Dinamika Transformasi Politik di Indonesia

28 menyusun tatatan kehidupan demokrasi kedepan. Sebagian besar elit lebih mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara retorik sekedar mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat. Kedangkalan memahami konsep adalah salah satu contoh yang dapat dilihat dalam merumuskan Indonesia sebagai negara kesatuan dan hubungan dengan desetralisasi atau otonomi daerah. Kalau semangat dan komitmen terhadap bentuk negara kesatuan akan dipertahankan, maka prinsipprinsip tersebut secara konsisten harus dijadikan pegangan dalam melakukan kebijakan desentralisasi. Salah satu prinsip yang penting adalah besaran urusan dan kewenangan yang didelegasikan ke daerah berasal dari pemerintah pusat. 16 Konsekwensinya, bila daerah tidak dapat mengemban kewenangan yang diberikan maka tidak dapat dilaksanakan secara bertanggungjawab atau terjadi krisis pemerintahan daerah, pemerintahan pusat harus mempunyai instrumen dan mekanisme menyelesaikan kemelut tersebut. Pemicu krisis di daerah yang paling potensial adalah tiadanya jaminan hubungan kekuasaan yang simetris di tataran politik lokal. Lebih-lebih kalau calon independen untuk pemilihan kepada daerah telah menjadi keputusan politik. Asimetris hubungan kekuasaan antara kepala daerah dan parlemen lokal menjadi potensi konflik didaerah yang berlarut-larut. Dalam hal intervensi pemerintah pusat terhadap krisis pemerintahan daerah, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, seperti aturan yang jelas, supervisi, evaluasi yang obyektif serta bimbingan yang cukup. Tetapi 16 Martin Aleida, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah, Yogyakarta :Gramedia, 2003, hal .297 29 karena desentralisasi selama ini tidak dilakukan dengan pakem yang konsisten, banyak sekali terjadi konfllik antara kepala daerah dan perlemen lokal yang berlarur larut. Misalnya, mengenai Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja APBD. Dalam mengantisipasi krisis, pemerintahan mungkin dapat mengambil pelajaran negara India. Meskipun bentuk negara India adalah quasi federal, namun bila terjadi krisis pemerintahan di negara bagian state, Presiden mempunyai kewenangan diskresi, melalui pasal 356 Konstitusi, membubarkan parlemen di negara bagian dan memecat gubernur. 17 Namun kewenangan tersebut dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat. Pertama, diskreasi harus merupakan jalan terakhir setelah segala upaya sebelumnya tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua,Presiden harus harus mendapatkan persetujuan kedua parlemen dan benar-benar memperhatikan laporan gubernur. Ketiga, pernyataan situasi dalam keadaan darurat oleh presiden dapat dilakukan judicial review kepada Mahkamah Agung. Bilamana Mahkamah Agung menolak, maka Gubernur dan Lembaga Perwakilan di daerah state dapat berfungsi kembali. Pengaturan yang rumit tersebut selain untuk mencegah agar presiden tidak sembarangan atau menyalahgunakan kewenangan yang kontroversial tersebut. Oleh sebab itu kewenangan presiden tersebut tidak mutlak dan tetap dalam kerangka demokrasi. Pengalaman tersebut kiranya sangat berharga untuk dijadikan konsiderasi membuat regulasi yang komprehensif. 17 Grabow, Karsten dan Riek.E, Christian eds; Parties and Democracy, page 110- 111; Konrad- Adenauer- Stiftung e.V; Klingenhoferstabe 23, D-10907 Berlin, Germany. 30 Dengan demikan munculnya calon independen tidak saja semakin membuka peluang tumbuhnya demokrasi, tetapi juga merupakan momentum untuk mewujudan kehidupan politik yang stabil, pemerintahan yang efektif serta sistem kepartaian yang multi partai. Makna penting yang dapat dipetik bahwa meskipun transisi politik dilakukan dengan sangat cepat, tetapi kontestasi politik yang dilakukan dalam skala yang masif dapat dilakukan dengan aman. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan untuk menjadi bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik komunal karena keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan primordial kesukuan, ras,bahasa, agama serta pengelompokkan ekskulif lainnya ternyata tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat. Oleh sebab itu banyak kalangan baik dalam negeri maupun luar negeri yang memberikan apresiasi terhadap keberhasilan pemilihan umum di Indonesia. Salah satunya adalah tajuk majalah The Ecomomist, tahun 2004. 18 Naskah akademik ini ingin meletakkan RUU Pilkada dalam konteks makor politik dan perspektif politik politik Indonesia kedepan. Oleh sebab itu agenda perubahan sistem politik harus dilakukan pada tataran yang sangat 18 The Economist, edisi Bulan 10- 16 Juli, 2004 : “But perhaps there is a lesson in Indonesia’s experience not just for Islamic countries, but for one of Asia’s other giants too. The party men who run China like to argue that democracy that democracy is unsuited to a poor, sprawling country that has no experience of it : chaos is what China’s leaders say the fearabove all. But it does now seem that Indonesia-a polyglot rag-bag of islands that emerged as anation only through the accident of having been collectively administered by the Dutch has given the world a powerful counter – example”. Selain itu artikel Prof Seth, S.P Sydney, ; Indonesia as A Democraciy Model; The Jakarta Post, May 4,2009. When Soeharto, Indonesia’s long-serving dictator, fell in 1998 , the very integrity of the country seemedin doubt. In contrast, at present-day Indonsia seems almost a miracle. It is stable, largerly peaceful democracy with the resilient economy growing at a respectable lick. The Economist, 12th- 18th, 2009, p 16. 31 mendasar, yaitu amandemen Konstitusi yang kelima. Agar amandemen tidak dilakukan secara parsial maka sangat diperlukan proses yang disepakati bersama baik mengenai jadwal maupun substasi sehingnga akamendemen kelima menjadi amandemen yang dapat memperbaiki UUD 1945 secara komprehensif. Oleh sebab itu selain amandemen juga harus dilakukan berdasarkan paradigm yang jelas, harus dilakukan pula prinsip-prinsip konstitusionalisme, antara lain sebagai berikut : 1 pembatasan wilayah kekuasaan negara, 2 pengaturan cabang- cabang kekuasaan yang seimbang, 3 jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, 4 prinsip-prinsip terkondiskannya suhu politik yang demokratis, 5 independensi lembaga peradilan, 6 kontrol sipil terhadap militer, 7 prinsip desentralisasi, 8 jaminan melakukan perubahan konstitusi serta 9 partisipasipelibatan masyarakat. Bebagai prinsip atau paradima tersebut harus dijabarkan lebih rinci melalui perdebatan yang mendalam, jernih dan komprehensif agar pasalpasal yang dituangkan dalam UUD yang baru. 19 Sementara itu prosedur amandemen merupakan hal yang penting pula karena dimaksudkan agar proses amandemen tersebut dapat menghasilkan suatu kualitas perobahan sesuai dengan kehendak masyarakat. Beberapa tahapan yang mungkin dapat dipertimbangkan sebagai berikut: Pertama, MPR menetapkan Komisi Reformasi konstitusi yang yang bersifat independen dan diberi tugas untuk menyusun draft konstitusi dalam jangka waktu tertentu. Kedua, keanggotaan Komisi terdiri dari berbagai tokoh yang mempunyai berbagai 19 Visi Politk Indonesia 2030; Jakarta, Desember 2008, Makalah tidak diterbitkan. 32 keahlian terutama ahli tata negara, ilmu politik, pemerintahan, administrasi dan ahli perumus drafting konstitusi serta perwakilan dari tokoh-tokoh di daerah. Tugas masing-masing anggota Komisi dari provinsi adalah menampung aspirasi daerah mengenai hal-hal yang ingin dimasukkan dalam konstitusi, dan memperdebatkan rancangan konstitusi. Ketiga, sebelum menyusun rancangan Komisi terlebih dahulu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan mendasar sesuai dengan paradigma yang telah disetujui bersama. Keempat, setelah Komisi berhasil menyusun draft konstitusi, konstitusi tersebut disosialisasikan dan masyarakat diberikan kesempatan untuk memperdebatkan rancangan konstitusi. Kelima, hasil perdebatan masyarakat tersebut kemudian diakomodasi dalam rancangan konstitusi. Keenam, Komisi Konstitusi melaporkan hasil kerja draft final konstitusi kepada MPR. Oleh sebab itu kalau situasi sudah lebih memungkinkan, amandeman perlu dilakukan, namun tidak hanya melayani kepentingan parsial dan sesaat. Namun diatas semua itu yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana bangsa Indonesia segera mulai juga membangun kultur politik yang demokratis. Bagaimana kesetaraan, pluralisme, toleransi menjadi bagian dari proses pendidikan politik rakyat yang mulai diajarkan sedini mukin terhadap generasi muda Indonesia. Akhirnya, menyusun konstitusi yang ideal meskipun penting hanya merupakan satu bagian meskipun penting dari serangkaian agenda dan proses mewujudkan sistem politik yang kompleks dan rumit, tatanan dan tertib politik yang demokratis. 33 Sementara itu partai politik sebagai pilar demokrasi juga harus dilakukan reformasi. Pertama-tama adalah dengan melakukan pengakaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk menghasilkan kader partai yang kapabel, akuntabel, mempunyai komitmen, kepakaan serta ketrampilan menterjemahkan ideologi kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai sampai dengan ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan lawan politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan melakukan kaderisasai dan pendidikan poltik secara reguler maka kapasitas partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni sosialisasi dan pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, partisipasi politik dll juga akan ditingkatkan. Melalui proses pendidikan politik yang semacam itulah partai akan didorong melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang kredibel. Kedua, mendorong kepemimpinan partai yang demokratis dengan melakukan seleksi kepemimpinan partai yang demokratis serta menegaskan kedaulatan anggota dan desentralisai kewenangan pengurus partai ditingkat pusat kedaerah sebagai upaya meningkatkan demokratisasi internal. Ketiga, memperkuat basis dan struktur kepartaian, memperkuat basis dan struktur partai, termasuk menyertakan 30 perempuan. Basis sosial yang jelas dan berakar pada masyarakat akan menjadikan partai lebih kuat, melembaga sehingga akan memermudah menyerap aspirasi masyarakat. Basis dan struktur partai tidak didasarkan atas sentimen primordial. Hal ini berkaitan dengan 34 ideolog kebijakan yang akan menjadi discourse dari partai politik. Perdebatan publik tidak lagi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan keungguluan identitas primordial tetapi mengenai dasar-dasar kebijakan yang ditujukan utnuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keempat, mendorong penggabungan partai-partai kecil dan partaipartai yang gagal mendapatkan Electoral Thershold ET di dtingjkat local berdasarkan persamaan kepentingan maupun idelogi kepemihakan. Kelima, mendorong proses institusional partai dengan mempunyai sumberdaya yang independen. Keenam, larangan merangkap jabatan bagi pengurus partai yang terpilih menjadi pejabat publik. Hal itu untuk mencegah konflik kepentingan conflict of interest dari pejabat yang bersangkutan. Konsekwensinya akan lebih besar lagi kalau birokrasi kemudian menjadi ajang pertarungan politik dari partai politik. Birokrasi yang berfungsi sebagai pelayan publik, akan menjadi sekedar intrumen partai politik. Sejalan dengan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif, selain pembenahan partai politik, perlu pula dilakukan beberapa penegasan dalam prinsip sehingga sistem Pemilu harus semakin mengarah untuk untuk meningkatkan akuntabilitas wakil rakyat dengan pemilihnya. Oleh sebab itu prinsip one person, one vote, one value perlu diterapkan. Secara ideal, prinsip tersebut harus dilakukan dengan konsekwen, karena kesetaraan diantara warga negara adalah salah satu prinsip demokrasi. Kedua, demokratisasi mekanisme 35 pencalonan. Artinya pencalonan dilakukan dengan sistem dari bawah keatas bottom-up. Artinya, setiap calon anggota lembaga perwakilan rakyat harus dipilih secara demokratis dan terbuka sehingga bobot pengaruh dan kualitas komitmen para anggota lembaga perwakilan rakyat diharapkan lebih baik bila dibandingkan dengan pemilihan calon yang dilakukan berdasarkan putusan pimpinan partainya. Ketiga, mempertegas sistem audit dan pengelolaan danadana politik yang digunakan dalam proses Pemilu. Selama ini tidak ada pengaturan dana politik yang menyangkut jenis sumbangan, batasan sumbangan, larangan menerima sumbangan dari sumber tertentu, pencatatan sumbangan, pelaporan, audit, akuntabilitas publik, dan sangsi apabilan melangggar. Dalam kaitan tersebut diperlukan penguatan dan penegasan peran lembaga-lembaga perwakilan, antara lain memperjelas fungsi MPR. Hal itu dapat dilalakukan dengan merubah lembaga pimpinan MPR permanen menjadi fungsional, yaitu memimpin sidang gabungan DPR-DPD. Selain itu memberikan kewenangan MPR membentuk Joint committee dan peraturan tentang sidang gabungan joint session serta membentuk komisi konstitusi membantu MPR menyiapkan bahan amandemen UUD 1945. Sehingga MPR kewenangannya tidak sebesar sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang saat ini berlaku. Mencermati perkembangan tersebut, proses transisi politik memberikan makna bahwa meskipun masa-masa kritikal telah dilewati, namun reformasi politik harus segera dibenahi. Legimasi politik prosedural harus segera 36 ditingkatkan menjadi legitimasi politik yang bermartabat mendesak untuk dilakukan. Membiarkan demokrasi prosedural dimanipulasi oleh elit politik hanya akan memberikan pembenaran bagi yang merasa mendapat mandat rakyat untuk merusak tatanan demokrasi. Membiarkan demokrasi prosedural dijadikan alat legitimasi juga akan mengakibatkan bayi demokrasi tumbuh menjadi demokrasi kunthet. 20 Perpolitikan semacam itu jelas lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Reformasi masih jauh dari pembentukan sikap dan perilaku yang santun, yakni mengutamakan kepentingan umum serta berpolitik yang didasarkan atas komitmen lahir batin untuk mewujudkan kehidupan bersama yang sejahtera. 20 Kristiadi, J : Demokrasi dan Etika Bernegara; Seri Orasi Budaya; Penerbit Kanisius, 2008. 37 BAB III TINJAUAN YURIDIS PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

A. Landasan Konstitusional Pemilihan Kepala Daerah

Ketentuan yang menegaskan pemilihan kepala daerah dalam konstitusi terdapat pada Pasal 18 ayat 4 UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.” Ketentuan tersebut menentukan syarat demokratis setiap pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dengan cara yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Kata “demokratis” dalam UUD NRI Tahun 1945 tersebut juga harus dimaknai sebagai demokratisasi tahapan Pilkada secara keseluruhan. Semua proses Pilkada mulai dari penetapan daftar pemilih, penetapan calon, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan hasil, bahkan terhadap perselisihan hasil semestinya dilaksanakan dalam kerangka demokratis yang diamanatkan oleh konstitusi. Pada proses pembahasan ketentuan ini di MPR dapat dicermati para pembentuk konstitusi memang sepakat bahwa pemilihan gubernur, bupati dan walikota dilakukan dengan demokratis, namun juga terdapat keinginan dari pembentuk kontitusi untuk memberikan kesempatan bagi para pembentuk undang-undang untuk mengatur pemilihan kepala daerah lebih lanjut sesuai dengan kondisi keragaman daerah dan situasi serta kondisi asalkan tidak 38 bertentangan dengan prinsip demokratis. 1 Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa dalam proses pembahasan perubahan UUD 1945 pilihan-pilihan mekanisme Pilkada juga telah diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR, baik pemilihan oleh rakyat secara langsung maupun pemilihan melalui mekanisme perwakilan oleh DPRD. Namun kedua mekanisme tersebut, secara eksplisit, tidak menjadi putusan MPR. Dengan memutuskan “dipilih secara demokratis” maka dimungkinkan pembentuk undang-undang mempertimbangkan mekanisme yang paling cocok untuk pemilihan kepala daerah. Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 072PUU-II2004 juga dapat diketahui bahwa dalam pelaksanan Pemilu-Kada “secara demokratis” pembuat undang-undang harus memperhatikan penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat antar daerah yang berbeda-beda, sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang.“ Selain mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah, ketentuan dalam Pasal 18 ayat 4 ini juga memberi pesan bahwa konstitusi hanya mengamanatkan Pemilihan Kepala Daerah saja tanpa menyebut jabatan 1 Pembahasan ketentuan tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dapat dilihat dalam Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2 Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm, 168-182 39 wakil kepala daerah. Gubernur, Bupati dan Walikota adalah nama jabatan untuk kepala daerah baik untuk tingkat Provinsi maupun KabupatenKota. Dengan demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk mengatur jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja gubernur, bupati dan walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil, atau pengaturan mengenai pemilihan wakil kepala daerah dalam undang-undang dapat saja dilakukan berbeda dengan mekanisme pemilihan kepala daerah. Hal lain yang juga penting untuk ditegaskan kembali dari ketentuan konstitusi mengenai pemerintahan daerah bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah-daerah, tetap dalam kerangka implementasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat 1 yang berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan Undang- Undang.” Menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat hirarkhis dan vertikal. 2 Seperti juga disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 naskah asli “oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” juga”. 3 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 072PUU-II2004 yang merupakan pengujian terhadap UU No. 32 tahun 2004. 2 Lihat Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002 hlm. 21 3 Penjelasan Pasal 18 angka I UUD 1945 naskah asli