Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi supleman vitamin E berlebihan pada siswa di SMA Negeri 65 Jakarta Tahun 2010

(1)

ii PEMINATAN GIZI

Skripsi, 18 Maret 2011 Nadia, NIM : 106101003716

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Suplemen Vitamin E pada Siswi di SMAN 65 Jakarta Tahun 2011

xiv + 100 halaman, 21 tabel, 2 bagan, 3 lampiran ABSTRAK

Suplemen makanan adalah produk jadi yang dikonsumsi untuk melengkapi makanan sehari-hari. Jenis suplemen makanan bermacam-macam, antara lain suplemen yang mengandung vitamin dan mineral, suplemen yang mengandung minyak alami, dan suplemen yang mengandung enzim dan lain-lain. Penggunaan suplemen makanan cenderung meningkat. Pada tahun 2000, puslitbang Farmasi Depkes RI telah melakukan survey konsumen di tiga kota besar (Jakarta, Surabaya dan Bandung) tentang konsumsi suplemen makanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi suplemen makanan terbanyak adalah pada perempuan (78,1%). Hasil studi pendahuluan terhadap siswi di SMAN 65 Jakarta didapatkan bahwa siswi mengkonsumsi suplemen vitamin E melebihi dosis yang telah dianjurkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suplemen vitamin E pada siswi di SMAN 65 Jakarta Tahun 2011, yang dilaksanakan pada bulan November 2010-Februaru 2011 dengan menggunakan desain penelitian studi cross sectional. Sampel penelitian ini berjumlah 77 siswi. Analisis data dalam penelitian ini terdiri dari analisis univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi dari masing-masing variabel, analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan dependen dengan menggunakan uji statistik chi-square serta analisis multivariat untuk mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E dengan menggunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 20,8% siswi yang mengkonsumsi suplemen, mengkonsumsinya dengan melebihi batas toleransi. Berdasarkan analisis bivariat diketahui bahwa status kesehatan dan jumlah uang saku siswi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan konsumsi suplemen vitamin E


(2)

iii

yang bermakna dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi di SMAN 65 Jakarta tahun 2011. Selanjutnya, berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa pengaruh media dan citra raga merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi di SMAN 65 Jakarta tahun 2011.

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan adalah hendaknya sekolah melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan gizi siswi terutama mengenai vitamin E, bekerja sama dengan OSIS untuk mengadakan kegiatan seminar mengenai penggunaan suplemen dengan mendatangkan suplier suplemen tersebut agar siswi dapat mengetahui pemakaiannya dengan tepat.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Suplemen makanan adalah produk jadi yang dikonsumsi untuk melengkapi makanan sehari-hari. Suplemen makanan mengandung satu atau lebih bahan sebagai berikut: vitamin, mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan Angka Kecukupan Gizi (AKG), atau konsentrat, metabolit, konstituen, ekstrak, atau kombinasi dari beberapa bahan sebagaimana tercantum dalam butir dalam BPOM (1996).

Jenis suplemen makanan bermacam-macam, antara lain suplemen yang mengandung vitamin dan mineral, suplemen yang mengandung minyak alami, dan suplemen yang mengandung enzim dan lain-lain. Namun beberapa sumber menyatakan bahwa suplemen vitamin dan mineral merupakan suplemen yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat (McDowall, 2007). Hal ini disebakan karena vitamin dan mineral adalah bahan organik yang esensial bagi tubuh namun tidak dapat dibentuk sendiri oleh tubuh, sehingga harus disediakan lewat makanan, salah satunya adalah vitamin E, oleh karena itu banyak produsen makanan memanfaatkan hal ini dengan memproduksi berbagai macam suplemen vitamin E.

Di Indonesia, suplemen makanan dimasukkan dalam kategori makanan atau didaftar sebagai obat tradisional. Produk-produk suplemen makanan, sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) No.HK 00.063.02360, semula dikenal sebagai produk yang digunakan untuk melengkapi makanan. saat ini ada sekitar 3500 jenis produk suplemen yang diizinkan


(4)

beredar di Indonesia, hanya produk suplemen yang diproduksi oleh perusahaan farmasi yang memenuhi syarat Good Manufacturing Process (GMP) saja yang dibolehkan untuk beredar.

Selama tahun 2008 Badan POM telah mengeluarkan 881 nomor registrasi suplemen makanan yang meliputi 608 suplemen makanan produk dalam negeri (SD), 261 suplemen makanan produk impor (S1) dan 12 suplemen makanan lisensi (SL). BPOM juga telah melakukan pengujian laboratorium terhadap 1189 sampel suplemen makanan dari peredaran. Hasil pengujian mutu peoduk suplemen makanan menunjukkan bahwa 1,35% tidak memenuhi syarat mutu, selain itu BPOM juga melakukan pemeriksaan terhadap 1028 sarana distribusi suplemen makanan. hasil pemeriksaan terhadap sarana distribusi suplemen makanan menunjukkan bahwa terdapat 11.09 % sarana distribusi suplemen makanan masih menjual suplemen makanan yang tidak terdaftar (BPOM, 2008).

Penggunaan suplemen makanan cenderung meningkat. Berdasarkan laporan Food Standars Agency (FDA), di Amerika Serikat 40% kaum perempuan dewasa dan 30% laki-laki diketahui mengkonsumsi suplemen makanan. Pada tahun 2000, puslitbang Farmasi Depkes RI telah melakukan survey konsumen di tiga kota besar (Jakarta, Surabaya dan Bandung) tentang konsumsi suplemen makanan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi suplemen makanan terbanyak adalah pada perempuan (78,1%). Kebanyakan mereka mengkonsumsi untuk menjaga kesehatan atau meningkatkan stamina (59,4%), sebagian hanya untuk mengatasi kegemukan, mencegah keriput (proses penuaan) serta menghaluskan kulit yang kasar.


(5)

Banyak masyarakat mengkonsumsi vitamin dalam dosis besar hanya karena intuisi pribadi dan pengaruh iklan daripada berdasarkan pemahaman ilmiah mengenai keuntungan dan kerugian penggunaan suplemen tersebut. Mengkonsumsi suplemen makanan tidaklah salah, namun yang perlu diperhatikan adalah penggunaannya harus disesuaikan dengan kebutuhan tubuh karena konsumsi yang berlebihan akan mengganggu pencernaan, menyebabkan diare dan keracunan (Guthrie,1995). Dalam Vitahealth (2009), disebutkan bahwa penggunaan konsumsi suplemen yang berlebihan bukannya semakin bermanfaat, namun justru membahayakan kesehatan.

Konsumsi vitamin E yang berlebihan akan mengganggu fungsi organ terutama hati dan ginjal serta dapat menimbulkan keracunan. Beberapa riset menyatakan penggunaan suplemen makanan berkaitan dengan resiko mengidap kanker dan stroke (Yuliarti, 2009). Dalam sebuah ayat Al Quran dijelaskan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan, ayat tersebut terdapat pada surat Al-A’raf ayat 31 yang berbunyi:

(

١٣

:

ف ر أل

)

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih- lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS Al-A’raf ayat 31)

Dr. Edgar Miller, seorang profesor kedokteran dari John Hopkins University, Baltimore, Amerika, mengumumkan hasil studinya yang menyatakan bahwa suplemen vitamin E lebih banyak merugikan dibandingkan manfaatnya. Padahal, kata dia, kebanyakan orang mengkonsumsi dalam jumlah tinggi karena takut cepat


(6)

mati. Sebuah alasan yang tidak jelas, menurut dokter yang memimpin studi itu. Orang menelan vitamin E karena mereka pikir dengan cara itu bisa hidup lebih lama. Dalam pertemuan American Heart Association di New Orleans, Miller mengatakan bahwa sesungguhnya kebanyakan orang tak memerlukan suplemen vitamin E. Vitamin tersebut terdapat dalam makanan sehari-hari, seperti kacang-kacangan, minyak, biji-bijian, asparagus, jagung, dan sayuran hijau. Ia memaparkan pola diet rata-rata orang mencakup vitamin E berkadar 15-16,5 IU atau setara dengan 10-11 mg. Ia menjelaskan vitamin E dalam dosis rendah merupakan antioksidan yang penuh kekuatan. Namun, dalam dosis lebih tinggi berakibat pada kerusakan oksidatif dan mungkin bisa membanjiri antioksidan alami. Dalam Penelitian itu menyebutkan bahwa mengkonsumsi suplemen vitamin E dalam jumlah tinggi bisa menyebabkan serangan jantung dan stroke. Karena kehadiran vitamin itu bisa menyebabkan pembekuan darah atau manfaat yang seharusnya diperoleh dari vitamin itu malahan tertutup oleh nutrien lain. (American Heart Association, 2004)

Penggunaann suplemen vitamin E ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa namun peningkatan konsumsi suplemen juga terjadi pada para remaja. Berdasarkan penelitian Pertiwi (2008), diperoleh 80 responden yaitu remaja puteri di agensi model (64,5%) yang mengkonsumsi suplemen vitamin dan mineral demikian juga penelitian Ramadani (2005) menyatakan bahwa 62,4% remaja SMA Islam Al-Azhar mengkonsumsi suplemen makanan. Hal ini mungkin dikarenakan terjadinya perubahan pola makan dan gaya hidup para remaja yang cenderung lebih menyukai jenis makanan yang praktis, dan cepat saji yang banyak beredar di pasaran. Tebentuknya konsep diri berupa body image pad remaja, juga menyebabkan kebanyakan remaja kekurangan asupan makanan karena melakukan diit yang salah.


(7)

Kebiasaan makan yang bruruk ini menjadikan suplemen makanan sering digunakan untuk meningkatkan kualitas diit remaja (Wahlqvist, 2002).

Mengacu pada pendapat Worthington (2000) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi remaja, terdapat beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan konsumsi siplemen pada remaja diantaranya yaitu karakteristik fisiologis yang terdiri dari umur dan jenis kelamin, tingkat pengetahuan gizi remaja, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua dan pola makan orang tua. Sedangkan menurut beberapa penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi suplemen diantaranya adalah pengetahuan gizi dan suplemen, pengaruh teman, keterpaparan media, aktivitas fisik, dan status kesehatan (Anggondowati, 2002; Ramadani, 2005; Pertiwi, 2008).

Sebelum penelitian ini dilakukan secara resmi peneliti telah melakukan studi pendahuluan kepada 25 siswi di tiga SMA Negeri, yaitu SMA Negeri 65, SMA Negeri 16 dan SMA Negeri 34. Studi pendahuluan ini dilakukan di tiga sekolah dengan alasan untuk mendapat perbandingan jumlah siswi yang mengkonsumsi suplemen vitamin E. Berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, diperoleh sebanyak 56% siswi SMA Negeri 16 yang mengkonsumsi suplemen vitamin E, 60% pada siswi SMA Negeri 34 dan 95% siswi SMA Negeri 65 yang mengkonsumsi suplemen vitamin E. Dari 95% siswi SMA Negeri 65 yang mengkonsumsi suplemen, sebanyak 80% mengkonsumsi suplemen dengan dosis berlebih, yaitu mengkonsumsi melebihi jumlah yang dianjurkan.

SMA Negeri 65 merupakan salah satu sekolah unggulan yang terletak di wilayah Jakarta Barat. Mayoritas siswa yang bersekolah di SMA tersebut tergolong siswa yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas. Sampai


(8)

saat ini belum ada survei yang dilakukan di SMA Negeri 65 mengenai konsumsi suplemen vitamin E. Selain itu pula keberadaan suplemen vitamin E yang sangat mudah didapatkan di toko-toko terdekat menjadikan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di SMA Negeri 65.

Berdasarkan fakta tersebut maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta.

B. Rumusan Masalah

Suplemen makanan adalah produk jadi yang dikonsumsi untuk melengkapi makanan sehari-hari. Jenis suplemen makanan bermacam-macam, antara lain suplemen yang mengandung vitamin dan mineral, suplemen yang mengandung minyak alami, dan suplemen yang mengandung enzim dan lain-lain. Namun beberapa sumber menyatakan bahwa suplemen vitamin dan mineral merupakan suplemen yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam kadar sedikit, suplemen vitamin E memberi manfaat bagi tubuh. Tapi dalam dosis tinggi, malah meningkatkan risiko kematian. Konsumsi vitamin E yang berlebihan akan mengganggu fungsi organ terutama hati dan ginjal serta dapat menimbulkan keracunan.

Di Indonesia hasil Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004 menetapkan Angka Kecukupan Gizi untuk kebutuhan vitamin E bagi remaja sebesar 15 mg/hari. Asupan vitamin E pada remaja sudah lebih dari AKG yang telah dianjurkan, ditambah lagi dengan mengkonsumsi suplemen vitamin E.


(9)

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di SMA Negeri 65, didapatkan sebanyak 72% siswi SMA Negeri 65 yang mengkonsumsi suplemen vitamin E. Dari 72% tersebut, sebanyak 65% mengkonsumsi suplemen dengan dosis berlebih, padahal rata-rata asupan vitamin E di SMA Negeri 65 yaitu sebesar 162 mg/hari, hal ini sudah lebih dari AKG yang dianjurkan yaitu sebesar 15 mg/hari. Jumlah asupan vitamin E tersebut didapatkan tanpa harus mengkonsumsi suplemen vitamin E dari luar.

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E pada remaja. Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E adalah pengetahuan gizi, pengaruh teman sebaya, keterpaparan terhadap promosi suplemen, status kesehatan, dan body image. Oleh karena itu penulis ingin meneliti lebih jauh lagi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri Negeri 65 Jakarta tahun 2011?

2. Bagaimana gambaran faktor internal ( uang saku, dan status kesehatan) di SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011?

3. Bagimana gambaran faktor eksternal (pengetahuan, teman sebaya, media massa dan body image) di SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011

4. Apakah ada hubungan antara faktor internal (pendapatan orang tua, uang saku, dan status kesehatan) dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011?


(10)

5. Apakah ada hubungan antara faktor eksternal (pengetahuan, teman sebaya, media massa, dan body image) dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011?

6. Apakah faktor yang paling dominan berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011.

2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011

2. Diketahuinya gambaran faktor internal (pendapatan orang tua, uang saku, dan status kesehatan) di SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011

3. Diketahuinya gambaran faktor eksternal (pengetahuan, teman sebaya, media massa dan citra raga) di SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011

4. Diketahuinyaa hubungan antara faktor internal (pendapatan orang tua, uang saku, dan status kesehatan) dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011

5. Diketahuinya hubungan antara faktor eksternal (pengetahuan, teman sebaya, media massa, dan citra raga) dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011


(11)

6. Diketahuinya faktor yang paling dominan berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta tahun 2011

E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pihak Sekolah

Sebagai bahan masukan dalam memberikan pengetahuan mengenai konsumsi suplemen vitamin E kepada para siswa.

2. Bagi Peneliti

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suplemen vitamin E pada siswi di SMA Negeri 65 Jakarta.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta. Penelitian ini dilakukan karena berdasarkan hasil studi pendahuluan, siswi SMA Negeri 65 banyak yang mengkonsumsi suplemen vitamin E secara berlebihan. Padahal, konsumsi suplemen terlalu banyak dapat menyebabkan gangguan pada fungsi organ, yaitu hati dan ginjal. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta program studi kesehatan masyarakat, dengan menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini menggunakan data primer dengan menyebarkan kuesioner pada responden yang terpilih. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 di SMA Negeri 65 Jakarta.


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Suplemen Makanan (Food Supplement) 1. Pengertian

Karyadi (1997), mendefinisikan suplemen makanan sebagai makanan yang mengandung zat-zat gizi dan non gizi, bisa dalam bentuk kapsul, kapsul lunak, tablet bubuk atau cairam yang fungsinya sebagai pelengkap kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk menjaga agar vitalitas tubuh tetap prima. Menurut Yulliarti (2008), suplemen makanan diartikan sebagai zat atau bahan makanan tambahan yang dikonsumsi. Zat atau bahan makanan tersebut dapat berupa vitamin, mineral, jamu atau tanaman obat, asam amino atau bagian-bagian dari zat atau bahan makanan. Suplemen makanan ini merupakan pendamping atau penambah program diet, nutrisi, atau kondisi tubuh tertentu, dan bukan merupakan pengganti makanan.

BPOM (2004) mendefinisikan suplemen makanan sebagai produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih dari bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi. Suplemen makanan dapat berupa produk padat meliputi tablet, tablet hisap, tablet kunyah, serbuk, kapsul atau produk cair berupa tetes, sirup, larutan.


(13)

2. Penggolongan Suplemen

Suplemen makanan digolongkan sebagai bahan nitraceutikal. Suplemen makanan ini khasiatnya tidak perlu dibuktikan melalui uji klinis. Sampai saat ini pun jenis nitraceutikal boleh dijual secara bebas tapi tidak boleh diklaim memiliki khasiat untuk mengobati penyakit (Vitahealth, 2004).

Pada awalnya penggunaan suplemen masih terbatas untuk mengembalikan fungsi metabolik dimana seluruh proses tersebut dikendalikan oleh enzim sebagai katalis reaksi kimia tubuh yang membuat sel-sel bekerja secara optimal. Pada umumnya, enzim terdiri atas protein khusus yang dinamakan apoenzim, dan memerlukan suatu kofaktor tertentu yang biasanya adalah suatu vitamin dan mineral. Karena itu, pada konsep lama mikronutrient tersebut (vitamin dan mineral) disebut sebagai zat esensial yang dibutuhkan tubuh. Jika dari makanan saja tidak cukup, maka untuk memenuhi kekurangannya bisa ditambah dari suplemen makanan. Namun berikutnya, penggunaan suplemen tidak lagi terbatas pada vitamin dan mineral saja sekarang batasan suplemen nutrisi semakin melebar sampai mencakup zat-zat nutrisi dan penyembuh yang terdapat pada herbal dan bahan obat alami lainnya. (Vitahealth, 2004)

Worthington (2000), membagi suplemen menjadi tiga kategori utama, yaitu suplemen protein/asam amino, suplemen vitamin/mineral, suplemen hormonal. Berdasarkan sumbernya, Wirakusumah (1995) menggolongkan suplemen menjadi tiga kategori yaitu suplemen vitamin dan mineral, suplemen asal tumbuhan atau jamu, dan suplemen khusus yang berasal dari bahan-bahan tertentu seperti beepollen, sirip ikan paus, dan cula badak. Sedangkan berdasarkan kandungannya Hendler (1984), membedakan suplemen makanan sebagai vitamin, mineral, asam amino, asam nukleat,


(14)

asam lemak, serta kelompok lainnya meliputi L-Carnitine, serat makanan, garlic, ginseng, asam pangamik, Superoxiside Dismitase, beepolleen, royal jelly, dll.

Seperti yang telah disebutkan di atas, jenis suplemen makanan bermacam-macam, antara lain suplemen yang mengandung vitamin dan mineral, suplemen yang mengandung minyak alami, dan suplemen yang mengandung enzim dan lain-lain. Namun beberapa sumber menyatakan bahwa suplemen yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat umumnya dan khususnya atlet muda adalah suplemen vitamin dan mineral (McDowall, 2007). Hal ini disebabkan karena vitamin dan mineral adalah bahan organik yang esensial bagi tubuh namun tidak dapat dibentuk sendiri oleh tubuh, sehingga harus disediakan lewat makanan, oleh karena itu banyak produsen makanan memanfaatkan hal ini dengan memproduksi berbagai macam suplemen vitamin dan mineral.

3. Orang yang membutuhkan suplemen makanan

Suplemen, sesuai dengan namanya, hanya bersifat menambahkan atau melengkapi. Maka, jelas, suplemen dirancang bukan untuk menggantikan makanan. Bagaimanapun sebutir pil tidak akan dapat memberikan semua nutrient yang kita perlukan untuk hidup sehat. Sebagai contoh, dalam buah-buahan dan sayuran terdapat antioksidan yang berkhasiat melindungi tubuh terhadap penyakit, tetapi antioksiddan tersebut termasuk ke dalam jenis yang belum behasil diidentifikasi. Oleh karena itu, antioksidan ini tidak terdapat dalam pil. (Yuliarti, 2009)


(15)

Tidak setiap orang perlu mengonsumsi suplemen makanan, Soekatri dari PERSAGI dalam seminar prosesi Kesehatan Masyarakat pada tanggal 22 Desember 2008, menyampaikan bahwa suplemen dianjurkan dalam kondisi sebagai berikut :

a. Ibu sedang hamil dan ibu sedang menyusui karena mereka membutuhkan gizi yang lebih dari orang biasa terutama vitamin dan mineral. Dokter umumnya menganjurkan asam folat dan zat besi untuk memenuhi fisiologisnya.

b. Individu dengan penyakit tertentu atau gangguan tertentu membutuhkan kebutuhan gizi yang juga lebih dari AKG (Angka Kecukupan Gizi) yang dianjurkan terutama vitamin tertentu. Misalnya mereka yang beresiko berpenyakit Cronic Heart Disease (CHD) dan stroke yang dianjurkan menggunakan suplemen yang mengandung vitamin B dan asam folat. Juga pada mereka yang mempunyai gangguan penyerapan lemak, akan menurunkan kemampuan menyerap vitamin larut lemak

c. Individu yang harus minum obat untuk mencegah beberapa penyakit dapat kekurangan vitamin tertentu. Misalnya minum antibiotik dapat mematikan bakteri usus dan menurunkan produksi vitamin K. Pada keadaan demikian, kebutuhan vitamin tersebut harus dibeli dengan resep dari dokter. Merokok dan minum alkohol juga meningkatkan kebutuhan akan vitamin khususnya vitamin B d. Lansia yang umumnya tidak terpenuhi kebutuhan gizinya sesuai dengan AKG, khususnya kekurangan vitamin B6 dan vitamin D juga vitamin B12 karena keterbatasan dalam gigi, lidah yang menurun kemampuan mengecapnya, jenis makanan yang harus lebih lembut dari orang yang berusia muda.


(16)

e. Orang yang tidak makan daging (vegan) perlu mengkonsumsi suplemen vitamin B12

f. Individu yang harus berdiit dibawah 1200 Kalori agar turun berat badannya (terutama atlet), memerlukan tambahan suplemen tertentu untuk memenuhi AKG nya

g. Individu yang secara fisik sangat aktif dan tidak cukup asupan gizinya dibandingkan dengan kebutuhannya memerlukan suplemen

h. Individu yang intoleran atau secara sengaja memang menghindari beberapa jenis makanan/bahan makanan, seperti susu dan hasil olahnya, dapat kekurangan vitamin khususnya B2 dan vitamin D

i. Individu yang makan cukup energinya tetapi rendah akan zat gizi mikro atau cara pemasakan yang dapat merusak vitamin, akan baik kalau mendapatkan suplemen vitamin dan mineral

j. Individu yang terpapar matahari dan kontaminan akan menimbulkan oksidasi tubuh yang terjadi yang kemudian menghasilkan radikal bebas di dalam tubuh. Hal ini akan dapat merusak sel terutama karena adanya oksidasi pada asam lemak tak jenuh di tingkat sel dan membran sub sel. Suplemen vitamin C dan vitamin E dapat mengurangi keadaan ini.

k. Individu yang banyak kehilangan darah termasuk besi, misalnya pada wanita saat melahirkan atau haid, memerlukan suplemen karena mereka umumnya sulit mendapatkan zat gizi dari makanan. Karena itu mereka perlu suplemen khususnya zat besi.


(17)

4. Bahaya Suplemen Makanan

Berikut merupakan beberapa dampak negatif penggunaan suplemen menurut Yuliarti (2008) adalah sebagai berikut:

a. Kelebihan vitamin C mungkin bisa dibuang lewat urin. Tetapi vitamin jenis lain (A, D, E, dan K) umumnya mengendap di dalam tubuh dan di khawatirkan bisa mengganggu fungsi organ terutama hati dan ginjal.

b. Protein yang biasanya terdapat di suplemen bila dikonsumsi orang tertentu bisa menimbulkan efek alergi.

c. Konsumsi zat besi berlebihan tidak baik untuk para penderita kelainan daraj seperti thalassemia.

d. Konsumsi suplemen vitamin K pada orang yang tengah minum obat tertentu kadang-kadang justru memperburuk keadaan.

e. Suplemen yang mengandung hormone tambahan dikhawatirkan malah memicu gigantisme (tubuh menjadi sangat besar) dan gangguan seksual.

f. Konsumsi berlebihan suplemen antioksidan seperti viatamin A, E dan betakaroten justru meningkatkan risiko kematian.

g. Suplemen vitamin D berlebihan justru berbahaya bagi hati dan ginjal.

h. Mengkonsumsi suplemen berupa minuman berenergi dapat meningkatkan tekanan darah.

i. Suplemen herbal dan natural pengganti Viagra yang diklaim lebih aman juga mengandung bahaya seperti meningkatkan tekanan darah, bahkan mengakibatkan stroke.


(18)

j. Terlalu banyak mengkonsumsi vitamin C akan mengganggu penyerapan tembaga, yang meskipun dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil, namun penting untuk mengatur susunan kimia dan kinerja tubuh.

k. Terlalu banyak suplemen mengandung fosfor akan menghambat penyerapan kalsium.

l. Kelebihan vitamin A, D, K dan zat besiyang tidak dapat dibuang tubuh berbalik menjadi racun.

Hasil sebuah riset menunjukkan bahwa tidak semua suplemen vitamin menguntungkan bagi kesehatan. Tinjauan dari berbagai riset menunjukkan beberapa suplemen vitamin tertentu tidak bermanfaan bagi kesehatan, namun justru dapat meningkatkan risiko kematian.

Penellitian di Denmark yang dilakukan oleh Cochrane Collaboration pada tahun 2008 (yang terdapat dalam Yuliarti, (2008) melaporkan bahwa hasil tinjauan riset mereka tidak berhasil menemukan satu bukti meyakinkan bahwa suplemen antioksidan dapat menekan risiko kematian. Para ahli Universitas kopenhagen ini bahkan menyatakan vitamin A dan E memiliki potensi mengganggu pertahanan alami yang dimiliki tubuh. Bahkan beta karoten, vitamin A dan E tampaknya dapat meningkatkan risiko kematian.


(19)

B. Vitamin

Menurut bahasa vitamin berasal dari kata ‘’vita‘’ yang mengandung arti hidup dan ‘’amin’’ yang artinya salah suatu zat tertentu sehingga vitamin berarti suatu zat yang diperlukan untuk hidup (Sediaoetama, 1987).

Vitamin merupakan zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh dan harus didapat dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur dan pemelihara kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas spesifik didalam tubuh. Karena vitamin adalah zat organik maka vitamin dapat rusak karena penyimpanan dan pengolahan (Almatsier, 2006).

Tubuh yang mendapat susunan hidangan yang mencukupi kualitas maupun kuantitas akan terdapat dalam keadaan kesehatan yang sebaik-baiknya. Dalam keadaan demikian sel-sel dan jaringan tubuh jenuh mengandung semua jenis vitamin yang diperlukan, sedangkan sejumlah vitamin ditimbun pula dalam organ penimbunan sampai jenuh. Ternyata bahwa daya timbun untuk berbagai vitamin itu berlain-lainan. Vitamin-vitamin yang dapat larut dalam lemak, dapat ditimbun dalam jumlah relatif besar, tetapi sebaliknya vitamin-vitamin yang larut dalam air, sedikit saja yang dapat ditimbun.

Menurut Almatsier (2009), Berdasarkan karakteristik fisiknya vitamin yang dibutuhkan oleh manusia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu vitamin larut lemak, seperti vitamin A, D, E, K dan vitamin larut air, seperti vitamin C, Thiamin, Riboflavin, Niasin, Biotin, Asam pantotenat, Vitamin B6, Vitamin B12 dan folat.

Karakteristik umum yang membedakan vitamin larut dalam lemak dengan vitamin larut air dapat dilihat pada tabel berikut ini :


(20)

Tabel 2.1 Sifat-Sifat Umum Vitamin Larut Lemak dan Vitamin Larut Air

Vitamin larut lemak Vitamin larut air

Larut dalam lemak dan pelarut lemak Larut dalam air Kelebihan konsumsi dari ynag

dibutuhkan disimpan dalam tubuh

Simpanan sebagai kelebihan sangat sedikit

Dikeluarkan dalam jumlah kecil melalui empedu

Dikeluarkan melalui urin

Gejala dedfisiensi berkembang lambat Gejala defisensi sering terjadi dengan cepat

Tidak selalu perlu ada dalam makanan sehari-hari

Arus selalu ada dalam makanan sehari-hari

Mempunyai precursor atau provitamin Umumnya tidak mempunyai precursor Hanya mengandung unsur-unsur C, H,

dan O

Selain C, H, dan O mengandung N, kadang-kadang S dan Co

Diabsorpsi melalui sistem limfe Diabsorpsi melalui vena porta Hanya dibutuhkan oleh organism

kompleks

Dibutuhkan oleh organism sederhana dan kompleks

Beberapa jenis bersifat toksik pada jumlah relative

Bersifat toksik hanya pada dosis tinggi/megadosis (>10x AKG)

*) AKG: Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan Sumber : Almatsier (2009)

1. Vitamin E

a. Fungsi dan Sumber Vitamin E

Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau bagian dari enzim (Almatsier, 2006).

Semua bentuk vitamin E tidak larut dalam air, tetapi dapat larut dalam minyak dan zat pelarut minyak seperti aceton, alkohol, chloroform, ether dan sebagainya.


(21)

Fungsi vitamin E dapat dikelompokkan berdasar dua sifatnya yang penting: a) berhubungan dengan sifatnya sebagai antioksidan alamiah, dan b) berhubungan dengan metabolisme selenium. Secara umum vitamin E diperlukan bagi pemeliharaan kesehatan dan integritas semua sel tubuh. Namun demikian tidak dapat ditunjukkan atau ditentukan kebutuhan akan vitamin ini. (Sediaoetama, 1997)

Vitamin E banyak terdapat dalam bahan makanan. Sumber utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung vitamin E. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang baik. Daging, unggas, ikan dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam jumlah terbatas. (Almatsier, 2006)

Tabel 2.2

Nilai vitamin E total di dalam minyak tumbuh-tumbuhan (mg/100 gram)

Minyak Mg

Biji Kapas 30-81

Jagung 53-162

Kacang kedelai 56-160

Kacang tanah 20-32

Kelapa 1-4

Kelapa sawit 33-73

Zaitun 5-15

Sumber : Almatsier (2009)

Vitamin E mudah rusak pada pemanasan (seperti terjadi pada proses penggorengan) dan oksidasi. Jadi, sebagai sumber vitamin E diutamakan bahan makanan dalam bentuk segar atau yang tidak terlalu mengalami pemrosesan.


(22)

Karena vitamin E tidak larut air, vitamin E tidak hilang selama dimasak dengan air. Pembekuan dan penggorengan dalam minyak banyak merusak sebagian besar vitamin E.

b. Angka Kecukupan Vitamin E yang Dianjurkan

Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas untuk mencegah terjadinya defisiensi gizi. Dalam dunia internasional istilah yang banyak digunakan oleh Recommended Dietary Allowence (RDA).

Angka kecukupan vitamin E yang dianjurkan untuk berbagai golongan umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3

Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk vitamin E

Golongan Umur AKG (mg)/ (IU) Golongan Umur AKG (mg)

0-6 bln 7-12 bln 1-3 thn 4-6 thn 7-9 thn Pria 10-12 thn 13-15 thn 16-18 thn 19-29 thn 30-49 thn 50-60 thn >60 thn

4 mg (5.96 IU) 5 mg (7.45 IU) 6 mg (8.94 IU) 7 mg (10.43 IU) 7 mg (10.43 IU)

11 mg (16.39 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg(22.35 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU)

Wanita 10-12 thn 13-15 thn 16-18 thn 19-29 thn 30-49 thn 50-60 thn >60 thn Menyusui 0-6 bln 7-12 bln

11 mg (16.39 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU) 15 mg (22.35 IU)

+4 mg +4 mg


(23)

c. Akibat Kekurangan dan Kelebihan Konsumsi Vitamin E 1) Akibat kekurangan Konsumsi Vitamin E

Penyakit kekurangan vitamin E pada manusia jarang terjadi, karena vitamin E terdapat luas di dalam bahan makanan. Kekurangan biasanya terjadi karena adanya gangguan absorpsi lemak seperti pada cystic fibrosis dan gangguan transpor lipida seperti pada beta lioproteinemia.(Sediaoetama, 1997)

Kekurangan vitamin E pada manusia menyebabkan hemolisis eritrosit, yang dapat diperbaiki dengan pemberian tambahan vitamin E. Akibat lain adalah sindroma neurologik sehingga terjadi fungsi tidak normal pada sumsum tulang belakang dan retina. Tanda-tandanya adalah kehilangan koordinasi dan refleks otot, serta gangguan penglihatan dan berbicara. Vitamin E dapat memperbaiki kelainan ini. (Almatsier, 2006)

Akhir-akhir ini ada kepercayaan berlebihan di masyarakat tentang kemampuan vitamin E, sehingga vitamin ini banyak digunakan sebagai suplemen. Padahal banyak yang belum terbukti secara ilmiah tentang penggunaan vitamin E dosis tinggi. Keampuhan vitamin E sebagai vitamin anti sterilitas atau mencegah keguguran ternyata tidak tebukti pada manusia. Vitamin E juga ternyata tidak dapat meningkatkan potensi dan kemampuan seksual serta mencegah penyakit jantung. Vitamin E berupa kapsul juga banyak diiklankan sebagai vitamin yang mampu mencegah proses penuaan. Seuplementasi di luar jumlah kebutuhan tubuh ternyata tidak dapt mencegah proses penuaan tersebut. (Almatsier, 2006)


(24)

2) Akibat Kelebihan Konsumsi Vitamin E

Menggunakan vitamin E secara berlebihan dapat menimbulkan keracunan. Gangguan pada saluran cerna terjadi bila memakan lebih dari 600 miligram sehari. Dosis tinggi juga dapat meningkatkan efek obat antikoagulan yang digunakan untuk mencegah penggumpalan darah. (Yuliarti, 2008)

Vitamin E pada dosis lebih dari 400 UI (240 mg) akan menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, diantaranya mengosongkan ketersediaan vitamin A, menghambat absorpsi atau aksi vitamin K, menyebabkan diare, nyeri lambung dan rasa lesu. Vitamin E pada dosis 2000 IU/hari akan menyebabkan kematian.

Tabel 2.4

Tolerable Upper Intake Level untuk vitamin E

Tolerable Upper Intake Level (UL) untuk Alpha-Tocopherol*

Kelompok Usia mg/hari

1-3 tahun 200 mg (300 IU) 4-8 tahun 300 mg (450 IU) 9-13 tahun 600 mg (900 IU) 14-18 tahun 800 mg (1200 IU) 19 tahun atau lebih 1000 mg (1500 IU)

*Alpha tocopherol: bentuk dari vitamin E yang aktif didalam tubuh Sumber: Jane Higdon, Oregon State University 2004


(25)

C. Remaja

WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual yang terdiri dari tiga kriteria yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan social ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relative lebih mandiri.

Monks (1999) sendiri memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Remaja awal adalah masa yang ditandai dengan berbagai perubahan tubuh yang cepat dan sering mengakibatkan kesulitan dalam menyesuaikam diri, pada saat remaja mulai mencari identitas diri. Remaja pertengahan ditandai dengan bentuk tubuh sudah menyerupai orang dewasa. Oleh karena itu remaja seringkali diharapkan dapat berperilaku seperti orang dewasa, meskipun belum siap secara psikis. Pada masa ini sering terjadi konflik, karena remaja sudah mulai ingin bebas mengikuti teman sebaya. Erat kaitannya dengan pencarian identitas, di lain pihak mereka masih bergantung dengan orang tua. Remaja akhir ditandai dengan pertumbuhan biologis sudah melambat, tetapi masih berlangsung di


(26)

tempat-tempat lain. Emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir mulai stabil serta kemampuan untuk menyelesaikan masalah sudah meningkat.

Remaja merupakan tahap unik periode pertumbuhan dan perkembangan. Masa remaja ditandai dengan banyaknya variasi, perilaku ingin independen dan mencoba berperan dewasa. Perubahan biologis, sosial, psikologis dan kognitif yang terjadi pada masa remaja akan mempengaruhi kesehatan atau gizi secara bermakna. Pada remaja, intake makanan ditentukan sendiri, tetapi dipengaruhi juga oleh pola makan keluarga, pengaruh teman, media, nafsu makan dan ketersediaan makanan (Wahlqvist, 2002).

Worthington (2000) menyebutkan bahwa perubahan pola makan dan pilihan makanan remaja disebabkan karena pertumbuhan fisik yang pesat, lebih bebas dan banyak makan di luar rumah, kesadaran tentang penampilan fisik dan berat badan, kebutuhan diterima di lingkungan serta kehidupan yang cenderung aktif.

Remaja laki-laki dan perempuan berbeda, baik secara fisik maupun mental. Pertumbuhan cepat (growth spurt) pada perempuan, dimulai antara umur 8,5 tahun sampai 11,5 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 12,5 tahun. Kecepatan perumbuhan ini kemudian berkurang dan berakhir pada umur 15 atau 16 tahun. Pola pertumbuhan cepat ini sama untuk laki-laki, akan tetapi laki-laki memulainya lebih lambat sedangkan pertumbuhan cepatnya berjalan lebih lama. Untuk laki-laki, partumbuhan cepat dimulai antara umur 10,5 tahun sampai 14,5 tahun dan mencapai puncakya antara umur 14,5 tahun sampai 15,5 tahun. Setelah itu kecepatan pertumbuhan berkurang sedikit demi sedikit sampai kurang lebih umur 20 tahun. Soesilowindradini (2004).


(27)

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi suplemen vitamin E

Menurut Lastariwati dan Ratnaningsih (2006) dalam Dilapanga (2008), menyatakan bahwa perilaku konsumsi makanan dan minuman dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu:

1. Faktor intrinsik yang terdiri dari : usia, jenis kelamin, dan keyakinan.

2. Faktor ekstrinsik yang terdiri dari : tingkat ekonomi, pendidikan, pengalaman, iklan, tempat tinggal, lingkungan sosial dan kebudayaan.

Banyak faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan remaja, menurut Worthington (2000), pertumbuhan remaja, meningkatkan partisipasi dalam kehidupan sosial dan aktifitas remaja dapat menimbulkan dampak terhadap konsumsi makan remaja. Remaja dapat membeli dan mempersiapkan makanan untuk mereka sendiri. Selain faktor-faktor yang disebutkan diatas, faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E adalah:

1. Umur

Worthington (2000) mengatakan bahwa umur mempunyai peranan penting dalam menentukkan pemilihan makanan. Saat bayi tidak mempunyai pilihan terhadap yang akan dimakan, akan tetapi setelah dewasa orang mempunyai kontrol terhadap yang akan dimakan. Proses ini sudah mulai pada massa anak-anak, karena pada massa ini mereka mulai memiliki kesukaan terhadap makanan tertentu. Saat seseorang tumbuh menjadi remaja dan dewasa, pengaruh kebiasaan makan mereka sangat kompleks.


(28)

Dalam penelitian Rita (2002) ditemukan bahwa umur berpengaruh terhadap kecepatan seseorang untuk menerima dan merespon informasi yang diterima dan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan preferensi/kesukaan terhadap konsumsi pangan.

Berdasarkan Penelitian Putri (2004) tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi konsumsi suplemen vitamin dan antara kelompok umur 20-29thn, 30-39thn, dan 40-45thn atau dengan kata lain tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan konsumsi suplemen vitamin dan mineral (p Value 0,265).

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin menentukkan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Pertumbuhan dan perkembangan individu sangat berbeda antara laki-laki dan perempuan (Worthington, 2000).

Salah satu karakteristik demografi yang berhubungan dengan tingginya penggunaan suplemen (terutama suplemen multinutrient) adalah wanita (Greger, 2001). Lyle at al (1998) menyatakan bahwa, dibandingkan dengan laki-laki, wanita lebih sering mengkonsumsi suplemen multinutrient dan suplemen vitamin C dan E. Hasil ini tetap sama ketika disesuaikan dengan umur. Pria yang lebih tua lebih sering mengkonsumsi suplemen, tetapi diantara wanita, penggunaan suplemen tidak dipengaruhi umur.

Utami (1998) dalam Anggondowati (2002), menyatakan bahwa hasil penelitian Subar dan Block diketahui bahwa penggunaan suplemen terbanyak pada wanita, sebanyak 26,8% menurut hasil survei NCHS (Frankle et al,1993),


(29)

wanita lebih banyak menggunakan suplemen single vitamin dan kombinasi vitamin dan multivitamin.

3. Keyakinan, Nilai dan Norma

Suhardjo (2006) menyatakan bahwa pada masyarakat tertentu, terdapat satu pameo yaitu semakin tinggi tingkat keprihatinan seseorang maka akan semakin bahagia dan bertambah tinggi taraf sosial yang dicapainya. Keprihatinan ini dapat dicapai dengan tirakat yaitu suatu kepercayaan melakukan kegiatan fisik dan mengurangi tidur, makan dan minum atau berpantang melakukan sesuatu.

Sediaoetama (1989) juga menyatakan bahwa kepercayaan atau keyakinan masyarakat tentang konsepsi kesehatan dan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan. Suhardjo (2006) juga menyatakan bahwa pola konsumsi makanan merupakan hasil kepercayaan masyarakat yang bersangkutan dan mengalami perubahan terus menerus menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat tersebut. Dalam penelitian Suhardjo (2006) ditemukan bahwa keyakinan dan norma yang berlaku di masyarakat dapat mempengaruhi perilaku konsumsi.

4. Kebutuhan fisiologis tubuh

Menurut Worthington (2000), salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku makan remaja yaitu kebutuhan fisiologis tubuh. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan adalah kebutuhan zat gizi terutama kecukupan vitamin pada remaja. Menurut Tilarso, Hario (2009) dalam Yunaeni (2009),


(30)

kebutuhan akan zat gizi mutlak bagi tubuh agar dapat melaksanakan fungsi normalnya.

Jika konsumsi vitamin lebih rendah dari kebutuhan, maka status gizi vitamin dalam tubuh akan menurun. Keadaan ini disebut defisiensi vitamin. Jika kekurangan ini tidak terlalu besar, maka kebutuhan masih dapat ditutupi dari tempat cadangan. Bila hal ini berlangsung lebih lama, maka cadangan vitamin akan banyak menurun (Sediaoetama, 1987).

Begitu pula jika konsumsi vitamin E lebih tinggi dari kebutuhan atau secara berlebihan, maka dapat menimbulkan keracunan. Gangguan pada saluran cerna terjadi bila memakan lebih dari 600 miligram sehari. Dosisi tinggi juga dapat meningkatkan efek obat antikoagulan yang digunakan untuk mencegah penggumpalan darah (Almatsier, 2006).

5. Body Image/Citra Tubuh

Menurut kamus psikologi (chaplin, 2005) citra tubuh adalah ide seseorang mengenai penampilannya di hadapan orang lain. Schlundt dan Jhonson (1990) dalam Indika (2009) mengatakan bahwa citra tubuh merupakan gambaran mental yang tertuju kepada perasaan yang kita alami tentang tubuh dan bentuk tubuh kita yang berupa penilaian positif dan penilaian negatif. Rice (2001) dalam Meliana (2006) mendefinisikan citra tubuh sebagai pandangan seseorang tentang tubuhnya, suatu gambaran mental seseorang mencakup pikiran, persepsi, perasaan, emosi, imajinasi, penilaian, sensasi fisik, keadaan dan perilaku mengenai bentuk tubuhnya yang dipengaruhi oleh idealisasi pencitraan tubuh di


(31)

masyarakat dan interaksi sosial seseorang dalam lingkungannyandaan dapat mengalami perubahan.

Mappiare (1982) mengatakan citra raga merupakan sebagian dari konsep diri yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik. Citra raga khususnya dimaksudkan oleh pemikiran mengenai kecantikan dan kebutuhan wajah.

Menurut Melliana (2006) penampilan merupakan bentuk kontrol sosial yang mempengaruhi bagaimana individu melihat dirinya dan bagaimana ia dilihat oleh orang lain.

Kurniati (2004) menyatakan bahwa citra raga adalah gambaran yang dimiliki individu terhadap tubuhnya yang berhubungan dengan penerimaan diri terhadap keadaan fisiknya yang akan mempengaruhi rasa ketertarikkan orang lain.

Citra raga pada umumnya berhubungan dengan remaja wanita daripada remaja pria, remaja wanita cenderung untuk memperhatikan penampilan fisik (Mappiare, 1992). Menurut Suryanie (2005) perubahan-perubahan fisik yang dialami oleh remaja wanita menghasilkan suatu persepsi yang berubah-ubah dalam citra raga dan secara khas menunjukkan kearah penolakan terhadap physical self. Hal-hal yang menyebabkan remaja wanita tidak menerima physical selfnya misalnya : tinggi badan, kemasakkan fisik, jerawat. Remaja wanita sangat peka terhadap penampilan dirinya dan merenung perihal bagaimana wajahnya, apakah orang lain menyukai wajahnya serta selalu


(32)

menggambarkan dan mengembangkan seperti apa tubuhnya dan apa yang diinginkan dari tubuhnya.

Conger dan Peterson (dalam Sarafino, 1998) yang mengemukakan bahwa citra rubuh bagi remaja merupakan suatu hal yang penting, karena pada masa remaja seseorang banyak mengalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Perubahan yang pesat ini menimbulkan respon tersendiri bagi remaja berupa tingkah laku yang sangat memperhatikan tubuhnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan citra tubuh, antara lain: a. Jenis Kelamin

Chase (2001) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah faktor paling penting dalam perkembangan citra tubuh seseorang. Berdasarkan penelitian Indika (2009), wanita lebih negatif memandang citra tubuh dibandingkan pria.

Pria ingin bertubuh besar dikarenakan mereka ingin tampil percaya diri di depan teman-temannya dan mengikuti tren yang sedang berlangsung. Sedangkan wanita ingin memiliki tubuh kurus menyerupai ideal yang digunakan untuk menarik perhatian pasangannya. Usaha yang dilakukan pria untuk membuat tubuh lebih berotot dipengaruhi oleh gambar di media massa yang memperlihatkan model pria yang kekar dan berotot. Sedangkan wanita cenderung untuk menurunkan berat badan disebabkan oleh artikel dalam majalah wanita yang sering


(33)

memuat artikel promosi tentang penurunan berat badan (Anderson dan Didomenico, 1992).

Wanita identik dengan cantik, dan cantik identik dengan wajah dan kulit yang bersih, mulus, sehat dan berseri. Oleh karena itu, banyak wanita yang mengkonsumsi suplemen vitamin untuk mendapatkan kecantikan tersebut (Purwaningrum, 2008).

Berikut ini merupakan kutipan yang diambil dari sebuah artikel di sebuah media cetak.

“Gue mau banget punya badan langsing dan kulit cantik. Soalnya teman-teman gue men “support” untuk mempunyai badan langsing dan kulit cantik. Gue juga mengonsumsi suplemen untuk memperlancar gue mendapatkan tubuh yang indah, yah, meskipun ada efek sampingnya, tapi ya gak apa-apalah.” (Putri, Kompas 10 Juli 2009)

b. Usia

Pada perkembangan remaja, citra tubuh menjadi penting. Hal ini berdampak pada usaha berlebihan pada remaja untuk mengontrol berat badan. Umumnya lebih sering terjadi pada remaja putri daripada remaja putra (Papalia dan Olds, 2003 dalam Indika, 2009)

c. Media massa

Tiggeman (dalam Indika, 2009) menyatakan bahwa media massa menjadi pengaruh yang paling kuat dalam budaya sosial. Anak-anak dan remaja lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menonton televisi. Konsumsi media yang tinggi mempengaruhi konsumen. Isi tayangan


(34)

media sering menggambarkan bahwa standar kecantikan perempuan adalah tubuh yang kurus dan kulit yang putih.

Purwaningrum (2008), remaja yang mempunyai perilaku makan negatif dikaitkan dengan citra tubuh yang dimiliki. Individu merasa tidak puas dengan penampilannya sendiri. Remaja cenderung menginginkan penampilan yang ideal seperti bintang film, penyanyi dan model. Suatu studi di AS mengenai body image pada remaja putri menunjukkan bahwa 70 % subjek mengungkapkan keinginan untuk mengurangi berat badannya karena merasa kurang langsing. Padahal hanya 15 % di antara mereka yang menderita overweight.

6. Konsep Diri

Yayasan Peduli Proriasis Indonesia (2006) dalam Handayani (2009) menyatakan bahwa konsep diri akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Bila seseorang menilai diri sendiri positif, maka seseorang akan memasuki dunia dengan harga diri yang positif dan penuh percaya diri. Bila terjadi distorsi atau perubahan dalam citra tubuh seseorang, maka konsep dirinya akan berubah dan akan mempengaruhi perilaku konsumsi individu tersebut.

Penelitian Handayani (2009) ditemukan bahwa konsep diri berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi individu, yaitu dengan semakin baik konsep diri seseorang, maka akan semakin baik perilaku konsumsi orang tersebut.


(35)

7. Preference/ Pemilihan dan Arti Makanan

Kesukaan terhadap makanan dianggap sebagai faktor penentu dalam mengonsumsi makanan. Suhardjo (1986) mengatakan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap makanan tergantung dari rasa karena rasa merupakan suatu faktor penting dalam pemilihan pangan yang meliputi bau, tekstur dan suhu. Anak-anak dapat menilai rasa tersebut berdasarkan pengalamannya dan cenderung akan mempengaruhi pemilihan makan saat dewasa. Namun pada penelitian lain kesukaan dapat dipengaruhi oleh teman sebaya Kesukaan terhadap makanan mempunyai pengaruh terhadap pemilihan makanan.

8. Perkembangan Psikososial

Menurut Chaplin (2004) perkembangan psikososial merupakan berbagai kejadian yang berkaitan dengan relasi sosial atau hubungan kemasyarakatan dan mencakup faktor-faktor psikologis dari seseorang. Keadaan psikososial individu akan berpengaruh terhadap perilaku individu tersebut, salah satunya adalah perilaku konsumsi. Seseorang dengan kondisi psikososial yang baik akan cenderung lebih teratur dalam mengkonsumsi dan memilih makanan.

9. Status Kesehatan

Menurut White et.al (2004) kondisi tubuh yang kurang baik, atau sedang dalam kondisi sakit atau memiliki keluhan akan kesehatan mendorong mereka untuk menggunakan suplemen.

Sehat menurut WHO 1990 dalam Alamtsier (2004) yaitu keadaan sejahtera secara fisik, mental dan social, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kecacata.


(36)

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Kesehatan no. 23 tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Di dalam klinik suplemen vitamin E dipergunakan pada pengobatan berbagai penyakit, meskipun mekanisme penyembuhannya tidak diketahui. Vitamin ini tidak menyembuhkan penyakit tersebut, tetapi memberikan keringanan atau hambatan terhadap menjadi semakin gawatnya gejala-gejala (Sediaoetama, 1987).

Penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi (2008) ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit perilaku konsumsi suplemen.

10.Jumlah dan Karakteristik Keluarga

Sediaoetama (2004) menyebutkan keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak amat dekat akan menimbulkan masalah. Dalam hal ini, jumlah keluarga akan mempengaruhi pola pengalokasian pangan pada rumah tangga. Suhardjo (1986) menyebutkan semakin besar jumlah anggota keluarga, maka alokasi pangan untuk individu akan semakin berkurang.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah karakteristik keluarga yang terdiri dari pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Suhardjo (1986) menyatakan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah belum tentu kurang mampu dalam pemilihan makanan yang baik, jika orang tersebut rajin mendengarkan penyuluhan atau informasi mengenai gizi. Menurut Berg (1996) latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat


(37)

mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Tingkat pendidikan juga menentukan jenis pekerjaan dan besarnya pendapatan yang akan diperoleh sehingga dapat menentukan daya beli seseorang (London 1995 dalam Savitri 2009)

Pekerjaan orang tua pun turut menentukan kecukupan gizi dalam sebuah keluarga. Berg (1996) berpendapat bahwa pekerjaan berhubungan dengan jumlah gaji atau pendapatan yang diterima. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas makanan yang dibeli (Apriadji, 1986). Menurut penelitian Puone dalam Guthrie (1995) diketahui bahwa ada hubungan antara penghasilan keluarga dengan tingkat konsumsi masyarakat.

Selanjutnya Sukarbi (1994) dalam Gabriel (2008) menyebutkan pekerjaan memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain seperti kesehatan.

11.Peran Orang Tua

Menurut Worthington (2000) Pola kebiasaan makan anak berawal dari keluarga. Khomsan (2007) menyatakan selama masa anak-anak, orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sikap tentang makanan, pemilihan makanan dan pola makan. Tetapi jika sudah menganjak remaja mereka


(38)

menunjukkan kemandiriannya dan dapat memilih makanan sekehendak mereka. Oleh karena itu pengaruh keluarga terhadap perilaku makan mulai berkurang.

Khomsan pun menyatakan pada zaman modern seperti sekarang ini, orang tua memang telah menjadi manusia sibuk karena urusan di luar rumah tangga. Oleh karena itu, peran orang tua saat ini sangat penting dalam mendorong kebiasaan makan sehat bagi anak-anaknya.

12.Teman Sebaya

Pengaruh teman sebaya sangat kuat pada masa remaja awal. Di masa ini, remaja sangat menyadari penampilan fisik dan perilaku sosial mereka dan selalu berusaha menyesuaikan dengan kelompoknya. Kebutuhan anak nmenyamakan diri dengan kelompoknya dapat mempengaruhi intake gizi remaja (Brown et al, 2005).

Perubahan sosial yang dialami pada masa remaja adalah meningkatnya pengaruh teman sebaya dibandingkan keluarga. Perubahan tersebut mengakibatkan remaja mengalami berbagai macam perubahan gaya hidup, perilaku, dan tidak terkecuali pengalaman dalam menentukan makanan yang dikonsumsi (Soetjiningsih, 2004).

Hasil penelitian di Amerika menunjukkan bahwa selama akhir pekan, remaja memanfaatkan dua kali waktunya lebih banyak untuk bergaul dengan teman-temannya daripada dengan keluarganya. Aktifitas yang banyak di luar rumah membuat remaja sering jarang makan di rumah dan teman sebaya sering mempengaruhi dalam hal pemilihan makanan. Pemilihan makanan tidak lagi


(39)

didasarkan pada kandungan gizi tetapi sekedar bersosialisasi, untuk kesenangan dan supaya tidak kehilangan status (Khomsan, 2003).

Remaja belum sepenuhnya matang, baik secara fisik, kognitif dan psikososial. Dalam masa pencarian identitas, remaja cepat sekali terpengaruh lingkungan. Keluarga menjadi tidak begitu penting dibandingkan dengan lingkungan sosial dan teman-teman sebayanya (Hanseil dan Mechanic,1990 dalam Dilapanga, 2008).

Berdasarkan penelitian Pertiwi (2008), didapatkan hubungan yang bermakna antara pengaruh teman sebaya dengan konsumsi suplemen.

13.Sosial Budaya

Kebiasaan makan suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor dan budaya masyarakat tersebut. Makanan diartikan juga dalam hubungannya dengan kebudayaan karena sebagai bahan makanan yang akan dikonsumsi memerlukan pengesahan dari kebudayaan untuk dapat diterima. Banyak manusia yang meskipun lapar tidak menggunakan semua bahan makanan yang bergizi sebagai makanan karena alasan agama, tabu, dan kepercayaan. Makanan yang disediakan untuk seseorang sangat tergantung kepada statusnya. (Kresno, 2007).

14.Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi juga terlihat mempunyai hubungan dengan pola makan. Konsumsi buah, jus buah, suplemen, soft drinks, gula dan makanan yang manis meningkat seiring dengan peningkatan sosial ekonomi remaja. (Brown et al, 2005 dalam Dilapanga, 2008).


(40)

Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur status sosial ekonomi adalah uang saku. Menurut Azizah dalam Dilapanga 2009, semakin besar uang saku yang diterima oleh anak maka semakin besar pendapatan keluarga.

Uang saku merupakan salah satu pengalokasian dari pendapatan yang diperoleh dalam keluarga yang diberikan kepada anak untuk keperluan harian, mingguan atau bulan (Koenjaraningrat dalam Dilapanga 2009).

15.Media Massa

Promosi adalah salah satu variabel di dalam pemasaran. Promosi yang dimaksud dalam hal ini adalah arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan seseorang kepada tindakan yang akan manciptakan pertukaran dalam pemasaran.

Meningkatnya konsumsi suplemen makanan di masyarakat tidak lepas dari maraknya promosi iklan yang ditawarkan oleh produsen yang saling berlomba-lomba menawarkan produk dengan berbagai macam dari menambah kecantikan, menambah vitalitas, sampai menyembuhkan penyakit (Syahni, 2002).

Media massa terutama iklan-iklan perdagangan dan promosi penjualan sangat mempengaruhi pada pemilihan susunan makanan. Keunggulan pemakaian media massa adalah dapat menjangkau setiap orang dalam bentuk yang sama dan dapat menimbulkan pengalaman yang sama (Berg, 1996)

Suhardjo (1986) juga mengatakan bahwa media massa sebagai salah satu sarana komunikasi berpengaruh besar membentuk opini dan kepercayaan seseorang. Ewles dalam Afianti (2008) menyebutkan televisi, radio, majalah,


(41)

koran dan buku dapat dijadikan saluran komunikasi bagi sejumlah orang. Lastariwati dan Ratnaningsih (2006) dalam Yunaeni (2009) menyebutkan remaja yang masih dalam proses mencari jati diri, sering kali menjadi sasaran empuk bagi produsen yang menawarkan produknya. Hal ini dikarenakan remaja paling cepat dan efektif dalam penyerapan gaya hidup konsumtif, baik dalam kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder.

Berdasarkan penelitian Putri (2004), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara keterpaparan media dengan konsumsi suplemen. Karena sebagian besar responden yaitu sebanyak 84% memperoleh informasi mengenai suplemen berasal dari media masa seperti televisi, surat kabar/majalah.

16.Fast Food

Worthington (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan remaja meningkatkan partisipasi dalam kehidupan sosial, dan aktivitas remaja dapat menimbulkan dampak terhadap apa yang dimakan remaja. Remaja mulai dapat membeli dan mempersiapkan makanan untuk mereka sendiri, dan biasanya remaja lebih suka makanan serba instan yang berasal dari luar rumah seperti fast food. Fast food mengandung zat gizi yang terbatas atau rendah, diantaranya adalah kalsium, ribovlafin, vitamin A, magnesium, vitamin C, folat, dan serat. Selain itu, kandungan lemak dan natrium cukup tinggi pada berbagai fast food.

Menurut Sekarindah (2008) alasan seseorang memilih makanan cepat saji/fast food yaitu karena praktis, rasanya enak, mudah didapat dan tingkat


(42)

kesibukan yang tinggi sehingga tidak sempat menyiapkan makanan yang sehat dan alami.

17.Pengetahuan Gizi

Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang dilakukan dengan berdasarkan pada pengetahuan akan bertahan lebih lama dan kemungkinan menjadi perilaku yang melekat pada seseorang dibandingkan jika tidak berdasarkan pengetahuan.

Khomsan (2007) menyebutkan bahwa pengetahuan gizi menjadi landasan dalam menentukan konsumsi pangan individu. Jika seseorang memiliki pengetahuan gizi yang baik maka cenderung untuk memilih makanan yang bernilai gizi tinggi. Selain itu, pengetahuan gizi dapat meingkatkan seseorang dalam menerapkan pengetahuan gizinya dalam memilih maupun mengolah bahan makanan sehingga kebutuhan gizi tercukupi. Sedangkan Suhardjo (1986) berpendapat bahwa penyebab penting gangguan gizi karena kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Hasil penelitian Ramadani (2005) tentang konsumsi suplemen makanan dan faktor-faktor yang berhubungan pada remaja SMA Islam AL Azhar 3 Jakarta Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan konsumsi suplemen pada remaja (nilai P = 0,029). Responden yang


(43)

mengkonsumsi suplemen, lebih banyak yang berpengetahuan gizi baik yaitu sebesar 78%, dibandingkan dengan yang berpengetahuan gizi kurang (57,6%).

Penelitian lain yang sejalan juga ditemukan pada penelitian Putri (2004), yang menyebutkan bahwa ada perbedaan proporsi antara konsumsi suplemen dengan pengetahuan gizi. Pada kelompok yang berpengetahuan gizi baik, 82,1% responden mengkonsumsi suplemen, sedangkan 59,3% responden yang mengkonsumsi suplemen berpengetahuan gizi kurang.

Dengan adanya perbedaan proporsi antara pengetahuan gizi dengan konsumsi suplemen dapat disimpulkan bahwa responden dengan pengetahuan gizi baik lebih cenderung mengkonsumsi suplemen.

18.Pengalaman Individu

Dalam perjalanan hidup manusia, terjadi berbagai macam pengalaman. Salah satunya adalah pengalaman dalam mengkonsumsi makanan. Seseorang tentu memiliki penilaian tersendiri terhadap jenis makanan tertentu. Ada yang tiak mau mengkonsumsi makanan tertentu karena berdasarkan pengalaman pribadi bahwa makanan tersebut menimbulkan alergi atau memiliki rasa yang kurang enak, penampilan kurang menarik dan lain-lain (Suhardjo, 2006).

E. Kerangka Teori

Berdasarkan Kerangka Teori yang diambil dari teori Lastariwati dan Ratnaningsih (2006) serta Worthington (2000), faktor-faktor yang diduga berhungan dengan suplemen vitamin E digambarkan dalam bagan berikut:


(44)

Bagan 2.1

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Konsumsi Suplemen Vitamin E Remaja

Modifikasi dari teori Lastariwati dan Ratnaningsih (2006) serta Worthington (2000)

Faktor Internal 1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Uang saku

4. Pemilihan dan arti makanan

5. Perkembangan Psikososial 6. Body Image (citra raga) 7. Kesehatan

Konsumsi Suplemen Vitamin E Faktor Eksternal 1. Jumlah dan

karakteristik keluarga 2. Peran orang tua 3. Teman Sebaya 4. Sosial budaya 5. Media massa 6. Pengetahuan 7. Pengalaman


(45)

44 BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta. Variabel independen dalam penelitian ini adalah jumlah dan karakteristik keluarga (pendapatan orang tua), konsumsi vitamin E dan lemak, teman sebaya, media massa, status sosial ekonomi (uang saku), pengetahuan gizi, citra raga, dan status kesehatan. Variabel dalam penelitian ini terdapat dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 3.1.

Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Suplemen Vitamin E

Variable Independen Variable Dependen

Faktor Internal

1. Jumlah dan karakteristik keluarga - Pendapatan Orang Tua

2. Uang saku 3. Status Kesehatan

Konsumsi Suplemen Vitamin E

Faktor Eksternal 1. Pengetahuan 2. Teman Sebaya 3. Media massa 4. Citra Raga


(46)

45

Faktor usia dan jenis kelamin tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena populasi penelitian berada dalam satu kelompok usia (homogen). Variabel pemilihan dan arti makanan tidak diikutsertakan karena sudah diwakilkan oleh variabel teman sebaya. Suhardjo (1986) mengatakan seseorang akan suka atau tidak sukanya terhadap makanan dari rasa, karena rasa merupakan faktor penting dalam pemilihan makanan. Seseorang dapat menilai rasa berdasarkan pengalaman dan cenderung akan mempengaruhi pemilihan makanan. Kesukaan tersebut dapat dipengaruhi oleh teman sebaya.

Variabel perkembangan psikososial tidak diikutsertakan dalam penenlitian ini karena telah diwakilkan oleh variabel citra raga. Menurut Chaplin (2004) perkembangan psikososial merupakan interaksi antara faktor-faktor sosial dan psikologis. Citra raga merupakan kontrol sosial yang mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dirinya dan bagaimana ia dilihat orang lain.


(47)

46 B. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala

ukur

1. Konsumsi suplemen vitamin E Jumlah dosis suplemen vitamin E per hari yang dikonsumsi dalam sebulan terakhir.

Kuesioner Angket 1. ≥ 800 mg 2. < 800 mg

Ordinal

2. Pendapatan orang tua Jumlah total pendapatan orang tua dalam satu bulan

Kuesioner Angket 1. Cukup ( ≥ Rp.5.000.000) 2. Kurang (< Rp.5.000.000) (Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001)

Ordinal

3. Uang Saku Jumlah uang dalam rupiah yang diberikan orang tua siswa setiap hari untuk keperluan jajan

Kuesioner Angket 1. kecil (jika < mean)

2. besar (jika ≥ mean) Ordinal

4. Status Kesehatan Ada/tidaknya penyakit yang diderita oleh responden selama satu bulan terakhir

Kuesioner Angket 1. Ada 2. Tidak Ada

Ordinal

5. Pengetahuan Gizi dan Suplemen Tingkat pengetahuan responden dalam menjawab pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner mengenai suplemen makanan dan gizi

Kuesioner Angket 1. kurang , bila nilai < 80 % 2. Baik , bila nilai > 80 %

(Khomsan, 2003)


(48)

47 yang dihitung berdasarkan jumlah yang benar

6. Pengaruh teman Pengakuan siswi mengenai ada atau tidaknya pengaruh teman siswi terhadap konsumsi suplemen vitamin E.

Wawancara Kuesioner 1. Tidak ada pengaruh : Jika Skor 0

2. Ada pengaruh: Jika Skor ≥ 1

Ordinal

7. Keterpaparan dengan media/informasi

Pernyataan responden mengenai pernah atau tidak pernah mendapatkan informasi mengenai produk & manfaat suplemen makanan melalui media komunikasi massa (TV, Radio, Koran dan Majalah) atau media komunikasi personal (orang tua, teman, guru, dokter atau ahli gizi) dalam satu bulan terakhir.

Kuesioner Angket 1. Tidak terpapar, jika responden menjawab ‘’ tidak’’ pada item pertanyaan keterpaparan media/informasi (G3) 2. Terpapar, jika responden

menjawab ‘ya” pada item pertanyaan keterpaparan (G3). (Setiawan, 2008)

Ordinal

8. Citra Raga Pandangan diri yang

berkaitan dengan sifat-sifat fisik, khususnya

dimaksudkan oleh pemikiran mengenai kecantikan dan kebutuhan wajah.

Kuesioner Angket 1. Negatif (jika < mean) 2. Positif (jika ≥ mean) (Andea, 2009)


(49)

(50)

49 C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara faktor internal (pendapatan orang tua, uang saku, dan status kesehatan) dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta

2. Ada hubungan antara faktor eksternal (pengetahuan, teman sebaya, media massa dan citra raga) dengan konsumsi suplemen vitamin E pada siswi SMA Negeri 65 Jakarta


(51)

49 BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional karena pengambilan data variabel independen dan variabel dependen dilakukan dalam waktu bersamaan. Penelitian ini bersifat analitik karena akan melihat hubungan antara varibel indepnden dan varibel dependen. Variabel independen yang diteliti adalah pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, uang saku, status kesehatan, konsumsi vitamin E dan lemak, pengetahuan gizi, teman sebaya, keterpaparan media massa, dan citra raga.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 65 Jakarta. 2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama bulan Februari 2011. C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswi SMA Negeri 65 Jakarta yang mengkonsumsi suplemen vitamin E, baik yang duduk di kelas X, XI, atau kelas XII. Jumlah keseluruhan siswi yang mengkonsumsi suplemen vitamin E sebanyak 125 orang.


(52)

50 2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah siswi SMA Negeri 65 Jakarta yang bersedia menjadi sampel dan mengisi angket. Sampel dari penelitian ini dipilih dengan metode simple random sampling dan perhitungan jumlah sampel dengan rumus uji hipotesis beda proporsi (Ariawan, 1998).

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan

2 1

= 0,05 (derajat kemaknaan 1,96) 

1

= Kekuatan uji 90 %

P = Proporsi rata-rata = (P1+ P2)/2 = 63.35 % 1

P = Proporsi responden yang terpapar promosi suplemen yang mengkonsumsi suplemen 79.2 %

2

P = Proporsi responden yang tidak terpapar promosi suplemen yang mengkonsumsi suplemen 47.5 %

( Nilai P1 dan P2 diperoleh dari penelitian Yunaeni, 2009)

Dari hasil perhitungan diatas diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 35 sampel, kemudian dikalikan dua menjadi 70 sampel. Untuk mengantisipasi ketidaklengkapan data maka peneliti menambahkan 10% dari jumlah sampel

2 2 1 2 2 2 1 1 1 2 / 1 ) ( ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( 2 P P P P P P z P P z n         


(53)

51

keseluruhan sehingga jumlah keseluruhan sampel yang akan diambil adalah 77 orang.

Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling, sehingga setiap populasi mempunyai peluang yang sama untuk dijadikan sampel.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2005). Instrumen Penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner digunakan untuk mengisi pertanyaan mengenai pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua, uang saku, status kesehatan, pengetahuan gizi, teman sebaya, keterpaparan media massa, dan citra raga.

.

E. Pengumpulan Data

Pengumpul data dilakukan oleh peneliti sendiri. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer. Data primer dikumpulkan dengan wawancara dan observasi langsung kepada siswi SMA Negeri 65 Jakarta dengan instrumen kuesioner yang meliputi pendapatan orang tua, uang saku, status kesehatan, pengetahuan gizi, pengaruh teman sebaya, keterpaparan media massa, dan citra raga.

F. Pengolahan Data

Adapun untuk tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data primer dari variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut:

1. Mengkode data (data coding), yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode pada jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuisioner.


(54)

52

2. Menyunting data (data editing), yaitu kuisioner yang telah diisi dilihat kelengkapan jawabannya, sebelum dilakukan proses pemasukan data ke dalam komputer.

3. Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu membuat tamplate sesuai dengan format kuisioner yang digunakan

4. Memasukan data (entry data), yaitu dilakukan pemasukan data ke dalam tamplate yang telah dibuat.

5. Membersihkan data (data cleaning), yaitu data yang telah di entry dicek kembali untuk memastikan bahwa data tersebut bersih dari kesalahan, baik kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode. Dengan demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk dianalisis.

6. Manajemen dan manipulasi data.

G. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini berupa analisis data univariat dan analisis data bivariat.

1. Analisa Data Univariat

Analisa data univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi masing-masing variabel baik independen maupun dependen.

2. Analisa Data Bivariat

Analisa data bivariat dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen Pada analisa ini digunakan uji chi square dengan rumus:


(55)

53 ∑ (O - E)2

X2 =

E DF = (k-1)(b-1) Keterangan:

X2 = Chi square O = Nilai observasi E = Nilai Ekspektasi k = Jumlah kolom b = Jumlah baris

Melalui uji statistik chi square akan diperoleh nilai p, dimana dalam penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0.05. Penelitian antara dua variabel dikatakan bermakna jika mempunyai nilai p≤0.05 dan dikatakan tidak bermakna jika mempunyai nilai p≥0.05.

Jika variabel independen terdiri dari dua kategori dan dijumpai nilai E<5, maka nilai p dapat dilihat dari nilai fisher exact. Jika tidak dijumpai nilai E<5, maka nilai p dapat dilihat dari nilai continuity correction. Untuk variabel independen yang lebih dari dua kategori, maka nilai p dapat dilihat dari nilai pearson chi square.

3.Analisis Multivariat

Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui variabel independen mana yang besar pengaruhnya terhadap variabel dependen. Analisis multivariat pada penelitian ini menggunakan uji regresi logistik berganda karena variabel independen dan dependen dalam bentuk data kategorik. Selanjutnya untuk Uji regresi logistik


(56)

54

berganda pada penelitian ini menggunakan model prediksi karena semua variabel independen dianggap sama pentingnya, sehingga proses estimasi dapat dilakukan dengan beberapa koefisien regresi logistik sekaligus (Riyanto, 2009).

Untuk mengetahui variabel independen yang paling berhubungan dengan melihat nilai Odds Ratio (OR). Nilai OR = 1 memiliki makna bahwa tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Jika nilai OR < 1 artinya variabel independen merupakan faktor protektif terhadap variabel dependen dan jika nilai OR > 1 artinya variabel independen merupakan faktor resiko terhadap variabel dependen.

Langkah-langkah dalam melakukan analisis multivariat yaitu (Riyanto, 2009):

a. Seleksi kandidat model multivariat. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai nilai p ≤ 0,25, maka variabel tersebut dapat masuk model multivariat. Namun, bisa saja variabel dengan nilai p > 0,25 tetap ikut ke model multivariat bila variabel tersebut secara substansi berhubungan.

b. Pemodelan multivariat. Pada tahap ini variabel yang masuk ke dalam kandidat model multivariat dianalisis secara bersamaan. Variabel yang valid dalam model multivariat adalah variabel yang mempunyai nilai p≤ 0,05. Apabila di dalam model ditemui nilai p>0,05, maka variabel tersebut harus dikeluarkan dari model. Pengeluaran model harus bertahap dimulai dari variabel dengan nila p terbesar.


(57)

55

c. Uji interaksi. Setelah memperoleh model yang memuat variabel-variabel penting, maka langkah terakhir adalah memeriksa apakah ada interaksi antar variabel independen. Uji interaksi dilakukan pada variabel yang diduga secara substansi ada interaksi.


(1)

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .354a 1 .552

Continuity Correctionb .093 1 .760

Likelihood Ratio .361 1 .548

Fisher's Exact Test .773 .386

Linear-by-Linear Association .349 1 .555 N of Valid Casesb 77

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,03. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for status

kesehatan (Ada / tidak ada) .701 .216 2.270 For cohort grup_dosis =

Melebihi batas toleransi .752 .291 1.948 For cohort grup_dosis = tidak

melebihi batas toleransi 1.074 .856 1.347 N of Valid Cases 77

4. KONSUMSI SUPLEMEN VITAMIN E dengan PENGETAHUAN tahu_9 * grup_dosis Crosstabulation

grup_dosis

Total Melebihi batas

toleransi

tidak melebihi batas toleransi

tahu_9 kurang Count 13 18 31

% within tahu_9 41.9% 58.1% 100.0%

baik Count 3 43 46

% within tahu_9 6.5% 93.5% 100.0%

Total Count 16 61 77

% within tahu_9 20.8% 79.2% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 14.109a 1 .000

Continuity Correctionb 12.040 1 .001 Likelihood Ratio 14.351 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 13.926 1 .000 N of Valid Casesb 77

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,44. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for tahu_9

(kurang / baik) 10.352 2.629 40.765 For cohort grup_dosis =

Melebihi batas toleransi 6.430 1.996 20.715 For cohort grup_dosis = tidak

melebihi batas toleransi .621 .456 .846 N of Valid Cases 77

5. KONSUMSI SUPLEMEN VITAMIN E dengan TEMAN SEBAYA teman_3 * grup_dosis Crosstabulation

grup_dosis

Total Melebihi batas

toleransi

tidak melebihi batas toleransi

teman_3 tidak berpengaruh Count 4 42 46

% within teman_3 8.7% 91.3% 100.0%

berpengaruh Count 12 19 31

% within teman_3 38.7% 61.3% 100.0%

Total Count 16 61 77

% within teman_3 20.8% 79.2% 100.0% Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 10.135a 1 .001

Continuity Correctionb 8.393 1 .004 Likelihood Ratio 10.135 1 .001

Fisher's Exact Test .003 .002

Linear-by-Linear Association 10.003 1 .002 N of Valid Casesb 77

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,44. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for teman_3

(tidak berpengaruh / berpengaruh)

.151 .043 .529 For cohort grup_dosis =

Melebihi batas toleransi .225 .080 .633 For cohort grup_dosis = tidak

melebihi batas toleransi 1.490 1.111 1.998 N of Valid Cases 77


(3)

6. KONSUMSI SUPLEMEN VITAMIN E dengan MEDIA MASSA media_3 * grup_dosis Crosstabulation

grup_dosis

Total Melebihi batas

toleransi

tidak melebihi batas toleransi

media_3 tidak terpapar Count 5 39 44

% within media_3 11.4% 88.6% 100.0%

terpapar Count 11 22 33

% within media_3 33.3% 66.7% 100.0%

Total Count 16 61 77

% within media_3 20.8% 79.2% 100.0% Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 5.529a

1 .019

Continuity Correctionb 4.275 1 .039

Likelihood Ratio 5.530 1 .019

Fisher's Exact Test .025 .020

Linear-by-Linear Association 5.457 1 .019 N of Valid Casesb 77

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,86. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for media_3

(tidak terpapar / terpapar) .256 .079 .834 For cohort grup_dosis =

Melebihi batas toleransi .341 .131 .887 For cohort grup_dosis = tidak

melebihi batas toleransi 1.330 1.022 1.730 N of Valid Cases 77

7. KONSUMSI SUPLEMEN VITAMIN E dengan CITRA RAGA grup_citra * grup_dosis Crosstabulation

grup_dosis

Total Melebihi batas

toleransi

tidak melebihi batas toleransi

grup_citra negatif Count 15 31 46

% within grup_citra 32.6% 67.4% 100.0%

positif Count 1 30 31

% within grup_citra 3.2% 96.8% 100.0%

Total Count 16 61 77


(4)

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 9.713a 1 .002

Continuity Correctionb 8.010 1 .005 Likelihood Ratio 11.775 1 .001

Fisher's Exact Test .001 .001

Linear-by-Linear Association 9.587 1 .002 N of Valid Casesb 77

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,44. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for grup_citra

(negatif / positif) 14.516 1.803 116.841 For cohort grup_dosis =

Melebihi batas toleransi 10.109 1.406 72.656 For cohort grup_dosis = tidak

melebihi batas toleransi .696 .564 .860 N of Valid Cases 77

ANALISIS MULTVARIAT 1. Model 1

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a grup_pndptn 1.155 .887 1.692 1 .193 3.172 .557 18.064

tahu_9 2.167 .830 6.823 1 .009 8.729 1.718 44.367 teman_3 -1.708 .811 4.436 1 .035 .181 .037 .888 media_3 -1.457 .800 3.317 1 .069 .233 .049 1.117 grup_citra 2.341 1.157 4.090 1 .043 10.391 1.075 100.431 Constant -1.357 2.791 .236 1 .627 .257


(5)

2. Model 2

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a tahu_9 2.229 .816 7.467 1 .006 9.288 1.878 45.938

teman_3 -1.850 .790 5.484 1 .019 .157 .033 .740 media_3 -1.402 .768 3.333 1 .068 .246 .055 1.109 grup_citra 2.575 1.175 4.807 1 .028 13.136 1.314 131.320 Constant -.047 2.432 .000 1 .984 .954

a. Variable(s) entered on step 1: tahu_9, teman_3, media_3, grup_citra.

3. MODEL 3

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95,0% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a tahu_9 2.302 .795 8.390 1 .004 9.997 2.105 47.471

teman_3 -1.816 .764 5.649 1 .017 .163 .036 .727 grup_citra 2.778 1.162 5.714 1 .017 16.088 1.649 156.941 Constant -2.512 1.961 1.641 1 .200 .081

a. Variable(s) entered on step 1: tahu_9, teman_3, grup_citra.

Uji Interaksi

Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step .527 1 .468

Block .527 1 .468


(6)

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 54.680a .268 .419

a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.

Classification Tablea

Observed

Predicted grup_dosis

Percentage Correct Melebihi batas

toleransi

tidak melebihi batas toleransi

Step 1 grup_dosis Melebihi batas toleransi 12 4 75.0 tidak melebihi batas toleransi 10 51 83.6

Overall Percentage 81.8

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 1a tahu_9 -14.867 8.569E3 .000 1 .999 .000

grup_citra -14.733 8.569E3 .000 1 .999 .000 grup_citra by tahu_9 16.995 8.569E3 .000 1 .998 2.404E7 Constant 12.423 8.569E3 .000 1 .999 2.484E5 a. Variable(s) entered on step 1: grup_citra * tahu_9 .