dimensi praktek agama memiliki mean empiris terbesar. Hal ini berarti siswa yang melakukan praktek agama akan membuat tingkat religiusitas menjadi tinggi dan
mahasiswa yang tidak melakukan praktek agama akan membuat tingkat religiusitas menjadi rendah.
4.5.2 Pembahasan Analisis Inferensial Religiusitas Dengan Kenakalan
Remaja Pada Siswa SMP Negeri 02 Slawi
Berdasarkan hasil uji korelasi penelitian diperoleh hasil yang menunjukkan ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kenakalan remaja pada siswa
kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi. Hasil korelasi antara religiusitas dengan kenakalan remaja menunjukan bahwa hubungan antara religiusitas dengan
kenakalan remaja menunjukkan hubungan negatif yang signifikan. Artinya adalah hubungan antara kedua variabel tidak linier atau tidak searah, jadi jika variabel X
tinggi maka variabel Y rendah yang dalam hal ini jika variabel religiusitas tinggi maka variabel kenakalan remaja rendah atau jika variabel religiusitas rendah maka
variabel kenakalan remaja tinggi. Hubungan yang signifikan tersebut didukung dengan adanya nilai regresi
antara variabel religiusitas dan kenakalan remaja R sebesar 59,4 kenakalan remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Slawi dipengaruhi oleh religiusitas.
Sisanya 40,6 dipengaruhi oleh faktor lain yang belum terungkap dalam penelitian ini seperti faktor internal yang meliputi identitas, kontrol diri dan proses
keluarga serta faktor eksternal yang meliputi pengawasan yang kurang dari orang tua, kurangnya pendidikan, komunitaskelas sosial, kurangnya pemahaman
terhadap remaja dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. .
Berdasarkan koefisien korelasi dan nilai signifikansi yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara religiusitas dengan kenakalan
remaja pada siswa kelas VIII SMP Negeri Slawi memiliki korelasi negatif. Siswa yang memiliki religiusitas yang tinggi akan memiliki kenakalan remaja yang
rendah. Sebaliknya, siswa yang memiliki religiusitas rendah akan memiliki kenakalan remaja yang tinggi.
Hasil tersebut sejalan dengan teori yang mendukung dalam penelitian ini bahwa kenakalan remaja disebabkan karena sebagian besar remaja lalai
menunaikan perintah agama Sudarsono 2008: 120. Sejalan dengan teori tersebut, Daradjat dalam Setya 2009: 43 berpendapat
bahwa tingkah laku menyimpang dapat terjadi karena tingkat religiusitas yang ada dalam diri individu rendah. Senada dengan pendapat Darajdat, Jalaluddin 2002:
82 mengatakan bahwa nilai-nilai ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin pada diri remaja terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan
harapan. Dalam situasi bingung dan konflik batin menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat, sehingga peluang munculnya perilaku
menyimpang terbuka lebar. Kaitannya dengan perilaku menyimpang, hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian yang berjudul “Religiusitas dan Perilaku Seks Bebas pada Dewasa Awal” Andisty dan Ritandiyono 2008: 173. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku seks bebas. Artinya semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah
perilaku seks bebasnya. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perilaku seks bebasnya.
Penelitian lain yang juga sejalan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Christiawan 2007: 46 yang berjudul “Hubungan antara
Religiusitas dengan Perilaku Agresif pada Remaja”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa religiusitas berkorelasi negatif dengan perilaku agresif pada
remaja. Jadi semakin tinggi religiusitas seorang remaja maka semakin rendah perilaku agresifnya dan begitu pula sebaliknya atau dapat dikatakan bahwa
perilaku agresif pada remaja akan semakin meningkat dengan sangat signifikan berlawanan dengan religiusitasnya.
Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Djatmiko 2007 yang berjudul “Intensi Melakukan Hubungan Seksual Pranikah pada Mahasiswa ditinjau dari
Religiusitas”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara religiusitas dengan intensi melakukan hubungan seksual pranikah pada
mahasiswa dimana semakin tinggi religiusitas, maka semakin rendah intensi melakukan hubungan seksual pranikah pada mahasiswa dan sebaliknya semakin
rendah religiusitas, maka semakin tinggi intensi melakukan hubungan seksual pranikah pada mahasiswa. Berdasrakan ketiga hasil penelitian tersebut dapat
mendukung temuan penelitian ini, bahwa tingginya religiusitas yang ada dalam diri siswa menunjukkan rendahnya kenakalan remaja pada diri siswa.
Individu dengan religiusitas tinggi akan mampu memandang, memahami dan mengerti dirinya sendiri, baik yang berupa kelebihan maupun kekurangan
yang ada pada dirinya. Dengan ini individu mampu mengembangkan fitrah yang
ada pada dirinya, salah satunya fitrah keberagamaan. Dimana keberagamaan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan juga sebagai kebutuhan inidividu yang
tidak dapat terabaikan dan harus dipenuhi. Namun pada individu yang memiliki religiusitas rendah, mereka tidak mampu mengembangkan fitrah yang ada pada
dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh Sutoyo 2009: 99-100 yang menyatakan bahwa individu yang melakukan kenakalan remaja disebabkan karena fitrah iman
yang ada pada diri individu tidak bisa berkembang dengan sempurna, dan atau imannya berkembang tetapi tidak berfungsi dengan baik. Sebab iman yang
berkembang dengan sempurna tentu mampu berfungsi sebagai pemberi arah, pendorong dan sekaligus pengendali bagi fitrah jasmani, rohani dan nafs; yang
pada akhirnya akan melahirkan kecenderungan untuk berperilaku positif. Tingkat religiusitas itu sendiri meliputi keyakinan yang mengungkapkan
tentang keyakinan atau kepercayaan seseorang, melakukan ritual kegiatan keagamaan sesuai ajaran agama, adanya pengalaman rohani yang diyakini akan
kebesaran Tuhan dan sejauhmana seseorang berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Dengan semua sikap tersebut, tentunya remaja dapat
mengendalikan dirinya agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh ajaran-ajaran agamanya.
Menurut Jalaluddin 2002: 83 ajaran agama mampu menampilkan nilai- nilai yang berkaitan dengan peradaban manusia secara utuh. Didalamnya terkemas
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara berimbang. Pada aspek kognitif nilai-nilai ajaran
agama diharapkan dapat mendorong remaja untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya secara optimal. Sedangkan pada
aspek afektif diharapkan nilai-nilai agama dapat memperteguh sikap dan perilaku keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapkan akan mampu
menanamkan keterikatan dan keterampilan lakon keagamaan. Andisty dan Ritandiyono 2008: 173 menyebutkan bahwa seseorang yang
memiliki tingkat religiusitas yang rendah, tidak menghayati ajaran agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran
agamanya. Sebaliknya seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi maka akan memandang agamanya sebagai tujuan utama hidupnya, sehingga ia
berusaha menginternalisasikan ajaran agamanya dalam perilakunya sehari-hari. Hal tersebut dapat dipahami karena agama mendorong pemeluknya untuk
berperilaku baik dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Jalaluddin 2002: 75 menyatakan bahwa tingkat religiusitas pada diri
remaja akan berpengaruh terhadap perilakunya. Apabila remaja memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka mereka akan menunjukkan perilaku ke arah hidup
yang religius pula, sebaliknya remaja yang memiliki religiusitas rendah, mereka akan menunjukkan perilaku ke arah hidup yang jauh dari religius pula. Hal ini
berarti remaja memiliki potensi untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan atau kenakalan-kenakalan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Singkatnya
kenakalan remaja disebabkan karena rendahnya tingkat religiusitas yang ada pada diri remaja tersebut. Remaja yang kerap melakukan tindak kenakalan disebabkan
karena remaja kurang memiliki pengalaman tentang ajaran-ajaran agamanya dan kurangnya keyakinan yang kuat pada diri mereka akan keberadan Tuhan sehingga
perilaku yang dimunculkan tidak pernah disesuaikan dengan ajaran agama yang dianutnya.
4.6 Keterbatasan Penelitian