.009827 14.45936 2.471817 82.99607
(2)
40 0.175933 0.061437 0.009685 14.48458 2.466508 82.97779 41 0.178127 0.060027 0.009549 14.50856 2.461458 82.96040 42 0.180293 0.058685 0.009420 14.53140 2.456650 82.94385 43 0.182434 0.057405 0.009297 14.55317 2.452066 82.92806 44 0.184550 0.056184 0.009180 14.57395 2.447691 82.91300 45 0.186642 0.055017 0.009068 14.59380 2.443512 82.89861 46 0.188711 0.053900 0.008961 14.61278 2.439514 82.88484 47 0.190757 0.052832 0.008858 14.63096 2.435687 82.87166 48 0.192782 0.051808 0.008760 14.64837 2.432020 82.85904 49 0.194786 0.050826 0.008665 14.66508 2.428504 82.84693 50 0.196769 0.049884 0.008575 14.68111 2.425128 82.83530 51 0.198732 0.048978 0.008488 14.69651 2.421885 82.82414 52 0.200676 0.048108 0.008404 14.71132 2.418767 82.81340 53 0.202602 0.047270 0.008324 14.72557 2.415767 82.80307 54 0.204509 0.046463 0.008246 14.73929 2.412878 82.79312 55 0.206399 0.045686 0.008171 14.75251 2.410095 82.78354 56 0.208272 0.044937 0.008099 14.76525 2.407412 82.77430 57 0.210128 0.044214 0.008030 14.77755 2.404822 82.76538 58 0.211968 0.043516 0.007963 14.78942 2.402323 82.75678 59 0.213792 0.042842 0.007898 14.80089 2.399908 82.74846 60 0.215600 0.042190 0.007836 14.81198 2.397574 82.74042 Choles
ky Orderin
g: PW PM QM
PC PF
Lampiran 24 Analisis FEVD Bawang Merah
Variance Decom position
of PC:
Period S.E. PW PM QM PC PF
1 0.059389 0.098454 0.423912 1.447790 98.02984 0.000000 2 0.095221 1.054612 1.211495 1.426783 96.07410 0.233009 3 0.123097 1.368745 2.256933 1.088180 94.96114 0.325002 4 0.146123 1.280389 3.552546 0.773175 94.09195 0.301941 5 0.166081 1.077473 4.799254 0.677568 93.19814 0.247561 6 0.183907 0.895123 5.810254 0.740019 92.35225 0.202359 7 0.200087 0.758613 6.538248 0.844371 91.68725 0.171518 8 0.214949 0.658039 7.029705 0.925868 91.23654 0.149848 9 0.228760 0.581977 7.355617 0.971092 90.95814 0.133177 10 0.241735 0.523155 7.578341 0.989161 90.78970 0.119641 11 0.254033 0.476763 7.741443 0.992493 90.68085 0.108452 12 0.265765 0.439241 7.871240 0.990051 90.60035 0.099118 13 0.277009 0.408019 7.981620 0.986740 90.53238 0.091245 14 0.287822 0.381386 8.078939 0.984550 90.47060 0.084527 15 0.298249 0.358269 8.165756 0.983806 90.41344 0.078732 16 0.308325 0.337984 8.243154 0.984110 90.36106 0.073688 17 0.318082 0.320058 8.311905 0.984928 90.31385 0.069257 18 0.327549 0.304134 8.372878 0.985853 90.27180 0.065334 19 0.336748 0.289919 8.427058 0.986672 90.23452 0.061835 20 0.345702 0.277165 8.475443 0.987320 90.20138 0.058694 21 0.354430 0.265664 8.518939 0.987815 90.17172 0.055858
(3)
22 0.362948 0.255240 8.558309 0.988204 90.14496 0.053284 23 0.371270 0.245744 8.594167 0.988532 90.12062 0.050938 24 0.379410 0.237056 8.626993 0.988826 90.09833 0.048791 25 0.387379 0.229076 8.657168 0.989102 90.07783 0.046820 26 0.395188 0.221719 8.685000 0.989365 90.05891 0.045002 27 0.402845 0.214915 8.710748 0.989615 90.04140 0.043321 28 0.410359 0.208604 8.734631 0.989850 90.02515 0.041763 29 0.417738 0.202735 8.756842 0.990070 90.01004 0.040313 30 0.424989 0.197264 8.777548 0.990275 89.99595 0.038962 31 0.432119 0.192150 8.796896 0.990465 89.98279 0.037699 32 0.439132 0.187360 8.815017 0.990643 89.97046 0.036516 33 0.446036 0.182865 8.832024 0.990809 89.95890 0.035406 34 0.452834 0.178638 8.848018 0.990966 89.94802 0.034361 35 0.459531 0.174655 8.863086 0.991113 89.93777 0.033378 36 0.466133 0.170897 8.877306 0.991252 89.92810 0.032449 37 0.472642 0.167344 8.890749 0.991384 89.91895 0.031572 38 0.479063 0.163980 8.903476 0.991508 89.91029 0.030741 39 0.485399 0.160791 8.915543 0.991626 89.90209 0.029953 40 0.491653 0.157763 8.927000 0.991738 89.89429 0.029206 41 0.497828 0.154884 8.937892 0.991845 89.88688 0.028494 42 0.503928 0.152144 8.948259 0.991946 89.87983 0.027818 43 0.509955 0.149532 8.958140 0.992043 89.87311 0.027173 44 0.515912 0.147041 8.967567 0.992135 89.86670 0.026557 45 0.521800 0.144661 8.976570 0.992223 89.86058 0.025970 46 0.527623 0.142386 8.985179 0.992308 89.85472 0.025408 47 0.533382 0.140208 8.993417 0.992388 89.84912 0.024870 48 0.539080 0.138122 9.001309 0.992466 89.84375 0.024355 49 0.544718 0.136122 9.008876 0.992540 89.83860 0.023861 50 0.550299 0.134203 9.016138 0.992611 89.83366 0.023387 51 0.555823 0.132360 9.023112 0.992679 89.82892 0.022931 52 0.561293 0.130588 9.029816 0.992745 89.82436 0.022494 53 0.566710 0.128884 9.036265 0.992808 89.81997 0.022073 54 0.572076 0.127243 9.042473 0.992868 89.81575 0.021667 55 0.577392 0.125662 9.048453 0.992927 89.81168 0.021277 56 0.582660 0.124138 9.054218 0.992983 89.80776 0.020901 57 0.587880 0.122669 9.059779 0.993038 89.80398 0.020538 58 0.593055 0.121250 9.065147 0.993090 89.80033 0.020187 59 0.598184 0.119880 9.070332 0.993141 89.79680 0.019849 60 0.603270 0.118555 9.075342 0.993190 89.79339 0.019522
Variance Decomposition of PF:
Period S.E. PW PM QM PC PF
1 0.043303 0.022421 1.065912 2.447752 53.49353 42.97039 2 0.069521 1.036984 1.201637 2.945707 57.46026 37.35541 3 0.090185 1.511522 2.137793 2.610314 58.47467 35.26570 4 0.106814 1.494143 3.369974 2.028117 59.16161 33.94615 5 0.120843 1.303651 4.693906 1.585559 59.63395 32.78294 6 0.133122 1.107826 5.834128 1.336896 59.96227 31.75888 7 0.144169 0.952444 6.703476 1.201018 60.22052 30.92254 8 0.154304 0.834691 7.315610 1.107616 60.45546 30.28662 9 0.163756 0.744500 7.734726 1.026858 60.67288 29.82103 10 0.172681 0.674434 8.026139 0.952594 60.86564 29.48119 11 0.181180 0.619167 8.240353 0.885639 61.02893 29.22591 12 0.189315 0.574526 8.409947 0.826991 61.16383 29.02470 13 0.197129 0.537383 8.553252 0.776599 61.27484 28.85793 14 0.204651 0.505634 8.679214 0.733658 61.36721 28.71428 15 0.211908 0.477971 8.791674 0.697015 61.44557 28.58777 16 0.218924 0.453590 8.892262 0.665472 61.51340 28.47528
(4)
17 0.225720 0.431959 8.981990 0.637966 61.57313 28.37495 18 0.232316 0.412681 9.061887 0.613662 61.62638 28.28539 19 0.238729 0.395431 9.133116 0.591943 61.67421 28.20530 20 0.244974 0.379926 9.196879 0.572372 61.71740 28.13342 21 0.251063 0.365925 9.254297 0.554632 61.75653 28.06862 22 0.257009 0.353218 9.306333 0.538484 61.79210 28.00986 23 0.262820 0.341632 9.353776 0.523732 61.82455 27.95631 24 0.268505 0.331019 9.397249 0.510212 61.85426 27.90726 25 0.274073 0.321260 9.437250 0.497783 61.88156 27.86215 26 0.279530 0.312254 9.474182 0.486318 61.90674 27.82051 27 0.284882 0.303917 9.508379 0.475710 61.93004 27.78195 28 0.290135 0.296177 9.540129 0.465866 61.95167 27.74616 29 0.295295 0.288973 9.569680 0.456704 61.97180 27.71284 30 0.300367 0.282251 9.597250 0.448156 61.99059 27.68175 31 0.305354 0.275966 9.623031 0.440161 62.00816 27.65268 32 0.310261 0.270074 9.647193 0.432668 62.02463 27.62544 33 0.315092 0.264542 9.669883 0.425630 62.04010 27.59985 34 0.319849 0.259336 9.691233 0.419008 62.05465 27.57577 35 0.324537 0.254429 9.711358 0.412766 62.06837 27.55308 36 0.329158 0.249795 9.730361 0.406872 62.08132 27.53165 37 0.333716 0.245413 9.748334 0.401298 62.09357 27.51139 38 0.338211 0.241262 9.765357 0.396018 62.10517 27.49219 39 0.342648 0.237325 9.781505 0.391010 62.11618 27.47398 40 0.347028 0.233586 9.796842 0.386253 62.12663 27.45669 41 0.351354 0.230029 9.811429 0.381729 62.13657 27.44024 42 0.355627 0.226642 9.825319 0.377421 62.14604 27.42458 43 0.359849 0.223414 9.838560 0.373314 62.15507 27.40965 44 0.364022 0.220332 9.851198 0.369394 62.16368 27.39540 45 0.368148 0.217388 9.863273 0.365649 62.17191 27.38178 46 0.372228 0.214572 9.874821 0.362068 62.17978 27.36876 47 0.376264 0.211877 9.885876 0.358639 62.18732 27.35629 48 0.380257 0.209294 9.896470 0.355353 62.19454 27.34435 49 0.384209 0.206816 9.906630 0.352202 62.20146 27.33289 50 0.388120 0.204439 9.916382 0.349177 62.20811 27.32189 51 0.391992 0.202154 9.925751 0.346272 62.21449 27.31133 52 0.395827 0.199958 9.934759 0.343478 62.22063 27.30117 53 0.399625 0.197845 9.943425 0.340790 62.22654 27.29140 54 0.403386 0.195810 9.951770 0.338202 62.23223 27.28199 55 0.407114 0.193849 9.959811 0.335708 62.23771 27.27292 56 0.410807 0.191959 9.967564 0.333303 62.24299 27.26418 57 0.414467 0.190135 9.975045 0.330983 62.24809 27.25575 58 0.418096 0.188374 9.982266 0.328743 62.25301 27.24760 59 0.421693 0.186673 9.989243 0.326580 62.25777 27.23974 60 0.425260 0.185029 9.995986 0.324488 62.26236 27.23213
(5)
Lampiran 25 Daftar Komoditas yang mendapatkan SSG di Indonesia
Tariff item Description of products Speci
al
Broad
number safeg
uard
product category 0402 MILK & CREAM, CONCENTRATED OR CONTAINING ADDED SUGAR OR OTHER
SWEETENING MATTER:
0402.10.100 MILK & CREAM OF FAT <= 1.5% ADDED SUGAR IN POW'R FORM, IN PACK. >=25 KG SSG DA 0402.10.900 MILK & CREAM OF FAT <= 1.5% ADDED SUGAR IN POW'R FORM, IN PACK. < 25 KG SSG DA 0402.21.110 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% NOT AD. SUGAR IN POW'R FORM. >= 25KG, FOR INFANTS SSG DA 0402.21.190 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% NOT AD. SUGAR IN POW'R FORM. >= 25KG, NOT FOR INFANTS SSG DA 0402.21.910 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% NOT AD. SUGAR NOT POW'R FORM. >= 25KG, FOR INFANTS SSG DA 0402.21.990 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% NOT AD. SUGAR NOT POW'R FORM. >= 25KG, NOT FOR INFANTS SSG DA 0402.29.110 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% ADDED SUGAR IN POW'R FORM. >= 25KG, FOR INFANTS SSG DA 0402.29.190 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% ADDED SUGAR IN POW'R FORM. >= 25KG, NOT FOR INFANTS SSG DA 0402.29.910 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% ADDED SUGAR NOT POW'R FORM. >= 25KG, NOT FOR INFANTS SSG DA 0402.29.990 MILK & CREAM OF FAT > 1.5% ADDED SUGAR NOT POW'R FORM. >= 25KG, NOT FOR INFANTS SSG DA
0403 BUTTERMILK, CURDLED MILK AND CREAM, YOGURT, KEPHIR AND OTHER FERMENTED OR ACIDIFIED MILK AND CREAM, WHETHER OR NOT CONCENTRATED OR CONTAINING ADDED SUGAR OR OTHER SWEETENING MATTER OR FLAVOURED OR CONTAINING ADDED FRUIT, NUTS OR COCOA:
0403.90.100 BUTTERMILK, IN PACKING >= 25 KG NET SSG DA
0405 BUTTER AND OTHER FATS AND OILS DERIVED FROM MILK
0405.00.100 MILK FAT SSG DA
0907 CLOVES, (WHOLE FRUIT, CLOVES AND STEMS)
0907.00.100 CLOVES SSG CO
(6)