Strategi Counter Issue Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie Dalam Pemilihan Kepala Daerah Tangerang Selatan 2015 Di Media Sosial

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh

Syifa Maulidina

NIM. 1112051000150

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/ 2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

dalam Pemilihan Kepala Daerah Tangerang Selatan 2015 di Media Sosial

Pada Pilkada Tangsel 2015 terjadi persaingan cukup ketat. Tim Sukses Airin-Benyamin berjuang keras untuk memanfaatkan sektor-sektor media mainstream

dan new media untuk meraih vote getter. Tidak hanya kampanye yang dilakukan

tetapi Tim Sukses juga memainkan propaganda guna mengcounter issue dari kandidat lawan. Pertanyaan mayornya adalah bagaimana strategi counter issue yang dilakukan Tim Sukses Airin-Benyamin dalam menanggapi isu negatif yang berkembang di Facebook dan Twitter pada Pilkada Tangsel 2015? Kemudian, minornya adalah bagaimana Tim Sukses Airin-Benyamin memanfaatkan Facebook

dan Twitter? Dan isu-isu apa saja yang berkembang di Facebook dan Twitter yang

dianggap menyerang pasangan Airin-Benyamin pada Pilkada Tangsel 2015? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian ini menggunakan studi kasus. Jenis studi kasus dalam penelitian ini adalah studi kasus intrinsik (intrinsic case study). Paradigma yang digunakan adalah paradigma konstruktivisme. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Propaganda.

Dalam politik, strategi counter issue memiliki peran yang merujuk pada usaha persuasif dengan tujuan mengontrol opini publik untuk menciptakan citra positif. Di dalamnya terdapat unsur teknik propaganda yang merupakan salah satu pendekatan persuasi politik. Hal itu bisa dilakukan melalui media sosial, karena media sosial memiliki fungsi sosialisasi bagi kehidupan yang lebih luas.

Penelitian ini menghasilkan sebuah fakta bahwa Tim Sukses Airin-Benyamin memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menyisir pemilih yang notabenenya mereka menganggap media sosial sebagai gaya hidup, serta pemilih yang tinggal di perumahan elit. Berikutnya, top ranking issue yang menyerang Airin-Benyamin di

Facebook dan Twitter pada periode 27 Agustus - 5 Desember 2015 adalah isu

korupsi. Terakhir, Tim Sukses Airin-Benyamin memilih menggunakan strategi mendiamkan isu sampai berhenti atau sikap bertahan (defensif). Jika diperlukan sikap ofensif, maka memilih isu yang aktual saja dan mengcounternya dengan bobot isu yang sebanding.

Kesimpulannya, kemenangan Pilkada Tangsel 2015 tidak luput dari kinerja Tim Suksesnya. Dalam politik, Facebook dan Twitter menjadi genre tersendiri di Indonesia dalam menyisir kalangan pemilih pemula dan generasi tekno. Yang perlu diperhatikan, penggunaan propaganda harus memerhatikan syariat Islam sehingga atmosfir perpolitikan di Indonesia dapat berjalan secara sehat dan jujur.

Kata Kunci: Pilkada, Tangsel, 2015, Tim Sukses, Propaganda, Facebook, Twitter.


(6)

ii

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Strategi Counter Issue Pasangan Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie

dalam Pemilihan Kepala Daerah Tangerang Selatan 2015 di Media Sosial”. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dan panutan kita semua umat Islam.

Karya tulis ini patut penulis syukuri dan banggakan, karena penulis berusaha menyajikan dengan sebaik-baiknya supaya karya tulis ini dapat berguna bagi dunia akademis. Namun, penulis juga menyadari masih terdapat kesalahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki dalam karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi pemikiran, materi, dan data, hingga penulisan skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA. Wakil Dekan I Bidang Akademik, Bapak Dr. Suparto, PhD. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Ibu Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag. Serta, Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Bapak Dr. Suhaimi, M.Si.


(7)

iii

3. Bapak Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis untuk berdiskusi. 4. Bapak Dr. Sihabudin Noor, M.A, sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Para dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta yang telah mewariskan ilmu kepada penulis selama masa aktif perkuliahan. Semoga ilmu yang Bapak Ibu berikan bermanfaat bagi penulis dan menjadi amal baik yang akan terus mengalir tanpa putus.

6. Sonny Majid Daeng Taran, M. Si, sebagai Koordinator Counter Issue dan Juru Bicara Airin Rachmi Diany, serta Rudy Gani, S. I. Kom, sebagai Tim Media Airin-Benyamin yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis untuk diwawancarai dan untuk saling sharing pengalaman.

7. Kedua orang tua dan Nenek tercinta beserta keluarga besar. Abi Asep Saepuloh dan Ummi Lilis Lisniawati yang selalu memberi semangat dan doa tanpa henti dalam setiap langkah demi kesuksesan anak-anaknya. Adikku, Hasna Muflihah dan Nadya Mardhotillah yang selalu memberi keceriaan saat penulis merasa jenuh. Semoga dengan selesainya penulisan skripsi ini dapat menambah sedikit kebahagiaan untuk kalian.


(8)

iv

yang baik, terima kasih atas dukungan, perhatian, dan kesabarannya yang selalu menemani penulis dalam penyusunan skripsi ini.

9. Teman-teman KPI E angkatan 2012: Aisyah, Sarah, Mudillah, Fitri, Thabitha, Nenden, Mia, Bilqis, Dityan, Nufus, Dewi, Apik, Nirma, Novi, Agung, Fikri, Akbar, Arif, Ferdy, Gilang, Gio, Munir, Hilman, Indra, Gondes, Topik, Saka, Ahok, Acong, Fahmi, Pasto, Ridho, yang telah sama-sama berbagi ilmu, berdiskusi, saling bercanda, dan walau terkadang menyebalkan.

10.Teman-teman KKN AKSARA 2015 Kemuning.

11.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Ciputat, 29 Juni 2016.


(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR BAGAN ... viii

DAFTAR DIAGRAM ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KERANGKA TEORI A. Counter Issue ... 19

B. Propaganda ... 22

1. Pengertian Propaganda ... 22

2. Jenis-Jenis Propaganda ... 25

3. Teknik-Teknik Propaganda ... 28

4. Perbedaan Propaganda dengan Kampanye ... 29

C. Media Baru (New Media) ... 31

1. Karakteristik Media Sosial ... 35

2. Kelebihan dan Kekurangan Media Sosial ... 38

3. Facebook dan Twitter ... 39

D. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ... 43

1. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ... 43

2. Sisi Positif dan Negatif Pilkada ... 46

E. Peraturan dan Adab Sopan Antar Orang Beriman ... 49

BAB III GAMBARAN UMUM A. Profil Pasangan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan Periode 2016-2021 ... 53

1. Profil Airin Rachmi Diany ... 53

2. Profil Benyamin Davnie ... 57

B. Visi, Misi, dan Program ... 61


(10)

vi

Benyamin Davnie ... 93

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 121

B. Kritik dan Saran ... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 126


(11)

vii

Tabel 2.2. Perbedaan Antara Era Media Pertama dan

Era Media Kedua ... 34 Tabel 4.1. Data Kemunculan Isu terhadap Pasangan

Airin-Benyamin di Facebook pada 27 Agustus - 5 Desember 2015 ... 85 Tabel 4.2. Data Kemunculan Isu terhadap Pasangan

Arin-Benyamin di Twitter pada 27 Agustus - 5 Desember 2015 ...

87

Tabel 4.3. Interview Perihal Isu Korupsi dengan Tim

Koordinator Counter Issue ... 95 Tabel 4.4. Interview Perihal Isu Ekonomi dan Kesejahteraan

dengan Tim Koordinator Counter Issue ... 98 Tabel 4.5. Interview Perihal Isu Pembangunan Infrastruktur,

Kesehatan, dan Lingkungan dengan Tim Koordinator

Counter Issue ... 101 Tabel 4.6. Teknik Propaganda dan Counter Issue

Airin-Benyamin di Facebook pada 27 Agustus - 5 Desember

2015 ... 110 Tabel 4.7. Teknik Propaganda dan Counter Issue

Airin-Benyamin di Twitter pada 27 Agustus - 5 Desember


(12)

viii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Model Pemilihan Kepala Daerah Langsung di

Indonesia ... 45

DAFTAR DIAGRAM Diagram 4.1. Persentase Kemunculan Isu terhadap Pasangan Airin-Benyamin di Facebook pada 27 Agustus - 5 Desember 2015 ... 86

Diagram 4.2. Persentase Kemunculan Isu terhadap Pasangan Airin-Benyamin di Twitter pada 27 Agustus - 5 Desember 2015 ... 89

Indonesia ... 75

Gambar 4.8. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 - 2014 ... 99

Gambar 4.9. Pengambaran Sosok yang Sukses ... 105

Gambar 4.10. Pengambaran Sosok yang Berprestasi ... 106


(13)

1 A. Latar Belakang

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tangerang Selatan (Tangsel) 2015 telah berlangsung pada 9 Desember lalu dan terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota yang baru. Tidak bisa dipungkiri bahwa Pilkada kemarin berjalan sangat menarik dan persaingan ketiga pasangan calon (paslon) begitu ketat. Tim Koordinator

Counter Issue dan Tim Media Center dari masing-masing paslon berjuang keras

untuk memanfaatkan sektor-sektor media, baik dari media massa lama maupun dari media massa baru demi meraih vote getter.

Jika melihat dan mendengar gaya-gaya kampanye di media massa lama untuk meraih suara tentunya sudah biasa. Yang jarang dan mungkin belum terlalu banyak diketahui, yakni mengenai penyebaran isu-isu negatif yang terdapat di media baru

(Facebook dan Twitter). Seperti contoh, permasalahan pendidikan rendah dan

kemiskinan. Di Twitter, Tim Media dari Iksan Modjo-Li Claudia mengklaim bahwa dua hal tersebut menjadi masalah yang belum terselesaikan. Tidak setuju dengan pendapat tersebut, Tim Media Airin-Benyamin segera melakukan counter issue dengan mengatakan bahwa persoalan pendidikan rendah dan kemiskinan sudah berkurang.

Pertarungan tersebut merupakan teknik propaganda bandwagon, karena Tim Media lawan menggemborkan kelemahan Benyamin dan Tim Media Airin-Benyamin menggemborkan kesuksesannya, serta masih banyak lagi unsur propaganda yang terdapat di Twitter saat Pilkada Tangsel 2015 kemarin. Setelah


(14)

lebih dari 11 tahun UU No. 32 Tahun 2004 berlaku, selama pelaksanaan Pilkada begitu banyak kampanye negatif yang terjadi di Indonesia. Khususnya Pilkada di daerah otonom, yakni Kota Tangsel. Kota Tangsel telah melaksanakan dua kali Pilkada langsung, yaitu tahun 2010 dan 2015. Pada Pemilukada Tangsel 2010, terdapat empat paslon Kepala Daerah, termasuk pasangan nomor urut tiga yaitu Arsid-Andre Taulany, dan dimenangkan oleh pasangan nomor urut empat yaitu Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie (AMIN).

Sedangkan, pada Pilkada Tangsel 2015 terdapat tiga paslon, pasangan Airin-Benyamin kembali maju, Arsid pun kembali maju tetapi dengan menggandeng Elvier Ariadiannie. Walau pada akhirnya, Pilkada Tangsel 2015 dimenangkan oleh pasangan Airin-Benyamin yang didukung oleh koalisi Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Kandidat petahana (incumbent) memiliki peluang lebih besar dibanding dengan kandidat lainnya. Namun, di sisi lain pasangan Airin-Benyamin ini sempat diterpa isu-isu negatif. Bahkan, pelaksanaan Pemilukada Tangsel 2010 sewaktu itu sempat diulang, karena Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan adanya bukti kecurangan pengerahan birokrasi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh pasangan Airin-Benyamin.

Selain itu, pada acara Debat Kandidat dengan tema Menuju Tangsel Keberadaban yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi swasta. Pasangan nomor urut satu (Ikhsan-Li Claudia) dan pasangan nomor urut dua (Arsid-Elvier)


(15)

cenderung lebih sering menyerang pasangan nomor urut tiga (Airin-Benyamin) dengan isu korupsi dan rezim dinastinya. Isu-isu negatif yang menerpa kandidat

incumbent ini sebenarnya ada keuntungan tersendiri terhadap kandidat lawan yang

mengusung visi anti korupsi, tetapi di sisi lain ini adalah serangan terhadap Airin-Benyamin yang mungkin saja dapat menggerus pendukung Airin-Airin-Benyamin. Jika dihubungkan dengan teknik propaganda, pernyataan yang dilontarkan oleh kandidat lawan mengandung dua teknik sekaligus, yaitu name calling dan testimonials.

Dari hal tersebut, wajar memang adanya jika pelaksanaan Pilkada diwarnai oleh kampanye negatif (negative campaign). Walaupun tidak etis melakukan kampanye negatif, tetapi memang tidak bisa dipungkuri dalam prosesnya tentunya banyak kepentingan-kepentingan politik yang turut andil, secara langsung ataupun tidak langsung itu akan memengaruhi proses pemilihan dan kualitas output yang dihasilkan.

Umumnya pada ajang kampanye politik, masing-masing kandidat tidak hanya disibukkan membentuk citra positif dirinya sendiri, tetapi juga melempar isu negatif kepada kandidat lawannya guna membentuk citra negatif. Kampanye negatif ini ada yang dilakukan secara terbuka, tetapi ada juga yang dilakukan secara sembunyi, misalnya melalui selebaran isu-isu di media massa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, baik media cetak ataupun media elektronik, dan yang terkini di era digital melalui media baru (new media).

The American Heritage Dictionary of The English Language mendefinisikan


(16)

indicating or expressing a contradiction, denial, or refusal”, a statement or act

that is highly critical of another or of others.1

Artinya, kampanye negatif berisi sebuah pernyataan atau tindakan yang menunjukkan atau mengekspresikan kontradiksi, penyangkalan, atau penolakan, pernyataan atau tindakan yang sangat kritis terhadap yang lain atau orang lain. Semua itu tujuannya untuk menguasai opini publik. Menguasai opini publik dianggap penting, selain untuk tujuan popularitas, elektabilitas, dan politik pencitraan (bisa baik atau buruk, sesuai perencanaan), penguasaan opini publik dapat dijadikan alasan, alat atau bahkan mandat rasional untuk melakukan tindakan politik tertentu sejalan dengan opini yang telah tercipta.

Berdampingan dengan kampanye, propaganda sekarang merupakan bagian politik rutin yang normal dan dianggap dapat diterima, serta tidak hanya terbatas pada pesan-pesan yang dibuat selama perayaan politik, kampanye, krisis atau perang. Tujuan propaganda adalah membelenggu rakyat dengan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan.2

Peneliti memilih judul penelitian ini, karena terdapat fenomena menarik dalam proses Pilkada Tangsel 2015, menurut peneliti Pilkada Tangsel tersebut mampu menarik perhatian semua kalangan baik muda ataupun tua. Menariknya lagi adalah kehebohan Pilkada Tangsel ini tidak hanya terdapat pada ruang publik dan media massa lama (mainstream), tetapi juga di dalam media massa baru, khususnya media sosial (social media) yaitu Facebook dan Twitter. Alasan mengapa peneliti memilih

1Cleveland Ferguson, “The Politics of Ethics and Elections”, diakses dari

http://www.law.fsu.edu/journals/lawreview/frames/242/fergram/html pada 2 Maret 2016, pukul 21:20 WIB.

2 Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. Ke-1, h. 112.


(17)

Facebook dan Twitter, karena kedua media sosial tersebut merupakan jenis jejaring sosial yang sedang hype sampai saat ini serta penggunanya adalah kalangan menengah yang notabenenya familiar dengan media sosial. Selain itu, menurut peneliti pada Facebook dan Twitter terdapat seni retorika, hal itu makin terlihat jelas pada Twitter yaitu bagaimana dengan 140karakter huruf dapat terbentuk tweet yang singkat, padat, jelas, dan dapat menarik publik.

Penelitian ini untuk melihat propaganda politik yang dilakukan oleh Tim Media kandidat incumbent, yakni Airin-Benyamin. Tidak hanya dari sudut kalkulasi komunikasi politiknya, tetapi juga aspek strategi counter issue di media sosial yang merupakan bagian penting dari proses Pilkada tersebut. Seperti yang disebutkan sebelumnya, isu korupsi dan rezim dinasti ini menyebabkan elektabilitas pasangan Airin-Benyamin sempat menurun, seperti yang diungkap oleh Ade Yunus selaku Direktur Lembaga Kajian dan Analisa Daerah Terpadu (LKADT), bahwa sebelum Airin diterpa isu korupsi dan rezim dinasti tingkat elektabilitasnya adalah 41 persen, sedangkan setelah diterpa isu tingkat elektabilitas menurun menjadi 37,17 persen.3

Isu negatif tentu sangat tidak menguntungkan bagi pasangan Airin-Benyamin. Jika hanya dilihat dari tingkat elektabilitas yang turun, mungkin beberapa orang berpendapat bahwa pasangan incumbent ini tidak memiliki cukup peluang untuk memenangkan Pilkada kali ini. Tetapi justru hasil perhitungan cepat (quick count) menunjukkan kondisi yang kontradiktif. Pernyataan dari lembaga polling Charta

3 Joniansyah Hardjono, “Isu Korupsi Gerus Elektabilitas Airin, tapi Tetap Teatas”, diakses dari haji.tempo.co pada 8 Juni 2016, pukul 23:42 WIB.


(18)

Politika yang menyatakan kandidat petahana menang dengan perolehan suara sementara sebesar 60,2 persen.4

Selain hasil perhitungan cepat, berdasarkan hasil real count oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangsel pada 22 Januari 2016, penetapan ini sehari setelah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia pada 21 Januari 2016. KPU Kota Tangsel memutuskan nama paslon yang terpilih sebagai Walikota dan Wakil Walikota periode 2016 - 2021 pada Pilkada Tangsel 2015 adalah paslon nomor urut tiga, yakni Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie, dengan perolehan suara 305.322 atau presentase suara sah 59,62 persen. Sedangkan, kandidat lawan paslon nomor satu Ikhsan Modjo-Li Claudia memperoleh suara 42.074 atau 8,21 persen, dan paslon nomor urut dua Arsid-Elvier memperoleh suara 164.732 atau 32,17 persen.5

Kemenangan pasangan ini juga menjadi alasan peneliti untuk meneliti, karena telah kedua kalinya pasangan Airin-Benyamin menang dalam Pilkada Tangsel. Selain merupakan pasangan petahana, pada saat yang bersamaan isu korupsi dan rezim dinasti yang memanas sewaktu Pilkada Tangsel sempat membawa pengaruh citra negatif, hal ini juga menjadi daya tarik tersendiri dalam penelitian ini. Proses penangkalan isu yang dilakukan oleh Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin ini dapat diteliti dalam perspektif komunikasi politik.

Pasangan Airin-Benyamin memanfaatkan media baru sebagai peluang utama mendapatkan pemilih yang potensial. Namun di sisi lain, mereka menyisipkan

4 Deny Irawan, “Hasil Quick Count di Tangsel Unggulkan Airin”, Charta Politika, diakses dari http://metro.sindonews.com/ pada 22 Desember 2015, pukul 13:27 WIB.

5KPUD Kota Tangerang Selatan, “Penetapan Hasil Suara di Kota Tangerang Selatan”, diakses darihttp://www.kpud.go.id pada 2 Maret 2016, pukul 11:30 WIB.


(19)

kesan propaganda dalam media baru ketika kampanye. Dalam studi kasus Pilkada ini yang menggunakan media baru adalah para juru kampanye profesional. Mereka ini yang berperan aktif merespon setiap isu negatif yang berkembang di masyarakat. Ketika isu negatif muncul terhadap kandidatnya, maka Tim Suksesnya akan langsung memutarbalikkan fakta dengan menggunakan data yang akurat ataupun tidak akurat kepada Tim Sukses lawan.

Namun, mengapa isu yang diangkat oleh para kandidat berkesan tidak akurat dan hanya untuk memanipulasi pikiran khalayak? Apakah hal itu menjadi strategi politikus demi memperoleh suara dalam Pilkada? Strategi apa yang akan digunakan mereka ketika kampanye pada media baru berlangsung? Hal-hal tersebut yang membuat peneliti memberi judul skripsi “Strategi Counter Issue Pasangan Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie dalam Pemilihan Kepala Daerah Tangerang Selatan 2015 di Media Sosial”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Dari banyaknya masalah yang bisa diteliti dan mengacu pada latar belakang di atas, maka peneliti membatasi penelitian ini yaitu:

a. Penelitian ini dilakukan pada media sosial, yaitu Facebook dan Twitter.

b. Timeline yang diteliti terhitung dari tanggal 27 Agustus - 5 Desember

2015, karena pada periode tersebut adalah rentang waktu masa kampanye Pilkada Tangsel 2015, dan di mana merupakan waktu yang


(20)

dianggap krusial untuk membangun isu politik bagi ketiga kandidat Pilkada.

c. Pada Facebook, postingan yang diteliti adalah postingan dari akun resminya pasangan Ikhsan-Li Claudia (IkhsanLiClaudia), Arsid-Elvier (Arsid-Arsid-Elvier untuk Tangerang Selatan), dan Airin-Benyamin (Airin-Benyamin). Begitupun, pada Twitter, tweet yang diteliti adalah

tweet dari akun resminya pasangan Ikhsan-Li Claudia

(@IkhsanLiClaudia), Arsid-Elvier (@arsid_kita), dan Airin-Benyamin (@airin_benyamin).

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat rumusan permasalahan yang diangkat dari objek penelitian. Maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin memanfaatkan media Facebook dan Twitter pada Pilkada Tangsel 2015?

b. Isu-isu apa saja yang berkembang di Facebook dan Twitter yang dianggap menyerang pasangan Airin-Benyamin pada Pilkada Tangsel 2015?

c. Bagaimana strategi counter issue yang dilakukan Tim Koordinator


(21)

isu-isu negatif yang berkembang di Facebook dan Twitter pada Pilkada Tangsel 2015?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menggambarkan dan menjelaskan pemanfaatan media sosial

(Facebook dan Twitter) yang dilakukan oleh Tim Koordinator

Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin pada Pilkada Tangsel

2015.

b. Untuk menggambarkan dan menjelaskan terkait isu-isu apa saja yang berkembang di Facebook dan Twitter yang dianggap menyerang pasangan Airin-Benyamin pada Pilkada Tangsel 2015.

c. Untuk menggambarkan dan menjelaskan strategi counter issue yang dilakukan oleh Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin dalam menanggapi isu negatif yang berkembang di

Facebook dan Twitter pada Pilkada Tangsel 2015.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terbagi menjadi manfaat akademis, manfaat praktis, dan manfaat sosial. Adapun penguraian dari ketiga manfaat tersebut adalah sebagai berikut:


(22)

Penelitian ini diharapkan memberi sumbangan penelitian guna memperkaya kajian Ilmu Komunikasi, khususnya komunikasi politik hubungannya dengan pemanfaatan media sosial, yaitu Facebook dan

Twitter.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang praktik propaganda di media sosial Facebook dan Twitter. Dan menjadi data awal untuk penelitian sejenis bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mengkaji komunikasi politik di media sosial.

c. Manfaat Sosial

Tulisan ini diharapkan mampu menjelaskan strategi counter issue yang dilakukan oleh Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin kepada lapisan sosial lainnya, serta menjadi masukkan untuk konsultan komunikasi politik dan para politisi terkait penggunaan media sosial.

D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.6 Metode ini

6 Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi), (Bandung: Rosdakarya, 2005), Cet. Ke-11, h. 4.


(23)

digunakan, karena data yang dibutuhkan berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasikan.

Berdasarkan tema yang dibahas, pendekatan penelitian ini menggunakan studi kasus. Studi kasus adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam, terhadap suatu organisasi, lembaga atau masyarakat mengenai gejala-gejala tertentu.7 Jenis studi kasus dalam penelitian ini adalah studi kasus intrinsik (intrinsic case study). Jenis ini digunakan oleh peneliti yang ingin lebih memahami sebuah kasus tertentu. Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu, namun karena, dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya, kasus itu sendiri menarik minat.8

Hal terpenting bagi seorang peneliti kualitatif yang menggunakan pendekatan studi kasus adalah sebagai berikut:

a. Membingkai kasus dan mengonseptualisasikan objek penelitian. b. Memilih fenomena (gejala), menentukan tema-tema atau isu-isu yang

menjadi fokus pertanyaan riset.

c. Melacak pola-pola data untuk memperkaya isu-isu dalam penelitian. d. Menghadirkan beberapa alternatif penafsiran.

e. Merumuskan pernyataan sikap atau generalisasi tentang kasus.9

7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rinekha Cipta, 2002), h. 14.

8 Robert E. Stake, “Studi Kasus”, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (Ed),

Handbook of Qualitative Reasearch, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 301. 9 Robert E. Stake, “Studi Kasus”, h. 313.


(24)

Paradigma merupakan perspektif peneliti yang digunakan untuk mempelajari fenomena dan menginterpretasikan temuan.10 Paradigma yang

digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme, paradigma ini juga sering disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Alasan menggunakan paradigma konstruksionis, karena peneliti ingin menemukan bagaimana peristiwa Pilkada ini dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah pasangan petahana Airin-Benyamin. Adapun yang menjadi objek penelitian adalah

postingan di Facebook dan kultwit di Twitter yang menjadi strategi counter

issue oleh pasangan Airin-Benyamin dalam Pilkada Tangsel 2015.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.11 Adapun teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan metode yang bersumber pada penelitian lapangan (field

research)yaitu sebagai berikut:

a. Data primer didapat dari hasil pengamatan kegiatan kampanye politik pasangan petahana, dan wawancara yang dilakukan peneliti kepada Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin

10 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara 2013), h. 25.

11 Ridwan, Statistika Untuk Lembaga dan Instansi Pemerintah/Swasta, (Bandung: Alfabeta, 2004),h. 138.


(25)

mengenai strategi penangkalan isu-isu negatif di Facebook dan

Twitter dalam Pilkada Tangsel 2015.

1) Observasi

Observasi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mnegadakan pengamatan terhadap objek.12 Pengumpulan data dengan observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan indera mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.13 Dalam observasi ini, peneliti mengikuti timeline Facebook dan Twitter dari akun resmi ketiga paslon pada Pilkada Tangsel 2015.

2) Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari orang lain dengan mengajukan pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.14 Teknik yang digunakan dalam wawancara adalah dengan wawancara terstruktur yaitu wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.15 Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin.

12 Muhammad Ali, Strategi Penelitian Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 72. 13 Moh. Nadzir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indah, 2005), Cet. Ke-4, h. 193-194. 14 Dedi Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 120.


(26)

b. Data sekunder merupakan data tambahan yang berkaitan dengan topik penelitian yang didapatkan melalui studi dokumen yang relevan dengan fokus penelitian. Seperti notulen rapat, dan foto-foto kegiatan kampanye dari Tim Sukses pasangan Airin-Benyamin, termasuk pemberitaan yang dilakukan oleh Tim Media Center di media sosial dapat digunakan sebagai data tambahan untuk memperkaya substansi penulisan skripsi.

1) Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari catatan-catatan mengenai data pribadi responden.16 Dalam hal ini peneliti mengumpulkan data-data yang diperoleh dari Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media Airin-Benyamin, serta foto-foto yang berkaitan dengan penelitian, dan hasil rekaman dengan narasumber.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif deskriptif.17 Analisis deskriptif adalah untuk menjawab ketiga rumusan masalah tentang strategi counter issue pasangan Airin-Benyamin dalam Pilkada Tangsel 2015 di media sosial. Semua data yang telah didapat kemudian diolah melalui tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian

16 Abdurrahman Fatoni, Metodologi Penelitian dan Tehnik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: PT. Rinekha Cipta, 2006), h. 112.

17 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif: Research and Development, (Bandung: Alfabeta, 2007), Cet. Ke-3, h. 8-9.


(27)

data dan penarikan kesimpulan. Analisis data disebut juga pengolahan dan penafsiran data.18

E. Tinjauan Pustaka

Setelah peneliti melihat dan mencari judul skripsi yang ada di perpustakaan utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, peneliti menemukan ada beberapa skripsi yang membahas tentang komunikasi politik. Namun yang diteliti mahasiswa sebelumnya sangat berbeda dengan yang diteliti oleh peneliti. Oleh karena itu, untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menjiplak karya orang lain, maka peneliti mempertega perbedaan antara masing-masing judul, isi, maupun kontennya.

1. Skripsi yang pertama berjudul Strategi Komunikasi dalam Pembentukan Opini Publik Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu Legislatif

2009. Oleh Yuswita Lailah, mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran

Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuswita ini berisikan tentang strategi DPP PPP dalam pembentukan opini publik pada Pemilu Legislatif dan program pembangunan citra PPP pada Pemilu Legislatif 2009. Persamaan dengan permasalahan yang penulis teliti adalah kajian ilmunya

18 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 104.


(28)

yaitu komunikasi politik, sedangkan perbedaannya adalah pada subjek penelitiannya. Jika Yuswita mengambil PPP, maka penulis meneliti pasangan Airin-Benyamin. Perbedaan berikutnya pada objek penelitiannya, jika Yuswita meneliti strategi komunikasi dalam pembentukan opini, sedangkan penulis meneliti tentang strategi penangkalan isu negatifnya.

2. Skripsi yang kedua berjudul Komunikasi Politik Pasangan Hj. Airin Rachmi Diany-Drs. H. Benyamin Davnie dalam Pilkada Tangsel Tahun

2011. Oleh Amalia, Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Amalia ini bertujuan untuk mengetahui strategi komunikasi politik pasangan Airin-Benyamin untuk memenangkan Pilkada Tangsel 2011 melalui media lini atas (above the line) dan media lini bawah (below the line), danpenelitian sebelumnya itu menggunakan teknik analisis data model kampanye Ostergaard. Perbedaan dari penelitian tersebut terletak pada objek, jika Amalia melalui media lini atas dan bawah, maka penulis melalui postingan di Facebook dan tweetan

di Twitter yang menjadi strategi counter issue oleh pasangan

Airin-Benyamin pada Pilkada Tangsel 2015. Perbedaan yang lain juga terletak pada teknik analisis data yang digunakan, peneliti menggunakan propaganda sebagai analisis datanya.


(29)

3. Skripsi yang ketiga berjudul Teknik-Teknik Propaganda di Twitter Pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara pada Pemilukada DKI Jakarta.

Oleh Ryan Rifqi Nugroho, Mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Program Non Reguler Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ryan ini bertujuan untuk mengetahui teknik-teknik propaganda yang digunakan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara di Twitter dalam Pemilukada DKI putaran kedua. Persamaan dengan permasalahan yang peneliti teliti adalah kajian ilmunya yaitu komunikasi politik, sedangkan perbedaannya adalah pada subjek penelitiannya, jika Ryan mengambil Jokowi-Ahok dan Foke-Nara maka penulis meneliti Tim Koordinator Counter Issue dan Tim Media pasangan Airin-Benyamin. Perbedaan berikutnya pada objek penelitiannya, jika Ryan meneliti tentang teknik-teknik propaganda maka penulis meneliti tentang strategi counter issue yang menggunakan propaganda sebagai teknik analisis datanya.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam lima bab, setiap bab dirinci ke dalam sub-sub sebagai berikut:


(30)

Bab ini memaparkan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

Bab II: Kerangka Teori

Bab ini menguraikan pengertian strategi penangkalan isu (counter issue) dan pengertian propaganda. Kemudian menjelaskan tentang pengertian media baru dan pembahasan mengenai Facebook dan Twitter. Pembahasan tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung. Terakhir, pembahasan Islam tentang peraturan dan adab antar orang beriman.

Bab III: Gambaran Umum

Bab ini membahas tentang profil pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Tangsel periode 2016-2021, latar belakang pencalonannya, visi, misi, dan program, serta membahas profil Kota Tangerang Selatan.

Bab IV: Temuan dan Analisis Data

Bab ini berisikan analisis efektivitas pemanfaatan media sosial Lalu, isu-isu negatif yang berkembang seputar masa kampanye Pilkada Tangsel 2015. Serta, berisikan temuan dan analisis data tentang startegi counter issue pasangan Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie yang dilakukan oleh Tim Koordinator Counter

Issue dan Tim Medianya.

Bab V: Penutup

Bab ini mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan dan mengajukan saran atau rekomendasi sebagai implikasi teoritis maupun praktis dalam penelitian ini.


(31)

19

A. Counter Issue

Penetapan strategi merupakan langkah krusial yang memerlukan penanganan secara hati-hati dalam kampanye, sebab jika penetapan strategi salah atau keliru maka hasil yang diperoleh bisa fatal. Strategi berarti bagaimana perencanaan dan pengelolaan kegiatan untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dalam politik lebih kepada memperoleh dukungan.1 Jika dikaitkan dengan penangkalan isu, berarti strategi penangkalan isu merujuk pada usaha-usaha persuasif dengan tujuan mengontrol opini, baik untuk membentuk dan atau membina opini publik dalam mencapai tujuan politik (strategis atau taktis) dengan pesan-pesan khas yang disampaikan tanpa merasa dipaksa atau merasa terpaksa.

Dari penyusunan pesan-pesan dan penyebarluasan pesan kepada khalayak sasaran untuk mengubah sikap (pikiran, perasaan, dan tindakan) sebagaimana yang dikehendaki oleh komunikator bila diperhatikan merupakan proses sosialisasi politik sehingga sampai kepada partisipasi politik, dimana keseluruhan proses tersebut adalah bagian dari propaganda.2 Misalnya, propaganda yang sering muncul dalam masa kampanye politik adalah desas-desus dalam bentuk isu. Teknik propaganda yang dilakukan adalah dengan cara pengalihan pada objek (isu) lain.

1 Antar Venus, Manajemen Kampanye, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), Cet. Ke-3, h. 26.

2 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013),Cet. Ke-1, h. 75.


(32)

Dalam masa kampanye biasanya isu muncul dan menjalar dengan sangat cepat. Isu muncul karena selain ketidakadaan informasi, juga dilancarkan oleh kandidat lawan (challenger) untuk membangun atau bahkan menjatuhkan citra (image

oriented). Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ini, persebaran isu

mengarah pada kecenderungan untuk saling menjatuhkan citra kandidat Pilkada. Karena biasanya persebaran isu memiliki kekuatan destruktif. Isu sering disamakan dengan torpedo yang meluncur tanpa halangan dan menyebar kemana-mana dengan kekuatannya sendiri. Karena itu pula, tidak mudah untuk melakukan aksi-tandingan

(counter action) jika suatu isu telah tersebar luas, terlebih jika isu yang tersebar itu

adalah isu negatif.

Menurut Knap dalam Achmad (1990) desas-desus atau isu adalah suatu proposisi terhadap kepercayaan mengenai rujukan yang bersifat pembicaraan ramai yang tersiar tanpa pembuktian resmi. Desas-desus memiliki tiga sifat dasar, yakni (1) mempunyai pola penyebaran yang jelas, yakni dari mulut ke mulut sehingga mudah mengalami distorsi yang berubah-ubah; (2) informasi yang disebarluaskan mengenai orang tertentu, kejadian tertentu dalam kondisi tertentu; (3) memenuhi kebutuhan informasi yang bisa menimbulkan kecemasan jika desas-desus bersifat ketakutan, tetapi menjadi humor jika orang atau sasaran desas-desus jadi bulan-bulanan.3

Sebuah isu bisa berhasil jika pesan yang disebarkan singkat, sederhana dan menonjol, sebaliknya suatu isu sangat mudah bergeser jika makin jauh dari fakta

3 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014), Cet. Ke-4, h. 273-274.


(33)

yang diketahui, dan mengalami pemutarbalikkan dari keadaan yang sebenarnya. Sifat informasi non-formal seperti ini akan ‘memakan korban’ yang lebih banyak jika tidak cepat diluruskan. Untuk itu, jalan yang dapat ditempuh adalah ‘keterbukaan informasi’ dengan menggunakan media massa seperti surat kabar dan media elektronik. Tetapi jika hal ini tidak bisa dilakukan maka dapat ditempuh dengan cara rapat pertemuan (meeting)untuk mengklarifikasi isu atau desas-desus yang beredar tersebut. Terkini klarifikasi isu bisa melalui media baru, salah satunya adalah melalui media sosial.

Moloney (2006), bahkan menyebut political persuation sebagai weak

propaganda dalam menunjukkan kepentingan memengaruhi pihak lain. Selain

diidentikan dengan propaganda, pendekatan ini juga berakar dari tradisi retorika. Selain diidentikkan dengan propaganda, pendekatan ini juga berakar dari tradisi retorika.4 Harold Lasswell (1930) memberikan definisi propaganda dalam arti yang paling luas adalah teknik memengaruhi tindakan manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bisa berbentuk lisan, tulisan, gambar atau musik, sehingga periklanan dan publisitas masuk dalam wilayah propaganda.5 Oleh sebab itu, dalam bab dua ini perlu juga dibahas mengenai pengertian propaganda, jenis-jenis propaganda, dan teknik-teknik propaganda.

4 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar…, h. 119.

5 Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi, dan


(34)

B. Propaganda

1. Pengertian Propaganda

Menurut Dan Nimmo, ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni propaganda, periklanan, dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan (purposive), disengaja (intentional),dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik antara orang-orang semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi, kepercayaan, nilai, dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan yang membedakan satu dengan lainnya. Salah satu definisi persuasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ajakan dengan cara memberikan alasan dan prospek baik dengan tujuan untuk meyakinkan khalayak.

Menurut Jacques Ellul dalam Dan Nimmo, propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu masyarakat, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.6

Harrold D. Lasswell mendefinisikan propaganda dengan formulasi,

“Propaganda semata merujuk pada kontrol opini, dengan simbol-simbol

penting, atau berbicara lebih konkrit dan kurang akurat melalui cerita, rumor, berita, gambar, atau bentuk-bentuk komunikasi sosial lainnya”. Kemudian Lasswell memberikan definisi yang agak berbeda dengan definisi sebelumnya

6 Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet. Ke-1, h. 110-111.


(35)

yaitu, “Propaganda dalam arti luas adalah teknik memengaruhi tindakan manusia dengan memanipulasi representasi (penyajian). Representasi bias berbentuk lisan, tulisan, gambar, atau musik, sehingga periklanan dan publisitas ada di dalam wilayah propaganda”. Lasswell melihat propaganda membawa masyarakat dalam situasi kebingungan, ragu-ragu dan terpaku pada sesuatu yang licik yang tampaknya menipu dan menjatuhkan mereka. Propaganda diartikan sebagai proses disemasi informasi untuk memengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok masyarakat dengan motif indoktrinasi ideologi.7

Herbert Blummer (1969) mengemukakan bahwa propaganda dapat dianggap sebagai suatu kampanye politik yang dengan sengaja mengajak dan membimbing untuk memengaruhi, membujuk atau merayu banyak orang guna menerima suatu pandangan, ideologi atau nilai.8 Qualter mengatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha yang dilakukan secara sengaja oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari kelompok-kelompok lain dengan menggunakan media komunikasi dengan tujuan bahwa pada setiap situasi yang tersedia, reaksi mereka yang dipengaruhi akan seperti yang diinginkan oleh propagandis.9

Pakar psikologis Roger Brown dalam Saverin dan Tankard menyatakan bahwa usaha-usaha persuasif adalah propaganda, jika bermanfaat bagi yang

7 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Ke-3, h. 270.

8 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar…,h. 76.

9 Nurudin, Komunikasi Propaganda, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. Ke-3, h. 9.


(36)

melakukan dan merugikan bagi yang menerima. Sementara di Indonesia, istilah propaganda antara lain diartikan sebagai penyampaian pesan benar atau salah dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap atau arah suatu tindakan tertentu yang biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk.10

Propaganda sekarang merupakan bagian politik rutin yang normal dan dapat diterima, dan tidak hanya terbatas pada pesan-pesan yang dibuat selama perayaan politik atau kampanye. Penggunaan propaganda sebagai senjata persuasi bukan barang baru dalam komunikasi, sebab kegiatan propaganda sudah ada sejak manusia ada di bumi ini, meskipun istilah propaganda baru dikenal pada pertengahan abad ke-17 ketika gereja mulai mempraktikkan penyebaran agama Kristen. Pada waktu itu, Menteri Propaganda Jerman Dr. Joseph Gobbels mengatakan bahwa “propaganda tidak mengenal aturan dan etika. Tujuannya ialah membelenggu rakyat dengan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Doktrin politik Machiavelli yang mengabaikan relevansi moral, di mana ketidakjujuran dibenarkan dalam mencari dan mempertahankan kekuatan politik.11

Namun, Edward Barnays justru melihat propaganda bukan sebuah usaha yang patut dicela dalam meracuni pikiran orang dengan penuh kebohongan, melainkan lebih dari itu yakni suatu usaha yang terkelola untuk

10 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi…,h. 270. 11 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi…,h. 270-271.


(37)

menyebarluaskan sesuatu untuk mendapat kepercayaan atau opini. Propaganda menurut Barnays sangat dibutuhkan bagi peradaban umat manusia.12

Seperti yang dikutip Arifin bahwa peran Gobbles dalam melakukan propaganda dinamakan propagandis politik. Pada umumnya, propagandis politik adalah politikus atau aktivis politik yang memiliki kemampuan dalam melakukan kegiatan propaganda, dan mampu merayu atau membujuk publik dalam upaya membangun citra dan membentuk opini publik yang positif dengan cara menjangkau khalayak yang lebih besar. Hal ini berarti propaganda politik mampu merayu opini publik sehingga sampai sekarang masih sering digunakan oleh para politikus, meskipun bertentangan dengan moralitas, nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.

2. Jenis-Jenis Propaganda

Untuk mencapai sasaran dan tujuannya, seorang juru kampanye perlu mengetahui tipe atau bentuk propaganda, yakni propaganda putih, ialah propaganda yang menyebarkan informasi ideologi dengan menyebut sumbernya. Propaganda kelabu, ialah propaganda yang dilakukan oleh kelompok yang tidak jelas. Biasanya ditujukan untuk mengacaukan pikiran orang lain, seperti adu domba, intrik, dan gosip. Propaganda hitam, ialah propaganda yang menyebarkan informasi palsu untuk menjatuhkan moral lawan. Tidak mengenal etika dan cenderung berpikir sepihak. 13

12 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi…,h. 271. 13 Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi…,h. 271-272.


(38)

Lalu, ada pula beberapa jenis propaganda yang dikemukakan beberapa pengamat. Sehubungan dengan cara yang dilakukannya atas isi pesan, ada

propaganda tersembunyi dan propaganda terbuka (Dobb, 1966). Dalam

propaganda tersembunyi, propagandis menyembunyikan tujuan utamanya dalam kemasan suatu pesan lain. Sedangkan, propaganda terbuka adalah setiap kemasan pesan, cara dan perilakunya dikemukakan secara transparan tanpa dikemas dengan pesan lain.14

Selanjutnya, Jacquas Ellul (1965) membagi jenis propaganda menjadi

propaganda vertikal dan propaganda horizontal. Propaganda vertikal adalah

yang dilakukan oleh satu pihak kepada khalayak banyak dan biasanya mengandalkan media massa untuk menyebarkan pesan-pesannya. Sedangkan, propaganda horizontal adalah propaganda yang dilakukan seorang pemimpin suatu organisasi atau kelompok pada anggota organisasi atau kelompok itu melalui tatap muka atau komunikasi antar personal dan biasanya tidak mengandalkan media massa. Contoh yang kedua ini biasa digunakan partai politik dengan mengadakan silaturahmi, anjangsana, pengajian, temu kader, dan lain-lain.15

Ada pula jenis propaganda yang lainnya, seperti propaganda sosial dan

propaganda politik. Jenis propaganda sosial ini berlangsung secara

berangsur-angsur, sifatnya merembes, berkepanjangan. Hasilnya suatu konsepsi umum tentang tren life style masyarakat. Melalui propaganda ini, orang disuntik

14 Nurudin, Komunikasi Propaganda…,h. 38. 15 Nurudin, Komunikasi Propaganda…,h. 39.


(39)

dengan suatu cara hidup atau ideologi. Sedangkan, propaganda politik beroperasi melalui imbauan khas berjangka pendek, demi mencapai tujuan strategis atau taktis. Misalnya dalam jangka pendek partai politik bermaksud menaikkan legitimasinya sekaligus mendelegitimasi pihak lawan, maka partai tersebut membuat beragam bentuk propaganda yang dalam jangka pendek diharapkan berpengaruh secara langsung pada persepsi dan perilaku politik khalayak yang menjadi target.16

Ellul, menyatakan bahwa propaganda politik adalah kegiatan yang dilakukan pemerintah, partai politik dan kelompok kepentingan untuk membentuk dan membina opini publik dalam mencapai tujuan politik dengan pesan-pesan khas yang lebih berjangka pendek.17 Dengan begitu dapat ditarik kesimpulan bahwa propaganda politik dapat merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan secara terencana dan sistematik dengan menggunakan sugesti (mempermainkan emosi) untuk memengaruhi, membentuk, atau membina opini publik. Hal ini dilakukan dengan cara memengaruhi seseorang atau kelompok khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa), agar melaksanakan atau meganut suatu ide (ideologi, definisi sampai dengan sikap) dan atau kegiatan tertentu dengan kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa atau merasa terpaksa.18

16 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar…, h. 81-82 17 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar…, h. 82.

18 Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan, Strategi, dan


(40)

3. Teknik-Teknik Propaganda

Dalam praktik komunikasi politik, sejumlah teknik propaganda kerapkali digunakan bahkan diandalkan dalam upaya mengubah cara pandang. Adapun teknik-teknik dalam propaganda adalah sebagai berikut:19

1. Name calling, adalah propaganda dengan memberikan sebuah ide atau

label yang buruk. Cara ini biasanya digunakan untuk menjatuhkan atau menurunkan citra kandidat politik dengan menggunakan sebutan-sebutan yang buruk pada lawan yang dituju.

2. Glittering Generalities, adalah menggunakan ‘kata bijak’ untuk

melukiskan sesuatu agar mendapat dukungan tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Teknik ini digunakan untuk menonjolkan propagandis dengan menyanjung dirinya sendiri.

3. Transfer, teknik ini bisa digunakan dengan memakai pengaruh

seorang figur atau tokoh yang paling dikagumi dan berwibawa dalam lingkungan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar komunikan terpengaruh secara psikologis terhadap apa yang sedang dipropagandakan.

4. Testimonials, dalam teknik ini digunakan nama seseorang terkemuka

yang mempunyai otoritas dan pretise sosial tinggi di dalam menyodorkan dan meyakinkan sesuatu hal dengan jalan menyatakan bahwa hal tersebut didukung oleh orang-orang terkemuka tadi.


(41)

5. Plain folks, semacam imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Sifat ‘merakyat’ sering dimunculkan dalam teknik propaganda ini.

6. Card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak

akurat, logis dan tidak logis, dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Teknik ini hanya menonjolkan segi positifnya saja, sehingga publik hanya melihat satu sisi saja.

7. Bandwagon technique, usaha untuk meyakinkan khalayak agar

gagasan besarnya bisa diterima dan banyak orang akan turut serta ke dalam gagasan tersebut. Teknik ini dengan menggembar-gemborkan prestasi sukses yang dicapai oleh seorang kandidat politik, suatu lembaga atau suatu organisasi.

8. Reputable mounthpiece, teknik yang dilakukan dengan

mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan. Teknik ini biasanya digunakan oleh seseorang yang menyanjung pemimpinnya tetapi tidak tulus.

9. Using all forms of persuations, teknik yang digunakan untuk

membujuk publik dengan rayuan, himbauan, dan ‘iming-iming’.

Teknik propaganda ini sering digunakan dalam kampanye.

4. Perbedaan Propaganda dengan Kampanye

Ada beberapa perbedaan mendasar antara kampanye dengan propaganda, meski kedua-duanya juga kerap bersinggungan dalam level praktis. Perbedaan tersebut mulai dari waktu, sifat gagasan, tujuan, modus penerimaan, modus


(42)

tindakan dan sifat kepentingan. Kalau aktivitas kampanye hampir selalu bisa diperdebatkan propaganda sebaliknya kerap berorientasi linear meski dalam praktiknya berinteraksi dengan banyak pihak. Jika kita memosisikan propaganda dalam gradasi intensitas komunikasi, maka propaganda masuk kategori komunikasi yang berupaya menyampaikan pesan kepada pihak lain, kemudian menjelaskan dan memersuasi khalayak agar mengikuti frame berpikir propagandis, serta kerap menyisipkan fakta dan non fakta secara bersamaan. Secara lebih jelas ada sejumlah faktor yang bisa kita komparasikan antara propaganda dengan kampanye. Perbedaan tersebut meliputi:

Tabel 2.1.

Perbedaan Kampanye dengan Propaganda20

ASPEK PEMBEDA KAMPANYE PROPAGANDA

Sumber Selalu jelas Cenderung samar-samar Waktu Terikat dan dibatasi

waktunya

Tak terikat waktu Sifat gagasan Terbuka dan diperdebatkan

khalayak

Tertutup dan dianggap sudah mutlak

Tujuan Tegas, spesifik, dan variatif. Umum dan ditunjukkan untuk mengubah sistem kepercayaan.

Modus penerimaan pesan

Kesukarelaan/ persuasi Tidak menekankan

kesukarelaan dan melibatkan paksaan/ koersif

Modus tindakan Diatur kode bertindak/ etika Tanpa aturan etis Sifat kepentingan Mempertimbangkan

kepentingan kedua belah pihak

Kepentingan sepihak

Dari tabel 2.1. di atas, nampak jelas bahwa dari aspek sumber kampanye biasanya sumbernya jelas atau ada yang bertanggungjawab atas aktivitas kampanye yang dilakukan, sementara propaganda seringnya samar-samar


(43)

bahkan terkadang tidak ketahuan siapa sumbernya.21 Dari sudut gagasan, kampanye biasanya terbuka untuk diperdebatkan karena terdokumentasikan dalam paparan janji-janji baik dalam teks pidato atau kampanye, skrip naskah iklan, talkshow televisi atau radio maupun pemberitaan di media massa.

Dari sudut modus penerimaan pesan, kampanye itu berlangsung penuh kesukaelaan, artinya khalayak diajak untuk mengikuti keinginan lembaga atau kandidat politik tanpa memaksanya. Sementara, propaganda sebaliknya tak menekankan pada kesukarelaan, bahkan kerapkali juga terjebak dengan paksaan atau koersif.

Terakhir, kalau kampanye memiliki kode etik yang disepakati dalam mengimplementasikan program-program atau janji-janji, sementara propaganda tanpa aturan etis. Dengan demikian kerapkali menyebabkan konflik dalam penyelenggaraan Pilkada. Sementara menyangkut sifat kepentingan, kampanye lebih mementingkan kedua belah pihak, sementara propaganda mementingkan sepihak yakni kepentingan propagandis.22

C. Media Baru (New Media)

Marshall McLuhan menyatakan bahwa media yang lebih lama (older media) sering kali menjadi isi dari media yang lebih baru. Karena media baru ini membawa konsep yang interaktif, penggunaan media baru yakni internet sebagai media atau

21 Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik…,h. 114-115. 22 Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik…,h. 116.


(44)

saluran komunikasi semakin intensif digunakan. Keterlibatan khalayak dalam media baru memberikan implikasi mengubah eksistensi media tradisional, otoritas sumber dalam memproduksi, memperoleh, dan mendistribusikan berita semata.23

Secara sederhana, Terry Flew (2002) mendefinisikan media baru sebagai perkembangan atau kemajuan teknologi media massa. Pemikiran dasar dari media baru itu sendiri adalah untuk menggabungkan keunikan dari digital media dengan pemakaian media tradisional untuk mengadopsi dan mengadaptasi teknologi media baru.24

Dilanjutkan definisi dari McQuail yang mengemukakan media baru adalah tempat dimana saluran pesan komunikasi terdesentralisasi; distribusi pesan lewat satelit meningkat penggunaan jaringan kabel dan komputer, keterlibatan audiens dalam proses komunikasi yang semakin meningkat; semakin seringnya terjadi komunikasi interaktif (dua sisi); dan juga meningkatnya derajat fleksibilitas untuk menentukan bentuk dan konten melalui digitalisasi dari pesan.25

Beranjak dari definisi, McQuail menyebutkan ciri utama media baru adalah adanya saling keterhubungan, aksesnya terhadap khalayak individu sebagai penerima maupun pengirim pesan, interaktivitasnya, kegunaan yang beragam sebagai karakter yang terbuka, dan sifatnya yang ada di mana-mana, serta merupakan media komunikasi massa dan pribadi.26

23 Nicholas W. Jankowski, Creating Community with Media, dalam Leah A. Liverouw dan Sonia Livingstone (Ed), The Handbook of New Media, (London: Sage Publications Ltd, 2006),page. 1.

24 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik: Sebuah Pengantar…,h. 162. 25 Nicholas W. Jankowski, Creating Community with Media…,page. 56.

26 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), Cet. Ke-6, h. 43.


(45)

Ciri-ciri media baru yang lainnya, yaitu pertama, pesan individual dapat dikirimkan ke sejumlah orang yang tak terbatas secara bersamaan. Kedua, setiap orang yang terlibat dalam suatu isi media dapat mengontrol timbal balik atas konten tersebut.27 Hadirnya media baru secara konsekuensi membuatnya berbeda dengan sistem media massa, proses komunikasi massa maupun massa audiens yang telah ada sebelumnya.

Setidaknya ada dua konsekuensi yang timbul dari hadirnya media, yaitu ubiquitas dan interaktivitas.28 Ubiquitas (ubiquity), menurut McLuhan adalah kenyataan bahwa teknologi yang dibawa oleh media baru memengaruhi setiap orang di masyarakat di mana mereka bertempat tinggal, walau tentunya tidak semua orang di tempat tersebut benar-benar menggunakan teknologi tersebut. Sedangkan interaktivitas (interactivity) bermakna hadirnya media baru membuat para penggunanya secara otonom dapat menyeleksi dari mana saja sumber informasi yang akan dipilih dan juga dengan siapa saja akan berinteraksi langsung. Bahkan pengguna media baru juga dapat membuat konten tersendiri untuk kemudian dibagikan ke khalayak sesama pengguna media baru.

Adapun perbedaan antara media lama dan media baru, yakni media baru mengabaikan batasan percetakan dan model penyiaran dengan memungkinkan terjadinya percakapan antar banyak pihak, memungkinkan penerimaan secara simultan, perubahan dan penyebaran kembali objek-objek budaya, mengganggu tindakan komunikasi dari posisi pentingnya hubungan kewilayahan dan

27 Vin Crosbie, 2002, What is New Media? Terarsip di

http://www.sociology.org.uk/as4mm3a.doc pada 13 April 2016, pukul 14:11 WIB.

28 Leah A. Liverous dan Sonia Livingstone, Introduction to the Updated Student Edition, dalam Leah A. Liverouw dan Sonia Livingstone (Ed), The Handbook of New Media, page. 6-7.


(46)

modernitas, menyediakan kontak global secara instan, dan memasukkan subjek modern ke dalam mesin aparat yang berjaringan.29

Perubahan utama yang berkaitan dengan munculnya media baru, yakni; (1) digitalisasi dan konvergensi atas segala aspek media, (2) interaksi dna konektivitas jaringan yang makin meningkat, (3) mobilitas dan deklokasi unutk mengirim dan menerima, (4) adaptasi terhadap peranan publikasi khalayak, (5) munculnya

beragam bentuk baru ‘pintu’ (gateway)media, (6) pemisahan dan pengaburan dari

lembaga media.30 Holmes (2005), bahkan membagi media dalam perspektif historis yang menjadi era media pertama (first media age)dengan pola broadcast, dan era media kedua (second media age)dengan pola interactivity, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2.2.

Perbedaan Antara Era Media Pertama dan Era Media Kedua31

29 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa…,h. 151. 30 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa…,h. 152.

31 Rulli Nasrullah, Cyber Media, (Yogyakarta: IDEA Press Yogyakarta, 2013), Cet. Ke-1, h. 17-18.

No. Perbedaan

1. Era media pertama (broadcast) Era media kedua (interactivity) 2. Tersentral (dari satu sumber ke

banyak khalayak)

Tersebar (dari banyak sumber ke banyak khalayak)

3. Komunikasi terjadi satu arah Komunikasi terjadi timbal balik atau dua arah

4. Terbuka peluang sumber atau media untuk dikuasai

Tertutupnya penguasaan media dan bebasnya kontrol terhadap sumber 5. Media merupakan instrument yang

melanggengkan strata dan ketidaksetaraan kelas sosial

Media memfasilitasi setiap khalayak (warga Negara)

6. Khalayak massa yang terfragmentasi Khalayak bisa terlihat sesuai dengan karakter dan tanpa meninggalkan keragaman identitasnya masing-masing 7. Media dianggap dapat atau sebagai

alat memengaruhi kesadaran sosial

Media melibatkan pengalaman kahalayak baik secara ruang maupun waktu


(47)

Pada era media pertama; produksi media tersentralisasi (one-to-many),media dalam kondisi mengendalikan, reproduksi stratifikasi sosial dan ketidaksetaraan melalui media, terfragmentasinya khalayak dan dianggap massa, dan dapat membentuk kesadaran sosial.

Sedangkan, pada era media kedua; terjadi desentralisasi infromasi (few-to-few dan atau many-to-many), media tidak dalam kondisi mengendalikan, demokratisasi, lebih cenderung mempromosikan kesadaran individual, dan berorientasi secara individual. Salah satu karakter dari apa yang disebut sebagai media lama atau media baru adalah term broadcast yang mewakili konteks media lama, sementara term

intractivity mewakili konteks media baru.

Kesemua konsekuensi yang lahir dari media baru sejalan dengan tesis

technological determinism yang melihat bahwa teknologi secara tidak terelakkan

mendorong manusia untuk melakukan tindakan dan juga perubahan sosial. Hal ini berkaitan dengan adanya media sosial yang merupakan bagian dari media baru.

1. Karakteristik Media Sosial

Menurut Sirous Panahi, Jason Watson, dan Helen Partridge (2012) dalam

World Academy of Science Journal membagi karakteristik media sosial dapat

dikategorikan menjadi lima fitur, yakni:32

a. User-generated content, penciptaan konten adalah salah satu dari

karakteristik utama dari media sosial. Pengguna tidak lagi hanya sederhana sebagai pembaca, melainkan mereka dapat berkontribusi

32 Sirous Panahi, Jason Watson, dan Helen Partridge, Social Media and Tacit Knowledge


(48)

dalam membuat, mengedit, memberikan komentar, anotasi, mengevaluasi, dan mendistribusikan isi asli dalam ruang media sosial.

b. Peer to peer communication, yang membedakan media sosial dari

teknologi web lama adalah kekuatan menghubungkan pengguna ke pengguna (one-to-many) dengan cara yang interaktif, dibandingkan pendekatan lama menghubungkan pengguna dengan isi. Konektivitas adalah fitur utama dari media sosial. Memungkinkan orang mudah untuk tetap terhubung dengan satu sama lain dalam waktu real dan dalam basis global.

c. Networking, membangun komunitas dengan pengguna lain utama

karakteristik media sosial. Ini telah memungkinkan orang-orang dengan minat yang sama berkumpul dalam secara ruang online, menemukan satu sama lain, berbagi profil, merek sendiri, mengembangkan hubungan, berdiskusi bebas tentang mereka sehari-hari masalah, dan mentransfer pengetahuan dan pengalaman.

d. Multimedia oriented, karakteristik utama dari aplikasi media sosial

yang memungkinkan pengguna untuk menyimpan dan berbagi beberapa konten bentuk seperti teks, gambar, audio, video, dan lainnya format dengan cara yang interaktif dan mudah.

e. User friendly, media sosial terkenal karena kemudahan penggunaan


(49)

Lalu, Mayfield menambahkan, online social media merupakan sebuah media online jenis baru yang memiliki karakteristik sebagai berikut:33

a. Partisipasi, media sosial mendukung kontribusi dan umpan balik dari semua orang yang tertarik di dalamnya, sehingga tercipta sebuah partisipasi dari pengguna di media tersebut.

b. Keterbukaan, sebagian besar pelayanan media sosial terbuka untuk umpan balik dan partisipasi. Mereka mendukung adanya votting,

comment, dan saling membagi informasi. Sedikit kemungkinan

adanya batasan untuk mengakses atau menggunakan konten yang tersedia memang ditujukan bagi para penggunanya.

c. Percakapan, dimana media tradisional lebih mengandalkan

‘broadcast’ (konten didistribusikan kepada pengguna), sedangkan media sosial lebih terlihat sebagai komunikasi dua arah.

d. Komunitas, media sosial memungkinkan komunitas terbentuk lebih cepat dan lebih efektif untuk berkomunikasi. Komunitas berbagi beberapa hal yang sama, seperti kesukaan terhadap kuliner, sebuah isu politik, atau sebuah acara televisi.

e. Connectivity, kebanyakan media sosial mengandalkan konektivitas

mereka dengan duniai internet. Seperti dengan link ke website lain sehingga interaksi yang tercipta tidak hanya pada media sosial

33 Anthony Mayfield, What is Social Media? (Online resource:

http://www.icrossing.co.uk/fileadmin/uploads/eBooks/What_is_Social_Media_iCrossing_ebook.p df), 2007, page 5.


(50)

tersebut, namun juga ke berbagai sumber yang mendukung kekayaan interaksi bagi user itu sendiri.

2. Kelebihan dan Kekurangan Media Sosial

Beberapa kelebihan internet sebagai media sosial, antara lain:34

1. Interaktif, terbuka, dan demokratis sehingga siapa saja bisa berpartisipasi, memberi komentar dan berbagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.

2. Bersifat global tanpa perlu bertemu muka secara langsung (terakhir bisa dengan muka melalui virtual yahoo messanger).

3. Sebagai ruang publik yang terbuka, luwes, dan lingkungan informasi yang dinamis.

4. Pengguna terbawa pada jejaring perkawanan dalam situasi yang erat

(friendly) sehingga dengan mudah melakukan kontak, mencurahkan

perasaan (curhat), mencerca, keluhan, pujian, fitnah yang tidak bisa dilakukan oleh media konvensional (lama).

5. Menciptakan jejaring sosial (individu, kelompok, dan antar komunitas) dalam membangun isu dan kekuatan yang bisa melahirkan gerakan massa.

6. Setiap pengguna bisa memproduksi informasi dan mendistribusikannya ke banyak pihak tanpa batas (multilevel

marketing model).

34 Hafied Cangara, Perencanaan dan Strategi Komunikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), Cet. Ke-1, h. 130-131.


(51)

Begitu bebasnya penggunaan media sosial, sehingga melahirkan sejumlah pengaruh pada perilaku manusia dalam berkomunikasi maupun dalam hubungan antar manusia (Darmastuti, 2011) antara lain dapat disbeutkan sebagai berikut:35

1. Mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern dengan terbiasa melakukan transaksi dan negosiasi secara online. 2. Perubahan perilaku dengan mudah penyimpangan seksual, menghujat

dan memfitnah orang lain sehingga bisa menimbulkan delik hukum. 3. Membiasakan masyarakat berperilaku tidak jujur dan suka berbohong,

melalui pesan yang tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya. 4. Membuat masyarakat jarang berkomunikasi langsung sehingga

komunikasi antara orang tua dan anak lebih banyak melalui media virtual.

5. Cara pandang masyarakat dengan melihat dunia dalam arti luas dan global-tidak berorientasi lokal.

6. Individu menjadi pusat informasi, sehingga menimbulkan keakuan, menang sendiri, dan cenderung menonjolkan pencitraan diri.

7. Berlomba-lomba menonjolkan diri untuk mendapatkan teman dalam hal bergaul.

3. Facebook dan Twitter

Media sosial saat ini mengacu pada penggunaan web-based dan teknologi

mobile untuk mengubah komunikasi menjadi dialog yang lebih interaktif.


(52)

Kaplan dan Michael Haenlein, membuat definisi mengenai media sosial sebagai sebuah grup dari aplikasi dengan dasar internet yang membangun dasar dari ideologi dan teknologi dari web 2.0, dan memperbolehkan pembuatan dan pertukaran user-generated content atau konten yang dibuat oleh penggunanya, sebagai satu kesatuan metode untuk mengembangkan komunikasi sosial, dimana juga menggunakan akses ubiquitous dan terukur dari teknik komunikasi yang dibangun.36

Melalui media sosial, pengguna dapat membangun bahkan menjalin persahabatan dan berbagi informasi dengan pengguna lainnya tanpa ada hambatan berupa jarak dan waktu. Media sosial menjadi media interaksi baru yang membuat ruang-ruang bagi masyarakat untuk saling berbagi, bercerita dan menyalurkan ide-idenya. Akibatnya, masyarakat melakukan migrasi virtual untuk berinteraksi di ruang maya atau virtual agar dapat berinteraksi dengan pengguna lainnya. Jika sebelumnya, komunikasi dan interaksi kita hanya sebatas tatap muka, maka hal tersebut semakin terpanjangkan dengan hadirnya media sosial.

Dilihat dari perkembangan media sosial di internet, terutama yang populer digunakan di Indonesia, maka awal popularitas media sosial berbasis internet web 2.0 adalah Friendster. Di awal tahun 2000-an Friendster memulai demam media sosial. Popularitas Friendster tergerus dengan kehadiran Facebook yang menawarkan fasilitas lebih variatif. Facebook secara cepatmenjadi situs media

36 Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, Users of the world, unite! The Challenges and


(53)

sosial yang paling banyak diminati.37 Para aktor politik tidak ketinggalan dalam memanfaatkan Facebook sebagai media untuk menjaring popularitas. Sebaliknya, khalayak menjadikan Facebook sebagai media untuk menumpahkan pendapatnya tentang fenomena komunikasi politik yang terjadi.

Setelah Facebook, Twitter yang hanya menyediakan 140 karakter untuk menulis kicauan pendek (tweet), menjadi fenomena yang mengglobal. Twitter adalah layanan micro blogging yang mendistribusikan potongan ukuran teks di beberapa platform, termasuk ponsel, instant messaging, dan email. Pesan sering digunakan untuk update status tentang apa yang dilakukan oleh pengguna.

Sebagai media sosial, Twitter dan Facebook bekerja dengan prinsip jejaring. Satu akun akan terhubung dengan akun yang lain jika pengguna, baik pemilik atau pengunjung, mengoneksikan akun yang dimiliki melaluiklik opsi

follow atau add friend. Ketika sebuah akun Twitter atau Facebook sudah

terhubung, maka kita dapat memperoleh informasi dari akun yang kita follow. Dari informasi itu lah pengguna bisa berinteraksi dengan pengguna lainnya.

Melalui Facebook dan Twitter seseorang dapat bertemu kembali dengan teman-teman lama, membangun silaturahmi yang dahulu sempat terputus, dan dapat berkomunikasi dengan lancar walaupun berjauhan. Facebook dan Twitter juga sebagai media promosi online untuk mempermudah seseorang yang ingin mempromosikan, baik dalam bentuk perniagaan, budaya, bahkan politik.

37 Fajar Junaedi, Komunikasi Politik: Teori, Strategi, dan Aplikasi di Indonesia, (Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, 2013), Cet. Ke-1, h. 98.


(54)

Banyaknya pengguna Facebook dan Twitter membuka peluang bagi banyak orang untuk dapat melihat sesuatu hal yang memang sengaja ingin dipromosikan.

Selain itu Facebook dan Twitter juga sebagai tempat diskusi yang tepat. Kolom comment yang ditulis seseorang secara bebas, akan direspon oleh orang lain, sehingga disini dapat dijadikan sebagai ajang tukar pikiran yang baik. Hal ini sangat menarik sebab di satu sisi masyarakat jadi lebih mudah berkomunikasi jarak jauh, tapi juga mulai menggerogoti interaksi sosial masyarakat, sebab mereka mulai lebih cenderung berinteraksi di dunia maya ketimbang bertemu bertatap muka.

Menurut Schoeder (2004), media sosial adalah suatu ruang publik dimana orang-orang menggunakannya untuk membaca dan mengekspresikan opini-opini politik. Penggunaan media sosial dalam komunikasi politik yang semakin meluas tentu tidak bisa lepas dari faktor lingkungan yang dinamis.

Keefektifan serta peranannya yang begitu hebat menjadikan media sosial menjadi salah satu komponen penting bagi pembentukan kepribadian masyarakat, serta perilaku dan pengalaman kesadaran masyarakat. Oleh karena itu pula banyak kelompok masyarakat yang berupaya menjadikan media sosial sebagai sarana propaganda ide, cita-cita, nilai, dan norma yang mereka ingin bentuk atau ciptakan.


(55)

D. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 1. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Reformasi telah membawa perubahan setidaknya terlihat pada dua aspek, yaitu mekanisme pemilihan kepala pemerintahan di tingkat nasional dan daerah, serta pelaksanaan pemilihan langsung calon legislatif pusat dan daerah. Harapan perubahan ke arah yang lebih baik ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, meskipun sempat dinilai terlalu dipaksakan oleh pemerintah pada waktu itu. Perubahan ini berarti adanya pergeseran kedaulatan politik dari partai politik (parpol) kepada rakyat yang secara langsung dapat memberikan suaranya dalam menentukan siapa yang mereka nilai layak untuk memimpin.38

Seiring perubahan sistem pemilihan pemerintahan di tingkat nasional, ternyata memiliki implikasi politis terhadap sistem pemilihan kepala pemerintahan di tingkat daerah. Pada masa Orde Baru, kepala pemerintahan di daerah, tingkat satu dan dua, calon-calon dipilih secara proforma oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemudian diajukan untuk mendapatkan restu dari atas. Pada masa reformasi, proses pemilihan yang bersifat lebih sentralistis kemudian bergeser kepada pilihan anggota DPR Daerah. Sistem Pilkada masih bersifat oligarkis dan rakyat masih belum berdaulat sepenuhnya dalam memilih kepala daerah. Namun, pergeseran ini dapat dinilai sebagai

38 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good

Governance, dalam Koleksi Pustaka Pribadi Cecep Effendi, (Jakarta: Partnership, 2005), Cet. Ke-1, h. 1.


(56)

langkah maju dalam proses demokratisasi, yaitu bentuk desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah) hasil langsung dari reformasi.39

Sebelum munculnya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sewaktu itu UU No.22 Tahun 1999 digunakan sebagai landasan hukum Pilkada. Mekanisme tersebut memiliki dampak terhadap minimnya peranan masyarakat dalam menentukan siapa yang akan memimpin wilayah mereka dalam waktu lima tahun. Kini dengan disahkannya UU No.32 Tahun 2004, yang mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini berarti bahwa sistem Pilkada mengalami perubahan ke arah yang lebih demokratis, rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya dalam memilih calon pemimpin mereka.40

39 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good

Governance…,h. 2.

40 Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktek dalam Pilkada Langsung, (Bandung: PT Simbiosa Rekatama Media, 2010), h. 175.


(57)

Bagan 2.1.

Model Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia41

Umpan balik

Berdasarkan bagan di atas, Pemilihan Kepala daerah terbagi tiga, yaitu ditunjuk oleh Pemerintah Pusat, ditunjuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan secara langsung. Pilkada secara langsung yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten serta diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Panwaslu itu sendiri terdiri dari kejaksaan, perguruan tinggi, kepolisian, pers, serta tokoh masyarakat. Pada model pemilihan secara langsung ini, pasangan calon kepala

41 Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik; Teori dan Praktek dalam Pilkada Langsung…,h. 126.

PEMERINTAH PUSAT

KPUD

PANWAS DPRD

1. Pendaftaran Pemilih 2. Pencalonan

3. Kampanye 4. Pemungutan dan

Perhitungan

5. Penetapan Calon Terpilih Calon Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah Partai Gabungan Partai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pemantau Masyarakat


(58)

daerah dan wakilnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyarakatan dan pasangan calon perseorangan. Selanjutnya pasangan calon yang memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilihan umum untuk dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih.

Perubahan sistem pemilihan berarti juga telah membawa perubahan hubungan tata pemerintahan antara pusat dan daerah. Pendelegasian kekuasaan dari pusat ke daerah tidak lagi terbatas pada kewenangan yang bersifat administratif, tetapi telah bergeser ke arah yang lebih maju yaitu kewenangan politik dan juga menjadi ‘pemimpin politik’ di daerah, karena dipilih dan mendapatkan legitimasi politik yang kuat dari rakyat.42

2. Sisi Positif dan Sisi Negatif Pilkada

Harus diingat bahwa Pilkada hanyalah sebuah proses yang tidak bediri sendiri. Baik atau buruknya proses berkaitan langsung dengan subjek yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Keberhasilan pelaksanaan Pilkada, baik dalam pengertian ‘prosedural’ ataupun ‘substansial’, terkait dengan tiga faktor; (1) pemilih yang memiliki hak pilih, (2) penyelenggara yaitu KPU Daerah, Panwaslu, pemantau, dan pemerintah, serta (3) lembaga stake holders lainnya.43

Beranjak dari faktor keberhasilan pelaksanaan Pilkada, ada pula sisi positif dan sisi negatif dari pelaksanaan Pilkada. Sisi positif dari Pilkada, yaitu

pertama, kepala daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung akan

42 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance…, h. 2.

43 Donni Edwin et al, Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good


(59)

mendapat mandat dan dukungan yang riil dari rakyat sebagai wujud “kontrak sosial” antara pemilih dengan yang dipilih. Semangat Pilkada langsung adalah memberikan ruang yang luas bagi partisipasi politik masyarakat untuk menentukan kepala daerah sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan di daerah masing-masing. Sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah nantinya sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat pada umumnya, atau dengan kata lain, lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya. Selain itu, Pilkada secara langsung oleh rakyat ini akan membawa pengaruh secara transparan dan bertanggungjawab, sehingga akan membawa dampak kepada peningkatan pendidikan politik rakyat.44

Kedua, kedekatan calon dengan masyarakat daerah dan penguasaan medan

(geografi, demografi, SDA, dan SDM) dan berbagai permasalahan dalam masyarakat, merupakan prasyarat mutlak yang harus dikuasai oleh calon. Pendayagunaan sumber daya (resources)yang dimiliki calon akan lebih efektif dan efisien, sebab komunikasi calon dengan masyarakat tidak difasilitasi oleh pihak ketiga, walaupun menggunakan kendaraan parpol. Ketokohan figur calon sangat menentukan dibanding dengan kekuatan mesin parpol, artinya besar atau kecilnya parpol yang dijadikan kendaraan politik pencalonan tidak berkolerasi kuat terhadap keberhasilan seorang calon.45

Ketiga, Pilkada secara langsung dapat menjadi mekanisme rekrutmen

politik atas calon pemimpin bangsa. Dengan kata lain, mungkin saja dapat

44 Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi, Pilkada Langsung: Pemikiran dan

Peraturan, (Jakarta: IIP Press, 2005), Cet. Ke-1, h. 9.

45 Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi, Pilkada Langsung: Pemikiran dan


(60)

meningkatkan gairah birokrasi Pemerintahan Daerah, karena adanya keleluasaan untuk mengambil keputusan, serta terbukanya peluang karir yang lebih tinggi melalui kompetensi profesional. Artinya, jika kinerja seseorang bupati atau walikota piawai, mungkin saja dapat dicalonkan dalam pemilihan gubernur. 46

Keempat, pemberian pelayanan umum kepada masyarakat akan semakin

meningkat, baik kualitas maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan yang lebih baik yang pada gilirannya akan menimbulkan keterpercayaan kepada masyarakat.47

Sedangkan, sisi negatifnya, yaitu pertama, kemungkinan munculnya konflik kepentingan antara propinsi dan kabupaten atau kota, dan antar daerah. Dampak pemekaran daerah sehingga menjadi ajang perebutan kekuasaan di kalangan elit politik lokal. Atau dengan kata lain, proses Pilkada ini dapat menyebabkan monopoli di tingkat lokal, bahkan merambah kepada struktur politik di tingkat lokal. Kedua, ketidakseimbangan populasi antara penduduk asli dengan para pendatang yang relatif lebih besar jumlahnya di daerah pemekaran. Ketiga, dalam penyelenggaraan Pilkada langsung kemungkinan terjadinya isu kolusi dan isu money politic, disebabkan ekonomi di daerah masih relatif rendah. Fanatisme golongan dan keluarga sangat menonjol

46 Agust Riewanto, Ensiklopedia Pemilu, (Wonogiri: Lembaga Studi Agama dan Budaya, 2007),h. 180.

47 Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi, Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan…, h. 11.


(1)

(2)

(3)

(4)

Kultwit dari Ikhsan Modjo-Li Claudia (teknik propaganda using all forms of persuations)


(5)

Counter Issue Airin-Benyamin (teknik propaganda using all forms of persuations)


(6)